Current Trends in Aquatic Science IV(2), 133-140 (2021)

Strategi Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Konservasi pada Objek Wisata Alam Trekking di Tahura Ngurah Rai, Bali

Atsna Qi Doma T. Manihuruk a*, I Wayan Restu a, I Wayan Darya Kartika a a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Badung, Bali-Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-821-6738-0120

Alamat e-mail: atsnamanihuruk07@gmail.com

Diterima (received) 1 Oktober 2020; disetujui (accepted) 23 November 2020; tersedia secara online (available online) 30 Agustus 2021

Abstract

The aim of this research was to explain the legal aspects of trekking nature tourism object, to determined the zones of this place existence and to explain the strategies management of mangrove ecotourism in trekking nature tourism object. The methods of this research were using survey, purposive sampling and accidental sampling. The data were analized using a content analysis and SWOT analysis. The results indicates that the development of that place has already been legal as the tourist attraction. This statement is according to the decree of the Minister of Forest Number 544/Kpts-II/1993 on September 25, 1993. The development of this place is also on the right zone, the place is located in the utilization zone. And, this research resulted 6 strategies namely; improved the infrastructure and providing dustbins, toilet revitalitation and reconstruction the bridges, conduct waste management with an integrated system which is based on community management that involved people around the place, increasing the diversification of tourist attraction objects, increasing the promotion by joining the tourism developers. The last but not least, is about issuance of PERDA (Peraturan Daerah) to control and made an ideal price for tickets, and improved the human resource management.

Keywords: Ecotourism; Legality; Tourism object; Tourism Zones; Strategy

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan aspek legalitas pada objek wisata alam trekking, untuk mengetahui zona keberadaan objek wisata alam trekking dan untuk memaparkan strategi pengelolaan ekowisata mangrove pada objek wisata alam trekking. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode survei, purposive sampling dan accidental sampling. Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data yaitu, analisis isi dokumen dan analisis SWOT. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan objek wisata trekking sudah memiliki status yang legal untuk dijadikan sebagai tempat wisata. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 544/Kpts-II/1993, pada tanggal 25 september 1993. Pengembangan objek wisata alam trekking juga sudah berada pada blok yang benar, yaitu pada blok pemanfaatan. Strategi yang dihasilkan ada 6 yaitu: Meningkatkan infrastruktur berupa penambahan tempat sampah, revitalisasi toilet dan jembatan, melakukan pengelolaan sampah dengan sistem terpadu berbasis community-based management yang melibatkan masyarakat sekitar, meningkatkan diversifikasi ODTW (objek daya tarik wisata), meningkatkan promosi melalui publikasi dan join venture dengan pengembang pariwisata, penerbitan PERDA tentang tarif biaya masuk serta meningkatkan sumber daya manusia.

Kata Kunci: Ekowisata; Legalitas; Objek Wisata; Strategi; Zonasi

1. Pendahuluan


Salah satu kawasan mangrove di Indonesia yaitu terdapat di Bali. Ekosistem mangrove di pulau Dewata tersebar pada beberapa lokasi dengan

cakupan luas sebesar 3.067,71 ha, salah satunya berada di Tanjung Benoa dan Pulau Serangan yang disebut sebagai bagian dari Tahura (Taman Hutan Raya) Ngurah Rai dengan luas 1.373,5 ha (Susiana, 2015).

Mangrove merupakan salah satu jenis vegetasi hutan yang dapat tumbuh di tanah alluvial seperti di daerah pantai dan juga di area sungai yang sangat dipengaruhi oleh pasang maupun surutnya air laut. Ekosistem mangrove memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai tempat wisata dan mempunyai sumbangsih dalam hal pelestarian alam dan lingkungan. Ekowisata pada hutan mangrove dipandang dapat bersinergi dengan langkah konservasi ekosistem hutan mangrove secara nyata (Mulyadi dan Fitriani, 2012). Potensi mangrove yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata sekaligus sebagai upaya rehabilitasi dan konservasi kawasan mangrove yaitu; antraksi wisata mangrove, bird watching, trekking, canoeing, fishing, booting dan mangrove tree plantation or adaption (Wahyuni et al., 2006).

Salah satu kawasan mangrove yang ada di Tahura yang dijadikan tempat ekowisata yaitu kawasan objek wisata alam trekking. Ekosistem mangrove ini memiliki nilai strategis. Melihat letak tempat wisata ini yang demikian strategis, maka kawasan- kawasan disekitarnya mengalami perkembangan yang sangat pesat. Akan tetapi berdasarkan evaluasi, tempat wisata ini belum berkembang dengan baik diduga karena pengelolaannya belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek legalitas, mengetahui keberadaan zonasi dan untuk mengetahui strategi pengelolaan ekowisata mangrove yang ada pada objek wisata alam trekking.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di objek wisata alam trekking, Jl. By Pass Ngurah Rai, KM. 21, Suwung Kauh, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali. Penelitian dilaksanakan terhitung sejak bulan Februari sampai Maret 2020. Pengambilan sampel dilakukan selama 2 bulan dengan melakukan wawancara dengan pengunjung sebanyak 300 orang dan wawancara dengan pengelola sebanyak 6 orang. Peta lokasi disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian (Ojek Wisata Alam Trekking), Bali. Sumber: Google Earth, 2019.

  • 2.2    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah Purposive sampling dan Accidental sampling yang untuk mengumpulkan jawaban responden. Adapun metode analisis isi digunakan untuk menganalisis ini dokumen terkait aspek legalitas dan zonasi.

  • 2.3    Analisis Data

    • 2.3.1    Aspek Legalitas

Aspek legalitas dianalisis dengan menggunakan analisis isi. Analisis isi merupakan sebuah cara yang digunakan untuk menggambarkan berbagai bentuk komunikasi seperti yang terdapat pada surat kabar, film, buku dan lainnya. Dengan memakai metode ini, maka akan didapat sebuah pemahaman tentang berbagai macam isi pesan dari komunikasi yang telah disampaikan oleh media massa maupun dari berbagai sumber dengan cara yang obyektif, relevan dan terstruktur.

  • 2.3.2    Zonasi

Keberadaan zonasi pada objek wisata alam trekking di Tahura Ngurah Rai dapat dianalisis dengan metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif ialah salah satu metode yang digunakan dalam penelitian dengan tujuan untuk memberikan suatu gambaran mengenai berbagai fenomena yang terjadi dan berlangsung baik saat ini maupun di masa yang lampau.

  • 2.3.3    Strategi Pengelolaan Objek Wisata Alam Trekking

Untuk mengetahui strategi pengelolaan objek wisata alam trekking dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT yaitu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan internal pada satu sisi serta peluang dan ancaman eksternal pada sisi yang lain (Rauch et al., 2015). Adapun rumus yang digunakan untuk mengetahui keempat hal tersebut yaitu dengan membaginya menjadi dua variabel yaitu variabel x dan y. Variabel x diperoleh dari strength-weakness,   sedangkan

variabel y diperoleh dari opportunitythreats.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Aspek Legalitas

Objek wisata alam trekking yang terletak di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai merupakan suatu tempat wisata yang dahulunya dikenal dengan nama Mangrove Information Center (MIC) yang didirikan pada tahun 1992. Sejak tahun tersebut, kawasan MIC dijadikan sebagai destinasi wisata yang didalamnya terdapat berbagai program di antaranya; program mangrove education, tour dan trekking, mangrove three plantation or adaption dan canoing. Mangrove Information Center merupakan proyek kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang. Proyek ini berakhir pada tahun 1997 (Sudiarta, 2006).

Pasca tahun 1997 kawasan yang dulunya dikenal dengan MIC kini dikelola oleh pihak UPT Tahura Ngurah Rai. Kawasan Tahura Ngurah Rai ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Menteri yang tertuang di Nomor: 544/Kpts-II/1993, pada tahun 1993. Berawal dari kawasan Hutan Prapat Benoa dengan luas 1.373.50 ha diubah fungsinya menjadi Taman Wisata Alam Prapat Benoa Suwung. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 885/Kpts-II/92, pada tanggal 8 september 1992.

Dilihat dari potensi yang dimiliki oleh Taman Wisata Alam Prapat Benoa Suwung seperti; keanekaragaman flora dan fauna, panorama alam yang sangat indah dan akses yang baik untuk keperluan pariwisata. Berdasarkan potensi tersebut, maka pada tahun 1993 Taman Wisata Alam Prapat Benoa Suwung berubah fungsi menjadi Tahura yang selanjutnya diberi nama “Tahura Ngurah Rai”.

  • 3.2    Zonasi

Penetapan zonasi di Tahura Ngurah Rai menjadi sangat penting, untuk memelihara dan melindungi keseimbangan ekosistem mangrove, air, nutrisi dan organisme yang terdapat di dalamnya. Gambar peta zona/blok pengelolaan Tahura Ngurah Rai disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta zona pengelolaan Tahura Ngurah Rai Sumber: UPT Tahura Ngurah Rai, 2020

Berdasarkan gambar peta diatas terlihat bahwa kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai terdiri dari 3 blok, yaitu; blok perlindungan, blok pemanfaatan intensif dan blok lainnya (meliputi; blok pemulihan/restorasi/rehabilitasi, blok religi, budaya, sejarah dan blok khusus) (Rencana Pengelolaan Tahura Ngurah Rai, 2012). Objek wisata alam trekking terletak pada blok pemanfaatan yang berada di Desa Pemogan. Luas hutan mangrove yang telah dimanfaatkan sebagai tempat wisata ini yaitu 102 ha.

  • a.    Blok Perlindungan

Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, blok ini dijadikan sebagai kawasan untuk wilayah tempat perlindungan jenis tumbuhan, satwa dan ekosistem. Blok ini merupakan salah satu tempat yang dapat mendukung kepentingan pelestarian zona inti di Kawasan Tahura Ngurah Rai, blok perlindungan seluas 610 ha. Pada prinsipnya kegiatan yang dilakukan pada blok ini lebih bersifat perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

  • b.    Blok Pemanfaatan Intensif

Blok pemanfaatan merupakan blok yang dapat mendukung kegiatan pariwisata alam, rekreasi, jasa lingkungan karena memiliki potensi dari segi letak dan kondisinya. Adapun objek wisata yang telah dikembangkan yaitu terletak di Pemogan.

Selain itu dapat juga digunakan untuk pengembangan pendidikan dan penelitian.

  • c.    Blok Khusus

Blok khusus merupakan blok lain yang diperuntukkan bagi aktivitas penduduk secara khusus dan kepentingan pembangunan non konservasi seperti sarana telekomunikasi dan listrik, fasilitas transportasi, panas bumi dan lainnya yang bersifat strategis. Blok ini meliputi; blok pemulihan/restorasi/rehabilitasi, blok religi, budaya dan sejarah serta blok khusus.

  • 3.3    Faktor Internal Pengelolaan Mangrove

Faktor Internal pengelolaan ekowisata mangrove terdiri dari strength dan weakness. Hasil dari strength dan weakness diperoleh dari hasil wawancara dengan pengunjung dan pengelola. Faktor internal pengelolaan mangrove disajikan pada Tabel 1.

Terdapat beberapa faktor internal yang merupakan daya tarik dari objek wisata alam trekking. Faktor internal terdiri dari strength yaitu, terkait dengan lokasi, keamanan, kondisi lingkungan dan pemandangan alam. Pertama, lokasi yang strategis adalah kekuatan yang memiliki nilai tertinggi. Hal ini dikarenakan letak geograis dari objek wisata ini berada di Pulau Bali. Diman Bali merupakan tujuan wisata favorit bagi wisatawan mancanegara maupun domestik. Kedua, yaitu berhubungan dengan keamanan lokasi dari

tindak kriminal. Objek wisata alam trekking memiliki keamanan yang cukup baik karena yang cukup baik karena tempat ini dijaga oleh aparat keamana (polisi hutan). Dengan keamanan yang demikian, memungkinkan para pengunjung untuk melakukan aktivitas dengan nya dan bebas dari gangguan. Ketiga yaitu, dikelilingi oleh masyarakat sekitar dimana masyarakat tersebut juga dilibatkan dalam pengelolaan objek wisata alam trekking dengan memanfaatkan kearifan lokal. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam pengelolaan tempat tersebut maka masyarakat juga menerima insentif dari hasil ekowisata. Pelibatan masyarakat lokal secara aktif harus dimulai dari tahap perencanaan hingga tahap pelaporan, dan proses ini didokumentasikan untuk mempermudah pelacakan dan replikasi di tempat lain (Nguyen et al., 2016). Keempat, pemandangan alam dan keanekaragaman tumbuhan yang juga menarik, dimana di tempat ini ditemukan berbagai jesis dari vegetasi mangrove. Pada Tahura Ngurah Rai tedapat 16 jenis vegetasi mangrove (Rencana Pengelolaan Tahura, 2012). Kelima, yaitu kondisi tempat parkir, warung dan pusat informasi. Kondisi tersebut cukup bersih sehingga membuat para pengunjung nyaman dan puas selama berkunjung.

Selain strength, faktor internal juga terdiri dari weakness yang berkaitan dengan rambu-rambu petunjuk jalan dan kondisi jembatan. Pertama, yaitu masih kurangnya rambu-rambu petunjuk jalan pada tempat wisata tersebut. Banyak

Tabel 1.

Faktor Internal pengelolaan mangrove

No

Faktor Kekuatan (Strength)

Bobot

Rating

Skor

1

Lokasi yang strategis

0,152

5

0,760

2

Keamanan lokasi wisata dari tindak kriminal

0,121

4

0,484

3

Terdapat masyarakat di sekitar mangrove dengan kearifan lokalnya yang dapat dilibatkan dalam pengelolaan mangrove

0,121

4

0,484

4

Tumbuhan yang menarik

0,121

4

0,484

5

Pemandangan alam menarik

0,121

4

0,484

6

Kondisi parkir, warung dan pusat informasi baik dan bersih

0,121

4

0,484

7

Nyaman dalam menikmati pemandangan dan mengamati tumbuhan dan hewan

0,121

4

0,484

8

Kepuasan dalam penggunaan parkir, warung

0,121

4

0,484

Total

1

33

4,148

No

Faktor Kelemahan (Weakness)

Bobot

Rating

Skor

1

Rambu-rambu petunjuk dalam kawasan wisata belum memadai

0,375

3

1,125

2

Kondisi jembatan kurang baik

0,25

2

0,5

3

Ketidakpuasan dan ketidaknyamanan pada saat menelusuri jembatan

0,25

2

0,5

4

Kurangnya kesadaran masyarakat terkait pembuangan sampah

0,125

1

0,125

Total

1

8

2,25


Tabel 2

Faktor eksternal pengelolaan hutan mangrove

No

Faktor peluang (Opportunity)

Bobot

Rating

Skor

1

Dekat dengan objek wisata lain

Cth: pantai Sanur, Kuta, Jimbaran dan Nusa Dua

0,556

5

2,78

2

Komitmen pemerintah untuk mengelola mangrove

0,444

4

1,776

Total

1

9

4,556

No

Faktor ancaman (Threat)

Bobot

Rating

Skor

1

Pembuangan sampah/limbah di daerah hulu

0,5

2

1

2

Pembangunan infrastruktur karena lokasi yang strategis

0,5

2

1

Total

1

4

2


pengunjung yang tidak tahu harus berjalan ke arah mana, karena pada tempat wisata terdapat beberapa jalan yang bercabang. Kedua, yaitu kondisi jembatan yang kurang memadai dikarenakan manajemen terkait daya dukung dan daya tampung tidak sesuai. Saat ini beberapa kayu pada jembatan tersebut sudah terlepas dab bahkan ada yang sudah tidak bisa dilewati sama sekali. Hal ini mengakibatkan para pengunjung menjadi kurang nyaman saat menelusuri kawasan hutan mangrove. Ketiga, yaitu banyaknya sampah yang berserakan di sekitar kawasan hutan mangrove. Sampah-sampah ini berasal dari sungai, pasang surut air laut dan hasil limbah rumah tangga masyarakat sekitar. Pada kawasan mangrove juga

Tabel 3

terdapat penggunaan kawasan diluar kegiatan kehutanan diantaranya Tempat Pembuangan Akhir (TPA), Dam estuary dan lainnya (Lugina, 2017).

  • 3.4    Faktor Eksternal Pengelolaan Mangrove

Faktor eksternal pengelolaan ekowisata mangrove terdiri dari opportunity dan threats. Hasil ini diperoleh lewat wawancara dengan pengunjung dan pengelola objek wisata alam trekking. Faktor eksternal pengelolaan mangrove disajikan pada Tabel 2. Peluang utama dalam pengelolaan objek wisata ini adalah lokasinya yang dekat dengan objek wisata lain. Objek wisata ini terletak di segitiga emas pusat pariwisata Bali, dimana lokasinya berdekatan dengan pantai Kuta, Sanur,

Strategi-strategi alternatif SWOT

No

Peluang (Opportunities)

Strategi S - O

Strategi W - O

1

2

Dekat dengan objek wisata lain, cth: pantai Sanur, Kuta, Jimbaran dan Nusa Dua

Pemerintah berkomitmen untuk mengelola hutan mangrove

Pengembangan pariwisata dengan melibatkan masyarakat dan kearifan lokal.

Menyiapkan infrastruktur sebagai penunjang pengembangan tempat wisata

Melakukan pengelolaan sampah dengan sistem terpadu berbasis communit- based management serta melibatkan masyarakat Meningkatkan Market melalui publikasi (promosi) dan join venture/ kemitraan dengan pengembang pariwisata

Meningkatkan infrastruktur terkait aksesibilitas agar bus bisa masuk ke tempat wisata tersebut.

Meningkatkan diversifikasi ODTW (Objek Daya Tarik Wisata)

Pemerintah segera menerbitkan PERDA tentang pungutan biaya masuk

No

Ancaman (Threats)

Strategi S - T

Strategi W - T

1

2

Pembuangan sampah/limbah di daerah hulu

Infrastruktur Pembangunan karena lokasi yang strategis

Membuat Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di pemukiman, dan bekerja sama dengan desa-desa sekitar.

Perencanaan pembangunan yang strategis untuk menghindari alih fungsi lahan

Meningkatkan infrastruktur yang mendukung fasilitas umum dan fasilitas pendukung


Jimbaran dan Nusa Dua (UPT Tahura Ngurah Rai, 2015). Hal berikutnya, yaitu pemerintah berkomitmen untuk mengelola hutan mangrove. Selain opportunity, faktor eksternal juga terdiri dari threats yang berkaitan dengan pembuangan sampah dari daerah hulu dan pembangunan infrastruktur karena lokasi yang strategis. Pertama yaitu pembuangan sampah di daerah hulu. Perilaku hidup masyarakat diluar kawasan objek wisata alam trekking memiliki pengaruh terhadap pengelolaan mangrove, dimana terdapat pembuangan sampah di daerah hulu dan menjadi ancaman bagi ekosistem mangrove. Hal ini membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah setempat, agar dapat ditanggulangi. Kedua, yaitu berhubungan dengan pembangunan infrastruktur. Pembangunan ini merupakan ancaman bagi kelestarian hutan mangrove pada objek wisata. Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan infrastruktur di sekitar objek wisata alam trekking yang mendukung transportasi darat, laut maupun udara, berpengaruh terhadap kelestarian mangrove.

  • 3.5    Strategi Pengelolaan Ekowisata Mangrove

Analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan matriks SWOT yaitu dengan adanya kombinasi antara faktor internal maupun faktor eksternal menunjukkan bahwa Kawasan wisata tersebut terletak pada kuadran 1. Adapun strategi alternatif yang dihasilkan dari analisis SWOT tersebut disajikan pada Tabel 3. Adapun strategi yang telah dihasilkan kemudian dijabarkan berdasar pada penilaian dari beberapa pihak terkait, lalu berdasarkan penjabaran tersebut

strategi yang ada diurutkan seperti yang disajikan dalam Tabel 4.

Dalam teknik analisis SWOT, kinerja pengelolaan ditentukan dari adanya kombinasi faktor internal dan faktor eksternal. Hal yang dapat dilakukan pada kuadran 1, yaitu menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Strategi sangat diperlukan dalam perencanaan pengelolaan hutan mangrove yang efektif dan efisien, agar mencapai tujuan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan yang dapat mengakomodir kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial (Karlina et al., 2016).

Menyiapkan infrastruktur sebagai penunjang pengembangan tempat wisata merupakan strategi prioritas pertama yang harus dilaksanakan. Keberhasilan wisata mangrove dapat disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor yaitu aksesibilitas dan ketersediaan program wisata mangrove (Hakim et al., 2017). Infrastruktur yang dimaksud adalah jembatan yang masih dalam keadaan rusak, toilet yang tidak bersih dan kurangnya penyediaan tempat pembuangan sampah di kawasan objek wisata alam trekking. Selain fasilitas umum dan fasilitas pendukung, aksesibilitas menuju objek wisata alam trekking juga perlu perhatian khusus. Hal ini dikarenakan jalan menuju objek wisata alam trekking terlihat masih belum lebar, sehingga kendaraan besar seperti bus, mini bus dan trasnportasi massal tidak dapat masuk ke dalam.

Kedua yaitu, berkaitan dengan pengelolaan sampah dengan sistem terpadu berbasis communitybased management. Sistem ini melibatkan

Tabel 4

Urutan strategi

No

Strategi

Bobot

Rating

Skor

1

Meningkatkan infrastruktur berupa penambahan tempat sampah, revitalisasi toilet, perbaikan jembatan dan akses jalan masuk.

0,312

5

1,56

2

Melakukan pengelolaan sampah dengan sistem terpadu berbasis community-based management yang melibatkan masyarakat sekitar

0,25

4

1

3

Meningkatkan diversifikasi ODTW (objek daya tarik wisata)

0,187

3

0,561

4

Meningkatkan promosi melalui publikasi dan join venture dengan pengembang pariwisata

0,125

2

0,25

5

Penerbitan PERDA tentang tarif biaya masuk

0,063

1

0,063

6

Meningkatkan sumber daya manusia

0,063

1

0,063

Total

1

16

3,495


masyarakat sekitar untuk berperan aktif. Banyaknya sampah yang bertebaran membuat para wisatawan tidak nyaman dalam beraktivitas di tempat tersebut. Permasalahan ini dibutuhkan langkah taktis untuk menanggulanginya. Dalam menanggulangi permasalahan tersebut perlu adanya kerja sama dan koordinasi antara masyarakat sekitar dan pemerintah. Hal ini sejalan dengan yang dilakukan di Perak dan Selangor bahwa kegiatan peningkatan kesadaran sebaiknya dilakukan mulai dari tingkat desa, kabupaten, dan provinsi dengan pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pembuat kebijakan dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) (Abdullah et al., 2014).

Ketiga, mengenai peningkatan diversifikasi ODTW (objek daya tarik wisata). Melihat fenomena generasi milenial zaman ini yang cenderung dinamis, maka diperlukan sebuah inovasi atau terobosan yang dilakukan oleh pihak pengelola untuk menarik perhatian para pengunjung. Berbagai macam cara dapat dilakukan, dalam penelitian kali ini peneliti memfokuskan pada hal-hal yang instan (artificial) namun tidak mengurangi konsep alam (nature) mengingat kawasan ini merupakan kawasan konservasi. Maka terobosan yang pertama hendak diprioritaskan adalah sebuah tempat yang nyaman dan memiliki konsep artistik. Hal ini perlu dilakukan mengingat generasi milenial cenderung mengabadikan momen dengan berswafoto baik individu maupun kelompok. Dengan adanya inovasi ini maka pengunjung dapat merasakan kepuasan yang maksimal ketika berkunjung ke tempat wisata alam trekking (Satria, 2009).

Keempat, berkaitan peningkatan pemasaran tempat wisata melalui publikasi dan join venture dengan pengembang pariwisata. Dengan semakin maraknya kemajuan teknologi, maka agar tempat wisata ini dapat berkembang dengan pesat perlu adanya kerjasama dengan pengembang wisata. Objek wisata alam trekking perlu bekerja sama dengan beberapa perusahaan agensi travel (travel agent) untuk dapat melakukan promosi via media digital maupun media cetak. Selain itu objek wisata alam trekking juga dapat bekerjasama dengan startup digital.

Kelima, berkaitan dengan penerbitan PERDA tentang tarif biaya masuk tempat wisata. Pemerintah perlu mengevaluasi mengenai tarif biaya masuk ke objek wisata alam trekking. Besar kecilnya tarif berkaitan dengan biaya operasional,

dengan begitu pemerintah perlu mempertimbangkan costbenefit yang diperoleh. Hal ini mebutuhkan perhatian pemerintah secara khusus, karena perawatan terhadap fasilitas-fasilitas yang ada pada objek wisata alam trekking. Perawatan dari fasilitas tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengingat tempat wisata tersebut memiliki banyak sarana dan prasarana yang tidak memadai. Dalam pembuatan peraturan dan kebijakan harus tepat dan efektif agar tidak berakibat pada kegagalan dalam pengelolaan mangrove lestari seperti yang terjadi di Afrika Barat (Feka, 2015).

Hal terakhir yang hendak menjadi prioritas adalah berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia. Hal ini diperlukan karena para pekerja harus mampu beradaptasi serta mengerti keinginan para wisatawan, mengingat tempat wisata ini tidak hanya dikunjungi wisatawan domestic tapi juga wisatawan mancanegara. Para pekerja khususnya pemandu wisata harus mampu berkomunikasi dengan baik, dengan Bahasa Indonesia ataupun Bahasa asing. Dengan demikian para wisatawan akan merasa nyaman sekaligus puas selama berkunjung.

  • 4.    Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pengembangan ekowisata pada objek wisata alam trekking sudah dipayungi oleh hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang tertuang di Nomor: 544/Kpts-II/1993 tahun 1993. Penelitian ini juga mengungkap bahwa Tahura Ngurah Rai terbagi menjadi 3 blok yaitu; blok perlindungan, blok pemanfaatan intensif dan blok lainnya. Pengembangan objek wisata alam trekking sudah berada pada blok yang benar, yaitu terletak pada blok pemanfaatan.

Adapun Strategi pengelolaan objek wisata alam trekking yang dihasilkan dari hasil peneitian ini ada 6 poin, yaitu; meningkatkan infrastruktur terkait aksesibilitas serta menyediakan fasilitas umum dan fasilitas pendukung, melakukan pengelolaan sampah dengan sistem terpadu berbasis community based management yang melibatkan masyarakat sekitar, meningkatkan diversifikasi ODTW (objek daya tarik wisata), meningkatkan promosi melalui publikasi dan join venture dengan pengembang pariwisata, penerbitan PERDA (Peraturan Daerah) tentang tarif biaya masuk serta meningkatkan sumber daya manusia.

Daftar Pustaka

Abdullah, K., Said, A. M.,  & Omar, D. (2014).

Community-based conservation in managing mangrove rehabilitation in Perak and Selangor. Procedia- Social and Behavioral Sciences, 153(12), 121131.

Feka, Z. N. (2015). Sustainable management of mangrove forest in West Africa: A nem policy perspective. Ocean and Coastal Management, 116(46), 341-352.

Hakim, L., Siswanto, D., & Nakagoshi, N. (2017).

Mangrove conservation in east Jawa: The ecotourism development perspective. The Journal of Tropical Life Science, 7 (3), 277-285.

Karlina, E., Kusmana, C., Marimin, & Bismark, M. (2016). Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 13(3), 201-219.

Lugina, M., Alviya, I., Indartik, I., & Pribadi, A. (2017). Strategy of mangrove management in Ngurah Rai Grand Forest Park. E-Journal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1), 61-77.

Mulyadi, E., & Fitriani, N. (2010). Konservasi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan , 2(1), 11-18.

Nguyen, T. P., Tam, N. V., Quoi, L. P., & Parnell. K. E. (2016). Community perspectives on an internationally funded mangrove restoration project: Kien Giang Province, Vietnam. Ocean and Coastal Management, 119 (15), 146-154.

Rauch, P., Wolfsmayr, U., Borz, S. A., Triplat, M., Krajnc, N., Kolck, M., & Handlos, M. (2015). SWOT analysis

and strategy development for forest fuel supply chains in South East Europe. Forest Policy and Economic, 61 (10), 87-94.

Republik Indonesia. (2011). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56. Jakarta, Indonesia: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Satria, D. (2009). Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal dalam Rangka Program Pengentasan Kemiskinan di Wilayah Kabupaten Malang. Journal of Indonesia Applied Economics, 3(1), 3747.

Sudiarta, M. (2006). Ekowisata Hutan Mangrove: Wahana Pelestarian Alam dan Pendidikan Lingkungan. Jurnal Manajemen dan Pariwisata II, 5(1), 1-25.

Susiana, S. (2015). Analisis kualitas Air Ekosistem Mangrove di Estuari Perancak, Bali. Agrikan: Jurnal Agribisnis Perikanan, 8(1), 42-49.

Unit Pengelola Teknis Tahura Ngurah Rai. (2012). Rencana Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai. Denpasar: Dinas Kehutanan Pemerintah Provinsi Bali.

Unit Pengelola Teknis Tahura Ngurah Rai. (2015). Penataan Blok Pengelolaan Tahura Ngurah Rai. Denpasar: Dinas Kehutanan Pemerintah Provinsi Bali.

Wahyuni, P. I., Ardhana, I., & Sunarta, I. N. (2006). Evaluasi Pengembangan Ekowisata di Kawasan

Tahura Ngurah Rai. Jurnal Ecotrophic, 4(1), 49-56.

Curr.Trends Aq. Sci. IV(2): 133-140 (2021)