Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Di Kawasan Pariwisata Prioritas Pembangunan Pemerintah Provinsi NTT Tahun 2019
on
Jurnal Destinasi Pariwisata p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937
Vol. 9 No 1, 2021
Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Di Kawasan Pariwisata
Prioritas Pembangunan Pemerintah Provinsi NTT Tahun 2019
Yuan Valentino Elim a, 1, Deni Alfian Mba 2 a, 2
1Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi NTT Jalan Polisi Militer No.2 Kupang
Abstract
The Tourism Sector was chosen as the primemover of economic development in East Nusa Tenggara Province. One of the problems encountered in tourism development efforts in East Nusa Tenggara Province is related to the low participation of local communities. This study aims to (1) Explain the form and the level of participation of local communities and (2) Explain the obstacles / barriers faced by local communities in the development of tourism in the six priority development locations of the NTT provincial government in 2019. The type of this research is qualitative research. The data collection techniques used are in-depth interviews, observations, and library studies. Determination of the informants in this study is using snowball sampling. The results of the study indicate that the forms of local community participation consist from participation in activities directly related to tourism activities and participation in activities not directly related to tourism activities. Meanwhile, in terms of the level of participation, based on the concept of ladder of participation, the level of participation of local people in the six locations of this study is on the second ladder namely tokenism where local people are given the opportunity, invited to participate in the tourism sector but on the other hand they are not equipped with the ability adequate in the form of knowledge and skills as well as adequate infrastructure. As for the obstacles faced by local communities in participating in the tourism sector are (1) Lack of knowledge and skills to manage the potential of their resources; (2) There is no holistic, integrative and thematic and sustainable training concept, (3) Does not yet have a tourism activist in the village and a role model / pilot project location that has succeeded in developing the tourism sector as an example, (4) Apathy towards the program programs related to tourism development, (5) unfavorable infrastructure conditions, and (6) Lack of cooperation between local governments, non-governmental organizations engaged in the tourism sector and local communities.
Keywords: participation, ladder of participation, community based tourism
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih dihadapkan pada berbagai masalah sosial dan salah satunya adalah masalah kemiskinan. Sektor pariwisata dipilih sebagai sektor yang dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut (Laiskodat, 10 Januari 2019). Hal tersebut didasarkan pada potensi daya tarik wisata yang dimiliki oleh Provinsi NTT dimana berdasarkan data BPS terdapat sekitar 443 daya tarik wisata menurut tema wisata baik wisata alam (nature), budaya (culture), minat khusus (special interest) dan buatan (artificial) (BPS NTT, 2018). Namun, belum semua daya tarik wisata ini dikembangkan secara optimal.
Melihat potensi yang ada tersebut maka Pemerintah Provinsi NTT telah menetapkan sektor pariwisata sebagai prime mover/ engine of growth pembangunan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat (RPJMD Provinsi NTT Tahun 2018-2023). Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dan berbagai pembangunan fasilitas kepariwisataan seperti hotel dan restoran di sekitar daya tarik wisata diharapkan dapat menciptakan lapangan
pekerjaan dan kesempatan berusaha bagi masyarakat local sehingga harapan agar pariwisata menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan sosial di NTT seperti kemisikinan dan gizi buruk bukan mustahil untuk diwujudkan.
Paradigma pembangunan pariwisata yang digunakan dalam pengembangan pariwisata di NTT adalah Tourism Estate yakni pengembangan kawasan industri pariwisata secara terpadu dan dinamis yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, peningkatan taraf hidup dalam mengaktifkan sektor produksi (RPJMD Provinsi NTT Tahun 2018-2023)
Menyadari pentingnya pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, salah satu prioritas pembangunan pariwisata tersebut adalah peningkatan kelembagaan dan SDM pariwisata berbasis masyarakat (community based). Salah satu permasalahan yang ditemui dalam upaya pengembangan pariwisata di Provinsi NTT adalah terkait rendahnya partisipasi masyarakat lokal (RPJMD Provinsi NTT Tahun 2018-2023).
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
Konsep Community Based Tourism (CBT) berkaitan erat dengan adanya partisipasi dari masyarakat lokal. Menurut Timothy (1999) partisipasi masyarakat dalam pariwisata terdiri dari dua perspektif yaitu partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi masyarakat lokal berkaitan dengan keuntungan yang diterima masyarakat dari pembangunan pariwisata. Tidak semua masyarakat lokal memberikan respons positif yang sama ketika pembangunan pariwisata dilaksanakan di tempatnya, terutama jika mereka hanya menjadi penonton dan bukan pelaku pariwisata tersebut (Stronza, 2001). Hal ini menjadi penting karena sektor pariwisata membutuhkan partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat lokal di sekitar destinasi dikarenakan tujuan pembangunan pariwisata tersebut adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal di destinasi wisata.
Di tahun 2019, terdapat beberapa kawasan pariwisata yang menjadi prioritas pengembangan pemerintah provinsi NTT yakni Kawasan Moru di Kabupaten Alor, Kawasan Semau di Kabupaten Kupang, Kawasan Kampung Adat Praimadita di Kabupaten Sumba Timur, Kawasan Kelimutu di Kabupaten Ende, Kawasan Mulut Seribu di Kabupaten Rote Ndao dan Kawasan Mutis di Kabupaten TTS (Peraturan Gubernur NTT No. 85 Tahun 2019). Penetapan prioritas ini dimaksudkan agar pengembangan suatu kawasan pariwisata di NTT dilaksanakan secara sungguh-sungguh, terfokus, memperhatikan sumber daya yang dimiliki dan melibatkan semua stakeholder terkait. Hal yang diharapkan tentu saja agar pariwisata memberikan dampak positif pada semua pihak yang terlibat di dalamnya terutama masyarakat lokal di destinasi pariwisata.
Penelitian ini difokuskan pada lokasi-lokasi yang menjadi prioritas pengembangan pemerintah provinsi NTT tersebut dimana dalam penelitian ini ingin melihat bentuk dan tingkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di lokasi-lokasi tersebut serta ingin menjelaskan hambatan/kendala yang di hadapi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di lokasi tersebut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif dipilih dalam pelaksanaan penelitian ini karena ingin diperoleh informasi secara mendalam dengan latar se-alamiah mungkin. Alamiah berkaitan dengan pengalaman langsung dengan objek dalam konteks lingkungan secara keseluruhan sebagaimana apa adanya. Hal ini mengacu pada asumsi bahwa tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu peneliti harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman (Moleong, 2010).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi dan studi pustaka (Sugiyono, 2017). Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif kualitatif menurut Miles dan Hubberman (dalam Sugiyono, 2007: 204) yaitu dimulai dari pengumpulan data, setelah data terkumpul maka data tersebut direduksi, selanjutnya data tersebut disajikan (baik dalam bentuk tabel, grafik, gambar,dll) dan terakhir barulah di lakukan penarikan kesimpulan.
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik/prinsip snowball sampling. Informan dalam penelitian ini antara lain tokoh masyarakat, pelaku usaha sektor pariwisata, staf/pejabat dinas pariwisata kabupaten/kota, HPI, dan NGO yang bergerak di bidang pariwisata.
-
1) Jenis dan Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal di Sektor Pariwisata
a) Jenis-Jenis Partisipasi Masyarakat Lokal
Menurut Davis, dalam Sastropoetro (1988), terdapat beberapa jenis partisipasi masyarakat yaitu partisipasi pikiran, tenaga, pikiran dan tenaga, keahlian, barang, dan uang. Sesuai dengan data yang diperoleh dalam penelitian ini diketahui bahwa jenis-jenis partisipasi yang ditemukan dalam penelitian ini antara lain adalah partisipasi pikiran, tenaga, dan keahlian sedangkan untuk partisipasi berupa uang dan barang tidak ditemukan di semua lokasi dalam penelitian ini.
Untuk partisipasi berupa pikiran, hampir ditemukan disemua lokasi penelitian dimana diketahui bahwa masyarakat lokal
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
selalu di libatkan dalam proses rapat-rapat terkait perencanaan seperti rapat musrenbangdes, musrenbangcam,dll. Dalam kegiatan tersebut masyarakat lokal terlibat dengan memberikan saran, pemikiran, usulan, dan pendapat mereka terkait hal-hal yang dibutuhkan dalam upaya pembangunan dan pengembangan pariwisata di tempat mereka. Selain itu masyarakat lokal dibeberapa lokasi penelitian juga terlibat dalam rapat-rapat/pertemuan yang diadakan oleh kelompok sadar wisata maupun oleh Dinas pariwisata maupun dinas teknis lainnya terkait upaya pengembangan pariwisata di daerah mereka dimana masyarakat lokal juga terlibat dalam memberikan sumbangan pemikiran, usul, dan saran dalam rapat/pertemuan tersebut seperti kebutuhan pelatihan dan kebutuhan sarana dan peralatan pendukung lainnya dalam upaya pengembangan pariwisata di tempat mereka.
Partisipasi berupa tenaga juga ditemukan dalam penelitian ini. Di beberapa lokasi ditemukan bahwa masyarakat juga memberikan kontribusi berupa tenaga dimana masyarakat terlibat dalam membantu proses pembangunan dan pengerjaan sarana-sarana pendukung untuk pengembangan pariwisata di tempat mereka seperti di Liman Kabupaten Kupang masyarakat lokal terlibat untuk membangun lopo-lopo. Selain itu seperti di Fatumnasi Kabupaten TTS, masyarakat lokal juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan kebersihan seperti kerja bakti dan gotong royong bersama untuk membersihkan lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka.
Terkait partisipasi berupa keahlian juga ditemukan dibeberapa lokasi penelitian seperti di Fatumnasi, masyarakat lokal di Fatumnasi yang tergabung dalam kelompok sadar wisata yang terkait dengan kesenian dan kerajinan dimana ketika ada wisatawan yang datang mereka biasanya menyambut dengan tarian-tarian penyambutan yang diiringi dengan nyanyian dan alat musik lokal. selain itu juga ibu-ibu yang memiliki keahlian menenun juga menyediakan banyak kain tenunan khas daerah mereka yang di jual kepada wisatawan. Selain kain tenun juga terdapat beberapa cinderamata/souvenir khas yang dibuat oleh masyarakat lokal untuk menjadi oleh-oleh khas dari tempat mereka. Hal yang sama juga ditemukan di Wolwal Kabupaten Alor dimana ibu-ibu di Wolwal memiliki keahlian untuk
membuat kerajinan seperti tas, tenunan, dll. Sedangkan untuk di Kuanara, masyarakat lokal yang memiliki keahlian untuk menari juga menyajikan tarian-tarian ketika diadakan festival budaya di Danau Kelimutu.
Bentuk partisipasi masyarakat lokal di sekitar destinasi wisata Fatumnasi antara lain usaha penginapan/homestay, pemeliharaan dan penyewaan kuda, usaha tenun ikat, dan usaha pengolahan kuliner berbahan lokal. Beberapa pelatihan yang pernah dilaksanakan antara lain pelatihan pengolahan kuliner dari bahan lokal dan pelatihan metode pencelupan benang untuk tenun ikat. Di desa Daiama yang berada dalam kawasan wisata Mulut Seribu Rote, aktivitas masyarakat yang bersentuhan langsung dengan pariwisata masih sangat sedikit/minim. Terdapat satu usaha warung makan yang menjual nasi dengan lauk dari hasil laut serta beberapa jenis minuman dan makanan ringan. Di desa ini sudah terbentuk pokdarwis namun pokdarwis desa ini belum memiliki aktivitas apapun.
Di desa wisata Wolwal yang terdapat dalam kawasan wisata Moru di Alor, terdapat beberapa jenis aktivitas terkait kepariwisataan yaitu pembuatan kerajinan seperti pembuatan tas dan keranjang berbahan lontar, bambu, dan pelepah pisang, tenunan, dan pembuatan makanan lokal berupa jagung titi dan menu lainnya. Beberapa hal terkait aktivitas kepariwisataan yang perlu dipersiapkan seperti ketersediaan tour guide. Terhadap kebutuhan ini, beberapa pemuda di desa Wolwal juga telah mengikuti pelatihan tour guide dan juga dive master.
Untuk kawasan pantai Liman di Semau terdapat beberapa penduduk berjualan makanan dan minuman termasuk buah kelapa. Di Liman terdapat juga sebuah wisma di pesisir pantai dengan 5 ruangan di dalamnya milik penduduk setempat. Terkait pokdarwis, di desa ini telah terdapat kelompok yang bergerak di sektor pariwisata meskipun bukan merupakan sebuah pokdarwis yang formal. Di Praimadita Kabupaten Sumba Timur, belum banyak aktivitas penduduk yang terkait langsung dengan pariwisata. Beberapa orang yang memulai usaha di bidang pariwisata antara lain Umbu Amar yang membuka usaha homestay.
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
Beberapa penduduk terlibat sebagai pengantar wisatawan yang ingin menyebrang ke Salura (pulau Mengkudu). Kesempatan lain di mana penduduk dapat mengambil bagian dalam pariwisata adalah ketika dilaksanakan pacuan kuda atau festival budaya lainnya.
Di Kuanara, kecamatan Moni Kawasan Kelimutu Kabupaten Ende, telah dikembangkan pariwisata yang berbasis masyarakat dimana masyarakat lokal terlibat aktif dalam kegiatan pariwisata. Jenis usaha yang paling berkembang adalah jasa penginapan/homestay. Homestay di wilayah Moni dari Watugala hingga ke Kuanara adalah milik masyarakat lokal dengan jumlah kamar yang bervariasi mulai dari 2 - 7 kamar. Penduduk di desa ini juga membuka jalur tracking menuju Danau Kelimutu dan masyarakat lokal menjadi pemandu tracking. Saat ini beberapa lahan
persawahan/perkebunan sedang disiapkan untuk agrowisata seperti adanya kebun strawbery. Beberapa penduduk Waturaka juga tergabung dalam sanggar tari yang menjadi pengisi acara dalam festival Kelimutu.
-
c) Partisipasi dalam aktivitas yang tida terkait langsung dengan kegiatan pariwisata
Desa-desa di wilayah sekitar Fatumnasi dianugerahi kesuburan tanah dan iklim yang cocok untuk usaha pertanian maupun peternakan. Di sektor pertanian para petani menanam bawang putih, bawang prey, wortel, kol dan picai. Selain itu, para petani juga memiliki kebun strowbery, apel, dan jeruk yang juga memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi agrowisata. Di sektor peternakan, beberapa penduduk mengembangkan usaha penggemukan sapi dan babi serta pemeliharaan kuda.
Di desa Daiama kawasan Mulut Seribu, penduduk desa Daiama lebih banyak melakukan aktivitas yang terkait dengan sektor perikanan seperti penangkapan ikan dan budidaya rumput laut. Di sektor pertanian dihasilkan padi, jagung dan sorgum. Di sektor peternakan terdapat ayam, kambing, babi dan sapi.
Di beberapa desa sekitar pantai Liman Semau, mayoritas masyarakat bekerja di sektor pertanian, peternakan dan perikanan. Di desa Uitiuh misalnya, penduduk setempat menanam jagung, padi dan bawang. Terdapat juga
beberapa penduduk desa Uitiuh yang bekerja sebagai nelayan. Di Desa Uiasa, banyak penduduk yang bekerja sebagai nelayan dan budidaya rumput laut.
Di daerah Praimadita yang terletak di daerah pesisir memiliki potensi di sektor perikanan. Selama ini hasil tangkapan para nelayan diminati oleh para pembeli dari wilayah Sumba Timur maupun dari Mataram, Jakarta dan Makassar. Beberapa penduduk di Praimadita juga bekerja sebagai petani dan peternak. Terdapat beberapa kelompok peternak sapi dan beberapa desa dalam wilayah kecamatan Karera terdapat potensi di sektor perkebunan yaitu Jambu Mente.
Di kawasan Moni dan sekitarnya adalah daerah pertanian yang subur dengan sumber air yang melimpah. Jenis-jenis tanaman pertanian yang dikembangkan antara lain padi, jagung, sayur-sayuran dan buah-buahan. Hasil panen biasanya dijual oleh para petani ke pasar dan terkadang beberapa pemilik homestay langsung membeli dari para petani di kebun mereka.
-
2) Kendala yang Dihadapi Masyarakat Lokal dalam Berpartisipasi di Sektor
Pariwisata
-
a) Kurangnya pengetahuan dan
keterampilan untuk mengelola potensi sumber daya yang dimiliki
Hasil penelitian menemukan di hampir semua lokasi penelitian ini, terdapat satu jawaban yang hampir sama dari setiap informan ketika mereka ditanyakan kendala utama bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi di sektor pariwisata yakni kualitas sumber daya manusia masyarakat lokal yang masih rendah. Hal ini terkait dengan kurangnya keterampilan atau keahlian untuk mengolah sumber daya yang dimiliki. Di Fatumnasi misalnya, Sebagian besar penduduk yang berprofesi sebagai petani, belum memiliki keterampilan untuk mengembangkan sektor pertanian sebagai obyek pariwisata padahal daerah fatumnasi memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi agrowisata. Di Daiama, terkait pokdarwis telah dibentuk namun belum disertai dengan pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menjalankan pokdarwis tersebut. Akibatnya, pokdarwis tersebut belum dapat melakukan aktivitas terkait pariwisata.
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
Di kawasan Moru dan sekitarnya, memudarnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang tradisi budaya, ritual, dan upacara adat menutup peluang untuk pengembangan potensi wisata budaya di Moru Alor. Di Desa Uitiuh Tuan di Pulau Semau, banyak penduduk yang memelihara ternak namun karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat membuat para peternak ini membiarkan saja ternaknya berkeliaran bebas dan mengotori pantai yang menjadi obyek wisata. Di sektor pertanian, potensi pertanian khususnya jagung dan bawang merah cukup baik untuk dikembangkan. Namun karena pengolahan yang dilakukan secara tradisional beberapa petani mengalami kerugian dan akhirnya berhenti menanam bawang. Di Uiasa terdapat beberapa penduduk yang menjadi guide bagi para wisatawan yang ingin mengeksplor keindahan laut maupun daratan di sekitar Uiasa. Untuk aktivitas menyelam (diving) para nelayan dapat mengantarkan wisatawan ke spot-spot yang indah. Pengetahuan mereka tentang diving adalah pengetahuan yang diwariskan turun temurun, bukan melalui proses pendidikan dan pelatihan.
Beberapa desa di kecamatan Karera Sumba Timur adalah desa-desa penghasil Jambu Mente. Selama ini hasil perkebunan para petani langsung dijual setelah panen. Para petani belum memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengolah produk hasil perkebunannya menjadi jenis makanan kacang mente misalnya yang dapat dijual kepada wisatawan maupun kepada masyarakat lokal lainnya.
Demikianlah, jalan utama untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisata yang efektif adalah dengan mengembangkan sektor-sektor mata pencaharian utama mayoritas penduduk ke arah pariwisata, bukan memaksa masyarakat lokal beralih profesi menjadi guide, atau pekerja di hotel. Hal yang sama dikemukakan oleh Mansperger (1995) yang dalam penelitiannya menunjukkan bagaimana pariwisata di pulau-pulau wilayah pasifik justru menyebabkan bergantinya jenis mata pencaharian penduduk dan akhirnya membuat para masyarakat lokal lebih bergantung pada dunia luar. Smith (1989) juga mencontohkan kasus yang terjadi di Spanyol di mana masyarakat lokal mengganti pekerjaan bertani
mereka dengan bekerja di sektor pariwisata sehingga sektor pertanian tidak berkembang. Tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya, Rosenberg (1988) mengemukakan bahwa pariwisata berkontribusi pada matinya sektor pertanian di wilayah perkampungan kecil kawasan pegunungan di Prancis.
-
b) Tidak adanya konsep pelatihan yang bersifat holistik, integratif dan tematik serta berkelanjutan
Di desa Daiama pada kawasan wisata Mulut Seribu Rote, penduduk desa mendapatkan beberapa pelatihan dari penyuluh pertanian. Mereka pun mendapat pendampingan dan bantuan bibit sapi untuk diternakan. Kendati demikian, intensitas pelatihan dan pendampingan serta jumlah bantuan tersebut masih kurang. Terkait kegiatan pokdarwis, hingga saat ini mereka belum pernah mendapatkan pendampingan atau pelatihan untuk pengembangan sumber daya manusia anggota pokdarwis.
Kendala komunikasi dengan wisatawan juga ditemukan dalam masyarakat di desa Wolwal Alor. Ketika bertemu wisatawan kosakata yang diketahui hanyalah yes, no saja. Beberapa pelatihan yang sudah coba dilaksanakan antara lain cara pengelolaan makanan dari hasil pertanian seperti jagung, ubi, dan pisang, pelatihan bahasa Inggris terutama percakapan sehari-hari dan pelatihan menjadi pemandu selam serta guide. Untuk kerajinan tenun di desa Wolwal, selama ini dijalankan oleh para penenun hanya berdasarkan pengetahuan yang diwarisi secara turun temurun. Mereka belum dibekali dengan ilmu-ilmu baru berkaitan dengan proses pewarnaan dan pembuatan produk lain berbahan dasar kain tenun. Di Praimadita, terdapat beberapa kelompok tani namun belum mendapatkan pendampingan/ pelatihan untuk meningkatkan hasil pertaniannya. Hal serupa juga dialami di sektor peternakan. Beberapa penduduk memelihara ternak seperti kambing, babi, sapi dan kerbau namun mereka belum pernah mendapatkan pendampingan baik dari instansi terkait maupun LSM.
Beberapa deskripsi di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa hampir tidak ada desa atau destinasi wisata yang tidak memiliki sumber daya yang dapat dikembangkan dalam pariwisata. Kendati demikian, pengembangan
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
potensi sumber daya tersebut yang menjadi persoalan untuk diatasi. Pemerintah daerah melalui instansi terkait tidak sama sekali belum mengadakan pelatihan-pelatihan demi
peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat di sekitar destinasi. Kendati demikian, pelatihan-pelatihan yang diadakan selama ini tidak memenuhi prinsip holistik, integratif, tematik dan sustainable. Tidak holistik karena, pelatihan-pelatihan tersebut hanya diadakan secara parsial. Sebagai contoh, bagi para penenun hanya diadakan pelatihan bagaimana mewarnai benang tanpa ada pelatihan lain untuk menambah nilai produk yang dihasilkan. Tidak integratif dan tematik karena pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh masing-masing perangkat daerah adalah pelatihan yang tidak saling berhubungan dan tidak dilaksanakan dalam suatu konsep besar bersama misalnya pelatihan di sektor pertanian dan peternakan diarahkan untuk
pengembangan pariwisata. Tidak sustainable sebab pelatihan-pelatihan tersebut diadakan tidak secara berkelanjutan hanya ketika diprogramkan saja dalam tahun berjalan. Jika berganti tahun, maka akan ada program baru yang tidak terkait dengan pelatihan sebelumnya.
-
c) Tidak memiliki tokoh penggerak pariwisata di desa dan role model lokasi yang berhasil mengembangkan sektor pariwisata untuk dijadikan contoh
Di Detusoko Ende terkenal karena berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam pengembangan pariwisata khususnya yang diprakarsai oleh Nando Watu dengan kelompok RMC melalui usaha pengembangan ekotourism. Kegiatan-kegiatan RMC ditujukan bagi kaum muda untuk memiliki jiwa wiraswasta dan mengembangkan potensi yang mereka miliki di desa dalam kaitannya dengan pariwisata. Beberapa informan di Kuanara menyarankan agar pemerintah daerah menetapkan satu daerah/desa sebagai pilot project pembangunan pariwisata. Jika desa tersebut berhasil menjadi pilot project, maka dengan sendirinya desa-desa lain di sekitarnya dapat belajar melakukan hal yang serupa.
Hal yang sama juga terdapat di desa Fatumnasi Kabupaten TTS dimana di desa Fatumnasi tersebut terdapat salah satu tokoh masyarakat yang juga merupakan tokoh
pengerak pariwisata di desa Fatumnasi yaitu Bapak Mateos Anin. Di desa Fatumnasi Bapak Mateos Aninlah yang mengelola homestay “Lopo Mutis” serta kelompok sadar wisata (pokdarwis) di desa Fatumnasi tersebut. Sebagai sebuah destinasi yang menjadi prioritas pembangunan pemerintah provinsi NTT, di desa Fatumnasi telah dilakukan berbagai kegiatan seperti penyiapan sumber daya manusia berupa pelatihan-pelatihan terkait sektor pariwisata serta pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata lainnya seperti jalan, dll. Sehingga dengan intervensi dari pemerintah tersebut diharapkan nantinya desa Fatumnasi dapat menjadi salah satu role model desa/lokasi yang telah berhasil mengembangkan sektor pariwisatanya.
Kedua contoh desa yang telah dikemukakan di atas hanya sebagian kecil dari wilayah yang ingin dikembangkan dalam pariwisata di Provinsi NTT. Tentu saja tidak semua desa memiliki tokoh penggerak seperti yang terdapat di Detusoko dan Fatumnasi. Kendati demikian, dari contoh ini kiranya dapat menjadi pelajaran bagi kita betapa pentingnya kehadiran tokoh penggerak pariwisata dan adanya pilot project terkait pengembangan pariwisata.
Pariwisata telah sekian lama menjadi program prioritas pembangunan baik di tingkat pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Kendati demikian, terkadang program-program kegiatan yang telah direncanakan tidak direalisasikan sehingga masyarakat menjadi apatis terhadap gagasangagasan baru terkait pengembangan pariwisata. di Koanara misalnya, beberapa informan mengeluhkan tentang perjuangan mereka agar beberapa fasilitas pendukung pariwisata disediakan pemerintah sejak 20 tahun yang lalu namun hingga saat ini belum terealisasi seperti adanya Bank/ ATM, jaringan telekomunikasi (wifi untuk homestay), dan pengelolaan air bersih khususnya pada musim hujan di mana air menjadi keruh.
Sama halnya dengan beberapa desa lainnya yang juga merasakan hal yang sama dimana memang beberapa permintaan/usulan terkait penyiapan dan pembangunan fasilitas penunjang pariwisata yang diusulkan dalam
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
musrenbangdes maupun musrenbangcam belum semua/seluruhnya terealisasi dengan berbagai alasan seperti keterbatasan anggaran, bukan kegiatan prioritas, dll. Hal tersebutlah yang membuat masyarakat menjadi apatis dan bahkan enggan untuk terlibat dalam aktivitas pariwisata.
Garrod (2001) menyampaikan elemen-elemen dari perencanaan pariwisata partisipatif yang sukses yaitu: 1) membutuhkan kepemimpinan yang efektif (memiliki kredibilitas sebagai orang yang memahami, empati dan peduli dengan pendapat stakeholder, memiliki kredibilitas sebagai seseorang yang memiliki keahlian yang dibutuhkan di daerah tersebut, mandiri, memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah yang nyata dan tidak nyata, mememiliki kemampuan mengatur partisipan, bersedia mengembangkan kelompok), mampu mengarahkan keterlibatan yang sifatnya top down ke bottom up), 2) pemberdayaan masyarakat lokal, 3) mengkaitkan keuntungan ekonomi dengan konservasi, 4) melibatkan stakeholder lokal dalam setiap tahapan proyek, 5) adanya partisipasi lokal dalam monitoring dan evaluasi proyek. Sedangkan menurut Murphy (1985) menekankan pada strategi yang terfokus pada identifikasi tujuan masyarakat dan keinginan serta kemampuan mereka menyerap manfaat pariwisata.
Tidak dapat dipungkiri bahwa infrastruktur menjadi faktor yang penting dalam pengembangan pariwisata. Kondisi jalan yang belum baik membatasi akses para wisatawan menuju ke destinasi wisata Fatumnasi. Situasi serupa juga ditemukan pada kawasan destinasi wisata Praimadita. Jarak yang cukup jauh dari pusat kota Waingapu, ditambah dengan kondisi infrastruktur jalan yang memprihatinkan menjadi tantangan dalam pengembangan sektor pariwisata di destinasi ini. Di Praimadita, salah satu kebutuhan yang mendesak adalah ketersediaan air bersih dan fasilitas kesehatan.
Keadaan infrastruktur jalan yang kurang baik juga ditemukan di desa Daiama yang menjadi pintu masuk menuju kawasan wisata Mulut Seribu Rote. Tahun ini diadakan pembangunan jalan sepanjang 1 km dengan
dana yang bersumber dari Dana Desa dan dikerjakan oleh masyarakat lokal termasuk dalam mensuplai material batu dan pasir yang dibutuhkan. Di desa Wolwal yang terdapat di Kawasan wisata Moru di Alor, kendala terkait infrastruktur jalan juga turut dirasakan sebagai kendala dalam pengembangan pariwisata.
Potensi wisata di Pulau Semau yang sangat bagus berupa keindahan pantai dan wisata bahari kendati demikian, terkait infrastruktur, beberapa persoalan yang masih dialami antara lain menyangkut ketersediaan air bersih, jalan, listrik dan sinyal komunikasi.
Di Koanara Kawasan Kelimutu Kabupaten Ende, jumlah kunjungan wisatawan yang menginap di homestay milik masyarakat lokal cukup banyak. Kendati demikian, beberapa fasilitas pendukung terkait pariwisata tidak tersedia di tempat ini seperti ATM, air bersih, dan jaringan wifi. Terkait transportasi, akses jalan di Koanara sudah cukup bagus dan dapat dilalui dengan kendaraan baik roda dua maupun roda empat.
-
f) Kurangnya kerjasama antara
Pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di sektor pariwisata dan Masyarakat Lokal
Hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah terdapat desa yang berhasil dalam pariwisata tersebut adalah desa-desa yang didampingi bertahun-tahun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Seperti di desa Waturaka Ende di dampingi oleh LSM Swisscontact dimana pendampingan selama 5 tahun menjadikan Waturaka saat ini menjadi desa dengan sektor pariwisata yang cukup berkembang. Sedangkan untuk desa Koanara menurut informan memang belum mendapat pendampingan baik dari pemerintah maupun LSM. Sehingga pengembangan sektor pariwisata di desa Koanara merupakan murni inisiatif dari masyarakat lokal sendiri karena adanya peluang di sektor pariwisata tersebut dengan melihat semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Danau Kelimutu.
Untuk desa Fatumnasi, juga memang belum ada pendampingan secara langsung terkait pariwisata oleh LSM/NGO tetapi terdapat beberapa pihak swasta yang telah membantu pembangunan MCK di homestay Lopo Mutis milik Bapak Mateos Anin. Sedangkan untuk pendampingan dari
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
pemerintah menurut informan telah dilakukan beberapa pendampingan berupa pelatihan-pelatihan terkait sektor pariwisata seperti pelatihan pewarnaan benang, pengolahan pangan lokal,dll. Hal ini sejalan dengan pendapat Yaman & Mohd (2004) yang menggarisbawahi kunci pengaturan
pembangunan pariwisata dengan pendekatan CBT yaitu adanya dukungan pemerintah serta dalam mewujudkan CBT membutuhkan dukungan struktur yang multi institusional agar sukses dan berkelanjutan. Sedangkan untuk beberapa destinasi lainnya seperti di Praimadita, Wolwal, dan Daiama memang belum ada pendampingan dari LSM di sektor pariwisata dan pendampingan oleh LSM/NGO lebih banyak dilakukan pada sektor pertanian dan peternakan.
Kegiatan yang dilakukan oleh LSM/NGO yang terkait pariwisata memiliki fokus pada pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan disertai dengan dukungan programprogram kegiatan dari perangkat daerah terkait untuk menciptakan kemajuan di sektor pariwisata. Demikianlah, pendampingan yang intensif adalah kunci keberhasilan
pengembangan sumber daya manusia masyarakat lokal. Kapasitas sumber daya manusia yang telah berkembang, berbagai kegiatan dalam kepariwisataan dapat berjalan dengan baik.
-
3) Tingkat partisipasi dan program yang perlu dilaksanakan demi mewujudkan pengembangan di sektor pariwisata: Perspektif ladder of participation
-
a) Tingkat Partisipasi Masyarakat
menurut Konsep ladder of
participation
Konsep ladder of participation yang dikemukakan oleh Arnstein (1969) akan digunakan untuk melihat sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat di tempat-tempat yang menjadi lokasi penelitian. Anak tangga terbawah (manipulation dan therapy) digolongkan sebagai kelas non-participation. Di level ini, masyarakat tidak diberi ruang untuk berpartisipasi aktif selain hanya diminta untuk menerima informasi yang diberikan. Di keenam lokasi penelitian tidak ditemukan situasi ini di mana masyarakat selalu diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi misalnya melalui mekanisme
musrembang atau melalui berbagai kegiatan lainnya.
Pada kelas yang lebih tinggi adalah tokenism, pada kelas ini, masyarakat marginal memang diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya tapi mereka tidak diberikan kekuatan untuk memastikan bahwa apa yang disuarakan lantas ditindaklanjuti sehingga keterlibatanya tetap tidak memberikan jaminan bahwa keadaan akan berubah sebagaimana yang diaspirasikan. Puncak teratas dari tangga partisipasi ini adalah kelas citizen power, ini adalah kelas yang tidak sekedar memberikan ruang untuk bersuara bagi masyarakat marginal, tetapi sekaligus juga kekuatan untuk mengambil keputusan.
Di keenam lokasi penelitian, tingkat partisipasi belum mencapai tahap citizenz power. Masyarakat memang diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi terkait progam-program pembangunan yang diharapkan, kendati demikian mereka belum memiliki power yang kuat untuk dapat melaksanakan segala kegiatan kepariwisataan secara mandiri. Dengan demikian, berdasarkan konsep ladder of participation, tingkat partisipasi masyarakat di sektor pariwisata di ke enam lokasi penelitian masih berada pada tangga kedua yakni tokenism.
-
b) Reverse the direction sebagai solusi
Yang dimaksud dengan konsep reverse the direction menurut Jones (1999) yaitu membalikan arah, yang semula top down, dibalikkan menjadi bottom up. Apa yang semula terakhir, dibalikkan menjadi yang pertama dan apa yang semula dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, menjadi dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Reverse the direction berarti melibatkan masyarakat secara aktif, secara langsung, dalam proses-proses pembangunan, mulai dari perencanaannya hingga pelaksanaan dan evaluasinya. Sebagai contoh, pola-pola pelatihan atau pendampingan masyarakat lokal yang selama ini dilaksanakan tidak secara holistik, integratif, tematik dan berkelanjutan harus dirubah. Kegiatan-kegiatan tersebut harus dikordinasikan secara baik antara setiap perangkat daerah, mengarahkannya pada tujuan akhir yang
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
sama yakni pariwisata. Dalam pendekatan partisipatif, masyarakat dibukakan ruang untuk berperan serta dalam proses pembangunan, tetapi tidak dalam arti “dilepaskan” begitu saja, melainkan ada proses-proses untuk mengorganisir,
mendampingi, menguatkan, dan
memberdayakan.
-
c) Pendekatan partisipatif terbaik adalah yang dilaksanakan pada kelompok kecil
Pendekatan partisipatif lebih banyak bermain di ranah pembangunan pada skala mikro (RT, RW, dusun, dan desa). Dalam usaha untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal di sektor pariwisata, pendekatan yang digunakan haruslah pendekatan kelompok. Peran pokdarwis, kelompok sanggar seni/ tenun, lembaga pariwisata desa menjadi sangat penting. Kendati demikian, dalam penelitian ini ditemukan bahwa sangat sedikit pokdarwis atau kelompok sanggar seni/ tenun yang telah sukses menjalankan misinya bahkan menjadi penggerak pariwisata di desanya. Hal ini dapat dimengerti karena hampir semua kelompok tersebut adalah kelompok yang baru dibentuk. Oleh karena itu pelatihan dan pendampingan yang intensif terhadap kelompok-kelompok ini harus menjadi program prioritas semua stakeholder terkait.
Berdasarkan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bentuk partisipasi masyarakat lokal di keenam lokasi tersebut terdiri dari partisipasi dalam aktivitas yang terkait langsung dengan kegiatan pariwisata dan partisipasi dalam aktivitas yang tidak terkait langsung dengan kegiatan pariwisata. Sedangkan, dari segi tingkat partisipasi, berdasarkan konsep ladder of participation, tingkat partisipasi masyarakat lokal di keenam lokasi penelitian ini berada pada tangga kedua yakni tokenism di mana masyarakat lokal diberi kesempatan, diajak untuk berpartisipasi di sektor pariwisata tetapi di sisi lain mereka tidak dibekali dengan kemampuan yang memadai baik berupa pengetahuan dan keterampilan maupun sarana infrastruktur yang memadai.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka tim peneliti menyarankan beberapa hal antara lain :
-
1. Bagi Pemerintah
-
• Peningkatan kerjasama dengan lembaga lain seperti LSM yang bergerak di bidang pariwisata dan pengembangan kualitas sumber daya manusia untuk
mendampingi masyarakat secara intensif dan berkelanjutan.
-
• Pemerintah daerah perlu menyiapkan tenaga pendamping pariwisata desa yang profesional (fasilitator) di lokasi-lokasi dalam kawasan pariwisata yang menjadi prioritas pengembangan.
-
• Untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, pemerintah daerah perlu
melibatkan masyarakat secara lebih aktif dan memberi keleluasaan kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengembangan sektor pariwisata pada jenis wisata alam dan budaya.
-
2. Bagi Masyarakat
-
• Masyarakat dituntut responsif, kreatif dan mandiri dalam mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk mendukung pengembangan pariwisata.
-
• Pelopor pariwisata dapat difasilitasi
melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan sejenisnya di tingkat desa.
-
• Kesadaran wisata masyarakat adalah
kunci keberhasilan pembangunan
pariwisata secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
Arnstein SR. (1969). A Ladder of Citizen Participation. JAIP.
Vol (35).No.4,
Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, 2018. Jumlah Daya Tarik Wisata Menurut Tema Wisata dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Garrod, Brian. (2001). Local Participation in the Planning and Management of Ecotourism: A Revised Model Approach Bristol. England: University of the West of England.
Hadiwijoyo, Surya Sakti. (2012). Perencanaan Pariwisata Perdesaan Berbasis Masyarakat (Sebuah Pendekatan Konsep). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Laiskodat, V. (2019, 10 Januari) di akses dari
https://www.beritasatu.com/nasional/532074/sektor -pariwisata-bisa-angkat-masyarakat-ntt-dari-kubangan-kemiskinan
Jones BD. (1999). Bounded Rationality. Annu. Rev. Pollit. Sci. Vol (2),
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
Mansperger MC. (1995). Tourism and Cultural Change in Small-Scale Societies. Human Organization (77/2), 87-94. Diunduh pada tanggal 15 Agustus 2018, dari sfaajournals.net.
Moleong, Lexy J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Eosda Karya.
Murphy, Peter E. (1985). Tourism: A Community Approach. London: Mathuen Publishing.
Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 85 Tahun 2019 Tentang Pedoman Percepatan Pelaksanaan Pengembangan Pariwisata Estate di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2019-2023. 28 Oktober 2019. Kupang.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018-2023.
Rosenberg H. 1988. A Negotiated World. Toronto: Univ. Toronto Press.
Sastropoetro, S. (1988) “Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin Pembangunan Nasional”. Bandung.
Smith V, ed. (1989). Hosts and Guests: The Anthropology of Tourism. Philadelphia: Univ.Penn. Press.
Stronza, Amanda. (2001). Anthropology Of Tourism: Forging New Ground For Ecotourism And Other Alternatives. Annu. Rev. Anthropol (30), 261-283.
Suansri, Potjana. (2003). Communityy Based Tourism Handbook. Thailand: REST Project
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Timothy, DJ. (1999). Participatory Planning: a view of Tourism in Indonesia. Annals of Tourism Research 26, 371-391.
Yaman, Amat, Ramsa & Abdullah, Mohd. (2004). Community Based Ecotourism: A New Proposition for Sustainable Development and Environmental Conservation in Malaysia. Jurnal of Applied Sciences, Vol.4, 583-589
32
Discussion and feedback