Current Trends in Aquatic Science IV(2), 186-192 (2021)

Evaluasi Kualitas Air dan Kondisi Lingkungan pada Lokasi Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Perairan Pantai Pandawa, Bali

Devita Eka Saputri a*, Ima Yudha Perwira a, Ayu Putu Wiweka Krisna Dewi a a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Badung, Bali-Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-8588-8850-659

Alamat e-mail: devita.es.99@gmail.com

Diterima (received) 24 November 2020; disetujui (accepted) 20 Januari 2021; tersedia secara online (available online) 30 Agustus 2021

Abstract

This research aimed to observe water quality and environmental conditions in the location of seaweed (Eucheuma cottonii) cultivation area in Pandawa Beach Waters. The research was conducted from December 2019 to January 2020. Water sampling was carried out at 3 different stations in the west side of Pandawa Beach Waters. Measuring temperature using a thermometer, salinity using a refractometer, water pH using a pH meter, and Dissolved Oxigen (DO) of water were measured using the Winkler method. Nitrate and phosphate in the water was measured using Salifert KIT. The result showed that water temperature was raning from 28.7 to 30oC, salinity was from 30 to 31 ppt, pH was from 7.5 to 7.66, and DO was from 5.60 to 6.03 mg/L. Analysis of nitrate showed range from 1.52 to 1.77 mg/L, while phosphate was ranging from 0.22 to 0.32 mg/L. These results showed that water quality in the location is suitable for the cultivation of seaweed.

Keywords: Eucheuma cottonii; Pandawa Beach; Water quality

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas air dan kondisi lingkungan pada lokasi budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) di perairan Pantai Pandawa. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2019 sampai Januari 2020. Pengambilan sampel kualitas air dilakukan di sebelah barat Pantai Pandawa pada 3 stasiun yang berbeda. Pengukuran suhu menggunakan alat thermometer raksa, salinitas menggunakan alat refraktometer, pH air menggunakan alat pH meter, dan DO air diukur menggunakan metode Winkler. Adapun nitrat dan fosfat pada air diukur dengan menggunakan Salifert KIT. Adapun nilai suhu air yang didapatkan berkisar dari 28,7-300C, salinitas berkisar dari 30-31 ppt, pH berkisar dari 7,5-7,66 dan DO berkisar 5,60-6,03 mg/L. Hasil analisa nitrat menunjukkan kisaran 1,52-1,77 mg/L, sedangkan kandungan fosfat pada air mempunyai kisaran nilai 0,22-0,32 mg/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi penelitian tergolong masih sesuai untuk budidaya rumput laut.

Kata Kunci: Eucheuma cottonii; Kualitas air; Pantai Pandawa

  • 1.    Pendahuluan

Rumput laut menjadi contoh komoditas penting perikanan budidaya yang termasuk dalam program revitalisasi perikanan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jenis Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang sering dibudidaya daripada jenis lainnya (Suwariyati et al., 2014). Pantai Kutuh atau yang dikenal sebagai Pantai Pandawa merupakan salah

satu contoh lokasi yang pernah melakukan budidaya rumput laut jenis ini. Sebelum diresmikan sebagai daerah tujuan wisata pada tahun 2012, Pantai Pandawa dipergunakan oleh masyarakat desa adat sebagai sentra penghasil rumput laut. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Pantai Pandawa membuat kegiatan kelompok nelayan dan petani rumput laut semakin berkurang (Aryanti, 2016).

Hasil penelitian Bagja et al. (2016) menyatakan bahwa menurunnya produksi dikarenakan penurunan lahan usaha tani karena terdesaknya dengan perkembangan pariwisata di Pantai Pandawa. Medinawati (2017) menambahkan bahwa pergeseran dari lokasi budidaya rumput laut menjadi daerah pariwisata yang berkembang mengakibatkan pergeseran profesi diantara para pembudidaya rumput laut tersebut. Namun demikian, kegiatan budidaya rumput laut akan kembali dikembangkan karena pihak pengelola kawasan wisata Pantai Pandawa akan membuat kawasan ekowisata dengan menjadikan kegiatan budidaya rumput laut sebagai salah satu objek ekowisata. Perkembangan Pantai Pandawa menjadi objek wisata dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk terhadap kualitas perairan Pantai Pandawa. Menurut Sumariadhi dan Wijayasa (2012) menyatakan kegiatan pariwisata menjadi salah satu penyebab munculnya masalah lingkungan.

Produksi budidaya rumput laut akan meningkat apabila ditunjang lingkungan yang tepat untuk pertumbuhannya (Booy et al., 2019). Diperlukan kajian lebih lanjut terhadap faktor-faktor lingkungan yang mendukung keberhasilan kegiatan budidaya rumput laut, seperti salinitas, suhu, derajat keasaman (pH), kandungan oksigen terlarut, nitrat serta fosfat. Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu dilakukan evaluasi sehingga dapat menggambarkan kualitas air dan kondisi lingkungan pada lokasi budidaya rumput laut di perairan Pantai Pandawa saat ini. Dengan mengetahui kondisi perairan Pantai Pandawa maka kondisi perairan tersebut dapat bermanfaat dalam upaya pengembangan kegiatan budidaya rumput laut bagi masyarakat dan pemerintah setempat.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan, dari bulan Desember 2019 sampai Januari 2020. Pengambilan sampel dilakukan di 3 stasiun berbeda di Pantai Pandawa yang terletak di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung (Gambar 1.). Pengukuran kualitas air dilakukan secara in-situ (suhu, salinitas, pH) dan ek-situ (DO, nitrat, fosfat). Pengukuran secara ek-situ dilakukan di Laboratorium Ilmu Perikanan

Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana.

Gambar 1. Lokasi Penelitian Pantai Pandawa

  • 2.2    Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran pH, salinitas, suhu dilakukan secara in-situ di lokasi penelitian. Suhu air diukur dengan alat thermometer raksa. Alat thermometer dimasukkan ke dalam perairan yang diamati, kemudian dicatat hasilnya. Salinitas air di lokasi penelitian diukur dengan menggunakan alat Refraktometer. Sampel air yang telah diambil kemudian diteteskan ke refraktometer selanjutnya diamati dibawah cahaya matahari kemudian dicatat angka yang tertera. Adapun pengukuran derajat keasaman (pH) air menggunakan alat pH meter berbasis digital. pH meter dicelupkan ke sampel air yang akan diteliti. Nilai yang terlihat di layar dicatat sebagai data.

Pengukuran nitrat, fosfat, dan Dissolved Oxigen (DO) dilakukan secara ek-situ. Kandungan nitrat pada air diukur dengan menggunakan Nitrat KIT (Salifert Nitrat). Sampel air sebanyak 1 ml dituangkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian dicampurkan reagen A sebanyak 4 tetes dan reagen B sebanyak 1 takaran (seperti yang dijelaskan pada manual penggunaan KIT). Kemudian larutan di vortex selama 3 menit hingga terjadi perubahan warna menjadi ungu kemerahan. Pengukuran     nilai     absorbansi     larutan

menggunakan  alat  spektrofotometer  dengan

panjang gelombang 540 nm. Nilai absorbansi tersebut kemudian  disejajarkan dengan nilai

absorbansi dari larutan standar yang telah dibuat.

Kandungan fosfat pada air diukur dengan

menggunakan Fosfat KIT (HANNA HI713).

Sampel air (1 ml) dituangkan ke dalam tabung

reaksi, kemudian dicampurkan dengan bubuk HANNA HI713 sejumlah 0,18 gram. Kemudian larutan dihomogenkan dengan menggunakan vortex hingga berubah warna dari bening menjadi biru. Pengukuran nilai absorbansi larutan menggunakan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Kemudian dibandingkan nilai absorbansi tersebut dengan absorbansi kurva standar yang telah dibuat.

Dissolved Oxygen (DO) diukur menggunakan metode Winkler berdasarkan SNI 06-6989 14-2004. Metode Winkler menggunakan prinsip titrasi iodometri. Sampel air dituang ke dalam botol 100 ml. Kemudian ditambahkan MnSO4 sebanyak 1 ml. Setelah itu ditambahkan larutan Alkali Iodida sebanyak 1 ml dan didiamkan selama 3-4 menit hingga mengendap. Selanjutnya ditambahkan larutan H2SO4 pada sampel yang telah mengendap sebanyak 1 ml, dikocok hingga berubah warna menjadi kuning. Kemudian sampel dituangkan kedalam gelas ukur sebanyak 50 ml. Titrasi larutan sampel dengan Natrium diasulfat 0,025N hingga berwarna kuning pucat. Kemudian ditambahkan amillum 1% sebanyak 1-2 tetes hingga larutan berubah warna menjadi biru tua. Setelah itu, dititrasi lagi menggunakan natrium diasulfat hingga warna menjadi bening.

  • 2.4    Analisis Data

Data hasil yang diperoleh pada penelitian dianalisa secara deskriptif kuantitatif kemudian dibandingkan dengan KEPMEN-KP No. 1 Tahun 2019 tentang pedoman umum pembudidayaan rumput laut. Data yang diperoleh juga dikaitkan dengan literatur maupun penelitian-penelitian

sebelumnya untuk mendapatkan perbandingan yang mendukung bahasan penelitian.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Suhu

Kisaran umum pengukuran suhu air pada lokasi penelitian sebesar 28,7-30,0oC. Suhu tertinggi berada pada stasiun 1 sebesar 28,7-30,0oC, dan terendah pada stasiun 2 dan stasiun 3 sebesar 28,7-29,7oC (Gambar 2). Adanya kenaikan dan penurunan suhu dibeberapa stasiun dalam kondisi pasang surut diduga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari pada saat pengukuran, dimana beberapa lokasi memiliki kedalaman yang rendah, sehingga sinar matahari yang masuk ke kolom air menembus dasar perairan dan kembali dipantulkan ke atas. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Salim et al. (2017) yang menyatakan bahwa sebaran suhu lebih meningkat terjadi pada kondisi surut, dimana saat berlangsungnya surut kondisi perairan menjadi dangkal hal ini mengakibatkan cahaya matahari dapat menembus sampai ke dasar perairan.

KEPMEN-KP No.1 Tahun 2019 tentang pedoman umum pembudidayaan rumput laut mempersyaratkan suhu untuk budidaya rumput laut sebesar 26-320C. Oleh karena itu, ketiga stasiun di lokasi penelitian masih memenuhi persyaratan       peraturan tersebut. Suhu

berkontribusi dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu yang drastis akan berdampak pada rumput laut yaitu berubahnya warna thallus menjadi pudar kekuning-kuningan (Gufana et al., 2017).

Gambar 2. Rata-rata suhu perairan pada lokasi budidaya rumput laut di perairan Pantai Pandawa


Gambar 3. Rata-rata salinitas perairan pada lokasi budidaya rumput laut di perairan Pantai Pandawa


  • 3.2    Salinitas

Pengukuran salinitas perairan di lokasi penelitian menunjukkan kisaran 30-31 ppt (Gambar 3). Syarat nilai salinitas KEPMEN-KP No.1 Tahun 2019 tentang pedoman umum pembudidayaan rumput laut sebesar 28-34. Oleh karena itu, ketiga stasiun di lokasi penelitian masih berada pada rentang nilai peraturan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Hernanto et al. (2015) yang mendukung bahwa salinitas yang sesuai untuk budidaya rumput laut jenis ini adalah 30-37 ppt.

Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Nilai salinitas yang terlampau tinggi ataupun rendah bisa mengakibatkan pertumbuhan rumput laut menjadi terhalang (Neksidin et al., 2013). Salinitas rendah yang jauh di ambang batas toleransinya akan memberikan efek pada rumput laut seperti perubahan warna menjadi pucat, mudah patah

dan lunak, akhibatnya rumput laut menjadi rusak dan pertumbuhannya tidak normal yang kemudian mati (Asni, 2015). Rohman et al. (2018) menambahkan bahwa kadar garam yang terlalu tinggi juga dapat berdampak pada rumput laut, dimana akan menghambat proses reproduksi rumput laut.

  • 3.3    pH

Nilai pH yang diperoleh dari hasil pengukuran berkisar antara 7,5-7,66 dan nilai pH air pada setiap periode pengukuran menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda (Gambar 4). Kisaran nilai pH yang diperoleh menggambarkan bahwa kondisi perairan yang masih relatif stabil dan mendukung untuk pertumbuhan rumput laut. Rentang nilai pH pada KEPMEN-KP No.1 Tahun 2019 tentang pedoman umum pembudidayaan rumput laut yaitu sebesar 7-8,5. Hal ini menunjukan bahwa nilai pH pada lokasi

■ Pasang ■ Surut

Gambar 4. Rata-rata pH perairan pada lokasi budidaya rumput laut di perairan Pantai Pandawa


■ Pasang ■ Surut

Gambar 5. Rata-rata DO perairan pada lokasi budidaya rumput laut di perairan Pantai Pandawa


penelitian masih sesuai dengan pedoman tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran pH di perairan Pantai Pandawa bersifat basa yang berarti bagus untuk pertumbuhan rumput laut. Pada penelitian lainnya, Fikri et al. (2015) menjelaskan bahwa pH yang basa cenderung cocok untuk kegiatan budidaya rumput laut. Dimana perairan basa merupakan perairan yang produktif dan memiliki peran untuk merombak bahan organik dalam air menjadi mineral sederhana yang dapat diperbaruhi fitoplankton (Susilowati et al., 2012).

  • 3.4    Dissolved Oxygen (DO)

Konsentrasi DO di perairan Pantai Pandawa berkisar antara 5,60-6,03 mg/L. Dilihat dari grafik bahwa DO di perairan mengalami fluktuasi akan tetapi DO tersebut masih baik untuk pertumbuhan rumput laut (Gambar 4). Hal ini sejalan dengan pernyataan Syamsuddin (2014) yang menyatakan bahwa tingkat kesesuaian DO untuk budidaya

rumput laut sebesar 2-8 mg/L. Tingginya konsentrasi DO pada stasiun 2 dan 3 diduga terkait adanya ekosistem lamun dan terumbu karang pada kedua stasiun pengukuran tersebut. Kandungan oksigen yang meningkat pada lokasi penelitian dapat berasal dari perairan tersebut yang besar berasal dari habitat dan ekosistem terumbu karang dimana pasokan oksigen yang cukup bersumber dari hasil proses fotosintesis zooxanthellae yang tinggal di polyp karang (Yusuf et al., 2012). Salmin (2005) menambahkan bahwa tingginya kandungan oksigen terbesar di perairan bersumber dari proses fotosintesis organisme di perairan setempat, selain dari proses difusi dari udara bebas. Rendahnya nilai DO pada stasiun 1 dibandingkan stasiun lainnya diduga karena pada lokasi tersebut jarang terdapat lamun dan biota sehingga pasokan oksigen lebih kecil daripada stasiun lain.

■ Pasang e Surut

Gambar 6. Rata-rata nitrat perairan pada lokasi budidaya rumput laut di perairan Pantai Pandawa


  • 3.5    Nitrat

Pengukuran kandungan nitrat yang diperoleh pada lokasi penelitian berkisar antara 1,52-1,77 mg/L. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi nitrat perairan pada stasiun penelitian masih baik untuk pertumbuhan rumput laut (Gambar 5). Pong-Masak dan Simatupang (2017) menyatakan bahwa kandungan nitrat untuk pertumbuhan rumput laut optimalnya sebesar 0,9 -3,5 mg/L, dan nitrat paling rendah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut sebesar 0,3-0,9 mg/L.

Konsentrasi nitrat tertinggi berada pada stasiun 2 dan 3 (1,63 dan 1,77 mg/L). Tingginya nitrat pada kedua stasiun mengindikasikan bahwa perairan di lokasi tersebut cukup subur. Hal ini diduga terkait dengan keberadaan ekosistem terumbu karang yang terdapat pada perairan setempat. Yusuf et al. (2012) menyatakan bahwa zooxanthellae yang bersimbiosis dengan terumbu dalam proses fotosintesisnya menghasilkan senyawa organik, kemudian bermigrasi ke karang dan dapat dikonsumsi karang sebagai bahan makanan. Selain itu daerah terumbu karang juga berfungsi sebagai Nutrient trap, dimana sediaan nutrien tercukupi pada daerah ini. Terdapatnya nutrien yang terjebak di daerah tersebut menandakan bahwa pasokan makanan (senyawa organik) cukup tersedia, sehingga membuat daerah menjadi subur dan menyebabkan bertambahnya  plankton

maupun ikan-ikan herbivora.

  • 3.6    Fosfat

Hasil pengukuran kandungan fosfat yang

didapatkan selama penelitian sebesar 0,22-0,32 mg/L. Hasil tersebut menandakan bahwa perairan setempat tergolong sebagai perairan subur. Hal ini sesuai pendapat Haryasakti (2017) yang menyatakan bahwa kisaran fosfat pada tingkat perairan relatif subur di perairan laut yaitu 0,101,68 mg/L. Dengan demikian, maka kawasan tersebut dikatakan masih sesuai untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kandungan tertinggi fosfat berada di stasiun 2 dan 3. Hasil tersebut tidak jauh berbeda seperti kandungan nitrat, kondisi ini diduga terkait keberadaan ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian dan substrat dasar yang mendukung. Mudeng et al. (2015) menyampaikan bahwa substrat dasar pasir dan terbaur patahan karang di dasar perairan berkaitan dengan pasokan nutrien berupa fosfat yang berasal dari bebatuan tersebut. Keberadaan terumbu karang juga berperan sebagai Nutrient trap, yaitu kemampuan untuk menampung nutrien dalam suatu sistem, sehingga sediaan nutrien tersedia banyak di daerah ini (Yusuf et al., 2012). Hasil pengukuran fosfat dapat dilihat pada Gambar 6.

  • 4.    Simpulan

Kualitas air dan kondisi lingkungan perairan Pantai Pandawa tergolong masih sesuai untuk mendukung pertumbuhan rumput laut. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa stasiun 2 dan 3 merupakan stasiun yang paling sesuai dikarenakan lokasi yang jauh dari kegiatan padat pariwisata dan terdapat ekosistem lamun dan terumbu karang sehingga menunjang pertumbuhan rumput laut.

Gambar 7. Rata-rata fosfat perairan pada lokasi budidaya rumput laut di perairan Pantai Pandawa


Ucapan terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada beasiswa Bidikmisi yang telah membantu dalam perkuliahan. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Manajemen Pantai Pandawa, Laboratorium Perikanan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana yang telah membantu dan mengijinkan dalam pengambilan data selama penelitian, serta seluruh pihak yang dapat berpartisipasi dalam kegiatan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Aryanti, N. N. S., & Sutaguna, I. N. T. (2016). Strategi Menjadikan Rumput Laut sebagai Branding Kuliner di Pantai Pandawa, Desa Kutuh, Kabupaten Badung. Jurnal Analisis Pariwisata, 16(1), 16-22.

Asni, A. (2015). Analisis Produksi Rumput Laut

(Kappaphycus alvarezii) berdasarkan Musim dan Jarak Lokasi Budidaya di Perairan Kabupaten Bantaeng. Jurnal Akuatika, 6(2), 140-153.

Bagja, G. A. M., Anna, Z., & Kurniawati, N. (2016). Analisis Pendapatan Masyarakat Pesisir di Kawasan Wisata Bahari Pantai Pandawa Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung Provinsi Bali. Jurnal Perikanan Kelautan, 7(2), 91-96.

Booy, J., Burhanuddin, B., & Haris, A. (2019). Optimasi Laju Pertumbuhan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Pada Kedalaman yang Berbeda di Desa Wamsisi, Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku. Octopus, 8(1), 41-47.

Fikri, M., Rejeki, S., & Widowati, L. L. (2015). Produksi dan Kualitas Rumput Laut (Eucheuma cottonii)

dengan Kedalaman Berbeda di Perairan Bulu

Kabupaten Jepara. Journal of Aquaculture Management and Technology, 4(2), 67-74.

Gufana, S. S., Fendi, Karyawati, Sommeng, A. (2017). Kajian Kesesuaian Lokasi Perairan untuk Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Muna, Indonesia. Jurnal Akuakultur, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 1(2), 13-24.

Haryasakti,  A.  (2017). Pertumbuhan  Kappaphycus

alvarezii  pada Tingkat Kedalaman  Berbeda di

Perairan Teluk Perancis, Sangatta Selatan Kabupaten Kutai Timur. Agrifor, 16(1), 27-34

Hernanto, A. D., Rejeki, S., & Ariyati, R. W. (2015). Pertumbuhan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni dan Gracilaria sp.) dengan Metode Long Line di Perairan Pantai Bulu Jepara. Journal of Aquaculture Management and Technology, 4(2), 60-66.

KEPMEN-KP. (2019) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pembudidayaan  Rumput  Laut. Jakarta,

Indonesia:  Keputusan  Menteri  Kelautan dan

Perikanan RI.

Medinawati, K. D. (2017). Perbandingan Perkembangan Pengelolaan Pantai Pandawa sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Jurnal Destinasi Pariwisata, 5(1), 12-16.

Neksidin, Pangerang, U. K., & Emiyarti. (2013). Studi Kualitas Air untuk Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) di Perairan Teluk Kolono Kabupaten Konawe  Selatan. Jurnal Mina Laut

Indonesia, 3(12), 147-155.

Pong-Masak, P. R., & Simatupang, N. F. (2017).

Penerapan Seleksi Varietas untuk Produksi Bibit Unggul Rumput Laut Eucheuma denticulatum di Perairan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dalam Prosiding Seminar Nasional Tahunan XIV Hasil Penelitian Perikanan dan  Kelautan,  2017. Yogyakarta,

Indonesia (pp. 141-149).

Rohman, A., Aryati, R. W.,  & Rejeki, S. (2018).

Penentuan  Kesesuaian  Wilayah  Pesisir  Muara

Gembong,  Kabupaten Bekasi  untuk  Lokasi

Pengembangan Budidaya Rumput Laut dengan Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG). Jurnal Sains dan Akuakultur Tropis, 2(1), 73-82.

Salim, D., Yuliyanto, Y., & Baharuddin, B. (2017).

Karakteristik Parameter Oseanografi Fisika-Kimia Perairan Pulau Kerumputan Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Jurnal Enggano, 2(2), 218-228.

Salmin. (2005). Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, 30(3), 21-26.

Sumariadhi, N. W., & Wijayasa, I. W. (2012). Dampak Pariwisata di Nusa Lembongan. Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, 2(2), 23-47.

Susilowati, T., Rejeki, S., Zulfitriani, Z., & Dewi, E. N. (2012). Pengaruh Kedalaman terhadap Pertumbuhan Rumput Laut    (Eucheuma cottonii)    yang

Dibudidayakan dengan Metode Longline di Pantai Mlonggo, Kabupaten Jepara. Jurnal Saintek Perikanan, 8(1), 7-12.

Suwariyati, N. W. E., Susrusa, I. K. B., & Rantau, I. K. (2014). Perbedaan Pendapatan Usaha Tani Rumput Laut Eucheuma spinosum dan Eucheuma cottonii di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan. E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata, 3(1), 22-31.

Syamsuddin, R. (2014). Pengelolaan Kualitas Air: Teori dan Aplikasi di Sektor Perikanan. Makassar, Indonesia: Pijar Press.

Yusuf, M., Handoyo, G., Muslim, M., Wulandari, S.Y., & Setiyono, H. (2012). Karakteristik Pola Arus Dalam Kaitanya dengan Kondisi Kualitas Perairan dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Kawasan

Taman Nasional Laut Karimunjawa. Buletin Oseanografi Marina, 1(5), 63-74.

Curr.Trends Aq. Sci. IV(2): 186-192 (2021)