Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980

GAMBARAN TINGKAT ANSIETAS, STRES, DAN DEPRESI PADA PENGUNGSI GUNUNG AGUNG PASCA MENGUNGSI

Restu Pratama Aryanata, Kadek Saputra, Desak Made Widyanthari

Program Studi Sarjana Keperawatan dan Profesi Ners Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Desa Sibetan merupakan desa yang paling banyak dipilih sebagai tempat pengungsian di Kabupaten Karangasem. Kondisi tempat pengungsian yang padat menyebabkan pengungsi rentan mengalami gangguan fisik dan psikologis. Ansietas, stress, dan depresi merupakan gangguan psikologis yang ditemukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran ansietas, stress, dan depresi pada pengungsi Gunung Agung pasca mengungsi di Desa Sibetan dengan menggunakan metode deskriptif dan pendekatan retrospective (tujuh bulan sejak peningkatan status pertama kali terjadi). Sampel diperoleh menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah 137 orang. Hasil penelitian yaitu mayoritas responden berumur 31-59 tahun, berjenis kelamin laki-laki, memiliki tingkat pengetahuan lulus SD, serta bekerja sebagai wiraswasta/ petani/ peternak. Sebanyak 14,60% responden mengalami ansietas; 10,95% responden mengalami stress; serta 13,87% responden mengalami depresi. Ansietas paling banyak dan berat terjadi pada kelompok umur 31-59 tahun, responden perempuan, tingkat pendidikan lulus SD, dan pekerjaan sebagai wiraswasta/ petani/ peternak. Sedangkan stress dan depresi paling banyak dan berat terjadi pada kelompok umur 31-59 tahun, tingkat pendidikan lulus SD, pekerjaan sebagai wiraswasta/ petani/ peternak, dan paling berat terjadi pada responden perempuan. Simpulan dalam penelitian ini yaitu masyarakat masih mengalami ansietas, stress, dan depresi walaupun sudah tujuh bulan sejak peningkatan status terjadi. Disarankan untuk mengkaji kondisi psikologis masyarakat secara berkelanjutan pada penelitian selanjutnya.

Kata kunci: ansietas, depresi, erupsi gunung agung, pasca mengungsi, pengungsi, stres

ABSTRACT

Sibetan Village is the most selected place to become shelter in Karangasem Regency. Crowd in shelter’s environment causes refugees to suffer physical and psychological problems. Anxiety, stress, and depression are found in the other researches. The aim of this research is to know the characteristic of anxiety, stress, and depression on Mount Agung’s refugee post evacuated at Sibetan Village with descriptive method and retrospective (seven month since the first raised status) approach. The samples were 137 which obtained by purposive sampling technique. The result of this research is most of respondents are 31-59 years old, male, passed elementary school, and worked as entrepreneur / farmer/ cattleman. 14.60% respondents suffer anxiety, 10.95% respondents suffer stress, and 13.87% respondents suffer depression. Anxiety mostly occur and severest in the age 31-59 years, female, passed elementary school, and worked as entrepreneur/ farmer/ cattleman. Meanwhile, stress and depression are mostly occur and severest in the age 31-59 years, passed elementary school, worked as entrepreneur/ farmer/ cattleman, and severest on female. This research conclude that people still suffer anxiety, stress, and depression even the raised status was seven month ago. Future research about people’s psychological condition should be done continuously.

Keywords: anxiety, depression, mount agung’s eruption, post evacuated, refugee, stress

PENDAHULUAN

Indonesia termasuk negara dengan potensi bencana terbesar ketiga di dunia setelah Jepang dan Cina (Avin, 2016). Bencana yang paling berpotensi terjadi di Indonesia yaitu banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, kekeringan, longsor, erupsi gunung api, dan abrasi

(Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2014). Provinsi Bali termasuk daerah yang memiliki potensi bencana tinggi (BNPB, 2014).

Bencana berupa erupsi gunung api terjadi di Bali pada awal bulan September 2017 karena adanya peningkatan aktifitas magma dan kegempaan Gunung Agung

(Gamar, 2017). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologis (PVMBG) meningkatkan status Gunung Agung menjadi level IV (awas) sehingga dibentuknya zona bahaya gunung api sejauh sembilan kilometer dari pusat kawah dan 12 km zona perluasan dari pusat kawah (Saut, 2017). Masyarakat yang ada dalam zona tersebut direkomendasikan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Menurut Humas Satgas Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Agung (2017), total jumlah pengungsi Gunung Agung pada tanggal delapan Nopember 2017 mencapai 111.109 jiwa yang tersebar disembilan kabupaten di Bali. Jumlah pengungsi yang banyak dapat menyebabkan dampak fisik maupun psikologis. Dampak fisik yang dapat terjadi yaitu buruknya sanitasi lingkungan, perkembangan penyakit menular, maupun gangguan pencernaan (Fatoni, 2015).

Dampak psikologis yang dapat terjadi berupa ansietas, stress, atau depresi. Menurut Ikeda, Tanigawa, Charvat, Wada, dan Shigemura (2017), masalah psikologis yang terjadi pada korban bencana masih ada dan cenderung meningkat bahkan hingga tiga tahun setelah bencana terjadi. Tanisho, Shigemura, Kubota, Tanigawa, dan Bromet (2016) juga menyimpulkan bahwa korban bencana yang memiliki respon psikologis yang lebih tinggi cenderung berisiko mengalami masalah hingga beberapa tahun kedepan.

Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi pengungsian tampak padat serta tata letak barang-barang pengungsi tidak teratur. Selain itu, hasil studi pendahuluan menggunakan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale-42 (DASS-42) mendapatkan hasil bahwa mayoritas (60%) pengungsi mengalami depresi, ansietas, maupun stress. Bahkan dari sepuluh pengungsi, tiga pengungsi mengalami ketiga masalah psikologis. Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian lebih lanjut di tempat pengungsian. Oleh karena itu,

peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran status mental pengungsi Gunung Agung pasca mengungsi di Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.

Tinjauan pustaka yang dibahas dalam penelitian ini mencakup konsep ansietas, stress, depresi, dan gunung api. Konsep ansietas, stress, dan depresi masing-masing dijelaskan tentang pengertian, klasifikasi, gejala, penyebab, dan instrumen. Sedangkan konsep gunung api dijelaskan tentang pengertian, proses erupsi, dan dampak yang mungkin timbul.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian destriptif dengan pendekatan retrospective untuk mengetahui gambaran tingkat ansietas, stress, dan depresi pada pengungsi Gunung Agung pasca mengungsi di Desa Sibetan. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2018 di Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem selama dua minggu.

Populasi penelitian ini yaitu pengungsi Gunung Agung yang pernah mengungsi di Desa Sibetan dengan jumlah 1.313 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi yaitu masyarakat Desa Jungutan yang pernah mengungsi di Desa Sibetan, berusia ≥13 tahun, dan bersedia mengikuti penelitian, sedangkan kriteria eksklusi yaitu masyarakat dengan gangguan jiwa dan penurunan kesadaran.

Perhitungan jumlah sampel yang digunakan adalah 10% dari populasi yaitu 1.313 orang, sehingga jumlah sampel minimal yaitu 132 orang. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria dan mengikuti penelitian ini berjumlah 137 orang. Pengumpulan data mengguna-kan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale-21 (DASS-21) untuk mengetahui respon ansietas, stress, dan depresi yang dialami responden. Kuesioner menggunakan skala Likert sebanyak 21 pertanyaan dengan pilihan jawaban mulai dari tidak pernah,

jarang, sering, hingga sangat sering. Setelah memeroleh surat izin melaksanakan penelitian dan surat layak etik, peneliti melakukan uji validitas dan reabilitas instrumen pada masyarakat Desa Jungutan dengan jumlah responden 30 orang. Setelah instrumen valid dan reliabel peneliti mulai mencari responden sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel kemudian diberikan penjelasan tentang penelitian, kerahasiaan, hak untuk menolak, informed concern, serta cara

mengisi kuesioner. Sampel yang sudah diberikan penjelasan kemudian dibimbing untuk mengisi kuesioner sesuai dengan apa yang mereka rasakan.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1, mayoritas responden termasuk dalam kelompok umur 31-59 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan akhir lulus SD, serta bekerja sebagai wiraswasta/ petani/ peternak.

Tabel 1.

Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, dan Pekerjaan pada Pengungsi Gunung Agung Pasca Mengungsi di Desa Sibetan (n=137)

Variabel

f

%

Umur (tahun)

13-20 tahun

14

10,22

21-30 tahun

39

28,47

31-59 tahun

79

57,66

≥ 60 tahun

5

3,65

Jenis Kelamin

Laki-laki

93

67,88

Perempuan

44

32,12

Tingkat Pendidikan

Belum lulus SD

25

18,25

Lulus SD

59

43,06

Lulus SMP

24

17,52

Lulus SMA

23

16,79

Sarjana/sederajat

6

4.38

Pekerjaan

PNS

3

2.19

Swasta

16

11,68

Wiraswasta/petani/peternak

105

76,64

Tidak menentu/serabutan

0

0

Pelajar

13

9,49

Tabel 2.

Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Ansietas (n=137)

Tingkat Ansietas

f

%

Normal

117

85,40

Ringan

4

2,92

Sedang

8

5,84

Berat

5

3,65

Sangat berat

3

2,19

Tabel 2, dari 137 responden yang

normal. Namun gangguan ansietas masih

mengikuti penelitian, mayoritas (85,40%)

terjadi pada 20

(14,60%) responden.

responden  memiliki  tingkat   ansietas

Berdasarkan usia,

kelompok usia 31-59

tahun paling banyak mengalami ansietas yaitu 1 orang mengalami ansietas ringan, 4 orang mengalami ansietas sedang, 4 orang mengalami ansietas berat, dan 1 orang mengalami ansietas sangat berat.

Karakteristik jenis kelamin, responden perempuan paling berat mengalami ansietas yaitu 3 orang mengalami ansietas sedang, 4 orang mengalami ansietas berat, dan 3 orang mengalami ansietas sangat berat. Menurut tingkat pendidikan responden, tingkat pendidikan lulus SD paling banyak

mengalami ansietas yaitu 1 orang mengalami ansietas ringan, 4 orang mengalami ansietas sedang, 2 orang mengalami ansietas berat, dan 2 orang mengalami ansietas sangat berat. Pekerjaan yang memiliki tingkat ansietas paling berat adalah pekerjaan sebagai wiraswasta/ petani/ peternak yaitu 1 orang mengalami ansietas ringan, 5 orang mengalami ansietas sedang, 2 orang mengalami ansietas berat, dan 3 orang mengalami ansietas sangat berat.

Tabel 3.

Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Stress (n=137)

Tingkat Stres

f                 %

Normal

122                  89.05

Ringan

8                      5.84

Sedang

4                     2.92

Berat

3                     2.19

Sangat berat

0                     0

Tabel 3 menjelaskan bahwa mayoritas (89,05%) responden memiliki tingkat stress normal sedangkan sisanya (10,95%) mengalami stress dari stress ringan hingga stress berat. Menurut data demografi responden, kelompok usia 3159 tahun paling banyak mengalami stress yaitu 3 orang mengalami stress ringan, 3 orang mengalami stress sedang, dan 3 orang mengalami stress berat. Responden perempuan paling berat mengalami stress yaitu 3 orang mengalami stress ringan, 2 orang mengalami stress sedang, dan 2 orang mengalami stress berat. Tingkat

pendidikan lulus SD paling banyak mengalami stress yaitu 3 orang mengalami stress ringan, 2 orang mengalami stress sedang, dan 2 orang mengalami stress berat. Sedangkan wiraswasta/ petani/ peternak paling banyak mengalmai ansietas dengan 5 orang mengalami stress ringan, 4 orang mengalami stress sedang, dan 3 orang mengalami stress berat.

Sesuai dengan tabel 4, mayoritas (86,13%) responden memiliki tingkat depresi normal. Depresi yang terjadi pada responden yaitu depresi tingkat ringan dan sedang.

Tabel 4.

Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Depresi (n=137)

Tingkat Depresi

f                 %

Normal

118                   86.13

Ringan

10                     7.30

Sedang

9                     6.57

Berat

0                      0

Sangat berat

0                      0

Berdasarkan kelompok usia responden, kelompok usia 31-59 tahun paling banyak mengalami depresi yaitu 5 orang mengalami depresi ringan dan 4 orang mengalami depresi sedang.

Menurut jenis kelaminnya, responden perempuan paling berat mengalami depresi yaitu 4 orang mengalami depresi ringan dan 5 orang mengalami depresi sedang. Tingkat

pendidikan lulus SD paling berat mengalami depresi yaitu 2 orang mengalami depresi ringan dan 4 orang mengalami depresi sedang. Pekerjaan yang memiliki tingkat depresi paling berat adalah pekerjaan sebagai wiraswasta/ petani/ peternak yaitu 6 orang mengalami depresi ringan dan 7 orang mengalami depresi sedang.

PEMBAHASAN

Kelompok umur 31-59 tahun merupakan kelompok umur yang paling banyak dan berat mengalami ansietas, stress, serta depresi. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2006) dan Telles, Singh, dan Joshi (2009) yang menyimpulkan bahwa semakin bertambahnya usia, seseorang akan lebih rentan mengalami gangguan psikologis. Hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya stimulus internal dan eksternal yang tidak mampu ditahan oleh mekanisme koping responden. Menurut Havard Health Publishing (2018), umur 31-59 tahun merupakan periode yang berat bagi manusia karena stimulus baik dari dalam maupun dari luar tubuh mereka banyak terjadi. Pada umur ini, terjadi penurunan fungsi fisik seperti gangguan indra maupun munculnya tanda-tanda penyakit degeneratif. Umur 31-59 tahun juga merupakan tulang punggung keluarga yang harus memenuhi kebutuhan keluarganya (Havard Health Publishing, 2018).

Kelompok umur ≥ 60 tahun memiliki tingkat ansietas, stress, dan depresi yang lebih rendah dibandingkan kelompok umur 31-59 tahun. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh tingginya self efficacy responden dengan umur ≥ 60 tahun. Menurut Imani, Torki, Zamani, dan Ebrahimi (2014), kelompok lanjut usia (60-86 tahun) memiliki self efficacy yang tinggi. Shokri dan Akbari (2016) menjelaskan bahwa semakin tinggi self efficacy seseorang, maka tingkat ansietas yang terjadi pada seseorang akan semakin berkurang.

Responden perempuan memiliki tingkat ansietas, stress, dan depresi yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Vonnahme, Lankau, Ao, Shetty, dan Cardozo (2014). Vonnahme et al. (2014) menyimpulkan bahwa prevalensi ansietas dan depresi yang terjadi pada perempuan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dai et al. (2017) yang menyimpulkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami PTSD. Hal tersebut dapat terjadi karena otak perempuan lebih sensitif terhadap corticotrophin releasing factor (CRT) baik dalam jumlah yang kecil maupun besar (Alleyne, 2010). Sehingga saat perempuan mengalami suatu situasi, kecenderungan mengalami gangguan psikologis akan meningkat.

Responden dengan tingkat pendidikan lulus SD merupakan kelompok yang paling banyak dan paling berat mengalami ansietas, stress, dan depresi. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dai et al. (2017) yang menyimpulkan bahwa pendidikan yang rendah dapat meningkatkan kecenderungan seseorang mengalami PTSD, depresi, dan ansietas. Hailemariam, Tessema, Asefa, Tadesse, dan Tenkolu (2012) juga menyimpulkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka kesadaran terhadap kesehatannya juga meningkat. Mayoritas responden dengan tingkat pendidikan lulus SD masuk dalam kelompok umur 31-59 tahun. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, kelompok umur 31-59 tahun mengalami kondisi fisik yang mulai menurun. Kondisi yang menurun dan kurangnya kesadaran memeriksakan kesehatan pada pendidikan rendah (lulus SD) dapat menyebabkan tingkat ansietas, stress, dan depresi yang berat.

Responden yang tidak lulus SD memiliki tingkat ansietas, stress, dan depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan responden yang lulus SD. Hal

tersebut mungkin dipengaruhi oleh konsumsi zat-zat seperti rokok atau minuman beralkohol yang dapat menurunkan gejala gangguan mental. Zimmerman, Woolf, dan Hale (2015) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan yang rendah erat kaitannya dengan penggunaan alkohol dan perokok. Kandungan dalam rokok dan alkohol dapat menyebabkan gejala gangguan mental seperti merilekskan tubuh hingga meningkatkan mood positif, namun seiring berjalannya waktu gejala gangguan mental yang timbul akan memberat (Mental Health, 2018).

Responden yang bekerja sebagai wiraswasta/petani/peternak memiliki tingkat ansietas, stress, dan depresi yang paling banyak dan berat. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kar dan Bastia (2006) yang menyimpulkan penghasilan yang kecil dapat menyebabkan seseorang lebih mudah mengalami PTSD. Selain itu, WHO (dalam Deribew et al., 2010) menyimpulkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan psikologis. Fereya et al. (2015) juga menjelaskan seseorang yang tidak memiliki pekerjaan akan berpotensi lebih besar mengalami ansietas dan depresi. Menurut peneliti, sebagai petani dan peternak, masyarakat mungkin akan merasa cemas tentang lahan dan ternak yang mereka pelihara jika suatu saat nanti erupsi kembali terjadi. Sverke, Hellgren, dan Naswall (dalam American Psychological Assosiation, 2018) juga menjelaskan bahwa adanya ketakutan kehilangan pekerjaan secara signifikan dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang bahkan dampak yang ditimbulkan lebih berat pada kesehatan mental. Hal tersebut yang mungkin menjelaskan tingkat ansietas, stress, dan depresi yang lebih berat pada kelompok pekerjaan wirausaha/ petani/ peternak.

Mayoritas responden memiliki tingkat ansietas normal, namun masih ada responden yang mengalami ansietas mulai dari ringan sampai sangat berat sebanyak

14,60%. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cohidon et al. (2009) yang menyimpulkan bahwa seseorang yang pernah mengalami gangguan psikologis seperti ansietas, depresi, maupun gejala lain, dapat mengalami gangguan psikologis hingga dua tahun setelah bencana terjadi. Paranjothy et al. (2011) juga menyimpulkan bahwa 48% korban banjir di Inggris mengalami ansietas walaupun bencana tersebut terjadi enam bulan yang lalu.

Menurut peneliti, stressor yang dialami oleh responden dapat dikatakan cukup ringan. Hal tersebut dikarenakan aktivitas Gunung Agung yang stabil sehingga masyarakat menjadi tenang dan mulai beradaptasi dengan keadaannya. Selain itu, Nakayachi dan Nagaya (2016) menyimpulkan bahwa seseorang akan mengalami ansietas segera setelah bencana terjadi, dan akan berkurang secara bertahap. Proses tersebut yang mungkin menyebabkan mayoritas responden memiliki tingkat ansietas normal. Sedangkan responden yang mengalami ansietas, mungkin disebabkan oleh adanya rasa takut letusan yang akan terjadi sekuat beberapa tahun lalu akibat adanya cerita masa lalu dan proses erupsi yang sering disiarkan pada televisi. Nakayachi dan Nagaya (2016) menyimpulkan bahwa sesuatu yang terus menerus diperlihatkan ataupun didengarkan kepada masyarakat dapat menyebabkan meningkatnya rasa takut mereka akan hal yang diceritakan.

Sebanyak 10,95% responden mengalami stress dari ringan sampai berat, yaitu delapan responden mengalami stress ringan, empat responden mengalami stress sedang, dan tiga responden mengalami stress berat. Hal tersebut sesuai dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan. Neria, Nandi, & Galea (dalam Tsujiuchi et al., 2016) menyimpulkan bahwa pada masyarakat yang mengalami dampak langsung dapat mengalami PTSD dalam rentang 30-40%, sedangkan pada masyarakat umum peluang terjadinya

PTSD yaitu 5-10%. Okamoto et al. (dalam Kukihara, Yamawaki, Uchiyma, Arai, & Horikawa, 2014) menyimpulkan bahwa korban bencana dapat mengalami PTSD empat sampai enam bulan sejak bencana terjadi.

Proses pengungsian yang dipandu oleh BNPB sangat tepat sasaran mulai dari proses evakuasi, aktivitas pengungsian, hingga proses pemulangan pengungsi. Proses evakuasi yang dilakukan BNPB sistematis sehingga memungkinkan masyarakat mengungsi dengan keluarga mereka masing-masing. Kebutuhan dasar pengungsi seperti makanan, air bersih, serta obat-obatan juga diberikan oleh BNPB. Menurut Fridriksdottir et al. (dalam Thompson et al., 2015) gangguan psikologis dapat terjadi jika kebutuhan dasar seseorang tidak terpenuhi. Hal tersebut yang menjelaskan mayoritas pengungsi memiliki tingkat stress normal. Adanya stress yang terjadi pada beberapa warga mungkin disebabkan oleh kadar kortisol yang tetap tinggi. Menurut Thompson et al. (2015), kadar kortisol pada korban bencana mungkin akan tetap tinggi karena korban tersebut sebelumnya mengalami ansietas yang berat. Hal tersebut sesuai dengan studi pendahuluan yang telah dilakukan dimana 10% dari total sampel mengalami ansietas berat.

Sebanyak 13,87% responden mengalami depresi dengan tingkat ringan dan sedang. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sabin, Cardozo, Nackerud, Kaiser, & Varese (2003) yang menyimpulkan bahwa dari 160 responden, 62 (38,8%) responden mengalami gejala depresi. Feyera et al. (2015) juga menyimpulkan bahwa dari 847 responden, 38,3% responden tersebut mengalami depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Tang et al. (2017) juga menyimpulkan bahwa dari 460 responden, 2,8% responden mengalami depresi pada 12 bulan sejak bencana dan meningkat menjadi 13,1% pada 30 bulan sejak bencana terjadi.

Penelitian-penelitian sebelum-nya menyimpulkan bahwa tingkat depresi yang tinggi sangat erat kaitannya dengan kurangnya dukungan sosial (Bonanno et al., 2010), kehilangan keluarga, adanya banyak korban jiwa, kerusakan yang parah (Kukihara et al., 2014), serta masalah pada proses pengungsian (Feyera et al., 2015). Dampak erupsi Gunung Agung sampai saat ini belum parah, belum adanya korban jiwa yang dilaporkan, serta masyarakat yang sudah kembali ke rumah masing-masing mungkin menjelaskan tingkat depresi yang dialami oleh mayoritas masyarakat tetap normal. Masyarakat yang mengalami depresi mungkin disebabkan oleh adanya ansietas atau stress yang dialami sehingga berkembang menjadi depresi. Menurut Foa, Stein, dan McFarlane (2006), depresi dapat terjadi oleh karena seseorang mengalami beberapa masalah sekaligus seperti PTSD ataupun gangguan ansietas seperti social anxiety disorder, general anxiety disorder, maupun panic disorder.

Sesuai dengan hasil penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa masyarakat Indonesia khususnya Bali merupakan orang yang tegar dan mampu melewati peristiwa traumatik dengan baik. Kemampuan tersebut disebabkan oleh kuatnya dukungan sosial yang ada di Bali. Hal tersebut terbukti dari penelitian ini karena tingkat ansietas, stress, dan depresi pada masyarakat terdampak erupsi Gunung Agung mayoritas normal. Selain erupsi Gunung Agung, peristiwa serupa juga pernah dialami masyarakat Bali yaitu pada bom Bali. Yudhoyono (2012) menjelaskan bahwa walaupun bom Bali sempat menimbulkan kekacauan di Bali bahkan di Indonesia, kondisi Bali dengan cepat pulih karena adanya kerjasama antara beberapa pihak. Pihak yang dimaksud adalah antarmasyarakat Bali serta antara Pemerintahan Indonesia dan pemerintahan luar negeri. Hal tersebut juga didukung oleh Stevan et al. (2013) yang menyimpulkan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan penyembuhan trauma

psikologis pada seseorang. Cohen dan Willis (dalam Thompson et al., 2015) juga menjelaskan bahwa dukungan sosial mampu mengurangi dampak fisik maupun psikologis yang diakibatkan oleh bencana

Dukungan sosial yang diberikan pada korban bencana di Bali berasal dari berbagai sektor mulai dari pemerintah hingga lembaga-lembaga masyarakat. Selain itu, kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bali sangat kuat. Ajaran Tri Hita Karana sangat melekat pada masyarakat Bali yang membuat masyarakat akan menolong sesama manusia serta menjaga lingkungan. Selain itu, masyarakat akan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berdoa agar mampu melewati masalah yang dihadapi. Menurut Hood et al. (dalam Thompson, 2015), kepercayaan dapat mengurangi ketakutan, ansietas, serta perasaan bersalah pada seseorang. Hal tersebut yang mungkin menyebabkan masyarakat Bali mampu menghadapi peristiwa traumatik dan cenderung tidak mengalami gangguan psikologis.

SIMPULAN

Mayoritas responden mengalami tingkat ansietas, stress, dan depresi yang normal namun masih ada responden yang mengalami ansietas, stress, dan depresi walaupun erupsi Gunung Agung telah terjadi 7 bulan yang lalu. Tingkat ansietas, stress, dan depresi yang paling berat terdapat pada kelompok usia 31-59 tahun, jenis   kelamin perempuan, tingkat

pendidikan lulus SD, serta pekerjaan sebagai wiraswasta/ petani/ peternak.

DAFTAR PUSTAKA

Alleyne, R. (2010). Women Naturally

More Susceptible to Stress. London: The Telegraph

American Psychological Association. (2018). Beck Depression Inventory (BDI).       Received       from:

http://www.apa.org/pi/about/publicat ions/caregivers/practice-

settings/assessment/tools/beck-depression.aspx

Avin, R. (2016). Ini 6 Negara Paling Berpotensi Terjadi Bencana Alam. Received                    from:

https://media.iyaa.com/article/2016/0 4/Ini-6-Negara-Paling-Berpotensi-Terjadi-Bencana-Alam-3439808.html diakses pada 25 September 2017

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2014). Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013. Jawa Barat: Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Bonanno, G. A., Brewin, C. R., Kaniasty, K., & Greca A. M. L. (2010).

Weighing the Costs of Disaster: Consequences, Risks, and Resilience in Individuals, Families, and Communities. Psychological Science in the Public Interest. Vol 11 (1): 149

Cohidon, C., Diene, E., Carton, M., Fatras, J. Y., Goldberg, M., & Imbernon, E. (2009). Mental Health of Workers in Youlouse Two Years after the Industrial Azf Disaster: First Results of a Longitudinal Follow-Up of 3,000 People. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology. Vol 44: 784–791

Dai, W., Kaminga, A. C., Tan, H., Wang, J., Lai, Z., Wu, X. . . Liu, A. (2017). Long-Term Psychological Outcomes of Flood Survivors of Hard-Hit Areas of the 1998 Dongting Lake Flood in China: Prevalence and Risk Factors. PlosOne. Vol 12(2): 1-14

Deribew, A., Tesfaye, M., Hailmichael, Y., Apers, L., Abebe, G., Duchateau, L. Colebunders, R. (2010). Common Mental Disorders in TB/HIV CoInfected Patients in Ethiopia. BMC Infectious Diseases. Vol 10: 201-209

Fatoni, Z. (2015). Dampak Bencana Terhadap   Masalah   Kesehatan.

Jakarta:       Pusat       Penelitian

Kependudukan

Feyera, Mihretie, Bedaso, Gedle,  &

Kumera. (2015). Prevalence  of

Depression and Associated Factor among Somali Refugee at Melkadida Camp, Southeast Ethiopia: A CrossSectional Study. BMC Psychiatry. Vol 15: 171-178

Foa, E. B., Stein, D. J., & McFarlane, A. C. (2006). Symptomatology and Psychopathology of Mental Health Problems after Disaster. Journal of Clinical Psychiatry. Vol 67 (2): 1525

Gamar, R. (2017). Status Gunung Agung Diturunkan dari Awas ke Siaga. Denpasar: Kompas

Hailemariam, S., Tessema, F., Asefa, M., Tadesse, H., & Tenkolu, G. (2012). The Prevalence of Depression and Associated Factors in Ethiopia: Findings from the National Health Survey. Internatiional Journal of Mental Health System. Vol 6: 23-34

Havard Health Publishing. (2018). Anxiety and Physical Illness. Boston: Havard Medical School

Humas Satgas Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Agung. (2017). Wawancara, 8 November 2017

Ikeda, A., Tanigawa, T., Charvat, H., Wada, H., & Shigemura, J. (2017). Longitudinal Effects of Disaster-Related Experiences on Mental Health among Fukushima Nuclear Plant Workers: The Fukushima NEWS Project Study. Psychological Medicine. Vol 47 (11): 1936-1946

Imani, S., Torki, Y., Zamani, R.,  &

Ebrahimi, S. M. (2014). Elder’s General Self-Efficacy and Its

Affectiong Factors in Iran. Iranian Journal of Public Health. Vol 43(8): 1163-1164

Kar, N. & Bastia, B. K. (2006). Post-Traumatic     Stress     Disorder,

Depression and Generalised Anxiety Disorder in Adolescents after a Natural Disaster:  A Study of

Comorbidity. Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health. Vol 2: 17-24

Kukihara, H., Yamawaki, N., Uchiyma, K., Arai, S., & Horikawa, E. (2014). Trauma, Depression, and Resilience of Earthquake/ Tsunami/ Nuclear Disaster Survivors of Hirono, Fukushima, Japan. Psychiatry and Clinical Neurosciences. Vol 68: 524– 533

Liu A., Tan, H., Zhou, J., Li, S., Yang, T., Wang, J., . . . Wen, S. W. (2006). An Epidemiologic      Study      of

Posttraumatic Stress Disorder in Flood Victims in Hunan China. Canadian Journal of Psychiatry. Vol 51(6): 350-354

Mental Health. (2018). Smoking and Mental Health. England: Mental Health Organization

Nakayachi, K. & Nagaya, K. (2016). The Effects of the passage of Time from the 2011 Tohoku Earthquake on the Public’s Anxiety about a Variety of Hazards. International Journal of Environmental Research and Public Health. Vol 13: 866 - 878

Paranjothy, S., Gallacher, J., Amlot, R., Rubin, G. J., Page, L., & Baxter, T. (2011). Psychosocial Impact of the Summer 2007 Floods in England. BMC Public Health. Vol 11: 145

Sabin, M., Cardozo, B. L., Nackerud, L., Kaiser, R., Varese, L. (2003). Factors Associated with Poor Mental Health among Guatemal Refugees Living in

Mexico 20 Years after Civil Conflict. JAMA. Vol 290 (5): 635-642

Saut, P. D. (2017). Status Gunung Agung Naik Jadi Awas, Warga Langsung Mengungsi. Surabaya: DetikNews

Shokri, S. & Akbari, B. (2016). The Relationship of Self-efficacy with Life Expectancy and Death Anxiety in Elders over 60 years old of Resident in Nursing Homes of Rasht City. Electronic Journal of Biology. Vol 12(3)

Steven, G. J., Dunsmore, J. C., Agho, K. E., Taylor, M. R., Jones, A. L., Ritten, J. J., . . . Raphael, B. (2013). Long Term Health and Wellbeing of People Affected by the 2002 Bali Bombing. MJA. Vol 198: 273-277

Tang, W., Zhao, J., Lu, Y., Yan, T., Wang, L., Zhang, J., . . . Xu, J. (2017). Mental Health Problems among Chldren      and      Adolescents

Experiencing     Two     Major

Earthquakes in Remote Mountainous Region:  A Longitudinal Study.

Cmoprehensive Psychiatry. Vol 72: 66-73

Tanisho, Y., Shigemura, J., Kubota, K., Tanigawa, T.,  & Bromet, E. J.

(2016). The Longitudinal Mental Health Impact of Fukushima Nuclear Disaster Exposures and Public Criticism among Power Plant Workers:  the Fukushima NEWS

Project Study. Psychological Medicine. Vol 46 (15): 3117-3125

Telles, S., Singh, N., & Joshi, M. (2009). Risk of Posttraumatic Stress Disorder and Depression in Survivors of the Floods in Bihar, India. Canadian Indian Journal of Medical Science. Vol 63(8): 330-334

Thompson, D. J., Weissbecker, I., Cash, E., Simpson, D., M., Daup, M., & Sephton, S. E. (2015). Stress and

Cortisol in Disaster Evacuees: An Exploratory Study on Associations with Social Protective Factors. Psychophysiol Biofeedback. Vol 40: 33-44

Tsujiuchi, T., Yamaguchi, M., Masuda, K., Tsuchida, M., Inomata, T., Kumano, H., . . . Mollica, R., F. (2016). High Prevalence of Post-Traumatic Stress Symtomps in Relation to Social Factors in Affected Population One Year after the Fukushima Nuclear Disaster. Plos ONE. Vol 11(3): 1-14

Vonnahme, L. A., Lankau, E. W., Ao, T., Shetty, S., & Cardozo, B. L. (2014). Factors Associated with Symptoms of Depression among Bhutanese Refugees in the United States. Journal of Immigrant Minority Health. Vol 17: 1705-1714

Yudhoyono, S. B. (2012). Bali Bombing Created Unity, Stronger Relations. Sydney:  The Sydney Morning

Herald

Zimmerman, E. B., Woolf, S. H., & Haley, A. (2015). Population Health: Behavioral and Science Insights. Rockville: Agency for Healthcare Research and Quality.

Volume 8, Nomor 1, April 2020

64