ANALISIS PENERAPAN DISTRAKSI AUDIOVISUAL UNTUK MENGATASI DISTRESS ANAK YANG MENDAPAT TERAPI INHALASI
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980
ANALISIS PENERAPAN DISTRAKSI AUDIOVISUAL UNTUK MENGATASI DISTRESS ANAK YANG MENDAPAT TERAPI INHALASI
Atika Amri Yeni Putri1, Riau Roslita*1
1Program Studi Pendidikan Profesi Ners Fakultas Kesehatan Universitas Hang Tuah Pekanbaru *korespondensi penulis, email: [email protected]
ABSTRAK
Penyakit saluran pernapasan merupakan penyakit dengan tingkat kejadian cukup luas dan dapat menyerang siapa saja. Salah satu terapi pada penyakit saluran pernapasan, yaitu pemberian terapi inhalasi. Terapi inhalasi sebagai salah satu penatalaksanaan anak dengan gangguan sistem pernapasan seringkali menyebabkan distress. Distress saat terapi inhalasi dapat menurunkan efektivitas pengobatan. Intervensi keperawatan menurunkan ketakutan anak selama inhalasi yang dapat dilakukan oleh perawat adalah menerapkan distraksi audiovisual. Tujuan pemberian asuhan keperawatan dalam menerapkan EBNP (Evidence Based Nursing Practice) distraksi audiovisual adalah untuk menurunkan tingkat distress anak selama terapi inhalasi. Metode penerapan EBNP yang digunakan adalah PICOT (Problem: anak yang mendapat terapi inhalasi, Intervention: pemberian distraksi audiovisual, Comparison: membandingkan anak yang mendapat intervensi dengan yang tidak, Outcome: adanya perbedaan skor distress antara yang mendapat intervensi dengan yang tidak, Time: selama terapi inhalasi). Sampel berjumlah 2 pasien, 1 pasien intervensi dan 1 pasien tidak diberikan intervensi di Ruang Rawat Lili RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Setelah dilakukan pemberian intervensi, didapatkan perbedaan yang signifikan terhadap tingkat distress anak. Skor distress anak yang diberi intervensi menjadi 0, sedangkan anak yang tidak diberikan intervensi adalah 15. Oleh karena itu, pemberian distraksi audiovisual dapat menurunkan distress anak saat mendapat terapi inhalasi. Distraksi audiovisual dapat menjadi salah satu intervensi saat mengatasi distress saat terapi inhalasi.
Kata kunci: distraksi audiovisual, distress, terapi inhalasi
ABSTRACT
Respiratory disease is a disease with a fairly wide incidence and can affect anyone. One of the therapies for respiratory diseases is inhalation therapy. Inhalation therapy as one of the management of children with respiratory system disorders often causes distress. Distress during inhalation therapy can reduce the effectiveness of treatment. Interventions to increase children's fear of inhaling that can be done by nurses are to apply audiovisual distraction. The purpose of providing better care in the application EBNP (Evidence Based Nursing Practice) of audiovisual distraction is to reduce the child's level of distress during inhalation therapy. The EBNP application method used was PICOT (Problem: children who received inhalation therapy, Intervention: application an audiovisual distraction, Comparison: comparison of children who received intervention with those who did not, Results: there was a difference in distress scores between those who received the intervention and those who did not, Time: during inhalation therapy). The samples obtained were 2 patients, 1 intervention patient and 1 patient not given intervention in the Lili Care Room, Arifin Achmad Hospital, Riau Province. After being given the intervention, there was a significant difference in the level of difficulty in children. The distress score of children who were given the intervention was 0 while the children who were not given the intervention was 15. Therefore, the application of audiovisual distraction can reduce the distress of children when receiving inhalation therapy. Audiovisual distraction can be an intervention when facing distress during inhalation therapy.
Keywords: audiovisual distraction, distress, inhalation therapy
PENDAHULUAN
Salah satu penyebab utama morbiditas dan mortilitas anak di negara berkembang adalah penyakit pada sistem pernapasan dengan angka kematian global 70%, terjadi di Afrika dan Asia Tenggara (Emukule et al., 2014). Kondisi penyakit pernapasan kronis membebani ratusan juta orang, empat juta orang meninggal sebelum waktunya akibat penyakit pernapasan kronis setiap tahun. Penyebab utama kematian di negara berkembang adalah infeksi saluran pernapasan. Bayi dan balita merupakan kelompok yang sangat rentan. Hampir tiga juta anak, sebagian besar balita, meninggal dikarenakan pneumonia dan infeksi saluran pernapasan bawah (Ferkol & Schraufnagel, 2014).
Menurut WHO (World Health Organization) (2020), pneumonia sebagai penyebab kematian tertinggi pada balita melebihi penyakit lainnya seperti diare, campak, malaria, dan HIV/AIDS. Kasus pneumonia banyak terjadi di negara-negara berkembang seperti Asia Tenggara sebesar 39% dan Afrika sebesar 30%. WHO menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ke-8 dunia dari 15 negara yang memiliki angka kematian balita dan anak yang diakibatkan oleh pneumonia. Berdasarkan Kementerian Kesehatan Indonesia (2021), disebutkan bahwa angka kejadian pneumonia di Provinsi Riau sebesar 11,9%.
Salah satu terapi pada penyakit saluran pernapasan, yaitu pemberian terapi inhalasi. Terapi inhalasi adalah obat yang diberikan secara langsung pada sistem respirasi (saluran pernapasan) melalui hirupan dengan menggunakan alat tertentu (Supriyatno & Nataprawira, 2019). Terapi inhalasi memiliki keuntungan utama yaitu obat yang dihirup secara langsung masuk ke lumen internal dari saluran napas dan selanjutnya menuju target kerja obat di dalam paru (Maccari et al., 2015). Obat inhalasi akan bekerja lebih cepat dan dosis yang dibutuhkan lebih kecil, sehingga sebagian besar obat inhalasi akan memiliki dosis yang lebih rendah dibandingkan obat melalui intravena ataupun oral. Efek
samping yang muncul dari obat inhalasi akan lebih rendah (Mangku & Senapati, 2017).
Terapi inhalasi sering menyebabkan distress pada anak, biasanya ditunjukkan dengan sikap anak seperti menangis, berteriak dan menolak terapi (DiBlasi, 2015). Beberapa masalah tambahan ketika pemberian terapi inhalasi pada anak yaitu pemakaian sungkup muka yang tidak sesuai, kondisi anak, jenis obat dan indikasi (Supriyatno & Nataprawira, 2019). Distress pada anak selama terapi inhalasi akan menyebabkan pola napas cepat dan menyempit, meningkatkan laju inspirasi dan menyebabkan pemakaian masker yang salah. Anak yang menangis akan menyebabkan obat yang mencapai target hanya 1%, sedangkan anak yang tenang akan mencapai 8%. Situasi ini akan menyebabkan efektifitas obat menjadi minimal dalam sistem pernapasan (DiBlasi, 2015). Hal ini sejalan dengan penelitian Rachmadani (2013), bahwa anak yang mendapat terapi nebulizer akan mengalami kecemasan sehingga menunjukkan tanda dan gejala seperti anak menjadi agresif, berontak, marah, tidak mengenal petugas dan lingkungan rumah sakit, sehingga tidak semua obat nebulizer yang diberikan terhirup dan berpengaruh pada dosis obat beserta proses penyembuhannya.
Intervensi keperawatan untuk mengurangi ketakutan anak yang dapat dilakukan oleh perawat selama terapi inhalasi adalah dengan melakukan teknik distraksi. Teknik distraksi bekerja mengurangi ketakutan selama dilakukannya tindakan medis dengan pemberian stimulasi sensori. Teknik distraksi memiliki kelebihan, dimana mudah digunakan, harga relatif murah, dan rendahnya efek samping yang akan ditimbulkan (Hillgrove-Stuart et al., 2013). Distraksi merupakan bagian dari manajemen distress yang melibatkan pendekatan kognitif dan perilaku untuk menarik perhatian anak-anak dari rangsangan yang tidak menyenangkan (Koller & Goldman, 2012). Tindakan distraksi harus disesuaikan dengan usia
anak yang dirawat. Untuk anak-anak, teknik distraksi yang disarankan adalah memberikan rangsangan visual dan pendengaran, seperti video (The British Psychological Society, 2010). Distraksi visual merupakan satu dari berbagai teknik distraksi yang cukup baik dan sering ditemukan dalam kegiatan harian. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat anak fokus pada video yang disenangi anak, seperti video kartun (Maharezi, 2014). Memberikan tontonan kartun dapat menjadi cara mudah dan efektif dalam penurunan tingkat kecemasan anak yang sedang menjalani pengobatan. Kecemasan anak dapat berkurang dengan cara menonton kartun dikarenakan anak akan lebih fokus pada hal lain selain rasa tidak nyaman yang dirasakan (Lee et al., 2012).
Menurut penelitian Devi, Nurhaeni & Hayati (2017), menyebutkan bahwa dengan pemberian distraksi audiovisual menunjukkan adanya perbedaan skor rata-rata distress pada anak selama terapi inhalasi berjalan, anak yang mendapat perawatan rutin rumah sakit akan memiliki skor rata-rata distress yang lebih tinggi dibandingkan anak yang mendapat intervensi distraksi audiovisual. Sejalan dengan penelitian Roslita, Nurhaeni & Wanda (2021), menyebutkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara skor distress anak pada kelompok intervensi dibandingkan dengan anak kelompok kontrol. Dimana kelompok intervensi adalah kelompok anak yang diberikan intervensi distraksi audiovisual, sedangkan kelompok intervensi adalah kelompok anak yang mendapat perawatan sesuai SOP rumah sakit. Pada kelompok intervensi didapatkan anak menjadi tenang selama terapi berlangsung, dimana fokus perhatian anak tertuju pada video yang ditontonnya, sedangkan pada kelompok kontrol anak menunjukkan perilaku takut dan cemas dengan fokus anak hanya pada pelaksanaan terapi yang menjadi stressor pada anak.
METODE PENELITIAN
Penerapan EBNP ini menggunakan metode PICOT (Problem: pasien anak yang
Anak akan menganggap terapi yang dijalaninya sebagai sebuah ancaman sehingga anak menunjukkan perilaku menolak, tindakan menangis dan berteriak.
Hal ini sejalan dengan McCarthy (2012), menyebutkan bahwa perilaku takut dan cemas anak terlihat pada kelompok anak yang tidak mendapatkan intervensi saat dilakukannya tindakan. Sejalan juga dengan penelitian Habiba, Triana & Ayu (2021), yang menyebutkan bahwa terdapat pengaruh tingkat kecemasan anak bronkopneumonia setelah diberikan distraksi video film kartun yang menerima terapi inhalasi nebulizer. Tingkat kecemasan pada anak sebelum diberikan distraksi video film kartun adalah sedang, setelah diberikan distraksi video film kartun turun menjadi tingkat kecemasan ringan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Ruang Rawat Inap RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada 5 orang anak, anak yang mendapat terapi inhalasi akan menunjukkan perilaku rewel, ingin terapi dihentikan, dan anak terlihat gelisah. Tindakan yang telah dilakukan agar anak tenang diantaranya dengan menyarankan orang tua pasien untuk mendampingi anaknya, mengajak anak bermain untuk mengalihkan perhatian, memberikan mainan kesukaan, tetapi dengan upaya tersebut anak masih belum merasa nyaman. Anak terlihat tenang sejenak, setelah itu anak akan kembali rewel dan gelisah. Salah satu tindakan orang tua adalah dengan memberikan handphone pada anaknya, setelah diberikan anak menjadi lebih tenang, dan terapi inhalasi berjalan dengan baik. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penerapan Evidence Based Nursing Practice (EBNP) mengenai pengaruh distraksi audiovisual terhadap distress anak yang mendapat terapi inhalasi di Ruang Lili RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
mengalami masalah saluran pernapasan dan memperoleh terapi medikasi inhalasi,
Intervention: pemberian perlakuan distraksi audiovisual dengan menonton video yang disenangi anak usia young children yang mendapat terapi inhalasi, Comparison: responden dibagi menjadi dua kelompok, kelompok intervensi diberikan distraksi audiovisual dan kelompok kontrol mendapatkan perawatan rutin sesuai SPO rumah sakit, Outcome: dengan pemberian teknik distraksi audiovisual dapat menurunkan tingkat distress anak selama terapi inhalasi berjalan, Time: selama terapi inhalasi berlangsung). Pemilihan sampel yaitu pasien anak usia 1-4 tahun (young children) yang mengalami masalah
HASIL PENELITIAN
Hasil penerapan yang dilakukan dari bulan Juli 2022 pada 2 responden di Ruang Rawat Inap Lili Infeksi RSUD Arifin
pernapasan dan mendapatkan medikasi terapi inhalasi.
Penilaian distress anak dilakukan dengan mengobservasi anak yang mendapatkan medikasi inhalasi selama terapi berlangsung, dan skor yang diberikan dihitung berdasarkan lama waktu anak menangis atau menolak tindakan. Skor distress akan ditambahkan 1 poin setiap menit anak menangis dan 1 poin tiap 20 detik saat anak gelisah dan menolak tindakan. Penelitian ini dinyatakan lulus uji etik dengan nomor 020/KEPK/UNIV-HTP/VI/2022-KIAN.
Achmad Provinsi Riau, dengan data yang diperoleh sebagai berikut.
Tabel 1. Skor Distress Anak Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Ruang Rawat Lili RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau Tahun 2022
Kasus |
Skor Distress |
Kasus A (Kelompok Intervensi) |
0 |
Kasus B (Kelompok Kontrol) |
15 |
Hasil penerapan didapatkan skor distress anak yang diberi intervensi (Kasus A) menjadi 0 yang berarti tidak menunjukkan distress sama sekali
PEMBAHASAN
Pada tanggal 6 Juli 2022 dilakukan implementasi untuk mengatasi masalah bersihan jalan napas, perfusi perifer tidak efektif dan ansietas, dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah ditetapkan. Intervensi dalam mengatasi bersihan jalan napas yaitu dengan kolaborasi pemberian terapi inhalasi. Pemberian terapi inhalasi akan menyebabkan distress anak meningkat. An. A menunjukkan penolakan ketika akan dipasangkan sungkup nebu, anak terlihat takut ketika perawat masuk ke kamarnya, dan juga laporan ibu yang mengatakan biasanya anak menangis dan menolak ketika mendapatkan terapi uap. Hal yang dilakukan untuk mengatasi distress anak yang mendapatkan terapi inhalasi yaitu dengan pemberian distraksi
sedangkan anak kelompok kontrol (Kasus B) adalah 15 yang berarti anak mengalami distress selama 15 menit berlangsungnya terapi inhalasi.
audiovisual berupa tontonan video musik. Sebelum pemberian terapi inhalasi, mendatangi orang tua An. A untuk meminta persetujuan ibu dan juga menjelaskan mengenai penerapan yang akan dilakukan serta menyerahkan inform consent. Setelah ibu menyetujui tindakan yang akan dilakukan, penerap menanyakan video kesukaan anak kepada ibu, selanjutnya penerap memutarkan video tersebut. Setelah anak mulai terdistraksi dengan video musik yang diputarkan, lalu mulai menghidupkan alat nebulizer serta memakaikan sungkup ke anak. Ketika pemakaian sungkup, anak sedikit menolak, tapi setelah diberikan smartphone kembali anak terdistraksi dan menjadi tenang. Selama pemberian terapi inhalasi anak
menjadi tenang dan tidak menolak terapi yang diberikan. Penerap menilai perilaku anak selama terapi inhalasi berjalan, dengan menilai tingkat distress anak ketika diberikan tontonan video musik pada anak. Skor distress pada An. A adalah 0, dikarenakan anak tetap tenang dan terdistraksi terhadap tontonan video musik dan juga ketika anak menolak tindakan tidak sampai dengan 20 detik sesuai dengan penilaian distress anak.
Penerap juga memiliki kelompok kontrol, dimana saat terapi inhalasi berjalan anak tidak diberikan intervensi distraksi audiovisual. Ketika anak tidak diberikan intervensi, anak menangis dan menunjukkan sikap penolakan selama terapi inhalasi berjalan, anak juga terfokus terhadap pelaksanaan terapi yang menjadi stressor anak. Mulai dari pemasangan sungkup nebulizer di awal hingga terapi inhalasi selesai anak menangis dan menolak tindakan, sehingga efektivitas pemberian terapi inhalasi tidak efektif dibandingkan anak yang diberikan intervensi. Berdasarkan pengukuran skor distress anak didapatkan skor distress anak 15, dimana selama 15 menit pemberian terapi inhalasi anak menangis, yang menunjukkan anak mengalami distress. Dari perbandingan kelompok kontrol dan kelompok intervensi, didapatkan anak yang diberikan distraksi audiovisual akan menjadi tenang selama terapi inhalasi berlangsung. Didapatkan juga skor distress anak kelompok intervensi menjadi lebih rendah dibandingkan dengan anak kelompok kontrol yang tidak diberikan distraksi audiovisual.
Berkurangnya distress saat pemberian terapi inhalasi pada anak yang mendapatkan distraksi audiovisual dengan menonton video dapat disebabkan karena distraksi sebagai sebuah strategi kognitif atau perilaku dapat membantu mengalihkan perhatian anak pada sesuatu yang lebih atraktif dan menarik, sehingga dapat menghindari stimulus yang tidak menyenangkan dan dapat mengurangi distress anak (Koller & Goldman, 2012). Pada penerapan ini, penerap memberikan sebuah distraksi audiovisual melalui
menonton musik video. Distraksi dengan menonton musik video dapat memberikan stimulasi visual melalui gambar kartun yang bergerak, warna-warna yang menarik, serta memberikan stimulasi auditorik melalui musik serta lagu pengantar pada video.
Saat anak menonton musik video, perhatian anak akan difokuskan pada sebuah stimulasi sensoris visual serta auditori yang menyenangkan. Stimulus sensoris yang menyenangkan ini diterima oleh sistem indera akan diteruskan ke bagian korteks otak terutama bagian oksipitalis dan temporalis. Berdasarkan hasil studi, selain bagian oksipitalis dan temporalis, pada pemberian stimulasi secara visual dan auditorik secara bersamaan juga akan menyebabkan peningkatan aktivasi prefrontal dan parietal (Schroeder et al., 2015). Stimulus yang diterima pada korteks otak ini akan diproses dan dipersepsikan sebagai sebuah hal yang menyenangkan. Ketika bagian otak lebih banyak terstimulus dan perhatian lebih terfokus pada hal yang lebih menarik dan menyenangkan, maka perhatian pada lingkungan sekitar menjadi berkurang. Hal ini terjadi karena otak manusia memiliki keterbatasan dalam menerima informasi (Sörqvist & Marsh, 2015).
Stimulus yang telah diterima dan dipersepsikan oleh otak akan mempengaruhi sistem limbik terutama pada bagian amigdala. Pada anak yang mendapatkan distraksi audiovisual akan menunjukkan penurunan aktivitas pada amigdala (Schroeder et al., 2015). Penurunan aktivitas pada amigdala menunjukkan minimalnya respon stres pada anak. Hal ini akan merangsang aktivitas saraf parasimpatik sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan suplai oksigen ke otak, sehingga anak akan menunjukkan perilaku yang tenang dan rileks (McCance & Huether, 2014). Berbeda dengan anak yang tidak mendapatkan intervensi, fokus anak akan tertuju pada pelaksanaan tindakan terapi inhalasi yang dianggap oleh anak menjadi stressor yang mengancam.
SIMPULAN
Setelah dilakukan penerapan EBNP distraksi audiovisual pada kelompok intervensi, didapatkan adanya perbedaan yang signifikan dari skor distress anak pada kelompok kontrol yang tidak diberikan tontonan video musik dan kelompok intervensi yang diberikan tontonan video musik. Terapi audiovisual yang diberikan merupakan jenis distraksi gabungan dari distraksi audio dan distraksi visual. Media
DAFTAR PUSTAKA
Devi, N. L. P. S., Nurhaeni, N., & Hayati, H. (2017).
Effect of Audiovisual Distraction on Distress and Oxygenation Status in Children Receiving Aerosol Therapy. Comprehensive Child and Adolescent Nursing, 40(1), 14–21. https://doi.org/10.1080/24694193.2017.1386 966
DiBlasi, R. M. (2015). Clinical controversies in aerosol therapy for infants and children. Respiratory Care, 60(6), 894–914.
https://doi.org/10.4187/respcare.04137
Emukule, G. O., McMorrow, M., Ulloa, C.,
Khagayi, S., Njuguna, H. N., Burton, D., Montgomery, J. M., Muthoka, P., Katz, M. A., Breiman, R. F., & Mott, J. A. (2014). Predicting mortality among hospitalized children with respiratory illness in Western Kenya, 2009-2012. PLoS ONE, 9(3), 2009– 2012.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.009296 8
Ferkol, T., & Schraufnagel, D. (2014). The global burden of respiratory disease. Annals of the American Thoracic Society, 11(3), 404–406. https://doi.org/10.1513/AnnalsATS.201311-405PS
Habiba, R. A., Triana, K. Y., & Ayu, N. M. D.
(2021). Pengaruh Distraksi Video Film Kartun Terhadap Kecemasan Anak Dengan Bronkopneumonia yang Dilakukan Terapi Inhalasi Menggunakan Nebulizer. Politeknik Kesehatan Makassar, 12(1), 2087–2122. https://doi.org/https://doi.org/10.32382/jmk.v 12i1.2051
Hillgrove-Stuart, J., Riddell, R. P., Horton, R., &
Creenberg, S. (2013). Toy-mediated distraction: Clarifying the role of distraction agent and preneedle distress in toddlers. Pain Research and Management, 18(4), 197–202.
Kementrian Kesehatan Indonesia. (2021). Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2020. Jakarta: Kemenkes RI.
Koller, D., & Goldman, R. D. (2012). Distraction techniques for children undergoing procedures: a critical review of pediatric research. Journal of Pediatric Nursing, 27(6),
yang digunakan berupa tontonan video beserta suara, yang diputar melalui smartphone. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh pemberian distraksi audiovisual efektif terhadap tingkat distress anak yang mendapat terapi inhalasi, yang ditunjukkan dengan adanya penurunan skor distress pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol di ruang rawat Lili RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.
652–681.
https://doi.org/10.1016/j.pedn.2011.08.001
Lee, J., Lee, J., Lim, H., Son, J. S., Lee, J. R., Kim, D. C., & Ko, S. (2012). Cartoon distraction alleviates anxiety in children during induction of anesthesia. Anesthesia and Analgesia, 115(5), 1168–1173.
https://doi.org/10.1213/ANE.0b013e31824fb 469
Maccari, J. G., Teixeira, C., Gazzana, M. B., Savi, A., Dexheimer-Neto, F. L., & Knorst, M. M. (2015). Inhalation therapy in mechanical ventilation. Jornal Brasileiro de
Pneumologia, 41(5), 467–472.
https://doi.org/10.1590/S1806-37132015000000035
Maharezi, S. (2014). Pengaruh Teknik Distraksi (Boneka Tangan) Terhadap Perubahan Skala Nyeri Saat Imunisasi Campak Pada Bayi Di Wilayah KerjaPustu Bulakan Balai Kandi, Koto Nan IV, Payakumbuh Barat. Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Naskah tidak dipublikasikan.
Mangku, G., & Senapati, T. (2017). Terapi Cairan. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta.
McCance, K. L. & Huether, S. E. (2014). Pathophysiology: The biologic basis for disease in adults and children (7th ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby
McCarthy, M., Glick, R., Green, J., Plummer, K., Peters, K., Johnsey, L., & DeLuca, C. (2012). Comfort First: an evaluation of a procedural pain management programme for children with cancer. Psyco-Oncology, 22(4), 775– 782.
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/pon.30 61
Rachmadani, M. (2013). Pengaruh Bermain Terapeutik (puzzle) terhadap Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah yang Dilakukan Nebulizer di RS Khusus Anak “Empat Lima” Yogyakarta. STIKes Aisyiyah Yogyakarta. Naskah tidak dipublikasikan.
Roslita, R., Nurhaeni, N., & Wanda, D. (2021). Dampak Distraksi Audiovisual Terhadap
Distress Anak Yang Mendapatkan Terapi Inhalasi. Jurnal Kesehatan Komunitas, 7(1), 13–17.
https://doi.org/10.25311/keskom.vol7.iss1.58 2
Schroeder, P. A., Ehlis, A. C., Wolkenstein, L., Fallgatter, A. J., & Plewnia, C. (2015).
Emotional distraction and bodily reaction: Modulation of autonomous responses by anodal tDCS to the prefrontal cortex. Frontiers in Cellular Neuroscience, 9, 482. http://doi.org/10.3389/fncel.2015.00482
Sörqvist, P., & Marsh, J. E. (2015). How
concentration shields against distraction. Current Directions in Psychological Science,
24(4), 267-272.
doi:10.1177/0963721415577356
Supriyatno, B., & Nataprawira, H. M. D. (2019). Terapi Inhalasi pada Anak. In Sari Pediatri (Vol. 4, Issue 2, p. 67).
https://doi.org/10.14238/sp4.2.2002.67-73
The British Psychological Society. (2010). Evidence-based Guidelines for the Management of Invasive and/or Distressing Procedures with Children. The British Psychological Society, March 1–48.
World Health Organization. (2020). WHO and the Maternal Child Epidemiology Estimation Group (MCEE).
Volume 10, Nomor 6, Desember 2022
613
Discussion and feedback