Pendekatan Daya Tarik Destinasi Dalam Pengelolaan Desa
on
Jurnal Destinasi Pariwisata p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937
Vol. 11 No 1, 2023
Pendekatan Daya Tarik Destinasi Dalam Pengelolaan Desa: Studi Di Desa Hila, Maluku Tengah
Ilham Junaid1 a, 1, Gavrilla Kezia Ang a,2
aPoliteknik Pariwisata Makassar, Jl. Gunung Rinjani, Metro Tanjung Bunga, Makassar-Sulawesi Selatan, Indonesia
Abstract
There is limited literature that examines villages in the perspective of destination attractiveness. The purpose of this research is to 1) describe the tourism potential of the village; 2) analyse the role of stakeholders in promoting the village as a tourism destination; 3) describe the steps or efforts to develop the village as a tourism destination from the perspective of destination attractiveness. A qualitative approach guides the author in analysing the attractiveness of destinations in Hila village. Data collection was carried out through interviews, observation and literature studies in April 2022. The results showed that Hila village has natural and cultural potential to become a destination product. However, local stakeholders tend to only focus on Amsterdam as a rural tourism icon. Local organisation (Pokdarwis) as rural tourism manager faces challenges in carrying out the duties and roles of destination managers, including integrating elements of destination attractiveness. This study outlines the urgency of destination attractiveness in managing it as a tourism destination. This research contributes to strengthening the concept of destination attractiveness as a strategy for managing natural and cultural potential through packaging potential into tourism destination products. Destination attractiveness can be an effective strategy if Pokdarwis, the government and the community become integral to developing rural tourism. This research fills in the tourism literature on analysing tourist villages and implementing practical steps for managing destinations from the perspective of destination attractiveness.
Keyword: Destination attractiveness; Hila village; tourism village; village management; tourism stakeholder
Wilayah perdesaan semakin menjadi magnet bagi wisatawan yang mencari suasana yang berbeda dari tempat asal mereka. Wisata perdesaan mengalami pertumbuhan seiring dengan segmen wisatawan yang mencari suasana alam yang dipadukan dengan kebudayaan masyarakat desa. Perhatian dan kunjungan wisatawan ke perdesaan merupakan indikator adanya kebutuhan akan pemilihan desa sebagai destinasi pariwisata. Pariwisata di suatu Negara tidak hanya mengandalkan wilayah perkotaan sebagai destinasi, tetapi menjadikan desa sebagai peluang untuk menarik kunjungan. Aktifitas di perdesaan oleh masyarakat desa dan alamnya menjadi perhatian wisatawan, mendorong industri pariwisata untuk menjadikan desa sebagai bagian dari agenda perjalanan wisata. Dengan demikian, desa adalah destinasi pariwisata yang patut dikelola untuk kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder) pariwisata.
Pengelolaan desa sebagai destinasi pariwisata dapat mengadopsi berbagai pendekatan, salah satunya daya tarik destinasi (destination attractiveness). Pendekatan ini menekankan pentingnya suatu destinasi dikelola dengan mengedepankan aspek daya tarik. Akademisi telah mengkaji destination attractiveness dari berbagai sudut pandang. Formica dan Uysal (2006) meneliti destination attractiveness dari sudut pandang permintaan dan penawaran (supply dan demand). Hasil penelitian menunjukkan mengusulkan kerangka kerja dalam dalam merencanakan, memasarkan dan mengembangkan strategi pengembangan destinasi dari supply dan demand. Medina-Munoz dan Medina-Munoz (2014) menggunakan pendekatan kemanfaatan-kemampuan dan kepuasan (importance-performance-satisfaction) dalam menganalisis destinasi pariwisata. Destination attractiveness adalah
salah satu cara untuk menunjang dan menganalisis destinasi agar menjadi tujuan utama wisatawan melakukan perjalanan wisata (Lee, 2020; Puška et al., 2020; Yacob et al., 2019).
Sistem pariwisata mencakup perjalanan wisatawan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan perjalanan ke destinasi pariwisata hingga kembali ke daerah asalnya. Destinasi pariwisata menawarkan beragam produk yang dinikmati oleh wisatawan selama melakukan perjalanan wisata. Ragam produk tersebut selanjutnya akan menghasilkan pengalaman berwisata, yang selanjutnya menjadi bagian penting dari produk pariwisata. Dengan kata lain, pengalaman merupakan produk yang ditawarkan oleh destinasi pariwisata kepada wisatawan (Fletcher et al., 2018). Keputusan wisatawan dalam menentukan destinasi yang menjadi tujuan kunjungan tidak terlepas dari beragam produk yang disediakan, termasuk ketersediaan informasi yang diterima oleh wisatawan. Dalam sistem pariwisata, wisatawan akan mencari informasi mengenai destinasi, melakukan kunjungan dan memberikan penilaian terhadap pengalaman berwisata. Karena itu, destinasi pariwisata merupakan inti dari terwujudnya kegiatan pariwisata.
Terdapat tiga tipe atau klasifikasi destinasi pariwisata (Fletcher et al., 2018). Tipe pertama adalah destinasi pesisir (coastal destinations), suatu wilayah yang memiliki wilayah pesisir dengan karakteristik bahari. Destinasi pesisir menawarkan pengalaman wisata bahari (marine tourism) dan wisata pantai (beach or coastal tourism). Pemanfaatan wilayah pesisir atau maritim sebagai sumber daya pariwisata menjadikan suatu daerah menjadi tujuan berwisata. Destinasi pesisir tidak hanya menjadi pilihan wisatawan mancanegara, tetapi juga menjadi pilihan penduduk di suatu wilayah. Ciri khas yang dimiliki oleh destinasi pesisir adalah peluang wisatawan untuk menikmati suasana pesisir/pantai, laut ataupun beragam aktifitas yang memanfaatkan wilayah maritim.
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023
Tipe kedua dari destinasi adalah destinasi perkotaan (urban destinations). Seiring dengan perkembangan teknologi, kemudahan melakukan perjalanan dan akses informasi yang semakin mudah menjadikan wilayah perkotaan dapat dengan mudah diketahui dan menjadi sasaran kunjungan wisatawan. Destinasi perkotaan memiliki sejarah dan budaya yang dapat mendorong kunjungan wisatawan. Destinasi perkotaan juga menggambarkan kondisi perkotaan yang menjadi magnet bagi wisatawan yang mencari pengalaman wisata perkotaan (Kurniansah & Hali, 2018). Ragam aktifitas dan fasilitas yang mendukung kunjungan wisatawan menjadikan destinasi perkotaan menjadi favorit untuk berwisata. Tipe ketiga adalah destinasi perdesaan (rural destination) dengan karakteristik kehidupan masyarakat desa dan lansekap alam dan budaya masyarakatnya (Junaid et al., 2022).
Lingkungan alam, misalnya, persawahan, pegunungan, perbukitan, danau, sungai dapat menjadi penarik bagi wisatawan yang ingin mencari pengalaman perdesaan. Aktifitas perkotaan yang dirasakan oleh calon wisatawan menjadikan perdesaan menjadi tujuan kunjungan untuk melepaskan rutinitas pekerjaan di kota. Wisatawan juga mencari lingkungan alam yang asri, indah dan kehidupan masyarakat perdesaan. Terdapat ragam aktifitas yang mungkin dapat menjadi bagian dari perjalanan wisatawan ketika mengunjungi perdesaan, namun belum pernah dirasakan oleh wisatawan yang tinggal di kota.
Desa merupakan destinasi yang patut menjadi bagian dari pengembangan pariwisata suatu Negara, provinsi atau kabupaten. Eksistensi desa terbukti telah mampu mendorong pembangunan pariwisata suatu daerah. Desa sebagai destinasi pariwisata dapat dilihat dari perspektif penawaran dan permintaan (supply and demand). Pada sisi supply, desa memiliki ragam produk yang dapat dikembangkan menjadi paket wisata. Produk variatif baik alam dan budaya juga menjadi penawaran desa sehingga dapat memenuhi ekspektasi wisatawan ketika berwisata. Pada sisi demand, wisatawan memiliki beragam harapan yang dapat terpenuhi ketika melakukan kunjungan ke desa. Perbedaan motivasi wisatawan dalam memilih desa sebagai destinasi dapat terwujud dengan ragam produk desa (supply side). Kebudayaan autentik, misalnya, masyarakat perdesaan memiliki khas budaya dimana wisatawan dapat melihat langsung karakteristik budaya lokal tersebut jika berkunjung ke desa . Dengan demikian, desa memiliki produk yang perlu dikelola dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku pariwisata.
Destinasi pariwisata mencakup beragam unsur atau aspek, mulai dari kelembagaan, topografi, iklim atau cuaca, kebudayaan, daya tarik wisata, pemerintahan, pengelolaan, sumber daya manusia, ekonomi, lingkungan dan infrastruktur (Cartier & Lew, 2005). Mengingat banyaknya dan ragam aspek yang menjadi cakupan destinasi, maka suatu destinasi seharusnya mampu menawarkan pengalaman bagi wisatawan atau pengunjung. Kualitas pengalaman wisatawan diperoleh dari berbagai aspek, misalnya, keramahtamahan penduduk local, interaksi yang terjadi antara masyarakat dan wisatawan dan lingkungan dimana wisatawan berwisata. Destinasi yang menawarkan pengalaman kepada wisatawan akan melibatkan banyak stakeholder dan pelaku usaha, misalnya, usaha akomodasi, usaha makanan dan minuman, organisasi pariwisata dan industri pariwisata yang terkait. Karena itu, produk
pariwisata akan dijalankan secara bersama oleh berbagai kelompok usaha dan stakeholder pariwisata.
Cho (2000) mengemukakan lima elemen yang mempengaruhi daya tarik suatu destinasi menjadi daerah tujuan wisata, yakni, daya tarik wisata, amenitas, aksesibilitas, image dan harga. Lima elemen merupakan daya tarik destinasi yang dapat mempengaruhi keputusan wisatawan untuk berkunjung ke destinasi (Rodrigues, 2008). Daya tarik destinasi (destination attractiveness) merupakan istilah yang digunakan untuk menggabungkan lima elemen tersebut . Pemilihan destinasi oleh wisatawan merupakan gabungan atau kombinasi berbagai elemen sehingga kegiatan pariwisata dapat terwujud. Organisasi pariwisata dunia atau UNWTO (2007) menekankan enam elemen mendasar dari suatu destinasi, yakni, daya tarik wisata, amenitas publik dan swasta, aksesibilitas, sumber daya manusia, image dan karakter dan harga. Menurut Cho (2000), elemen dasar tersebut merupakan daya tarik destinasi yang patut menjadi perhatian para stakeholder pariwisata. Destinasi dapat memenangkan persaingan destinasi, namun perlu upaya pengelolaan destinasi dengan pendekatan daya tarik destinasi. Penelitian ini mengadopsi lima elemen destinasi yang dijelaskan sebagai berikut:
Daya tarik wisata aalah bagian penting dari eksistensi industri pariwisata dalam pengelolaan destinasi pariwisata. Daya tarik wisata adalah salah satu alasan wisatawan melakukan kunjungan ke destinasi. Kegiatan wisatawan tidak terlepas dari adanya daya tarik wisata yang dinikmati oleh wisatawan. Motivasi melakukan perjalanan dapat dipengaruhi oleh ketersediaan daya tarik wisata sebagai motivasi utama. Manifestasi daya tarik wisata dapat berupa benda atau objek, manusia atau tempat atau lokasi (Goeldner & Ritchie, 2009). Jadi, daya tarik wisata merupakan alasan utama dalam menarik kunjungan wisatawan ke destinasi pariwisata.
Amenitas sering disandingkan atau disamakan dengan fasilitas yang menunjang terwujudnya kegiatan pariwisata. Berbagai bentuk atau jenis amenitas dan fasilitas dalam konteks pengelolaan destinasi, misalnya, infrastruktur dasar, transportasi umum. Dalam konteks pengelolaan daya tarik wisata, amenitas dapat berupa ketersediaan fasilitas untuk berwisata, seperti toilet, pusat informasi pariwisata dan jenis pelayanan lain yang mendukung pengalaman kunjungan wisatawan.
Wisatawan membutuhkan aksesibilitas yang baik untuk mencapai destinasi tujuan. Aksesibilitas tidak hanya dimanfaatkan oleh wisatawan, tetapi juga oleh masyarakat atau penduduk lokal di destinasi pariwisata. Aksesisibilitas yang baik merupakan persyaratan agar wisatawan dapat sampai ke daerah tujuan wisata. Berbagai bentuk atau jenis moda transportasi yang dimanfaatkan oleh wisatawan seharusnya didukung dengan aksesibilitas yang baik, misalnya, perjalanan kereta, mobil pribadi atau umum, kendaraan laut. Infrastruktur pariwisata yang baik menjadi bagian penting dalam upaya mengembangkan pariwisata di suatu destinasi (Khadaroo & Seetanah, 2007). Akses untuk masuk ke destinasi tidak hanya dilihat dari jalanan fisik yang dilalui oleh wisatawan, tetapi juga kemudahan
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023
administrasi yang memungkinkan wisatawan dapat masuk ke destinasi.
-
4. Image
Image merupakan salah satu indikator untuk menarik wisatawan ke destinasi pariwisata. Daya tarik wisata dan fasilitas yang dimiliki destinasi pariwisata perlu ditunjang dengan image atau karakter yang melekat pada suatu destinasi. Image dibentuk oleh berbagai faktor, misalnya, keunikan yang dimiliki suatu destinasi. Image juga berkaitan dengan karakteristik yang bernilai positif tentang suatu destinasi sehingga menjadi pembeda dengan destinasi pariwisata lainnya. Branding yang dimiliki suatu destinasi juga membentuk image dari destinasi sehingga wisatawan akan memutuskan untuk berkunjung ke destinasi (Hankinson, 2005; Michandani & Arida, 2019). Image merupakan gambaran yang melekat pada suatu destinasi sehingga menjadi penarik bagi wisatawan.
Harga berkaitan dengan biaya yang akan dikeluarkan oleh wisatawan selama melakukan perjalanan wisata. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan akan sangat tergantung pada pemilihan jenis produk wisata yang akan dinikmati. Jenis akomodasi, pelayanan, daya tarik wisata, makanan dan minuman akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan di destinasi pariwisata. Keputusan wisatawan untuk berkunjung tidak terlepas dari harga atau biaya yang akan dikeluarkan untuk berwisata. Daya tarik destinasi juga dipandang dari biaya-biaya yang dapat dikeluarkan oleh wisatawan.
Destinasi pariwisata dikelola oleh berbagai kelompok stakeholder pariwisata. Stakeholder pariwisata merupakan sumber daya manusia yang mengelola pariwisata, mencakup industri pariwisata, pemerintah, masyarakat dan wisatawan. Pemberian layanan kepada wisatawan dijalankan oleh industri pariwisata dan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama pariwisata. Pemerintah merencanakan dan mengatur kebijakan yang akan diambil yang berkaitan dengan pengembangan destinasi pariwisata.
Penelitian tentang destination attractiveness masih membutuhkan eksplanasi. Seiring dengan meningkatnya kualitas aksesibilitas menuju perdesaan, desa akan menjadi tujuan wisata bagi wisatawan. Namun, daya tarik desa sebagai destinasi perlu dikaji dan menjadi bahan rujukan dalam menganalisis desa sebagai destinasi pariwisata. Terdapat keterbatasan literatur yang mengkaji desa dalam perspektif destination attractiveness. Studi tentang desa sebagai destinasi masih memerlukan penjelasan khususnya desa di kawasan timur Indonesia. Penelitian ini dapat mengisi literatur tentang pengelolaan desa sebagai destinasi melalui pendekatan destination attractiveness.
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) menguraikan potensi wisata Desa Hila; 2) menganalisis peran stakeholder dalam mendorong desa sebagai destinasi pariwisata; 3) menguraikan langkah atau upaya pengembangan desa sebagai destinasi pariwisata dari perspektif daya tarik destinasi. Penelitian ini mengadopsi konsep destination attractiveness dalam pengelolaan desa sebagai destinasi pariwisata. Desa merupakan aset penting suatu kabupaten sehingga eksistensinya diharapkan menjadi bagian integral dalam pengembangan pariwisata daerah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam menganalisis desa Hila sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang mengkaji fenomena khususnya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu sosial atau social sciences (Jennings, 2012; I Junaid, 2016). Penelitian kualitatif telah digunakan sebagai jenis penelitian yang menelaah dan mengkaji pariwisata sebagai fenomena sosial. Bagaimana dan mengapa pariwisata menjadi bagian integral dari fenomena dan pengalaman merupakan urgensi pemanfaatan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data didasarkan pada metode kualitatif, yakni, wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Pelaksanaan penelitian difokuskan di desa atau Negeri Hila dengan pengumpulan data pada tahun 2022. Pelaksanaan penelitian telah mendapatkan izin pelaksanaan penelitian Nomor UM./270/PTP-III/KEMPAR-2022.
Tujuan wawancara adalah untuk mendengarkan dan menganalisis pandangan informan mengenai kondisi aktual Desa Hila sebagai destinasi pariwisata. Penulis melakukan observasi atau pengamatan langsung dan melakukan catatan lapangan sesuai dengan tujuan penelitian. Studi kepustakaan bertujuan untuk menganalisis informasi relavan dari berbagai sumber dan dikategorikan sebagai data sekunder. Data primer pada penelitian ini adalah informasi yang diperoleh melalui wawancara dan observasi.
Penulis melakukan wawancara penelitian kepada sepuluh informan yang terdiri dari pegawai pemerintah di bidang kepariwisataan, anggota masyarakat lokal, anggota kelompok Sadar Wisata dan wisatawan lokal. Penulis mengurus administrasi izin penelitian dari institusi peneliti dan selanjutnya, menyampaikan permohonan izin ke pihak terkait di daerah atau lokasi penelitian. Penulis memastikan informan memahami maksud dan tujuan penelitian. Observasi dilaksanakan seiring dengan kunjungan penulis di Desa Hila, Kabupaten Maluku Tengah. Dalam penentuan informan penelitian, penulis meminta kesediaan para informan dengan menerapkan prinsip purposive sampling sesuai dengan tujuan penelitian.
Data-data dalam penelitian ini dianalisis dengan prinsip analisis data kualitatif. Analisis data dimulai ketika peneliti telah mendapatkan data kualitatif dan merupakan proses yang berkelanjutan dan senantiasa mengacu pada kerangka teoretis penelitian. Terdapat tiga langkah dalam analisis data penelitian ini, yakni, proses reduksi, pengorganisasian dan interpretasi (Fielding & Fielding, 2008). Penulis melakukan reduksi data dengan identifikasi tema-tema dari data atau informasi yang diperoleh dari informan penelitian. Selanjutnya, pengorganisasian data membantu penulis dalam memahami informasi yang relevan sesuai dengan tujuan penelitian. Proses interpretasi adalah pemberian makna (meaning) dari data kualitatif yang diperoleh. Proses interpretasi ini tidak terlepas dari peran penulis dalam memaknai informasi untuk tujuan penarikan kesimpulan penelitian. Secara praktis, penulis mendengarkan informasi dari rekaman wawancara atau catatan lapangan dan menganalisis informasi yang relevan. Penulis memanfaatkan data wawancara melalui kutipan dalam proses penulisan. Ringkasan data-data tematik pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Ringkasan Data Penelitian dari Perspektif Stakeholder Pariwisata
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023
No |
Tema/Topik |
Uraian Data Penelitian |
1 |
Kesadaran masyarakat terhadap pariwisata |
kurang memahami tentang pariwisata (PD) |
2 |
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata |
tempat wisata yang turut terlibat dalam kegiatan wisata (M)
langsung mendapat keuntungan dari pariwisata desa cenderung tidak begitu peduli dengan pariwisata (M) |
3 |
Keberadaan dan keterlibatan Pokdarwis |
beranggotakan 30 orang (AP)
mengikuti kegiatan atau event yang ada di Desa Wisata Negeri Hila (AP)
menjalankan program kerja (AP) |
Sumber: Data diolah penulis, 2023
Tabel 2. Ringkasan Data Penelitian dari Perspektif Destinasi
No |
Tema/Topik |
Uraian Data Penelitian |
1 |
Pemanfaatan potensi wisata di Desa Wisata Negeri Hila |
menjadi daya tarik utama di Desa Wisata Negeri Hila (PD).
yang melibatkan masyarakat masih dalam upaya untuk dapat dikemas lebih baik lagi (PD).
Amsterdam terlalu menonjol dan membuat potensi wisata lainnya tertutupi (M).
|
Sumber: Data diolah penulis, 2023
dapat memaksimalkan potensi wisata lain yang ada untuk menyeimbangi daya tarik Benteng Amsterdam. | ||
2 |
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Desa Wisata Negeri Hila |
menerima wisatawan dan turut terlibat dalam kegiatan pariwisata. |
3 |
Kekurangan fasilitas di Desa Wisata Negeri Hila |
tempat wisatawan menginap.
menginap dirumah warga dan tidak membayar biaya inap (W).
keterbatasan tempat (W).
umum yang dapat digunakan oleh wisatawan di wilayah Desa Wisata Negeri Hila.
menggunakan toilet dirumah warga (W).
|
Desa Hila atau Negeri Hila berada di kecamatan Leihitu, kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia. Lokasi Desa Hila terletak di bagian utara Pulau Ambon, sekitar 37 Km dari kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku.
Wilayah geografis Desa Hila adalah pesisir dan lautan yang menjadi topografi desa dengan kategori dataran rendah dan sedikit perbukitan. Terdapat tiga dusun yang masuk dalam wilayah desa Hila, yakni, Dusun Tahoku, Dusun Waitomu, dan Dusun Mamua. Kepala keluarga yang mendiami Desa Hila sebanyak 1.425 dengan jumlah penduduk sebanyak 6.850 jiwa pada tahun 2021. Penduduk Desa Hila memanfaatkan wilayah daratan dan lautan untuk mencari
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023
nafkah. Penduduk bekerja di sektor pertanian dan perkebunan yang hasilnya dijual untuk kelangsungan hidup mereka. Penduduk yang tinggal di Desa Hila memiliki hubungan kekerabatan dengan yang lainnya. Dengan demikian, penduduk Desa Hila memiliki garis keturunan dengan lainnya.
Pengunjung dapat mengakses desa Hila dengan melakukan perjalanan darat sekitar 60 menit dari bandar udara Pattimora, kota Ambon. Aksesibilitas dari bandar udara menuju desa Hila dalam kategori sudah baik, pengunjung dapat melihat pemandangan pesisir pantai di sepanjang perjalanan. Pengunjung juga dapat melihat aktifitas masyarakat lokal yang berdagang untuk perekonomian mereka. Negeri Hila memiliki perbedaan dalam hal pemerintahan desa lainnya di Indonesia. Masyarakat memilih seorang pemimpin negeri yang menjadi raja di negeri tersebut melalui proses pemilihan oleh masyarakat. Meskipun demikian, Negeri Hila tidak memiliki raja karena faktor adat istiadat. Masyarakat memilih pemimpin sekaligus sebagai pejabat yang memiliki kedudukan administratif di kantor negeri.
Pemimpin di negeri Hila membawahi kepala seksi dan kepala urusan yang membantu pemimpin dalam penanganan administrasi dan kelembagaan daerah (desa). Selanjutnya, terdapat kepala adat (Kepala Soa) yang memiliki tugas untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan adat atau tradisi kemasyarakatan. Empat Kepala Soa bekerja dalam urusan adat istiadat, yakni, Kepala Soa Nustapy, Kepala Soa Ollong, Kepala Soa Tomu/Ely dan Kepala Soa Upu Telu. Tradisi masyarakat di Negeri Hila masih bertahan hingga saat ini dengan peran Kepala Soa dan beberapa Anak Soa. Masyarakat menjaga keutuhan tradisi dengan prinsip menghargai dan menghormati pemimpin dan anggota masyarakat lainnya.
Gambar 1. Desa Hila di Maluku Tengah
Sumber: Foto oleh Penulis, 2022
Desa Hila memiliki potensi wisata, beberapa dari potensi tersebut telah menjadi produk pariwisata yang menjadi sasaran kunjungan wisatawan. Potensi wisata alam dan budaya merupakan peluang untuk menarik kunjungan wisata ke desa Hila. Wilayah geografis desa Hila yang memiliki wilayah pesisir merupakan potensi alam untuk menjadi destinasi berbasis bahari. Wilayah pesisir tersebut adalah pemandangan yang menarik dengan nuansa
perdesaan dengan kekhasan alam pesisir.
Gambar 2. Wilayah pesisir di desa Hila, Maluku Tengah
Sumber: Foto oleh penulis, 2022
Pantai pasir putih merupakan ciri khas alam dan daya tarik yang dapat menunjang pengembangan pariwisata desa Hila. Wisatawan yang berkunjung ke desa Hila dapat menjadikan alam pesisirnya sebagai peluang untuk berwisata. Wisatawan yang masuk ke desa Hila dapat dengan mudah menikmati wilayah pesisir karena kondisi geografis pesisir pantai. Pengunjung yang akan masuk ke pantai di desa Hila tidak perlu mengeluarkan uang sehingga dapat menjadi peluang untuk wisata pantai tanpa berbayar.
Namun demikian, pantai yang menjadi tujuan wisatawan memiliki kelemahan dalam berbagai hal. Keamanan dan penjagaan bagi wisatawan yang menikmati wisata pantai dapat menjadi alasan bagi wisatawan untuk tidak menikmati wisata pantai. Meskipun alam pesisir menawarkan pengalaman wisata pantai, namun keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan perlu menjadi prioritas. Keamanan dan kenyamanan wisatawan akan sangat berkaitan dengan bagaimana mengelola pantai sebagai daya tarik wisata. Pengamatan penulis menunjukkan lemahnya pengelolaan menjadi bagian dari kurangnya keamanan dalam pengelolaan pantai sebagai produk wisata. Stakeholder pariwisata perlu mempertimbangkan pengelolaan pantai untuk mengoptimalkan keamanan dan kenyaman wisatawan dan peran masyarakat sebagai pengelola pantai.
Alam bahari desa Hila menjadikan potensi terumbu karang dan biota laut menjadi produk wisata bahari. Terdapat wisatawan yang berkunjung ke desa Hila untuk melakukan aktifitas diving dan snorkeling. Ragam biota laut adalah nilai jual utama dari wisata bahari di desa Hila. Keindahan alam bawah laut tidak terlepas dari upaya bersama masyarakat desa Hila untuk melestarikan alam sehingga snorkeling dan diving dapat menjadi primadona wisata bahari.
Negeri Hila memiliki air terjun yang dapat menjadi alternatif berwisata di perdesaan. Air terjun Waitomo, air terjun Manahuana dan air terjun Mamua adalah potensi alam yang dapat menjadi bagian dalam penyusunan paket wisata di desa Hila. Penyusunan paket wisata melalui proses identifikasi potensi dan peluang desa, penyusunan paket wisata dan pemasaran produk wisata agar dapat bernilai jual. Akses menuju air terjun membutuhkan waktu yang tidak sedikit sehingga wisatawan sebaiknya memiliki fisik yang baik dan mampu melakukan perjalanan menuju air terjun. Pengunjung dapat memanfaatkan pemandu lokal (local guide) untuk melakukan eksplorasi air terjun. Wisata petualang (adventure tourism) dapat menjadi alternative dan air terjun tersebut merupakan ikon utama dari wisata tersebut. Wilayah desa Hila memiliki kawasan perkebunan pala, potensi alam untuk kegiatan wisata adventure dan wisata edukasi. Aktifitas masyarakat di perkebunan dapat menjadi penarik bagi wisatawan yang ingin mencari suasana kehiduoan masyarakat tradisional. Batu Mir, sebuah tebing batu yang berada di atas aliran air adalah potensi untuk jenis wisata adventure.
Desa Hila identik dengan potensi budaya dan sejarah yang menjadi tujuan wisata perdesaan. Leka-leka Wae (atau ngabuburit) adalah contoh kegiatan budaya Islam di bulan Ramadhan dengan melibatkan anak-anak berusia 2-11
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023
tahun. Perpaduan antara budaya Islam dan kehidupan sosial budaya di desa Hila ditunjukkan pada aktifitas Leka-leka Wae, satu kegiatan berkumpul dengan beragam aktifitas bermanfaat. Tarian bambu gila juga merupakan budaya lokal yang masih dipertahankan oleh penduduk desa. Tarian bambu gila dapat menjadi atraksi wisata dan menjadi bagian dari pengelolaan produk paket wisata di desa Hila. Tarian tersebut umumnya dilaksanakan ketika terdapat upacara adat, acara besar dan penyambutan tamu.
Rumah Pusaka di desa Hila juga dapat menjadi produk wisata perdesaan. Terdapat artifak budaya (tangible heritage) yang disimpan di dalam Rumah Pusaka. Pelestarian warisan budaya berwujud benda dapat ditemui di Rumah Pusaka tersebut. Al-Qur’an tertua di Negeri Hila merupakan salah satu peninggalan budaya yang disimpan di Rumah Pusaka. Terdapat peninggalan Belanda, pakaian, perhiasan dan perabotan antik masa lampau yang disimpan di Rumah Pusaka. Rumah Pusaka dapat menjadi museum dan menjadi produk budaya penting bagi pengembangan pariwisata desa Hila.
Kegiatan di bulan Ramadhan merupakan rutinitas tahunan yang dapat menjadi produk pariwisata budaya di desa Hila. Kegiatan Pesona Ramadhan melibatkan penduduk lokal desa Hila dengan ragam aktifitas keagamaan. Kuliner Ramadhan menjadi ciri khas masyarakat local yang dapat menjadi budaya lokal untuk menjadi bagian dari wisata budaya. Tradisi hadrat, berupa kegiatan mengarak obor di bulan Ramadhan melibatkan banyak kalangan muda, bagian dari aktifitas menyemarakkan bulan Ramadhan. Aktifitas budaya di bulan Ramadhan berpotensi untuk menjadi produk wisata melalui pengemasan paket budaya namun tidak meninggalkan keaslian budaya daerah. Paket wisata yang dikemas di desa melalui ragam jenis wisata dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal. Penyediaan lapangan kerja bagi penduduk lokal yang terlibat dalam kegiatan pariwisata merupakan dampak positif dari wisata perdesaan.
Stakeholder di destinasi pariwisata memiliki andil dalam pengelolaan desa sebagai destinasi pariwisata. Stakeholder di desa Hila dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni, kelompok sadar wisata (Pokdarwis), pemerintah daerah dan masyarakat atau penduduk lokal yang mendiami desa. Anggota Pokdarwis terdiri dari 30 orang yang keanggotaannya berasal dari penduduk desa. Pemerintah desa Hila adalah stakeholder yang merencanakan dan mengatur kebijakan desa yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pariwisata. Eksistensi Pokdarwis juga menjadi penunjang terwujudnya desa Hila sebagai desa wisata. Masyarakat desa Hila merupakan stakeholder yang dapat menjadi pelaku sekaligus pengelola usaha pariwisata.
Pokdarwis di desa Hila masih membutuhkan dorongan, motivasi dan pendampingan dalam mengelola potensi desa. Anggota masyarakat juga belum sepenuhnya mendukung keberadaan Pokdarwis sebagai organisasi local kepariwisataan. Lemahnya kesadaran masyarakat mengenai pariwisata menjadi tantangan bagi pengelolaan desa Hila sebagai destinasi. Terdapat anggota masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan Pokdarwis. Bagi masyarakat, perlu aksi nyata yang dijalankan oleh
Pokdarwis dalam membangun pariwisata perdesaan. Dengan kata lain, peran Pokdarwis belum sepenuhnya dijalankan mengingat kesadaran masyarakat yang perlu sejalan dengan upaya Pokdarwis membangun pariwisata perdesaan. Anggota Pokdarwis telah bekerja untuk mendukung desa Hila sebagai desa wisata, misalnya, partisipasi dalam kegiatan peliputan media nasional mengenai pariwisata desa Hila. Pokdarwis juga berpartisipasi dalam kegiatan event pesona Ramadhan. Peran Pokdarwis telah dijalankan, meskipun dukungan dari stakeholder sangat dibutuhkan.
Negeri atau desa Hila telah menjadi desa wisata. Namun demikian, masyarakat. Wawancara dengan anggota masyarakat (pelaku usaha/Ibu UTI) menunjukkan bahwa, masyarakat di negeri hila kurang peka terhadap status desa yang telah menjadi desa wisata. Informasi mengenai desa wisata belum sepenuhnya tersampaikan ke masyarakat desa. Masyarakat kurang peka terhadap keberadaan kelembagaan local sebagai pengelola desa wisata. Kondisi ini merupakan tantangan pengembangan pariwisata perdesaan, dibutuhkan peran anggota Pokdarwis bersama masyarakat dalam membangun desa wisata. Meskipun masyarakat mengetahui dan menyadari bahwa terdapat wisatawan yang berkunjung ke desa Hila, kesadaran akan kondisi tersebut belum sepenuhnya tercapai. Karena itu, kunjungan wisatawan adalah peluang bagi pengembangan wisata perdesaan, namun perlu didukung dengan peran Pokdarwis dan penduduk lokal di desa.
Pokdarwis merupakan stakeholder penting untuk mengelola desa sebagai destinasi. Pemerintah desa menyelenggarakan berbagai kegiatan atau event dan telah melibatkan Pokdarwis. Namun demikian, peran Pokdarwis sebagai penyelenggara utama event belum terwujud. Persoalan dana atau biaya kegiatan yang dapat dikelola oleh Pokdarwis adalah tantangan bagi anggota Pokdarwis. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan kepariwisataan masih dikelola oleh pemerintah daerah. Anggota Pokdarwis mendukung dan membantu pemerintah dalam menjalankan program-program pemerintah. Idealnya, Pokdarwis sebagai pengelola destinasi adalah pelaku utama dalam perencanaan dan pelaksanakan kegiatan pariwisata. Namun, dana-dana dikelola oleh pemerintah desa. Karena itu, perlu ada mekanisme yang mengatur peran Pokdarwis sebagai pelaku destinasi sehingga mereka menjadi repesentasi masyarakat dan pemerintah dan menjalankan prinsip pariwisata berbasis masyarakat.
Anggota Pokdarwis mengharapkan adanya bantuan dana agar mereka dapat mengelola potensi alam dan budaya untuk kepentingan pariwisata yang berkelanjutan. Pokdarwis mengharapkan pemerintah mengalokasikan dana Pokdarwis. Namun demikian, harapan tersebut belum dapat dipenuhi karena keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah desa. Pokdarwis menyadari pentingnya melaksanakan program kerja dalam membangun wisata perdesaan, misalnya, perbaikan dan penyediaan fasilitas dan sarana yang mendukung kegiatan pariwisata, penyediaan papan informasi pariwisata atau petunjuk arah dan program-program relevan untuk pariwisata desa Hila. Pokdarwis sebagai stakeholder pariwisata berperan penting dalam membangun desa sebagai destinasi, namun perlu didukung oleh kelompok stakeholder lainnya. Pokdarwis memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia stakeholder pariwisata.
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023
Daya tarik wisata adalah unsur utama dalam menarik kunjungan ke destinasi pariwisata. Daya tarik wisata di desa Hila terdiri atas alam dan budaya. Penulis telah mengidentifikasi potensi alam dan budaya yang dapat menjadi daya tarik wisata. Pengelola desa khususnya Pokdarwis belum dapat mengoptimalkan penyebaran informasi potensi alam dan budaya karena dampak Covid-19. Pasca pandemik adalah awal dimana stakeholder pariwisata sudah mulai bangkit membangun pariwisata perdesaan. Daya tarik destinasi juga mulai dirintis seiring dengan kesempatan bagi pengelola untuk menjalankan kegiatan wisata. Karena itu, desa Hila sudah mulai bangkit sebagai destinasi seiring dengan optimalisasi unsur-unsur daya tarik destinasi.
Kebudayaan masyarakat desa Hila adalah daya tarik wisata potensial untuk menjadi produk wisata. Paket wisata dapat dikemas dengan mengintegrasikan daya tarik wisata budaya dan alam dengan peran Pokdarwis dan dukungan masyarakat serta pemerintah. Benteng Amsterdam adalah contoh produk wisata budaya yang potensial dimasukkan ke dalam pengemasan paket wisata. Benteng Rotterdam di desa Hila adalah salah satu tujuan kunjungan wisatawan. Benteng cenderung menjadi satu-satunya ikon wisata, potensi lain belum dikemas sebagai produk wisata unggulan. Pengemasan potensi wisata menjadi produk dan paket wisata perlu memperhatikan partisipasi masyarakat sebagai pengelola. Pendekatan pariwisata berbasis masyarakat adalah wujud dari pemanfaatan budaya dan alam untuk kepentingan penduduk lokal dan keberlanjutan suatu destinasi (Junaid et al., 2019). Memadukan ragam potensi alam, budaya dan buatan menjadi produk wisata dapat mendorong meningkatnya kualitas kunjungan wisatawan.
Masuknya wisatawan ke desa Hila adalah peluang untuk pengelolaan potensi desa melalui pariwisata. Pemenuhan kebutuhan wisatawan yang berkaitan dengan amenitas adalah langkah utama dalam menciptakan pengalaman yang berkualitas bagi wisatawan. Fasilitas akomodasi adalah peluang untuk mewujudkan pariwisata berbasis masyarakat, masyarakat lokal menyediakan akomodasi berupa homestay. Desa Hila belum memiliki homestay yang dapat dimanfaatkan oleh wisatawan selama di destinasi. Wisatawan yang menghabiskan waktu lebih dari satu hari di desa Hila dapat menggunakan rumah warga untuk menginap. Menginap di rumah penduduk (homestay) dapat memberi kesempatan kepada wisatawan untuk berinteraksi dengan penduduk dan melihat aktifitas tradisional masyarakat.
Penulis melakukan wawancara dengan wisatawan yang berkunjung bersama keluarganya. Wisatawan tersebut memanfaatkan homestay sebagai akomodasi. Wisatawan mengungkapkan bahwa lama mereka menginap di desa Hila (di homestay) sangat tergantung pada ada tidaknya fasilitas yang dimiliki suatu homestay. Wisatawan mengharapkan ketersediaan fasilitas agar mereka merasa nyaman sehingga dapat memperpanjang penggunaan akomodasi homestay.
Staf pemerintah desa (bapak NUD) yang juga masyarakat di desa Hila menyampaikan hal yang sama mengenai lama kunjungan wisatawan. Wisatawan yang masuk ke desa Hila adalah kalangan muda dan datang sendirian, menghabiskan waktu lebih lama di desa Hila. Namun, desa Hila belum mampu menampung wisatawan karena keterbatasan homestay yang dapat menjadi akomodasi wisatawan.
Amenitas pendukung juga bagian penting dalam pengelolaan desa sebagai destinasi. Ketersediaan toilet adalah kebutuhan paling utama untuk menunjang pariwisata perdesaan. Wawancara dengan penduduk lokal mengungkapkan bahwa keterbatasan fasilitas yang baik khususnya toilet belum maksimal sehingga dapat berdampak pada kualitas kunjungan wisatawan. Toilet umum belum tersedia, hal ini menjadi alasan bagi pengelola desa (Pokdarwis) untuk memiliki dana dalam rangka penyediaan amenitas wisata. Informan menyatakan, “ya seharusnya memang bagus kalau ada toilet umum saja disediakan, dibanding harus masuk kerumah warga kan kalau ada toilet yang bisa langsung digunakan lebih praktis dan nyaman lah begitu” (WEL/wisatawan, 27 Maret 2022). Ketersediaan fasilitas di desa wisata dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan wisata di perdesaan. Penduduk lokal membutuhkan penghasilan tambahan, salah satunya melalui akomodasi yang dikelola secara professional. Homestay dengan fasilitas toilet dan fasilitas lainnya dapat memberi manfaat ekonomis bagi penduduk lokal.
Aksesibilitas yang baik merupakan salah satu daya tarik dari suatu destinasi. Aksesibilitas menuju desa Hila dan aksesibilitas antara satu lokasi wisata dan tempat lainnya di desa Hila adalah unsur penting dalam pengelolaan destinasi. Daya tarik wisata alam, misalnya, air terjun perlu ditunjang dengan aksesibilitas yang baik. Wisatawan membutuhkan kejelasan informasi aksesibilitas yang jelas agar mereka dapat memutuskan untuk melakukan kunjungan wisata. Menurut penduduk lokal, air terjun Manahuana memiliki akses yang baik dan jarak yang tidak jauh. Informasi ini harus benar dan perlu ditunjang dengan papan informasi yang memudahkan wisatawan untuk menjangkau lokasi wisata.
Aksesibilitas dari berbagai daya tarik wisata perlu ditunjang dengan transportasi yang baik (Robbins & Dickinson, 2008). Tujuan dari transportasi yang baik adalah 1) memungkinkan wisatawan mengunjungi secara langsung daya tarik wisata; 2) meningkatkan kualitas pengalaman wisatawan di destinasi pariwisata; 3) memastikan pemahaman wisatawan akan jarak tempuh yang akan dijalani ketika melakukan perjalanan wisata. Batu Mir di desa Hila adalah salah satu contoh daya tarik wisata dengan jarak tempuh yang dekat. Namun, pengelola desa perlu memastikan ketersediaan sistem transportasi lokal. Transportasi modern dan lokal yang dikelola oleh penduduk lokal dapat ditawarkan kepada wisatawan. Prinssip ini akan semakin mendukung pariwisata perdesaan melalui peran Pokdarwis, pemerintah dan masyarakat.
Sarana dan prasarana dasar untuk menunjang kegiatan wisata di desa Hila sudah tersedia. Terdapat 70 armada bus untuk yang tersedia di terminal bus daerah dalam rangka menunjang transportasi darat. Pelabuhan
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023
tradisional Tahoku juga mendukung akses transportasi laut penduduk dan pengunjung. Terdapat 60 speedboat yang beroperasi dalam menunjang transportasi laut pengunjung. Aksesibilitas dan transportasi di Maluku Tengah menunjang pengembangan pariwisata di desa Hila.
-
4 Image
Desa Hila sebagai destinasi pariwisata akan terkait dengan image positif dari desa tersebut. Pengakuan sebagai desa wisata dimulai tahun 2020. Status sebagai desa wisata merupakan image positif yang dapat berdampak pada keinginan calon wisatawan masuk ke desa Hila. Image positif tersebut perlu ditunjang dengan peran stakeholder dan upaya memasarkan desa wisata. Pemanfaatan teknologi dalam proses pemasaran desa wisata adalah langkah penting untuk membuat citra (image) positif mengenai desa Hila. Penyampaian informasi positif dengan fokus pada aktifitas wisata potensial, produk dan paket wisata dan informasi relevan dalam kepariwisataan dapat mempengaruhi keputusan calon wisatawan untuk berkunjung.
Wisatawan yang pernah berkunjung ke desa Hila merupakan alat pemasaran efektif untuk membuat image positif suatu destinasi. Penelitian ini telah menemukan bahwa dibutuhkan kesiapan desa baik dari sisi fasilitas, akomodasi maupun hospitality penduduk lokal untuk menerima wisatawan. Strategi membangun image positif sangat dibutuhkan sebagai daya tarik desa sebagai destinasi. Strategi membangun image positif dilakukan oleh berbagai stakeholder khususnya Dinas Pariwisata Daerah dan Pokdarwis desa Hila.
Pendekatan daya tarik destinasi mencakup berbagai aspek yang saling berkaitan, salah satunya harga. Kunjungan ke desa wisata adalah jenis wisata pilihan karena harga yang mungkin relatif lebih rendah dibandingkan melakukan kunjungan wisata ke wilayah perkotaan. Potensi wisata di desa Hila selayaknya dikelola dengan baik dan tetap menerapkan penentuan harga bagi wisatawan. Penentuan harga untuk kunjungan ke daya tarik wisata dan pemberian layanan wisata oleh masyarakat perlu harga yang relevan dengan layanan yang didapatkan wisatawan. Harga dengan suasana perkotaan tentu akan berbeda dengan harga pada wilayah perkotaan, tergantung ketersediaan produk yang dapat dibeli wisatawan. Peluang transaksi bisnis di sektor pariwisata dapat dijalankan oleh penduduk lokal.
Proses penentuan harga yang relevan tersebut dilakukan oleh stakeholder pariwisata yakni, masyarakat, pengelola (Pokdarwis) dan pemerintah daerah. Produk wisata yang belum dikemas di desa Hila menunjukkan perlunya sumber daya manusia yang mampu merencanakan dan mengelola potensi wisata desa menjadi produk nilai jual. Sebuah desa membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, keterampilan dalam mengemas dan mengelola pariwisata (Herawati, 2020). Perencanaan dan pengembangan produk wisata melibatkan berbagai stakeholder, pemerintah menjadi bagian penting dalam mengintegrasikan stakeholder yang akan terlibat dalam kegiatan pariwisata. Pemerintah juga dapat menjalin mitra dengan berbagai stakeholder internal untuk
DAFTAR PUSTAKA
membantu Pokdarwis mengelola produk destinasi pariwisata. Suputra dan Adikampana (2019) menekankan pentingnya mekanisme yang mengatur peran pemerintah dalam menjalankan tugas pendampingan untuk masyarakat di perdesaan.
Destinasi pariwisata adalah elemen penting dalam sistem pariwisata dan pengembangan pariwisata suatu daerah. Desa Hila dapat menjadi destinasi unggulan yang menunjang pengembangan pariwisata kabupaten Maluku Tengah. Ragam potensi wisata alam dan budaya yang dimiliki desa merupakan peluang untuk menunjang eksistensi destinasi pariwisata. Potensi wisata dapat menjadi produk destinasi dengan partisipasi dan peran berbagai stakeholder di desa. Identifikasi potensi alam dan budaya adalah tahap awal pengelolaan destinasi. Namun, potensi tersebut perlu dikemas dan dikelola menjadi produk destinasi melalui peran masyarakat dan pemerintah daerah. Ragam pendekatan dapat menjadi strategi dalam pengelolaan destinasi pariwisata,salah satunya melalui penguatan daya tarik destinasi (destination attractiveness).
Stakeholder utama untuk membangun desa sebagai destinasi pariwisata unggulan adalah pengelola desa. Pokdarwis adalah representasi masyarakat yang memiliki peran penting untuk menunjang eksistensi wisata perdesaan. Namun, Pokdarwis belum dapat mengoptimalkan perannya membangun destinasi karena berbagai tantangan, salah satunya adalah tidak adanya anggaran. Idealnya, pengembangan desa sebagai destinasi sejalan dengan peran aktif stakeholder dan dukungan ke Pokdarwis dalam berbagai bentuk, salah satunya pengelolaan dana kegiatan dan perencanaan fasilitas dan aktifitas wisata. Penelitian ini memperkuat argumentasi bahwa satu kelompok stakeholder tidak dapat bergerak tanpa dukungan aktif dari stakeholder lainnya. Penelitian ini telah menguraikan bagaimana peran stakeholder dan strategi yang dapat diterapkan dalam rangka optimalisasi stakeholder dalam membangun desa sebagai destinasi.
Destination attractiveness adalah pendekatan penting untuk membangun desa sebagai destinasi pariwisata. Kajian akademik tentang destination attractiveness mencakup berbagai elemen. Namun, destination attractiveness dalam penelitian ini mencakup lima elemen yakni, daya tarik wisata, amenitas, aksesibilitas, image dan harga. Pengelolaan destinasi tidak hanya tergantung pada satu elemen, namun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Penelitian ini telah menguraikan contoh pentingnya pengelolaan destinasi wisata perdesaan yang membutuhkan strategi integrasi elemen destinasi. Harapan desa Hila sebagai destinasi unggulan dapat diwujudkan jika pengelolaan daya tarik destinasi yang terintegrasi (integration of destination attractiveness) menjadi prioritas stakeholder pariwisata. Stakeholder pariwisata di desa Hila seharusnya tidak tergantung pada eksistensi Benteng Amsterdam, namun menjadikan segala potensi desa sebagai bagian penting dari produk destinasi. Penelitian ini memperkuat konsep destination attractiveness sebagai strategi dalam membangun desa wisata. Destination attractiveness seharusnya menjadi pilihan dalam membangun desa wisata.
Cartier, C., & Lew, A. (2005). Seductions of place:
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023
Geographical perspectives on globalization and touristed landscapes. London: Routledge.
Cho, B. . (2000). Destination. In J. Jafari (Ed.), Encyclopedia of tourism (pp. 144–145). Routledge.
Fielding, J., & Fielding, N. (2008). Synergy and synthesis: Integarting qualitative and quantitative data. In A. Pertti, B. Leonard, & B. Julia (Eds.), The SAGE handbook of social research methods (pp. 555–571). SAGE.
Fletcher, J., Fyall, A., Gilbert, D., & Wanhill, S. (2018). Tourism Principles and Practice, Sixth Edition.
Pearson Education Limited.
Formica, S., & Uysal, M. (2006). Destination Attractiveness Based on Supply and Demand Evaluations: An Analytical Framework. Journal of Travel Research, 44(4), 418–430.
https://doi.org/10.1177/0047287506286714
Goeldner, C. R., & Ritchie, J. R. B. (2009). TOURISM: Principles, Practices, Philosophies; Eleventh edition. John Wiley & Sons.
Hankinson, G. (2005). Destination brand images: a
business tourism perspective. Journal of Services Marketing, 19(1), 24–32.
Herawati. (2020). Pelatihan packaging produk unggulan masyarakat desa wisata. Jurnal Masyarakat Mandiri, 4(6).
https://journal.ummat.ac.id/index.php/jmm/article /view/2707/pdf
Jennings, G. R. (2012). Qualitative Research Methods. In L. Dwyer, A. Gill, & N. Seetaram (Eds.), Handbook of research methods in tourism: Quantitative and qualitative approaches (pp. 309–323). Edward Elgar.
Junaid, I. (2016). Analisis data kualitatif dalam penelitian pariwisata. Jurnal Kepariwisataan, 10(1), 59–74.
Junaid, Ilham, Dewi, W., Said, A., & Hanafi, H. (2022). Pengembangan desa wisata berkelanjutan: Studi kasus di desa Paccekke, kabupaten Barru, Indonesia. Journal of Regional and Rural Development Planning, 6(3), 287–301.
https://doi.org/https://doi.org/10.29244/jp2wd.2 022.6.3.287-301
Junaid, Ilham, Salam, N., & M. Salim, M. A. (2019).
Developing homestay to support community-based tourism. Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 32(4), 390–398.
https://doi.org/https://doi.org/10.20473/mkp.V32 I42019.390-398
Khadaroo, J., & Seetanah, B. (2007). Transport
infrastructure and tourism development. Annals of Tourism Research, 34(4), 1021–1032.
Kurniansah, R., & Hali, M. S. (2018). Ketersediaan
akomodasi pariwisata dalam mendukung pariwisata perkotaan (urban tourism) sebagai daya tarik wisata Kota Mataram Provinsi Nusa tenggara Barat. Jurnal Bina Wakya, 1(1), 39–44.
http://ejurnal.binawakya.or.id/index.php/JBW
Lee, C.-F. (2020). Understanding the Factors Determining the Attractiveness of Camping Tourism: A
Hierarchical Approach. Tourism Planning &
Development, 17(5), 556–572.
https://doi.org/10.1080/21568316.2020.1758761
Medina-Muñoz, D. R., & Medina-Muñoz, R. D. (2014). The Attractiveness of Wellness Destinations: An
Importance–Performance–Satisfaction Approach. International Journal of Tourism Research, 16(6),
521–533.
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/jtr.1944
Michandani, E. ., & Arida, I. . (2019). Perancangan
destination branding desa wisata Kerta di kecamatan Payangan kabupaten Gianyar. Jurnal Destinasi Pariwisata, 7(1), 111–117.
https://doi.org/10.24843/JDEPAR.2019.v07.i01.p1 7
Puška, A., Šadić, S., Maksimović, A., & Stojanović, I. (2020). Decision support model in the determination of rural touristic destination attractiveness in the Brčko District of Bosnia and Herzegovina. Tourism and Hospitality Research, 20(4), 387–405.
https://doi.org/10.1177/1467358420904100
Robbins, D., & Dickinson, J. (2008). Transport to visitor attractions. In A. Fyall, B. Garrod, & A. Leask (Eds.), Managing visitor attractions: New directions, 2nd edition (pp. 108–126). Elsevier Butterworth-Heinemann.
Rodrigues, C. . (2008). Tourism destinations. In G.
Lohmann & A. . Netto (Eds.), Tourism theory: Concepts, models and systems (pp. 205–207). CABI.
Suputra, I. P. ., & Adikampana, I. . (2019). Perencanaan fasilitas pariwisata di Desa Wisata Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali. Jurnal Destinasi Pariwisata, 7(1), 30–35.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/destinasipar/artic le/view/53216
UNWTO. (2007). A practical guide to tourism destination management. UNWTO.
Yacob, S., Johannes, J., & Qomariyah, N. (2019). Visiting Intention: A Perspective of Destination
Attractiveness and Image in Indonesia Rural Tourism. Sriwijaya International Journa of Dynamic Economics and Business, 3(2), 122–133.
https://doi.org/https://doi.org/10.29259/sijdeb.v3 i2.122-133
83
Discussion and feedback