Current Trends in Aquatic Science IV(1), 170-177 (2021)

Analisis Kesesuaian Lokasi Produksi Garam Berdasarkan Indeks Kesesuaian Garam (IKG) di Desa Nggolonio, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur

Theresia Alvianita Muga a, Ima Yudha Perwira a*, I Wayan Darya Kartika a

a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali-Indonesia

*Penulis koresponden. Tel.: +62-361-702-802

Alamat e-mail: ima.yudha@unud.ac.id

Diterima (received) 13 Oktober 2020; disetujui (accepted) 23 November 2020; tersedia secara online (available online) 30 Agustus 2021

Abstract

Nggolonio Village is one of the salt production areas in Aesesa District, Nagekeo Regency, East Nusa Tenggara. One effort that can be done to support efforts to increase salt production in Nggolonio Village is to analyze the suitability of salt production locations in the five research locations. The purpose of this study was to determine the Salt Suitability Index in the salt production center in Nggolonio Village. Data was collected in November 2019 from five different locations (three empty sites, one salt farmer area, and one salt company site). To obtain the Salt Suitability Index value, the secondary data was used on this study, such as: rainfall, irradiation time, air humidity, wind speed, air temperature, evaporation rate, and primary data on soil permeability, soil texture, and raw water saturation. The results showed that value of rainfall was 0.2 mm, irradiation time was 9.6 hours/day, air humidity was 31%, wind speed was 7.5 m/s, air temperature was 31 oC, evaporation was 7.8 mm/day, and the soil texture was loam. The soil permeability location I: 1.3×10-3 k, location II: 1.2×10-3 k, location III: 1.3×10-3 k, location IV: 2.0×10-3 k, location V: 1.8×10-3 k, raw water saturation location I: 3.8 oBe, location II: 2.8 oBe, location III: 2.8 oBe, location IV: 3.0oBe, and location V: 2.5 oBe. Based on the results, Salt Suitability Index at five locations in Nggolonio Village has similar index value, namely 88.89 %. These five locations fall into Very Suitable (S1) category as salt production locations.

Keywords: Salt; Salt Suitability Index; production site.

Abstrak

Desa Nggolonio merupakan salah satu daerah produksi garam yang berada di Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung usaha peningkatan produksi garam di Desa Nggolonio adalah menganalisis kesesuaian lokasi produksi garam pada kelima lokasi penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Indeks Kesesuaian Garam (IKG) pada sentra produksi garam di Desa Nggolonio. Pengambilan data dilakukan pada bulan November 2019 di lima lokasi yang berbeda, yaitu tiga lokasi lahan kosong, satu lokasi lahan petani garam, dan satu lokasi perusahaan garam. Untuk memperoleh nilai Indeks Kesesuaian Garam (IKG) diperlukan data sekunder parameter curah hujan, lama penyinaran, kelembaban udara, kecepatan angin, suhu udara, penguapan, dan data primer permeabilitas tanah, tekstur tanah, kejenuhan air baku. Hasil penelitian menunjukkan nilai parameter curah hujan: 0,2 mm, lama penyinaran: 9,6 jam/hari, kelembaban udara: 31%, kecepatan angin: 7,5 m/s, suhu udara: 31 oC, penguapan: 7,8 mm/hari, tekstur tanah: lempung, permeabilitas tanah lokasi I: 1,3×10-3 k, lokasi II: 1,2×10-3 k, lokasi III: 1,3×10-3 k, lokasi IV: 2,0×10-3 k, lokasi V: 1,8×10-3 k, kejenuhan air baku lokasi I: 3,8 oBe, lokasi II: 2,8 oBe, lokasi III: 2,8 oBe, lokasi IV: 3,0 oBe, dan lokasi V: 2,5 oBe. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Indeks Kesesuaian Garam (IKG) pada kelima lokasi di Desa Nggolonio memiliki nilai indeks yang sama yaitu 88,89 %. Kelima lokasi ini masuk ke dalam kategori Sangat Sesuai (S1) sebagai lokasi produksi garam.

Kata Kunci: Garam; Indeks Kesesuaian Garam (IKG); lokasi produksi

1. Pendahuluan


Desa Nggolonio merupakan salah satu daerah produksi garam di Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur yang

menyumbang hasil produksi garam nasional. Kabupaten ini memiliki potensi produksi garam dari air laut dengan proses penggaraman mengandalkan cahaya matahari, serta lahan-lahan berkadar garam tinggi dan kondisi lahannya yang kering tersebut potensial untuk lahan produksi garam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS Kabupaten Nagekeo, 2015) terdapat 810 unit usaha produksi garam di Kabupaten Nagekeo. Unit usaha produksi garam di Kabupaten Nagekeo menempati areal seluas 2000 hektar yang terpusat di Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Wolowae. Kegiatan usaha ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1263 orang, dengan nilai produksi sebesar 24,6 miliar rupiah. Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha produksi garam menjadi salah satu pilar ekonomi penting di Kabupaten Nagekeo.

Salah satu lokasi produksi garam di Kecamatan Aesesa adalah di Desa Nggolonio. Pada lokasi tersebut sudah ada satu perusahaan garam dan beberapa petambak garam tradisional. Terdapat lima lokasi yang dijadikan sebagai lokasi penelitian. Karakteristik kelima lokasi ini umumnya berdekatan dengan sumber air bahan baku yaitu air laut, dan berdekatan dengan hutan mangrove. Lokasi I, IV dan V merupakan lahan kosong yang belum digarap. Berbeda dengan lokasi I dan IV, lokasi V lahan kosong berdekatan Tempat Pendaratan Ikan (TPI), dan pada lokasi tersebut terdapat aktifitas nelayan dalam mencari ikan. Karakteristik lahan produksi garam Lokasi II dan Lokasi III sebagian besar sama, letak lahan produksi saling berdekatan, namun proses produksinya yang berbeda. Secara umum proses produksi dimulai dari kolam penampungan air, peminihan, dan meja kristalisasi (Ihsannudin et al., 2016).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung usaha peningkatan produksi garam di Desa Nggolonio adalah dengan menganalisis kesesuaian lokasi produksi garam pada kelima lokasi tersebut. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kesesuaian lokasi produksi garam adalah dengan menggunakan Indeks Kesesuaian Garam (IKG). Metode ini dilakukan berdasarkan pada sembilan parameter, yaitu: curah hujan, permeabilitas tanah, tekstur tanah, lama penyinaran, kelembaban udara, kecepatan angin, suhu udara, penguapan, dan tingkat kejenuhan air baku garam (Kurniawan et al., 2019). Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian untuk mengetahui tingkat kesesuaian lokasi produksi garam pada kelima lokasi di Desa Nggolonio, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada Bulan November 2019 dan Bulan Februari 2020. Pengambilan sampel dilaksanakan di Desa Nggolonio, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Lokasi pengambilan sampel tanah dan pengukuran kejenuhan air baku dilakukan di tambak garam rakyat, tambak garam PT. Cheetham Garam Indonesia, dan lahan kosong yang belum diproduksi. Pengukuran permeabilitas tanah dan tekstur tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

  • 2.2 . Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah boumehydrometer, alat penetapan permeabilitas, tabung silinder, ayakan 2,0 mm, erlenmeyer 500 ml, timbangan, pengaduk, gelas piala 250 ml, oven, tungku pemanas, penggiling tanah, sarung tangan plastik, kertas label, kertas wrap, dan bak air. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air baku garam, tanah, aquadest, larutan H2O2 30%, larutan Na4P2O7, dan air bersih.

  • 2.3    Pengambilan Sampel

Terdapat lima lokasi pengambilan sampel tanah dan pengukuran tingkat kejenuhan air baku. Pengambilan sampel dilakukan secara acak

dengan penentuan lokasi sampling menggunakan metode purposive sampling. Lokasi I, IV, dan V adalah lahan kosong yang belum digarap. Lokasi II bertempat di tambak petani garam, dan Lokasi III adalah tambak perusahaan garam. Masing-masing lokasi diambil sebanyak dua titik sampling secara acak. Pengambilan sampel tanah untuk pengukuran permeabilitas tanah dilakukan dengan menggunakan alat tabung silinder berdiameter 6 cm dengan kedalaman 5 cm. Tabung silinder ditutup rapat menggunakan penutup tabung, kemudian dimasukkan ke dalam sampling bag. Pengambilan sampel tanah untuk penentuan tekstur tanah sebanyak 0,5 kg, kemudian dibungkus dengan kertas wrap dan dimasukkan ke dalam sampling bag. Pengukuran tingkat kejenuhan air baku dilakukan pada kelima lokasi sebanyak 3 kali pengulangan.

  • 2.4    Pengukuran Permeabilitas Tanah

Penetapan permeabilitas tanah dalam keadaan jenuh dilakukan dengan menggunakan metode Hukum Darcy (De Boodt, 1967). Sampel tanah dengan tabungnya direndam dalam bak air sampai setinggi 3 cm dari dasar bak selama 24 jam. Tujuan perendaman untuk mengeluarkan udara yang ada dalam pori-pori tanah sehingga tanah menjadi jenuh. Setelah perendaman selesai, sampel tanah disambung dengan satu tabung silinder lagi. Tabung dipindahkan ke alat penetapan permeabilitas. Kemudian ditambahkan air secara perlahan sampai setinggi tabung dan dipertahankan tinggi air tersebut. Pengukuran volume air tersebut dilakukan sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dirata-ratakan, dihitung dengan rumus berikut.

Q L 1 k = — × — × —

thA

(1)


dimana k adalah permeabilitas tanah (cm/jam); Q adalah debit air yang mengalir pada setiap pengukuran (ml); t adalah waktu pengukuran (jam); L adalah tebal atau kedalaman sampel tanah (cm); h adalah tinggi permukaan air dari permukaan sampel tanah; dan A adalah luas permukaan tanah (cm2).

  • 2.5    Penentuan Tekstur Tanah

Penentuan tekstur tanah di laboratorium dilakukan dengan menggunakan metode pipet (Soil Survey Staff, 2012). Penentuan ini didasarkan

pada jumlah dan distribusi ukuran butir tanah yang melewati saringan No.10 (2,0 mm) berdasarkan proses sedimentasi tanah (SNI 3423:200). Tanah kering udara ditimbang sebanyak 20 g kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer berukuran 500 ml. Selanjutnya ditambahkan 15 ml air dan 15 ml larutan H2O2 30%, dikocok memutar, dan dibiarkan selama 12 jam. Sampel tanah diletakkan di atas hot plate dengan suhu rendah, kemudian ditambahkan larutan H2O2 30% secara perlahan sampai tidak timbul buih. Kemudian ditambahkan air hingga mencapai volume 300 ml. Larutan tersebut kemudian ditempatkan di atas hot plate dengan suhu dinaikkan secara perlahan dan didihkan selama 1 jam (untuk menghilangkan sisa H2O2 30%). Setelah dingin ditambahkan 25 ml larutan Na4P2O7 5% dan dibiarkan selama 12 jam. Sampel dikocok menggunakan pengocok selama 5 menit, lalu pasirnya dipisahkan dengan ayakan 0,053 mm. Pasir dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 oC sampai konstan. Kemudian filtratnya digunakan untuk proses penentuan fraksi debu dan fraksi liat. Pada penentuan fraksi debu dan fraksi liat, filtrat hasil saringan dimasukkan ke dalam tabung 1000 ml, dikocok sampai larutan mengendap dan ditempatkan di dalam bak. Setelah itu dipipet sebanyak 20 ml, dan dipindahkan ke tin timbangan dalam cawan petri. Filtrat tersebut kemudian dikeringkan dalam oven selama 24 jam dengan suhu 105 oC. Hasil ini menunjukkan fraksi ±50 µ = berat B. Setelah waktu pemipetan kedua, dipipet lagi sebanyak 20 ml dan dimasukkan ke dalam tin, dikeringkan dalam oven selama 24 jam lalu ditimbang. Berat ini menunjukkan berat fraksi yang berukuran lebih kecil dari 50 µ = berat C. Kemudian dipipet lagi sebanyak 20 ml dan dimasukkan ke dalam tin, dikeringkan dalam oven selama 24 jam lalu ditimbang. Berat fraksi ini menunjukkan fraksi yang lebih kecil dari 2 µ = berat D. Kemudian dilakukan perhitungan berdasarkan manual tersebut.

  • 2.6    Pengukuran Kejenuhan Air Baku

Tingkat kejenuhan air diukur dengan menggunakan alat boumehydrometer, yaitu dengan memasukkan boumehydrometer ke dalam zat cair (air baku garam). Hasil pengukuran ditunjukkan oleh angka pada skala di mana angka tersebut ditunjuk oleh zat cair yang bergerak naik di dalam boumehydrometer. Satuan ukuran untuk

massa jenis yang diukur oleh hidrometer adalah Be (Kurniawan et al., 2019). Pengukuran dilakukan pada sumber air baku garam yang berdekatan dengan setiap lokasi pengambilan sampel.

  • 2.7    Pengambilan Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari data perusahaan PT. Cheetham Garam Indonesia Cabang Nggolonio dan Stasiun Meteorologi Komodo. Data yang diperoleh dari PT. Cheetham Garam Indonesia Cabang Nggolonio meliputi parameter curah hujan, kelembaban udara, kecepatan angin, suhu udara, dan penguapan, sedangkan data yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Komodo adalah data parameter lama penyinaran matahari.

  • 2.8    Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis    kuantitatif untuk memudahkan

pengambilan kesimpulan terkait kesesuaian lokasi produksi garam.

  • 2.8.1    Perhitungan Indeks Kesesuaian Garam (IKG)

Perhitungan didasarkan pada tingkat kesesuaian sembilan indikator lokasi produksi garam. Tingkat Kesesuaian lokasi dihitung dengan rumus penilaian kelas fisik tambak garam berikut ini.

IKG = (Ni / Nmaks) × 100%              (2)

dimana IKG adalah indeks kesesuaian lokasi produksi; Ni adalah nilai parameter ke-i (bobot ×

skor); Nmak adalah nilai maksimum dari suatu kategori. Kriteria kesesuaian berdasarkan skor IKG sebagai berikut: >85% adalah Sangat Sesuai (S1); 80-84% adalah Cukup Sesuai (S2); 75-79% adalah Sesuai Bersyarat (S3); <75% adalah Tidak Sesuai (N). Pengkategorian Indeks Kesesuaian garam (IKG) tersebut ditampilkan pada Tabel 1.

  • 3.    Hasil

    • 3.1 . Permeabilitas Tanah

Rata-rata nilai permeabilitas tanah pada lokasi yang belum dimanfaatkan yaitu pada Lokasi I adalah 1,3×10-3 k, Lokasi IV adalah 2,0×10-3 k, dan Lokasi V adalah 1,8×10-3 k. Pada lokasi yang dimanfaatkan oleh petani garam diperoleh rata-rata pada Titik II adalah 1,2×10-3 k. Kemudian pada lokasi yang dimanfaatkan oleh perusahaan garam diperoleh rata-rata permeabilitas tanah adalah 1,8×10-3 k. Nilai permeabilitas tanah secara keseluruhan ditampilkan pada Tabel 2.

  • 3.2    Tekstur Tanah

Berdasarkan hasil analisis pada setiap lokasi, terdapat dua lokasi dengan tekstur tanah lempung yaitu pada Lokasi I dan IV, dua lokasi bertekstur tanah lempung berliat yaitu pada lokasi III dan IV, dan satu lokasi bertekstur tanah lempung berdebu yaitu pada lokasi II. Tekstur tanah secara keseluruhan ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 1.

Nilai Parameter Indeks Kesesuaian Garam (IKG)

Parameter

Bobot

Kategori S1

Kategori S2

Kategori S3

Kategori N

Nilai

Skor

Nilai

Skor

Nilai

Skor

Nilai

Skor

Curah hujan (mm)

5

<10

4

10-100

3

100-200

2

>200

1

Permebialitas tanah (k)

5

1×10-4

4

1×10-3

3

< 1×10-2

2

<1×10-1

1

Jenis tanah

5

Clay

4

Sandy Clay

3

Loam

2

Silty

1

Lama penyinaran (jam/hari)

5

>8,7

4

5,5-8,6

3

2,3-5,4

2

<2,3

1

Kelembapan udara (%)

5

<45-59

4

60-74

3

75-90

2

>90

1

Kecepatan angin (m/s)

5

>5,7

4

4,1-5,7

3

2,4-4,0

2

>2,4

1

Suhu udara (oC)

5

>32

4

28,5-32

3

5-28,4

2

<25

1

Penguapan (mm/hari)

5

>2,0

4

1,5 2,0

3

1,0-1,4

2

<1,0

1

Kejenuhan air bahan baku (oBe)

5

≥ 2

4

1,5-1,9

3

1,0-1,5

2

<1

1

Keterangan. S1: Sangat Sesuai; S2: Cukup Sesuai; S3: Sesuai Bersyarat; N: Tidak Sesuai Sumber: (Kurniawan et al., 2019).


Tabel 2.

Kesesuaian Lokasi Produksi Garam di Desa Nggolonio

No.

Parameter

Lokasi

I

II

III

IV

V

1

Curah hujan (mm)

0,2

0,2

0,2

0,2

0,2

2

Permeabilitas tanah (k)

1,3×10-3

1,2×10-3

1,3×10-3

2,0×10-3

1,8×10-3

3

Tekstur tanah

Lempung      Lempung

Lempung

Lempung

Lempung

4

Lama penyinaran (jam/hari)

9,6

9,6

9,6

9,6

9,6

5

Kelembaban udara (%)

31

31

31

31

31

6

Kecepatan angin (m/s)

7,5

7,5

7,5

7,5

7,5

7

Suhu udara (oC)

31

31

31

31

31

8

Penguapan (mm/hari)

7,8

7,8

7,8

7,8

7,8

9

Kejenuhan air baku (oBe)

3,8

2,8

3,8

3,0

2,5

Tabel 3.

Perhitungan Skor Berdasarkan Setiap Parameter Pada Lokasi I

– Lokasi V

No.

Parameter Sekunder

Kategori

Bobot

Skor

Ni

1

Curah hujan (mm)

S1

5

4

20

2

Permeabilitas tanah (k)

S2

5

3

15

3

Tekstur tanah

S3

5

2

10

4

Lama penyinaran (jam/hari)

S1

5

4

20

5

Kelembaban udara (%)

S1

5

4

20

6

Kecepatan angin (m/s)

S1

5

4

20

7

Suhu udara (oC)

S2

5

3

15

8

Penguapan (mm/hari)

S1

5

4

20

9

Kejenuhan air baku (oBe)

S1

5

4

20

Berdasarkan Tabel 3, maka nilai Indeks Kesesuaian Garam (IKG) pada Lokasi I – Lokasi V adalah : IKG = (Ni / Nmaks) × 100 %

= (160 / 180) × 100 %

= 88,89 %


  • 3.3    Kejenuhan Air Baku

Berdasarkan hasil analisis, nilai kejenuhan air baku pada kelima lokasi berkisar dari 2,0o – 4,0oBe. Rata-rata nilai kejenuhan air baku terendah berada pada lahan yang belum dimanfaatkan yaitu pada lokasi V, dan rata-rata nilai kejenuhan air baku tertinggi juga berada pada lahan yang belum dimanfaatkan yaitu pada Lokasi I. Nilai Kejenuhan air baku dapat dilihat pada Tabel 2.

  • 3.4    Kesesuaian Lokasi Produksi Garam

Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa pada kelima lokasi tersebut memiliki nilai Ni yang sama yaitu 160 sehingga Indeks Kesesuaian Garam (IKG) pada Lokasi I – Lokasi V adalah sebesar 88,89%.

  • 4.    Pembahasan

    • 4.1    Kesesuaian Parameter Lingkungan untuk Produksi Garam

Curah hujan dalam bulan November 2019 termasuk ke dalam curah hujan rendah dengan rata-rata sebesar 0,2 mm. Menurut Kumala dan Sugiarto (2012), curah hujan rendah mengakibatkan produksi garam menjadi lancar karena salinitas air garam pada kolam penguapan meningkat secara signifikan dengan didukung oleh penguapan yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka nilai indeks curah hujan adalah sebesar 20. Nilai ini termasuk dalam kategori S1 (sangat sesuai untuk lokasi produksi garam). Menurut Zuhud (2014) curah hujan menjadi salah satu penentu keberhasilan target produksi garam, sehingga rata-rata intensitas curah hujan dalam setahun merupakan indikator yang terkait dengan lama musim kemarau. Lama musim kemarau berpengaruh terhadap tingkat penguapan air di lokasi produksi garam. Selain curah hujan, parameter lingkungan lainnya yang berpengaruh adalah lama penyinaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata lama penyinaran pada bulan November 2019 adalah sebesar 9,6 jam/hari dengan nilai indeks 20, sehingga masuk ke dalam kategori kelas S1 (sangat sesuai untuk

lokasi produksi garam). Menurut Hamdi (2014) lama penyinaran matahari lebih dari 5,0 jam/hari digolongkan ke dalam lama penyinaran yang relatif panjang. Lama penyinaran di lokasi produksi garam sangat berpengaruh pada laju penguapan, dimana semakin lama durasi penyinaran matahari maka semakin tinggi laju penguapan, sehingga dapat meningkatkan nilai kejenuhan air bahan baku pembuatan garam (Tambunan et al ., 2012). Hal ini berkaitan erat dengan nilai penguapan dan kecepatan angin yang ada di lokasi-lokasi tersebut. Rata-rata penguapan pada bulan November 2019 adalah sebesar 7,8 mm/hari dengan penguapan minimum 5,0 mm/hari dan penguapan maksimum 10,0 mm/hari. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Indeks Kesesuaian Garam (IKG) parameter penguapan memiliki nilai indeks 20, sehingga masuk ke dalam kategori kelas S1 (sangat sesuai untuk lokasi produksi garam). Sedangkan nilai kecepatan angin pada bulan November 2019 adalah sebesar 7,5 m/s. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Indeks Kesesuaian Garam adalah 20 sehingga masuk ke dalam kategori S1 (sangat sesuai untuk lokasi produksi garam). Kecepatan angin sangat berpengaruh dalam penentuan lokasi tambak garam karena akan mempengaruhi kecepatan penguapan air, dimana semakin besar penguapan maka semakin besar jumlah kristal garam yang mengendap (Tambunan et al., 2012). Rata-rata kelembaban udara pada bulan November 2019 di Desa Nggolonio adalah 31% dengan nilai indeks 20 sehingga masuk ke dalam kategori kelas S1 (sangat sesuai untuk lokasi produksi garam). Kelembaban udara mempengaruhi proses pemindahan uap air. Jika kelembaban udara tinggi maka laju penguapan menjadi lambat, sebaliknya jika kelembaban rendah maka laju penguapan semakin besar (Gustiawati, 2016). Parameter kelembaban udara juga diketahui terkait erat dengan suhu udara. Suhu udara berpengaruh terhadap laju penguapan, dimana semakin tinggi suhu udara maka penguapan yang terjadi semakin cepat (Jaya, 2010). Rata-rata suhu udara pada bulan November 2019 adalah 31 oC dengan suhu minimum 29 oC dan suhu maksimum 32 oC. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Indeks Kesesuaian Garam adalah 15 sehingga masuk ke dalam kategori S2 (cukup sesuai untuk lokasi produksi garam). Parameter lingkungan lainnya yang berpengaruh adalah permeabilitas tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa permeabilitas

tanah Lokasi I dikategorikan sedang dengan nilai permeabilitas 1,3×10-3 k, Lokasi II dikategorikan sedang dengan nilai permeabilitas 1,2×10-3 k, Lokasi III dikategorikan sedang dengan nilai permeabilitas 1,3×10-3 k, Lokasi IV dikategorikan agak cepat dengan nilai permeabilitas 2,0×10-3 k, dan permeabilitas tanah Lokasi V dikategorikan agak cepat dengan nilai permeabilitas 1,8×10-3 k. Berdasarkan hasil analisis, maka nilai Indeks Kesesuaian Garam (IKG) parameter permeabilitas tanah pada kelima lokasi produksi garam tersebut adalah 15. Hasil ini menunjukkan bahwa kelima lokasi tersebut berdasarkan tingkat permeabilitas tanah termasuk dalam kategori kelas S2 (cukup sesuai untuk lokasi produksi garam). Permeabilitas tanah berkaitan erat dengan parameter tekstur tanah. Berdasarkan pengamatan di kelima lokasi penelitian, diketahui beberapa sifat fisik tanah diantaranya warna tanah di setiap lokasi pengamatan cenderung berwarna gelap, permeabilitasnya tergolong sedang hingga agak cepat, dan tekstur tanah di setiap lokasi relatif sama yakni berlempung, lempung berdebu dan lempung berliat. Menurut Acosta (1977) dalam Ghufran (2010) bahwa tanah liat dan berlumpur sangat baik dijadikan sebagai lokasi tambak karena tanah yang demikin sangat keras dan akan retak bila dikeringkan, sedangkan dalam kondisi basah mempunyai kemampuan yang baik dalam menahan air. Kelima lokasi pengambilan sampel ini berada sekitar 50 – 100 meter dari kawasan mangrove. Hasil analisis ini didukung oleh pernyataan Mahmud et al., (2014) bahwa jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya fraksi lempung berdebu sebagai akibat dari rapat perakaran yang ada. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 2 tekstur tanah pada kelima lokasi tersebut digolongkan ke dalam tekstur tanah lempung, yang termasuk dalam kategori kelas S3 dengan nilai Indeks Kesesuaian Garam (IKG) adalah 10 (sesuai bersyarat untuk lokasi produksi garam). Faktor lingkungan lainnya adalah kejenuhan air baku. Tingkat kejenuhan air baku menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi garam. Menurut Kurniawan et al., (2019) kejenuhan air baku yang baik untuk proses produksi garam adalah ≥ 2. Hasil pengukuran rata-rata tingkat kejenuhan air baku pada Lokasi I sebesar 3,8oBe, Lokasi II sebesar 2,8oBe, lokasi III sebesar 2,8oBe, Lokasi IV sebesar 3,0oBe, dan Lokasi V sebesar 2,5oBe. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Indeks

Kesesuaian Garam (IKG) parameter kejenuhan air baku pada kelima lokasi tersebut memiliki nilai indeks 20, sehingga masuk ke dalam kategori kelas S1 (sangat sesuai untuk lokasi produksi garam).

  • 4.2    Tingkat Kesesuaian Lokasi Produksi Garam

Hasil analisis nilai Indeks Kesesuaian Garam (IKG) total pada kelima lokasi tersebut memiliki nilai yang sama yaitu 88,89 % yang menunjukkan bahwa kelima lokasi ini sangat sesuai untuk produksi garam. Namun terdapat perbedaan di masing-masing lokasi berdasarkan beberapa parameter. Lokasi I merupakan lahan kosong yang belum dimanfaatkan, memiliki sumber air baku dengan tingkat kejenuhan yang paling tinggi dibandingkan dengan lokasi lain yaitu 3,8oBe, sedangkan tingkat kejenuhan air baku yang paling rendah berada pada Lokasi V yaitu 2,5oBe. Menurut Kurniawan et al., (2019) tingkat kejenuhan air baku akan menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi garam. Pada parameter tekstur tanah, hasil analisis menunjukkan tesktur tanah di setiap lokasi digolongkan dalam tekstur tanah lempung. Tekstur tanah lempung sangat berhubungan dengan permeabilitas tanah, apabila tekstur tanah tergolong dalam tekstur tanah lempung maka permeabilitas tanah akan rendah atau tergolong dalam kriteria lambat (Mahmud et al., 2014). Pada penelitian terdahulu oleh Kurniawan et al., (2019), lokasi produksi garam di Kabupaten Tuban memiliki nilai IKG total 86,84 % yang mengindikasikan lokasi tersebut sudah sangat sesuai untuk lokasi produksi garam. Namun letak lokasi produksi garam di Kabupaten Tuban tidak berada di dekat sumber air baku, sedangkan pada penelitian ini lokasi produksi garam oleh petani garam, perusahaaan garam, dan lahan kosong berada sekitar 50-100 meter dari sumber air baku pembuatan garam. Hal ini didukung oleh hasil analisis tingkat kejenuhan air baku rata-rata di Kabupaten Tuban adalah 2,0oBe, sedangkan rata-rata tingkat kejenuhan air baku di Desa Nggolonio Kabupaten Nagekeo berkisar 2,5o – 3,8o Be.

  • 5.    Simpulan

Indeks Kesesuaian Garam (IKG) pada kelima lokasi di Desa Nggolonio, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur memiliki nilai indeks yang sama yaitu 88,89 %. Berdasarkan nilai indeks tersebut maka kelima lokasi ini masuk ke dalam

kategori Sangat Sesuai (S1) sebagai lokasi produksi garam.

Ucapan Terimakasih

Terima kasih kepada PT. Cheetham Garam Indonesia Cabang Nggolonio yang telah memberikan izin untuk pengambilan data sekunder, dan Pemerintah setempat yang telah memberi ijin untuk melakukan penelitian di Desa Nggolonio, Kabupaten Nagekeo.

Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagekeo. (2015). Nagekeo dalam Angka 2015. Mbay: BPS Kabupaten Nagekeo.

De Boodt. (1967). Agregate stability determination by the change in mean weight diameter. in West-European methods for soil structure determination, add. By The West European Working Group On Soil Structure Of The ISSC. Ghent, VI : 28.

Ghufran. (2010). Budidaya Ikan Bandeng untuk Umpan. Jakarta, Indonesia: Akademia.

Gustiawati, N. (2016). Peningkatan Kualitas Garam Rakyat dengan Metode Rekristalisasi. [Skripsi]. Surabaya, Indonesia: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Hamdi, S. (2014). Mengenal Lama Penyinaran Matahari Sebagai Salah Satu Parameter Klimatologi. Jurnal Sains Dirgantara, 15(1), 7-16.

Ihsannudin., Pinujib, S., Subejo., & Bangko, B. S. (2016). Strategi Pemberdayaan Ekonomi Petani Garam Melalui Pendayagunaan Aset Tanah Pegaraman. Journal Economi Development Analysis. 5(4), 395-409.

Jaya, R, M. (2010). Evaporasi. Jember, Indonesia: Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember.

Kumala, A., & Sugiarto, Y. (2012). Analisis Pengaruh

Curah Hujan terhadap Produktivitas Garam (Studi Kasus: Pegaraman I Sumenep, PT.Garam (Persero). Dalam Prosiding Seminar Nasional Sains IV. Bogor: Indonesia. 10 November 2012.

Kurniawan, A., Jaziri, A. A., Amin, A. A., & Salamah, A. A. (2019). Indeks Kesesuaian Garam (IKG) Untuk Menentukan Kesesuaian Lokasi Produksi Garam; Analisis Lokasi Produksi Garam di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Probolinggo. Journal of Fisheries and Marine Research, 3(2), 236-244.

Mahmud., Wardah., & Toknok, B. (2014). Sifat Fisik

Tanah di Bawah Tegakan Mangrove di Desa Tumpapa Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal Ilmiah Kehutanan, 2(1), 129-13

Soil Survey Staff. (2012). Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta, Indonesia: Erlangga.

Tambunan, B. R., Hariyadi., & Santoso. A. (2012). Evaluasi Kesesuaian Tambak Garam Ditinjau Dari Aspek Fisik di Kecamatan Juwana Kabupaten Pati. Journal of Marine Research, 1(2), 181-187.

Zuhud, A. (2014). Analisis Pengaruh Laju Evaporasi dan Curah Hujan Terhadap Produksi Garam di Lahan Penggaraman PT Garam (Persero) Sumenep. [Skripsi]. Bandung, Indonesia: Institut Pertanian Bogor.

Curr.Trends Aq. Sci. IV(1): 170-177 (2021)