Current Trends in Aquatic Science III(1), 15-22 (2020)

Pengaruh Penambahan Air Cucian Beras terhadap Laju Pertumbuhan Spirulina sp.

Annisa Nur Safitri Utomoa*, Pande Gde Sasmita Julyantoroa, Ayu Putu Wiweka Krisna Dewia

a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali-Indonesia

Penulis koresponden. Tel.: +62-812-3876-6068

Alamat e-mail: annisansu256@gmail.com

Diterima (received) 30 November 2019; disetujui (accepted) 20 Februari 2020

Abstract

Culture media is one of the important factors for microalgae growth. Adding fertilizer to culture media can influence the density of Spirulina sp. The use of rice water can be used as an alternative fertilizer for culture media because it is good for the growth of Spirulina sp. Rice water contains nutrients including nitrogen, phosphorus and vitamin B1. This study aimed to determine the effect and determine the concentration of rice water media on the growth rate of Spirulina sp. culture. The experiment was conducted in December 2018 to January 2019 at Greath Hall of Brackishwater Aquaculture Fisheries (BBPBAP) Jepara, Central Java. The experiment used a completely randomized design (CRD) with five treatments and three replications. The test material in the study was Spirulina sp. with an initial density of 5×103 cells/ml and the fertilizer used is rice water and walne. The main parameters observed were Spirulina sp. cell density. while the supporting parameters observed were measurements of temperature, pH, DO, salinity, nitrate and phosphate. The dosage of adding rice washing water is treatment A1 (1 mL/L), A2 (3 mL/L), A3 (5 mL/L), K- (0 mL/L) and K + using walne fertilizer with an optimum dose of 0.5 mL/L. The results showed that the addition of rice water had a positive effect on the growth rate of Spirulina sp. The addition of rice water produces the optimum growth rate in treatment A1 which is equal to 0.57±0.001 cells/day. The ANOVA test results showed that the addition of rice water had a significant effect (P <0.05) on the growth rate of Spirulina sp.

Keywords: Spirulina sp.; rice water; growth rate

Abstrak

Media kultur merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan mikroalga. Penambahan pupuk ke dalam media kultur dapat berpengaruh terhadap kepadatan Spirulina sp. Penggunaan air cucian beras dapat dijadikan sebagai pupuk alternatif media kultur karena baik bagi pertumbuhan Spirulina sp. Air cucian beras mengandung nutrisi antara lain nitrogen, fosfor dan vitamin B1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh serta menentukan konsentrasi media air cucian beras terhadap laju pertumbuhan kultur Spirulina sp. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2018 sampai dengan Januari 2019 di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan. Bahan uji dalam penelitian adalah Spirulina sp. dengan kepadatan awal 5×103 sel/ml dan pupuk yang digunakan adalah air cucian beras dan walne. Parameter utama yang diamati adalah kepadatan sel Spirulina sp. sedangkan parameter pendukung yang diamati adalah pengukuran suhu, pH, DO, salinitas, nitrat dan fosfat. Dosis penambahan air cucian beras yaitu perlakuan A1 (1 mL/L), A2 (3 mL/L), A3 (5 mL/L), K- (0 mL/L) dan K+ menggunakan pupuk wanle dengan dosis optimum 0.5 mL/L. Hasil penelitian menunjukan bahwa laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada perlakuan K+ yaitu 0,59±0,1. Namun pada perlakuan air cucian beras laju pertumbuhan optimum terjadi pada A1 yaitu 0.57±0.001 sel/hari. Hasil uji ANOVA menunjukan bahwa penambahan air cucian beras berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju pertumbuhan Spirulina sp.

Kata Kunci: Spirulina sp.; air cucian beras; laju pertumbuhan

  • 1.    Pendahuluan

Mikroalga merupakan mikroorganisme akuatik berukuran mikroskopik yang dapat ditemukan di perairan tawar dan laut dan dapat melakukan proses fotosintesis untuk membuat makanannya sendiri (Winahyu et al., 2013). Spirulina sp. merupakan alga hijau biru yang terdiri dari sel-sel silindris membentuk koloni, selnya berkolom membentuk filamen terpilin menyerupai spiral (Ariyati, 1998).

Spirulina sp. memiliki nutrisi yang tinggi berupa protein sebesar 60-70%, sedangkan kandungan lemak cukup rendah yaitu 1.5 - 12% (Utomo, 2005). Tingginya kandungan protein Spirulina sp. menyebabkan terjadinya pemanfaatan yang beragam sehingga terjadinya permintaan yang terus meningkat. Maka dari itu perlu dilakukan kegiatan kultur untuk dapat memenuhi permintaan pasar. Hal yang perlu diperhatikan dalam kultur adalah media kultur dan faktor lingkungan.

Media kultur merupakan salah satu faktor penting untuk pertumbuhan mikroalga. Penambahan nutrisi pertumbuhan ke dalam media kultur dapat berpengaruh terhadap hasil kultur Spirulina sp. (Prabowo, 2009). Media yang umum digunakan untuk kultur Spirulina sp. pada skala laboratorium adalah pupuk pro analis (pro-A). Pupuk pro-A digunakan sebagai nutrisi pertumbuhan sel, namun jika dilihat dari segi ekomonis harganya masih tergolong mahal, maka dari itu perlu dicarikan alternatif media kultur lain. Alternatif media kultur Spirulina sp. yang telah digunakan yaitu ekstrak tauge dengan pupuk urea (Amanatin dan Nurhidayati, 2013), limbah cair industri kecap (Rina et al., 2017), pupuk kompos berbahan campuran limbah cair tahu, daun lamtoro dan isi rumen sapi (Rahmawati, 2012), ekstrak kulit kakao (Widayati, 2014) dan penggunaan pupuk kotoran ayam, kotoran burung, kotoran kerbau dan kotoran sapi (Astiani et al., 2016), di antara beberapa alternatif yang mudah ditemukan yaitu air cucian beras.

Air cucian beras mengandung nitrogen dan fosfor yang merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan mikroalga. Nitrogen berfungsi sebagai pembentuk klorofil a dan fosfor berfungsi sebagai metabolisme seluler yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroalga. Air cucian beras diperoleh dalam

proses pencucian beras dan tidak terpakai sehingga perlu dilakukan pemanfaatan mengingat media kultur begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan Spirulina sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh serta menentukan konsentrasi optimum media air cucian beras terhadap laju pertumbuhan kultur Spirulina sp.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan analisis rancangan acak lengkap (RAL).

Penelitian ini dilakukan selama 7 hari masa kultur yang bertujuan untuk mengetahui fase pertumbuhan Spirulina sp. Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan dan 3 kali pengulangan, yakni sebagai berikut:

Tabel 1

Perbandingan Dosis Media

Perlakukan

Dosis

Air cucian beras

A1 (0.1%)

1 mL/L

A2 (0.3%)

3 mL/L

A3 (0.5%)

5 mL/L

Kontrol positif (walne)

K+

0.5 mL/L

Kontrol negatif (tanpa

K-

0 mL/L

perlakuan)

  • 2.1    Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2018 hingga Januari 2019. Lokasi penelitian yaitu di ruang kultur mikroalga, laboratorium pakan hidup Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara.

  • 2.2    Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari erlenmeyer 2 liter, gelas ukur 10 ml, filter bag, timbangan analitik, pipet tetes, aerasi, baskom, kontainer 100 liter, lampu neon tl 40 watt, sedgewickrafter, handcounter, mikroskop (Olympus, CX-21), pH (Digital Instrumen), refraktometer (Atago, Master-S/MIIM), dan DO meter (Digital Instrumen). Bahan yang digunakan yaitu air laut, air tawar, inokulan Spirulina sp., air cucian beras, pupuk walne, chlorine dan natrium thiosulfate.

  • 2.3    Prosedur Penelitian

    • 2.3.1    Persiapan Media Kultur

Kegiatan kultur diawali dengan sterilisasi media kultur agar terhindar dari kontaminasi organisme lain. Sterilisasi media kultur menggunakan chlorine dengan dosis 60 mg/L dan natrium thiosulfate dengan dosis 30 mg/L. Air cucian beras yang digunakan sebagai media kultur didapat dari pencucian beras bilasan pertama dengan pemberian air setinggi beras di dalam wadah dan dilakukan lima kali remasan.

  • 2.3.2    Penebaran Inokulan

Kepadatan awal yang digunakan dalam kultur yaitu 5 × 103 sel/mL. Penghitungan inokulan awal ini dilakukan dengan pengambilan sampel Spirulina sp. sebanyak 1 ml dan kemudian dihitung dibawah mikroskop menggunakan alat bantu hitung sedgewick rafter.

  • 2.3.3    Perhitungan Laju Pertumbuhan Spirulina sp.

Perhitungan kepadatan Spirulina sp. dimulai pada saat awal penebaran inokulan hingga hari ke-7 masa kultur. Perhitungan kepadatan Spirulina sp. dilakukan menggunakan Sedgewick rafter di bawah mikroskop. Setelah mendapat data kepadatan Spirulina sp., selanjutnya laju pertumbuhan dihitung menggunakan rumus Fogg (1975), sebagai berikut:

κ = lnQVt - N0) (1) t

dimana K adalah laju pertumbuhan (sel/hari); Nt adalah jumlah sel hari ke t; N0 adalah jumlah sel hari 0; dan t adalah waktu pengamatan.

  • 2.3.4    Manajemen Kualitas Air

Laju pertumbuhan Spirulina sp. dipengaruhi oleh kualitas air yang meliputi pH, suhu, salinitas dan DO. Pengecekan kualitas air pada media kultur dilakukan satu kali sehari selama masa kultur.

  • 2.3.5    Persentase Penurunan Nitrat Dan Fosfat

Analisis persentase penurunan dilakukan dengan cara menghitung nitrat dan fosfat pada awal dan akhir masa kultur. Penentuan kadar nitrat dilakukan dengan dengan menggunakan metode brusin dengan alat spektofotometer pada panjang gelombang 410 nm. Sedangkan penentuan kadar fosfat dilakukan dengan metode spektofotometer secara asam askorbat (SNI 06-6989.31-2005).

Prinsip kerja metode ini adalah pembentukan senyawa kompleks fosfomolibdat yang berwarna biru, selanjutnya direduksi dengan asam askorbat membentuk warna biru komplek molybdenum. Intensitas warna yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi fosfor. Warna biru yang timbul diukur dengan spektofotmeter pada panjang gelombang 700-880 nm. Persentase penurunan nitrat dan fosfat menggunakan rumus:

Penurunan X = X0  ^t × 100%

X0

(2)


dimana X adalah nitrat atau fosfat; X0 adalah kandungan nitrat atau fosfat pada waktu 0; Xt adalah kandungan nitrat atau fosfat pada waktu t.

  • 2.4    Analisis Data

Hasil perhitungan kepadatan dan laju pertumbuhan Spirulina sp. dianalisi menggunakan One Way Analysis of Variance (ANOVA) pada taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan penambahan air cucian beras dengan dosis yang berbeda dan dilakukan uji Duncan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Gambar 1. Laju pertumbuhan Spirulina sp. setelah 4 hari periode kultur

Laju pertumbuhan Spirulina sp. pada masing-masing perlakuan berbeda secara signifikan yang dapat dilihat pada Gambar 1. Tinggi rendahnya nilai laju pertumbuhan Spirulina sp. dikarenakan terdapatnya kandungan nutrien yang berbeda pada setiap perlakuan yang dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan Spirulina sp. Air cucian beras termasuk pupuk yang sesuai diberikan pada Spirulina sp. untuk meningkatkan laju pertumbuhan. Hal ini terbukti dari laju pertumbuhan Spirulina sp. yang dikultur

menggunakan air cucian beras lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian dari Rahmawati et al. (2012) dengan menggunakan pupuk kompos berbahan campuran limbah cair tahu, daun lomtoro dan isi rumen sapi dengan laju pertumbuhan yaitu 0,34 sel/hari dan hasil penelitian dari Widayati (2014) ekstrak kulit buah kakao dengan laju pertumbuhan sebesar 0,17 sel/hari. Penggunaan air cucian beras sebagai pupuk cair perlu dikembangkan sehingga dapat menjadi alternatif pupuk untuk meningkatkan laju pertumbuhan Spirulina sp. Tingginya laju pertumbuhan Spirulina sp. yang diberi penambahan pupuk air cucian beras diduga disebabkan terdapatnya kandungan nitrogen dan fosfor pada air cucian beras. Nitrogen dan fosfor merupakan makronutrien yang dibutuhkan bagi pertumbuhan Spirulina sp. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Kalsum et al. (2011) menyatakan bahwa bahwa air cucian beras mengandung unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman yaitu vitamin B1, B12, nitrogen dan fosfor.

Laju pertumbuhan pada perlakuan A1 tidak berbeda dengan perlakuan K+, hal ini diduga karena terdapatnya kandungan nutrisi air cucian beras yang tidak terdapat pada pupuk walne. Air cucian beras mengandung nutrisi N, P, K, Ca, S, Mg, Fe dan Mn (Wulandari et al., 2011). Menurut Wijoseno (2011) media kultur yang terdapat unsur N, Mg dan Fe dapat mempengaruhi pembentukan klorofil. Mg berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan asam amino dan klorofil, sedangkan Fe berperan dalam sintesis klorofil dan protein dalam penyusun kloroplas (Amanatin, 2013). Air cucian beras juga mengandung mikronutrien berupa Mn. Amanatin (2013) menyatakan bahwa apabila dalam media kultur tidak terdapat nutrien dalam bentuk Mn maka dapat mempengaruhi proses fotosintesis, karena Mn merupakan aktivator enzim pada proses fotosintesis. Terdapatnya unsur nutrient tersebut dapat mempengaruhi laju fotosintesis mikroalga. Proses fotosintesis akan menghasilkan energi. Energi tersebut dapat berupa karbohidrat, lipid dan protein. Energi yang dihasilkan pada proses fotosintesis mikroalga dapat digunakan sebagai pertumbuhan, cadangan makanan atau untuk mempertahankan diri saat terjadi tekanan pada lingkungan (Khoo et al., 2011).

  • 3.1    Kepadatan Spirulina sp.

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian Spirulina sp. memiliki tiga fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi, eksponensial dan penurunan yang dapat dilihat pada Gambar 2. Fase stasioner pada penelitian ini tidak dapat tergambarkan dengan jelas pada grafik, hal ini diduga karena singkatnya fase stasioner pada penelitian ini sehingga fase stasioner tidak terlihat dan sulit untuk digambarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Istirokhatun et al. (2017) yang menyatakan bahwa tidak terdapatnya fase stasioner dalam kultur fitoplankton dapat terjadi karena perhitungan jumlah kepadatan sel fitoplankton yang dilakukan satu kali sehari, dimana fase stasioner menuju fase penurunan biasanya relatif singkat.

Gambar 2. Kepadatan Spirulina sp.

Fase adaptasi pada penelitian ini terdiri dari semua perlakuan yang ditunjukan pada hari awal pemasukan inokulan Spirulina sp. hingga hari kedua. Perlakuan K+ memiliki jumlah kepadatan sel Spirulina sp. lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu (4,10 ± 0,37) × 104 sel/ml. Rentang kepadatan Spirulina sp. yang cukup jauh pada perlakuan K+ dikarenakan pupuk yang digunakan sebagai media kultur sama seperti pada kultur sebelumnya. Akbar (2008) menyatakan bahwa fitoplankton yang dikultur dalam media dan lingkungan yang sama seperti kultur sebelumnya, mungkin tidak diperlukan waktu fase adaptasi yang cukup lama.

Fase eksponensial terjadi pada hari ketiga pada semua perlakuan. Fase eksponensial yang terjadi pada penelitian ini sesuai dengan pendapat Kabinawa (2006) yang menyatakan bahwa fase eksponesial pada kultur fitoplankton terjadi 40 jam setelah inokulasi. Kepadatan tertinggi terjadi pada perlakuan K+. Hal ini karena pupuk walne merupakan pupuk yang umum digunakan sebagai media kultur Spirulina sp. Perlakuan dosis air cucian beras mencapai kepadatan tertinggi terjadi

pada perlakuan A1. Hal ini terjadi karena air cucian beras yang diberikan ke dalam media kultur tidak terlalu pekat, sehingga Spirulina sp. mampu memanfaatkan nutrisi yang terdapat dalam air cucian beras dengan baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Indraswati et al. (2018), dimana dosis air cucian beras 1 ml/L dapat menghasilkan kepadatan sel Chlorella sp. yang tinggi. Keadaan air cucian beras yang tidak pekat dapat menyebabkan vikositas cairan rendah sehingga tanaman lebih mudah mengadsorpsi unsur hara yang terdapat dalam air cucian beras (Wulandari et al., 2011). Kepadatan terendah terjadi pada perlakuan A3. Umainana et al. (2012) menyatakan bahwa konsentrasi pupuk yang terlalu tinggi atau pekat dapat menyebabkan air pada media kultur keruh sehingga cahaya sulit menembus dan pertumbuhan fitoplankton menjadi lambat. Perlakuan K- mengalami kepadatan terendah. Hal ini karena tidak adanya penambahan nutrien berupa pupuk ke dalam media kultur sehingga Spirulina sp. hanya memanfaatkan nutrien yang terdapat di dalam media media kultur bagi pertumbuhannya.

Fase penurunan terjadi pada hari kelima pada semua perlakuan. Fase penurunan kepadatan Spirulina sp. terjadi diduga karena nutrisi yang terdapat dalam media kultur telah berkurang dan tidak optimal sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi Spirulina sp. Buwono dan Nurhasanah (2018) menyatakan bahwa setelah Spirulina sp. mencapai puncak kepadatan maka pertumbuhan sel Spirulina sp. akan terhenti, dimana kebutuhan nutrien pada titik ini akan menurun karena tidak adanya penambahan nutrien yang berasal dari pupuk.

  • 3.3    Persentase Penurunan Nitrat dan Fosfat

Tabel 1. menunjukan bahwa pada perlakuan K+, A1, A2 dan A3 memiliki nilai persentase penurunan nitrat yang tinggi. Hal ini terjadinya karena pada perlakuan ini memanfaatkan nitrat yang terdapat dalam media kultur yang digunakan sebagai sumber energi dalam menghasilkan sel-sel baru, sehingga pada masa akhir penelitian nilai kandungan nitrat yang terdapat pada perlakuan tersebut terjadi penurunan. Kandungan nitrat pada awal masa kultur pada perlakuan K+, A1, A2 dan A3 baik bagi pertumbuhan Spirulina sp. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ulya et al. (2018) yang

menyatakan bahwa Spirulina sp. dapat tumbuh dengan baik pada media kultur yang diberikan penambahan nitrat dengan konsentrasi hingga 150 ppm. Kepadatan mikroalga dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen yang diberikan pada media kultur. Media kultur dengan konsentrasi nitrogen tertinggi akan menghasilkan kepadatan yang tinggi (Menegol et al., 2017).

Perlakuan K- memiliki nilai persentase penurunan nitrat terendah. Hal ini karena kandungan nitrat awal pada perlakuan ini tidak optimum karena tidak adanya penambahan nutrisi yang berasal dari pupuk sehingga pertumbuhan Spirulina sp. pada perlakuan ini tidak tumbuh dengan baik. Apabila media kultur kekurangan nitrogen maka dapat menghambat proses fotosintesis fitoplankton dikarenakan nitrogen merupakan unsur yang berfungsi untuk pembentukan klorofil. Kandungan nitrat pada perlakuan K- di akhir masa kultur mengalami kenaikan. Hal ini diduga karena Spirulina sp. tidak memanfaatkan nitrat bagi pertumbuhan dan terdapat endapan didasar wadah kultur yang diduga berasal dari sel Spirulina sp. yang telah mati. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Retnaningdyah et al. (2011) menyatakan bahwa tingginya kandungan nitrat pada akhir perlakuan menunjukan bahwa nitrat tidak dimanfaatkan secara langsung untuk pertumbuhan mikroalga dan terjadinya degradasi bahan organik yang berasal dari mikroalga yang mati.

Konsentrasi fosfat pada perlakuan K-, A1, A2 dan A3 yang diukur pada awal masa kultur tergolong baik untuk mendukung kehidupan biota akuatik. Hal ini sesuai dengan pendapat dari dari Lapu (1994) yang menyatakan bahwa batasan fosfat untuk kesuburan perairan yaitu 40 ppm. Kandungan fosfat pada akhir masa kultur Spirulina sp. pada semua perlakuan mengalami penurunan. Penurunan fosfat terjadi karena fosfat dimanfaatkan oleh Spirulina sp. untuk pembentukan klorofil dan pembelahan sel. Hal ini sesuai dengan pendapat Erlina et al. (2004) yang menyatakan bahwa fosfor yang terdapat dalam media kultur dimanfaatkan oleh mikroalga untuk pembelahan sel. Pembelahan sel yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya pertumbuhan dan kepadatan sel meningkat.

  • 3.4    Kualitas Air

    Tabel 1

    Persentase Penurunan Penggunaan Nitrat dan Fosfat

    Perlakuan

    Nitrat (mg/L)                  Fosfat (mg/L)              Tingkat Penurunan (%)

    Awal         Akhir         Awal         Akhir         Nitrat         Fosfat

    K-K+ A1 A2 A3

    3,09              7,87              1,26              0,68            -154,69           46,03

    43,80            0,23            65,30            53,8            99,47            17,61

    3,89              0,39              2,24              0,55             89,97            75,45

    3,70              1,37              6,58              1,40             62,97            78,72

    4,14              3,16             10,60             1,58             23,67            85,09


Faktor lingkungan pada kultur Spirulina sp. meliputi parameter kualitas air. Data pengukuran kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2

Kualitas Air Media Kultur Spirulina sp.

Parameter

Kisaran hasil pengukuran

Satuan

Suhu

21.0–22.30

°C

pH

7.49-8.74

-

Salinitas

15

Ppt

DO

6.95–7.44

mg/L

Suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi aktivitas metabolisme fitoplankton. Umumnya pada kondisi laboratorium, perubahan suhu air media dipengaruhi oleh temperature ruangan dan intensitass cahaya (Maryam et al., 2014). Berdasarkan hasil pengukuran pada media kultur menunjukan bahwa suhu media air berkisar antara 21,0-22,3°C. Kondisi ini masih dalam kisaran normal dan layak untuk pertumbuhan Spirulina sp. Hal ini sesuai dengan pendapat Hariyati (2008) yang menyatakan bahwa kisaran suhu yang optimal bagi pertumbuhan Spirulina sp. yaitu antara 20-30°C. Suhu yang tinggi dapat menaikkan aktivitas enzim, namum apabila terjadi penurunan temperatur pada media kultur dapat mempengaruhi respirasi dan fotosintesis sehingga kemampuan untuk berfotosintesis menurun (Nurhayati et al., 2013).

Pengukuran pH pada media kultur berkisar antara 7,49-8,74. Hal ini menunjukan bahwa kadar pH untuk pertumbuhan Spirulina sp. optimal. Hal ini sesuai dengan Cifferi (1983) yang menyatakan bahwa pH yang baik untuk pertumbuhan Spirulina

sp. berkisar antara 7-11. Menurut Amanatin dan Nurhidayati (2013) peningkatan nilai pH pada media air perlakuan disebakan karena terjadinya penguraian protein dan senyawa nitrogen lain. Nilai pH yang mengalami peningkatan terjadi karena adanya aktivitas fotosintesis yang dilakukan oleh Spirulina sp. Hal ini sesuai dengan pengukuran pada media kultur penelitian sehingga bisa dikatakan bahwa pH pada media kultur optimal.

Pengukuran salinitas media kultur Spirulina sp. dari hari pertama hingga hari ketujuh menunjukan bahwa salinitas media kultur stabil. Salinitas pada media kultur sebesar 15 ppt. Hal ini menunjukan bahwa salinitas media kultur Spirulina sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo et al. (2005) Salinitas optimum bagi pertumbuhan Spirulina sp. berkisar antara 15-30 ppt.

Oksigen terlarut dalam media kultur dibutuhkan Spirulina sp. untuk proses respirasi. Sumber oksigen dalam media kultur berasal pemberian aerasi dan proses fotosintesis Spirulina sp. Kultur Spirulina sp. dilengkapi dengan aerasi yang bertujuan untuk suplai oksigen dan sirkulasi media kultur untuk pemerataan pupuk sehingga tidak terjadi endapan. Pemberian aerasi dibuat sedang, karena jika aerasi terlalu kuat dapat mengakibatkan stres, kerusakan fisik dan menghambat pertumbuhan Spirulina sp. Namun jika kadar oksigen terlarut rendah dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Hasil pengukuran DO pada media kultur berkisar antara 6,95-7,40 mg/L. Kisaran tersebut masih dalam batas toleransi untuk pertumbuhan Spirulina sp. hal ini sesuai dengan pendapat Satriaji et al. (2016) yang menyatakan bahwa DO dalam media kultur yang memiliki nilai >5 mg/L baik bagi pertumbuhan fitoplankton.

  • 4.    Simpulan

Penambahan air cucian beras menunjukan pengaruh positif terhadap pertumbuhan Spirulina sp. Dosis optimum penambahan air cucian beras yang menunjukan laju pertumbuhan Spirulina sp. tertinggi terdapat perlakuan A1 yaitu 1 ml/L sebesar 0,573 sel/hari.

Ucapan terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kemenristekdikti yang telah memberikan bantuan dana beasiswa Bidikmisi sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Terimakasih diucapkan kepada BBPBAP Jepara yang telah membantu dan memfasilitasi selama penelitian

Daftar Pustaka

Akbar, T. M. (2008). Pengaruh Senyawa terhadap Anti Bakteri dari Chaetoseror  gracilis.  Skripsi. Bogor,

Indonesia: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertaninan Bogor.

Amanatin, D. R., & Nurhidayati, T. (2013). Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Media Ekstrak Tauge (met) dengan Pupuk Urea terhadap Kadar Protein Spirulina sp.. Jurnal Sains dan Seni Pomits, 2(2), 182-185.

Ariyati, S. (1998). Pengaruh Salinitas dan Dosis Pupuk Urea terhadap Pertumbuhan Populasi Spirulina sp. Skripsi. Semarang, Indonesia: Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Diponegoro.

Astiani, F., Dewiyanti, I., & Mellisa, S. (2016). Pengaruh Media Kultur yang Berbeda terhadap Laju Pertumbuhan dan Biomassa Spirulina sp. Jurnal Ilmiah Mahasiswa ilmu Kelautan dan Perikanan Unsyah, 1(3), 441-447.

Buwono, N. R., & Nurhasanah, R. Q. (2018). Studi Pertumbuhan Populasi Spirulina sp. pada Skala

Kultur yang Berbeda. Jurnal Ilmiah Perikanan dan kelautan, 10(1), 26-33.

Cifferi, O. (1983).  Spirulina,  the edible organism.

American Society for Microbilogy, 47(4), 551-578.

Erlina, A., Amini, S., Endrawati, H., & Zainuri, M. (2004). Kajian Nutritive Phytoplankton Pakan Alami pada Sistem Kultuvasi Massal. Ilmu Kelautan, 9(4), 206-210.

Fogg, G. E. (1975). Algae culture and phytoplankton ecology. (2nd ed). Maddison: University of Wisconsin Press.

Hariyati, R. (2008). Pertumbuhan dan Biomassa Spirulina sp. dalam Skala Laboratoris. Bioma, 10(1), 19-22.

Indraswati, T., Sudarno, & Manan A. (2018). Pengaruh Pemberian Air Cucian Beras dengan Dosis yang Berbeda terhadap Kepadatan Chlorella sp. Journal of Marine and Coastal Science, 7(1), 31-28.

Istirokhatun, T., Aulia. M., & Sudarsono. (2017). Potensi Chlorella sp. untuk Menyisihkan COD dan Nitrat

dalam Limbah Cair Tahu. Jurnal Presipitasi, 14(2), 8896.

Kabinawa, I.  N. K. (2006).  Spirulina, Ganggang

Penggempur  Aneka  Penyakit.  Jakarta,  Indonesia:

AgroMedia.

Kalsum, U., Fatimah. S., & Wosonowati. C. (2011).

Efektivitas Pemberian Air Leri terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jamur Putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal agroekoteknologi, 4(2), 86-92.

Khoo, H. H., Sharat P. N., Das, P., Balasubramanian, R. K., Naraharisetti, P. K., & Shaik, S. (2011). Life cycle energy and CO2 analysis of microalgae to biodiesel: Preliminary result and comparisons. Bioresource Technology, 102(10), 5800-5807.

Lapu, P. (1994). Analisis Beberapa Kualitas Sumber Air Tambak di Maranak, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Skripsi. Sulawesi, Indonesia: Universitass Hasanudin.

Maryam, S., Dianssyah, G., & Isnaini. (2014). Pengaruh Pemberian Pakan Fitoplankton (Tetraselmis sp., Porphyrodium sp. dan Chaetoceros sp.) terhadap Laju Pertumbuhan Zooplankton Diaphanosoma sp. pada Skala Laboratorium. Marine Science Research, 7(2), 4150.

Menegol, T., Andressa, B. D., Elisieu, R. & Rosane, R. (2017). Effect of temperature and nitrogen consentration on biomass composition of Heterochlorella luteoviridis. Food Science and Technology, 7, 28-37.

Nurhayati, T., Hermanto, M.B., & Lutfi, M. (2013).

Penggunaan fotobioreaktor Sistem Batch Tersikulasi terhadap Tingkat Pertumbuhan Mikroalga Chlorella vulgaris, Chlorella sp. dan Nannochloropsis occulata. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 1(3), 249-257.

Prabowo, D. A. (2009). Optimasi Pengembangan Media untuk Pertumbuhan Chlorella sp. Skala Laboratorium. Skripsi. Bogor, Indonesia: Fakultas Kelautan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Rahmawati, N., Yuliani., & Ratnasari, E. 2012. Pengaruh Pupuk Kompos Berbahan Campuran Limbah Cair Tahu, Daun lamtoro dan isi Rumen Sapi sebagai Media Kultur terhadap Kepadatan Populasi Spirulina sp. LenteraBio, 1(1), 17-24.

Retnaningdyah, C., Marwati. U., Soegianto. A., & Irawan. B. (2011). Media Pertumbuhan, Intensitas Cahaya dan Lama Penyinaran yang Efektif untuk Kultur Microcystis Hasil Isolasi dari Waduk Sutami di Laboratorium. Jurnal Biosains Pascasarjana, 13(2), 123130.

Rina, T., Putri., Karmiati., Sudari, S., & Saputri, A. (2017). Organik Suplemen Tinggi Protein Berbahan Dasar Spirulina sp. dengan Media Kultur Limbah Cair Industri Kecap. Jurnal Jeumpa, 4(1), 80-91.

Satriaji, D. E., Zainuri. M., & Widowati, I. (2016). Study of growth and N, P content of microalgae Chlorella vulgaris cultivated in different culture and light intensity. Jurnal Teknologi, 78(4), 27-31.

Ulya, S., Sedjati, S., & Yudiati, E. (2018). Kandungan Protein Spirulina platensis pada Media Kultur dengan Konsentrasi Nitrat (KNO3) yang Berbeda. Buletin Oseonografi Marina, 7(2), 98-102.

Umainana, M. R., Mubarak. A. S., & Masitha. E. D.

(2012). Pengaruh Konsentrasi Pupuk Daun Turi (Sesbania gandiflora) terhadap Populasi Chlorella sp. Journal of Aquaculture and Fish Health, 1(1), 1-9.

Utomo, N. B. P, Winarti., & Erlina. (2005). Pertumbuhan Spirulina platensis yang Dikultur dengan Pupuk Inorganik (Urea, TSP dan ZA) dan Kotoran Ayam. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(1), 41-48.

Widayati, Y. (2014). Pemanfaatan Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L) sebagai Sumber Nutrien dalam

Kultur Spirulina sp. Skripsi. Bandar Lampung, Indonesia: Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Wijoseno, T. (2011). Uji Pengaruh Media Kultur terhadap Tingkat Pertumbuhan dan Kandungan Protein, Lipid, Klorofil dan Karatenoid pada Mikroalga Chlorella vulgaris Buitenzorg. Skripsi. Depok, Indonesia:  Departemen Teknik Kimia,  Fakultas

Teknik, Universitas Indonesia.

Winahyu, D. A., Anggraini. Y., Rustiati, E. L., Master, J., & Setiawan, A. (2013). Studi Pendahuluan mengenai Keanekaragaman Mikroalga di Pusat Konservasi Gajah, Taman Nasional Way Kambas. Dalam Prosiding SEMIRATA FMIPA Unila 2013. Lampung, Indonesia, 10 Mei 2013 (pp. 1-9).

Wulandari, C., Muhartini, S., & Trisnowati, S. (2011). Pengaruh Air Cucian Beras Merah dan Beras Putih terhadap Pertumbuhan dan Hasil Selada (Lactuca sativa .l.). Vegetalika, 1(2), 1-12.

Curr.Trends Aq. Sci. III(1): 15-22 (2020)