Pariwisata Dan Kerentanan Konflik: Kasus Pada Daya Tarik Wisata Pantai Kaluku Kabupaten Donggala
on
Jurnal Destinasi Pariwisata p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937
Vol. 9 No 1, 2021
Pariwisata Dan Kerentanan Konflik: Kasus Pada Daya Tarik Wisata Pantai Kaluku Kabupaten Donggala
Andi Mascunra Amir a, 1, Zaiful a, 2
a Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tadulako, Jl. Soekarno Hatta Km.8 Palu Sulawesi Tengah 94118
Abstract
The tourism sector fosters social change, including the emergence of friction of interests that leads to land / space conflicts. This research aims to explain: (1) Kaluku Beach tourism object as a realm of struggle for economic capital; (2) failure of economic capital management and lack of village leadership authority impacted massively barrier in tourism sector. Research results show that Kaluku beach tourism area is a field of conflict interest in terms of economic capital, leads to worst impact on tourism object management, low rates visiting. The absence of spatial planning and lack of village leadership authority caused conflict vulnerability, requires symbolic capital influence from village leader as dispute resolution. Suggestion for village leaders that they take consideration spatial planning in urgent, utilization of local resources and push social readiness towards social changes.
Key words: Kaluku beach tourism, Land dispute, symbolic capital
Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang secara berangsur-angsur mengalami perubahan sosial, salah satunya terjadi akibat dari tumbuhkembangnya sektor pariwisata kedaerahan yang kemudian turut berdampak pada perubahan struktur sosial. Namun perubahan yang didorong oleh pariwisata tidak selalu berdampak baik (kemajuan), dapat pula menimbulkan suatu kemunduran, baik ekonomi, moral, maupun perilaku sosial.
Sunaryo, (2013) mengatakan pembangunan kepariwisataan merupakan suatu proses perubahan pokok yang dilakukan secara terencana pada suatu kondisi kepariwisataan tertentu yang dinilai kurang baik, yang kemudian diarahkan menuju ke arah yang lebih diinginkan. Namun dalam prosesnya terjadi hubungan timbal balik antara wisatawan dan masyarakat lokal, yaitu interaksi sosial yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru sehingga terjadi perubahan pada kultur setempat. Namun demikian aspek praktis hasil peneltian Mami, dkk dinyatakan bahwa karena ditandai dengan belum adanya keuntungan yang dirasakan secara langsung dari kehadiran pariwisata itu sendiri yang membuat masyarakat menganggap bahwa pariwisata itu adalah biasa saja (Mami dan I Gusti, 2019)
Sektor pariwisata di Provinsi Sulawesi Tengah saat ini menjadi salah satu sumber ekonomi yang menjanjikan salah satunya di
Kabupaten Donggala. Daerah ini memiliki banyak daya tarik pariwisata khususnya wisata alam dan bahari yang sudah banyak menarik simpati baik oleh wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Sejauh ini pariwisata Kabupaten Donggala menjadi sektor yang berkonstribusi positif pada masyarakat dikawasan wisata.
Meskipun disatu sisi pariwisata membawa perubahan pada kesejahteraan ekonomi, tetapi kemunduran pada kultur menjadi masalah baru, yaitu sengketa lahan pada kawasan daya tarik wisata Pantai Kaluku. Terbukanya daya tarik wisata Pantai Kaluku sejak 2014 silam, justru berdampak pada sikap keterlibatan aktor-aktor dalam kompetisi perebutan sumber daya kawasan wisata. Hal ini juga dengan sejalan dengan hasil riset yang menyebutkan bahwa salah satu dampak negatif dari pengelolaan agrowisata adalah munculnya persaingan yang tidak sehat antar sesama pengelola agrowisata (Melati, 2020).
Orientasi pengembangan kawasan wisata yang semula untuk kesejahteraan masyarakat lokal melalui pengembangan ekonomi kreatif dan produk unggulan, berubah menjadi kompetisi yang sarat dengan sengketa lahan kawasan wisata. Tulisan ini berdalil bahwa pariwisata justru rentan dengan konflik ruang. Kegagalan manajemen kapital dan lemahnya otoritas kepemimpinan di desa menjadi faktor terbukanya keran konflik.
Aspek telaah penelitian berorientasi pada
Vol. 9 No 1, 2021
dua permasalahan pokok yang ditimbulkan oleh sektor pariwisata di Kabupaten Donggala khususnya pada kawasan daya tarik wisata Pantai Kaluku, yaitu: (1) kawasan wisata sebagai sumber daya masyarakat yang justru menjadi arena kompetisi; dan (2) pentingnya modal simbolik dalam penyelesaian konflik/sengketa lahan.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi input positif bagi masyarakat kawasan wisata dalam membangun ekonomi melalui pengembangan kawasan wisata. Penelitian juga diharapkan menjadi gagasan ilmiah dalam mendorong lahirnya kebijakan tata kelola pariwisata di Kabupaten Donggala sehingga manfaat sektor pariwisata dapat dirasakan masyarakat.
Penelitian ini adalah studi kasus pada masyarakat dikawasan wisata Pantai Kaluku Desa Limboro Kecamatan Banawa Tengah Kabupaten Donggala. Metode kualitaf dilakukan untuk menyelami masalah penelitian dengan upaya menafsirkan fenomena yang terjadi berdasarkan latar konteks alamiah (Satori, Djaman 2011). Pengumpulan data dilakukan melalui serangkaian mekanisme teratur meliputi: Pertama, melakukan studi dokumen untuk mengetahui deskripsi lokasi keberlangsungan peristiwa – peristiwa yang terkait dengan tema dan objek penelitian.; Kedua, melakukan observasi kualitatif untuk memahami secara mendalam tentang situasi sosial setempat guna menambah keakuratan analisis. Observasi yang dilakukan adalah menjadi partisipan maupun non-partisipan (Creswell, 2014: 268). Ketiga, penggalian data lapangan dengan teknik wawancara mendalam kepada narasumber. Keempat, melakukan focused group discussion (FGD) ditingkat komunitas dengan tujuan menggali informasi sebanyak – banyaknya dengan waktu yang relatif cepat. Sebab FGD dianggap teknik yang sistematis dalam pengumpulan data (Irwanto, 2006:1). Analisis data dilakukan secara kualitatif menggunakan model analisis interaktif Miles dan Huberman (dalam Idrus, 2009) yang meliputi, reduksi data, display/penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Dalam perspektif Pierre Bourdieu, yang dimaksud dengan ranah (field) merupakan tempat atau arena dimana berlangsungnya praktik-praktik kultural. Ranah adalah arena dimana para agen/aktor saling berinteraksi untuk mendapatkan berbagai bentuk sumber daya materil maupun simbolik. Dalam suatu ranah, agen-agen menempati posisi yang tersedia untuk terlibat dalam suatu kompetisi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam ranah tersebut (Bourdieu, 1996; Bourdieu, 2010).
Adaptasi dari suatu daya tarik wisata diperlukan dengan dalih untuk keberlanjutan, terutama dari dimensi ekonomi yaitu kepentingan bisnis dan kesejahterahan masyarakat lokal. Kreatifitas, jejaring promosi dan keterlibatan institusi lokal disinergikan (secara sadar ataupun tidak dan secara langsung maupun tidak langsung) sebagai upaya memberikan kepuasan bagi wisatawan. Harapannya adalah daya tarik wisata selalu ramai dikunjungi dan memberikan dampak pendapatan meningkat bagi praktisi bisnis pariwisata, pemerintah daerah dan masyarakat lokal (Winawan, dkk., 2020).
Jadi dalam konteks ini ranah yang dimaksud adalah daya tarik wisata Pantai Kaluku di Desa Limboro. Meskipun status desa ini bukanlah desa wisata, tetapi ketersediaan daya tarik wisata di desa ini telah mengharuskan masyarakatnya memiliki kemampuan (skill) atau keterampilan dalam pengelolaan wisata untuk menarik minat pengunjung (wisatawan). Semakin baik dan sehat tata kelola kawasan wisata maka semakin besar minat berkunjung wisatawan dan semakin besar perolehan keuntungan ekonomi sehingga menciptakan perubahan sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang besar pula.
Adanya ranah atau daya tarik wisata ini terbukti telah mendorong anggota masyarakat dikawasan wisata wisata Pantai Kaluku untuk berjuang dan bersaing memperoleh penghasilan jasa dan usaha wisata. Selain penghasilan, masyarakat juga mesti bersaing dalam hal keahlian dan keterampilan (modal budaya). Daya tarik wisata dengan demikian dapat dimanfaatkan dan untuk mengasah kemampuan berketerampilan, melakukan inovasi dan meningkatkan kreatifitas masyarakat sekaligus untuk mengembangkan desa.
Vol. 9 No 1, 2021
Namun faktual, di dalam ranah tersebut masyarakat belum secara optimal memanfaatkan dan mengelola modal-modal yang mereka miliki seperti modal ekonomi (aset), modal sosial (jaringan), modal budaya (keterampilan), dan modal simbolik (wewenang dan kekuasaan) yang tersedia di masyarakat. Berbagai modal demikian adalah sumber daya yang seharusnya dapat dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menciptakan perubahan kesejahteraan masyarakat. Rendahnya kemampuan tata kelola daya tarik wisata dan belum optimalnya pengaruh kepemimpinan desa (modal simbolik) menyebabkan rentannya gesekan kepentingan yang tidak sehat khususnya di kawasan wisata Pantai Kaluku.
Sejauh ini boleh dikatakan bahwa daya tarik wisata sesungguhnya belum mampu mendobrak kepemilikan modal ekonomi (aset dan uang) masyarakat sehingga pariwisata belum sepenuhnya maksimal dan efektif dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Padahal dari aspek modal sosial, kerjasama antara satu dengan lainnya dapat menunjang modal ekonomi dan modal budaya yang lebih maju. Hubungan relasional masyarakat desa yang masih kuat seharusnya dapat dijadikan modal utama dalam mengkombinasikan sumber daya (modal) lainnya agar memiliki satu tujuan yang sama dan saling menguntungkan untuk pihak-pihak terkait.
Daya Tarik Wisata Pantai Kaluku
Sejarah daya tarik wisata Pantai Kaluku sudah ada sejak awal tahun 1994 ketika orang asing (tourist) datang berlibur dikawasan ini. Namun di awal kehadiran orang asing belum menimbulkan minat masyarakat untuk mengembangkan lokasi ini menjadi kawasan wisata.
Masyarakat setempat yang berprofesi nelayan mulai melihat ada peluang untuk menjadikan daya tarik wisata pada tahun 2010 dan mulai dikembangkan pada tahun 2014 sampai 2015, terutama melalui program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP3) melalui kegiatan penataan daya tarik wisata Pantai Kaluku yang kemudian mencapai puncak keberhasilan pada tahun 2016-2017.
Masyarakat di kawasan wisata Pantai Kaluku umumnya bekerja sebagai nelayan dan sebagiannya peladang, serta buruh harian. Setelah dibukanya kawasan wisata, anak-anak
mereka mengelola kawasan wisata termasuk perempuan (istri) yang membuka usaha kuliner. Tahun 2016 pengunjung atau wisatawan Pantai Kaluku melebihi perkiraan. Akhir pekan adalah waktu yang paling ramai sehingga setiap pemilik usaha biasanya memperoleh keuntungan antara Rp. 3.000.000 sampai 5.000.000 dalam sehari.
Tingginya kunjungan wisatawan memberi keuntungan ekonomi bagi masyarakat maupun pengelola kawasan wisata, sehingga mendorong masyarakat setempat untuk membuka usaha dagangan dan jasa penyewaan tempat. Sedangkan pekerjaan nelayan yang ditekuni sebelumnya mulai dikurangi karena setiap hari harus melayani pengunjung. Beberapa rumah dan tanah milik pribadi yang berada dalam kawasan wisata dimanfaatkan menjadi modal usaha seperti lapak dagangan (warung), tempat menginap, gazebo, toilet, dan lahan parkir.
Namun sejak tahun 2018 hingga saat ini kawasan wisata Pantai Kaluku mulai sepi pengunjung. Apalagi kondisi sarana dan prasarananya yang tidak terkelola secara baik sehingga semakin kurang mampu untuk menarik kembali minat wisatawan seperti masa sebelumnya.
Permasalahan pokok yang menjadi penyebab adalah kerentanan sengketa lahan. Atau dalam arti lain, konflik perebutan modal ekonomi (lahan) menjadi faktor utama disertai buruknya tata kelola objek wisata Pantai Kaluku yang juga berdampak pada menurunnya minat kunjungan wisatawan.
Objek Wisata Sebagai Ranah Konflik
Hasil penelitian menunjukan bahwa objek wisata Pantai Kaluku di Desa Limboro merupakan ranah yang mengharuskan masyarakatnya memiliki kemampuan (skill) atau keterampilan dalam pengelolaan objek wisata untuk menarik minat pengunjung (wisatawan). Semakin baik dan sehat tata kelola kawasan wisata maka semakin besar minat berkunjung wisatawan dan semakin besar perolehan keuntungan ekonomi.
Adanya objek wisata mendorong anggota masyarakat dikawasan wisata untuk berjuang dan bersaing memperoleh penghasilan jasa dan usaha wisata. Selain penghasilan, masyarakat juga mesti bersaing dalam hal keahlian dan keterampilan (modal budaya).
Namun di dalam ranah tersebut masyarakat belum secara optimal memanfaatkan dan mengelola modal-modal yang mereka miliki
Vol. 9 No 1, 2021
seperti modal ekonomi (aset), modal sosial (jaringan), modal budaya (keterampilan), dan modal simbolik (wewenang dan kekuasaan) yang tersedia di masyarakat.
Secara empirik ditemukan bahwa rendahnya kemampuan tata kelola objek wisata dan belum optimalnya pengaruh kepemimpinan desa (modal simbolik) menyebabkan rentannya gesekan kepentingan yang tidak sehat di kawasan wisata Pantai Kaluku. Disamping itu objek wisata ini belum mampu mendongkrak (meningkatkan) daya kepemilikan modal ekonomi (aset dan uang) atau belum sepenuhnya meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.
Padahal dari aspek modal sosial, kerjasama antara anggota masyarakat dapat dimanfaatkan untuk menunjang modal ekonomi dan modal budaya yang lebih maju. Hubungan relasional masyarakat desa yang cukup kuat seharusnya dapat dijadikan modal utama dalam mengkombinasikan sumber daya (modal) lainnya agar memiliki satu tujuan yang sama dan saling menguntungkan untuk pihak-pihak terkait.
Kawasan pariwisata merupakan sebuah ranah pemanfaatan dan ranah mendapatkan sumber daya melalui interaksi sosial baik antar sesama masyarakat dikawasan wisata maupun dengan wisatawan. Dalam ranah ini masyarakat lokal harus pandai memanfaatkan habitus positif mereka dan modal-modal yang dimiliki jika ingin dapat menguasai modal ekonomi dan memiliki posisi sosial yang kuat dimasyarakat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 disebutkan bahwa kepariwisataan merupakan keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Secara empirik ditemukan bahwa tata kelola objek wisata Pantai Kaluku masih belum mencerminkan tata kelola yang sehat, pengelolaan modal secara baik, serta belum mampu menjamin pemanfaatan potensi lokal untuk menghasilkan perubahan sosial yang mensejahterahkan.
Masih terdapat kecenderungan bahwa di dalam ranah atau daya tarik wisata tersebut, aktor-aktor yang menempati posisi tertentu ditengah struktur sosial masih cenderung terlibat dalam kompetisi memperebutkan kontrol
kepentingan atau atau konflik sumber daya yang khas dalam ranah tersebut, yaitu lahan/kawasan wisata.
Dampak Daya Tarik Wisata Pada Perubahan Perilaku
Perilaku masyarakat dikawasan wisata ini dilihat dari kacamata ilmiah yaitu perspektif teoritik habitus Pierre Bourdieu. Perspektif ini melihat bahwa pada suatu habitus masyarakat kawasan wisata, terdapat potensi-potensi yang dapat mendukung pengembangan pariwisata baik yang terdapat di Desa Limboro.
Menurut Bourdieu, habitus merupakan struktur mental yang dipergunakan baik oleh individu maupun kelompok untuk menghadapi kehidupaan sosial. Namun tidak mudah, habitus hanya diperoleh atau terbentuk melalui proses yang panjang yaitu tergantung pada tempat di mana individu berada (Jenskin, 1992).
Adanya daya tarik wisata di desa ini telah mempengaruhi habitus masyarakatnya dalam kehidupan sehari-harinya. Sejak tahun 2010 daya tarik wisata Pantai Kaluku sudah banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun manca negara meski saat itu kawasan ini belum terkelola secara baik. Hingga tahun 2016, Pantai Kaluku menjadi salah satu destinasi wisata yang banyak diminati. Keadaan ini membawa perubahan pada kondisi masyarakat, salah satunya perubahan pada pola matapencaharian.
Sebelum kawasan ini menjadi lokasi wisata, masyarakat sekitar merupakan nelayan tradisional yang sehari-hari menangkap dan menjual ikan. Namun sejak kawasan Dusun 5 Desa Limboro ini diubah menjadi kawasan wisata, banyak masyarakat sekitar terutama kalangan pemuda yang beralih menjadi pengelola kawasan wisata Pantai Kaluku, meskipun di satu sisi mereka tidak sama sekali meninggalkan tradisi melaut.
Masyarakat di kawasan wisata yang berasal dari keluarga nelayan tentu memiliki karakter yang keras, sebab mereka berada dilingkungan alam yang menuntut untuk adaptif dalam bertahan hidup. Tetapi berjalannya waktu, terbangunnya kawasan wisata Pantai Kaluku banyak mengalihkan pekerjaan masyarakat setempat khususnya kalangan muda untuk menjadi pengatur kendaraan (parkir), pedagang, pemandu wisata, pemilik penginapan dan sebagainya.
Berlatar sebagai nelayan tradisional, kalangan muda setempat memiliki semangat
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
kerja dan kerjasama dalam mengelola kawasan wisata. Kalangan perempuan cenderung memilih berdagang kuliner dan membuka lapak dagangan kecil-kecilan (kios). Merasa sebagai masyarakat dikawasan wisata sekaligus pengelola, mereka memiliki semangat dan nilai-nilai lokal dalam bekerja.
Namun perubahan pada pola mata pencaharian itu tentu tidak melalui proses instan tetapi dari waktu yang cukup panjang. Interaksi dan komunikasi dengan pengunjung (wisatawan) membuat mereka merasa harus adaptif dan bersikap terbuka terhadap kalangan luar. Disamping itu daya tarik wisata yang mengundang kedatangan orang luar mendorong mereka untuk berani mengambil keputusan memanfaatkan situasi itu untuk mencari sumber ekonomi keluarga.
Jadi, titik temu antara masyarakat dengan pariwisata ini menciptakan realitas baru dimana banyak terjadi perubahan-perubahan, termasuk perubahan perilaku dan pola pikir yaitu sadar wisata. Kondisi demikian menciptakan habituasi dari yang lama ke yang baru. Perubahan perilaku yang terjadi setelah ada objek wisata diantaranya, perubahan orientasi hidup dari konvensional menjadi rasionalitas ekonomi, gaya hidup yang adaptif dengan teknologi dan informasi, cara berkomunikasi yang mengutamakan prinsip negosiatif dan kompromis, mengutamakan kerjasama individual maupun kolektif, dan sikap penerimaan sosial yang terbuka terhadap orang luar. Inilah habitus baru yang terbentuk melalui proses internalisasi panjang dari masyarakat dikawasan wisata Pantai Kaluku.
Sebagaimana menurut Bourdieu, bahwa habitus terbentuk dari hasil interaksi dengan orang lain. Berbagai kebiasaan masyarakat merupakan sikap mental atau tindakan yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak, disadari atau tidak adalah kontribusi dari hasil interaksi dengan orang lain. Mereka menyerap pengetahuan dan pengalaman orang lain untuk dapat bersikap lebih baik dikehidupan sosial. Bahkan masyarakat setempat masih mempercayai bahwa menjaga kelestarian lingkungan kawasan wisata Pantai Kaluku akan memberi pengaruh positif pada kehidupan mereka.
Meskipun belum semua masyarakat disekitar kawasan wisata mempraktikan kebiasaan-kebiasaan baru itu, namun mereka masih mempertahankan pola habitus lama yang
dianggap berkonstribusi baik bagi kelanggenagan sosial. Meskipun kawasan wisata ini belum menjadi daya tarik kuat, namun paling tidak masyarakat setempat telah memiliki nilai-nilai dalam diri yang dapat dimanfaatkan sebagai modal sosial dalam pengembangan objek wisata, seperti nilai kerjasama, kepercayaan, kejujuran, resiprokal, bahkan nilai-nilai adat-istiadat.
Menurut Jenskin (1992), tertanamnya nilai-nilai lokalitas dalam waktu yang lama sehingga menjadi sebuah habitus untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Kebiasaan melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut sesungguhnya mempengaruhi pola pikir dan setiap anggota masyarakat dimana nilai dan cara bertindak dipengaruhi oleh kondisi obyektif budaya setempat.
Pentingnya Modal Simbolik untuk
Penyelesaian Konflik
Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat kawasan objek wisata Pantai Kaluku belum sepenuhnya konsisten dalam
pengembangan pariwisata karena dipengaruhi oleh relasi sosial yang sarat kompetisi. Padahal menurut Hasbullah, hubungan kerjasama dibutuhkan sebagai tindakan resiprokal yang akan menguntungkan masyarakat (Hasbullah 2006).
Secara empirik, tata kelola objek wisata berbasis modal simbolik belum sepenuhnya efektif mendamaikan relasi kompetisi antar aktor di kawasan wisata Pantai Kaluku. Sehingga baik modal material (aset lahan) maupun non material (pengaruh sosial) justru tidak menjadi sumber daya yang berkonstribusi positif.
Ketersediaan lahan untuk kebutuhan wisata justru menjadi sumber sengketa atau klaim kepemilikan privat. Tokoh masyarakat dikawasan Pantai Kaluku, Bapak Cala, mengatakan harapannya agar kepala desa mampu menyelesaikan sengketa lahan melalui jalan musyawarah untuk membangun komitmen bersama.
“........kawasan wisata ini sebenarnya atas nama desa, seharusnya masyarakat ikut saja keinginan pemerintah desa. Tapi pemikiran masyarakat kadang memandang ini bukan kepentingan desa, padahal kalau sudah desa berarti sudah untuk masyarakat juga. Jadi tidak perlu lagi ada klaim pribadi lokasi ini. Kalau sudah ada persetujuan di desa untuk apa lagi kita mengklaim lahan. Jadi saya harapkan ke kepala
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
desa kita harus punya komitmen bersama untuk Kaluku ini........” (wawancara, Juli 2020).
Sementara itu menurut Kepala Desa Lomboro, Kifli, bahwa meskipun terjadi sengketa lahan yang berkepanjangan namun sebagai pemimpin desa ia akan berupaya
mengharmoniskan kembali ketegangan yang terjadi antar aktor pemilik lahan dikawasan wisata Pantai Kaluku (wawancara, Juli 2020). “yang sedang kami upayakan penyelesaian klaim lahan penting hanya melalui membangun harmonisasi di intern masyarakat Kaluku dan antara masyarakat Kaluku dengan masyarakat Limboro bagian bawah. Pengalaman kami bahwa begitu memuncak tingkat kunjungan maka keluarga (masyarakat) Limboro bagian bawah datang kemari atur sendiri lahan. Itu juga pemicu sehingga ada klaim-klaim. Akhirnya harmonisasi ini tidak terbangun. Ini butuh pemikiran untuk membangun kembali kawasan wisata menurut kami selaku pemeirntah desa” (wawancara, Juli 2020).
Berdasarkan pernyataan di atas dipahami bahwa kawasan wisata tidak selalu memberikan nilai kebahagiaan namun juga menimbulkan konflik kepentingan yang dimungkinkan diselesaikan melalui penggunaan modal simbolik pemimpin desa, atau pengambilalihan kekuasaan simbolik yaitu penggunaan wewenang, kekuasaan, otoritas, bahkan pengaruh kharismatik seorang pemimpin desa.
Aktor hadir dalam suatu arena bukan tanpa bekal yang memampukan dirinya untuk bersaing dalam perebutan posisi maupun taruhan yang ada pada arena tersebut (Bourdieu 2010). Modal menurut Bourdieu adalah sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan. Yaitu sejauh mana seseorang dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ia miliki atau yang tersedia, yaitu relasi kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat (Bourdieu 1996).
Modal simbolik umumnya diperoleh atau bersumber dari kekuasaan simbolis yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi. Modal simbolik yang paling sederhana adalah status sosial seseorang dimasyarakat
berdasarkan kepemilikan harta, kekuasaan maupun tingkat pendidikan. Semakin tinggi status sosial semakin tinggi kedudukannya dan semakin besar pengaruhnya dimasyarakat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kompetisi yang bertransformasi menjadi konflik adalah faktor penghambat kemajuan daya tarik
wisata. Dalam prosesnya tata kelola kawasan wisata Pantai Kaluku memiliki beberapa faktor penghambat diataranya (FGD, Juli 2020):
-
a) Belum tersedia instrumen perencanaan tata kelola kelembagaan dan daya tarik pariwisata oleh pemerintah desa;
-
b) Daya Tarik wisata belum memiliki kekuatan legalitas formal (peraturan desa);
-
c) Terjadi sengketa lahan yang masih belum menemui titik temu;
-
d) Belum tertatanya aspek prasarana dan sarana secara baik;
-
e) Kreatifitas dan atraksi wisata yang belum dimunculkan dan dikembangkan secara potensial;
-
f) Terjadinya bencana alam dan non alam yang tidak terduga (Gempa bumi 28 September 2018 dan Wabah Covid 19)
Terkait tata kelola wisata yang ideal, pengembangan pariwisata merupakan kegiatan untuk memajukan suatu tempat yang dianggap perlu ditata sedemikian rupa baik dengan cara memelihara yang sudah berkembang atau menciptakan yang baru (I Gde, Pitana 2009). Pengembangan daya tarik wisata seharusnya mengedepankan keterpaduan dalam
penggunaan berbagai sumber daya pariwisata (modal sosial, ekonomi, simbolik dan budaya) guna menciptakan perubahan menuju kesejahteraan masyarakat kawasan wisata.
IV.KESIMPULAN
Daya tarik wisata Pantai Kaluku merupakan ranah perebutan modal ekonomi (lahan) yang berdampak pada buruknya tata kelola daya tarik wisata Pantai Kaluku dan menurunnya minat kunjungan wisatawan. Rendahnya kemampuan tata kelola kawasan wisata dan lemahnya otoritas kepemimpinan desa (modal simbolik) menyebabkan rentannya gesekan kepentingan yang menjadi faktor penghambat kemajuan wisata. Selain modal sosial (musyawarah), pengaruh modal simbolik pemimpin desa seperti wewenang dan otoritas adalah instrumen yang dapat menekan potensi kompetisi dan konflik.
Disarankan kepada pemerintah desa untuk menyusun perencanaan ruang berkelanjutan, khususnya pada kawasan wisata. Dibutuhkan pula upaya dan keseriusan pemerintah desa dalam mendorong ekonomi kreatif dan produk unggulan desa melalui pemanfaatan sumber daya lokal dan mendorong kesiapan masyarakat
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
kawasan wisata dalam menerima perubahan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Bella Chintya Melati dan Nararya Narottamaa. 2020. Keterlibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan Agrowisata Di Desa Tulungrejo, Kota Batu (Studi Kasus: Top Apel Mandiri. Jurnal Destinasi
Pariwisata 8 (1).
Bourdieu, Pierre. 1996. The Rules of Art. California: Standford University Press.
———. 2010. Arena Produksi Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, John W. 2014. Reseach Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press.
I Gde, Pitana, dan I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Andi.
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif Dan Kuantitatif. Edisi Ke-2. Jakarta: Erlangga.
Irwanto. 2006. Focused Group Discussion. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jenkins, Richard (1992) (Terjemahan Nurhadi). 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdie, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Mami, Andriano Calrinto dan I Gusti Agung Oka Mahagangga, 2019. Respon Masyarakat Desa Batu Cermin Dalam Pengembangan Daya Tarik Wisata Gua Batu Cermin, Labuan Bajo. Jurnal Destinasi Pariwisata 8 (1).
Peraturan Menteri Parawisata RI No 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan
Keparawisataan Nasional tahun 2010 - 2025
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitaif. Bandung: Alfa Beta.
Sunaryo, Bambang. 2013. Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep Dan Aplikasinya Di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.
Satori, Djaman, dan Komariah Aan. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. Ke-3. Bandung: Alfabeta.
Winawan, I Komang Ayis dan I Gusti Agung Oka Mahagangga. 2020. Prostitusi dan Narkoba (Suatu Etnografi Pariwisata Kelab Malam di Seminyak). 8 (2)
71
Discussion and feedback