Hubungan Intensitas Pengasuhan Cucu dengan Kualitas Hidup Lansia
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980
HUBUNGAN INTENSITAS PENGASUHAN CUCU DENGAN KUALITAS HIDUP LANSIA
Ni Putu Riskia Narayani, Made Rini Damayanti S, Komang Menik Sri Krisnawati Program Studi Sarjana Keperawatan dan Profesi Ners Fakultas Kedokteran Universitas Udayana *Email: [email protected]
ABSTRAK
Pengasuhan cucu berdampak pada kehidupan lansia tergantung pada intensitas atau banyaknya waktu yang dihabiskan dalam menjalankan peran ini. Pengasuhan cucu yang dilakukan oleh lansia dapat memberikan dampak secara fisik, psikologi dan sosial bagi lansia yang selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan intensitas pengasuhan cucu dengan kualitas hidup lansia. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dengan teknik purposive sampling pada 36 lansia. Intensitas pengasuhan cucu diukur dari banyaknya waktu yang digunakan saat mengasuh cucu dalam satu minggu dengan kategori non-intensive (1-39 jam/minggu) dan intensive (≥40 jam/minggu). Kualitas hidup terdiri dari empat domain yaitu kesehatan fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial dan lingkungan yang diukur menggunakan instrumen World Health Organization Quality Of Life-Bref. Hasil analisis data menggunakan Spearmen Rank mendapatkan hasil bahwa intensitas pengasuhan cucu mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan kualitas hidup domain kesehatan fisik (nilai p 0,011), domain kesehatan psikologis (nilai p 0,000), dan domain hubungan sosial (nilai p 0,004). Kualitas hidup domain lingkungan pada penelitian ini mendapatkan nilai p 0,478>0,05. Hal ini berarti semakin intens pengasuhan cucu yang dilakukan, maka kualitas hidup lansia akan semakin baik. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi lansia untuk ikut lebih terlibat dalam pengasuhan cucu mereka.
Kata kunci: intensitas pengasuhan cucu, kualitas hidup, lansia
ABSTRACT
Grandparenting could give an impact to physical, psychological, and social aspect of elderly life, which then could affect their quality of life. The aim of this study was to know the correlation between grandparenting and quality of life of elderly. This study used cross-sectional design and purposive sampling technique that involved 36 elders as participants. Grandparenting intensity was calculated by hours spent caring for a grandchild per week that divided into two categories: non-intensive (1–39 hour) and intensive (≥40 hour), while quality of life of elderly that divided into four domains (physical, psychological, social, and environment) was measured by World Health Organization Quality of Life-Bref instrument. Spearman Rank Test show that there is a positive and significant correlation between grandparenting intensity and physical domain (p=0.011), psychological domain (p=0.000), and social domain (p=0.004), but show no correlation with environmental domain (p=0.478, p>0.05). These results also show that the higher intensity of grandparenting associates with better quality of life of elderly. Based on these results, elderly suggested to actively involve on grandparenting.
Keywords: elderly, grandparenting intensity, quality of life
PENDAHULUAN
Peran ibu rumah tangga saat ini mulai bertambah menjadi mengurus rumah tangga dan bekerja. (Abdullah, 2003 dalam Eldayati, 2011). Di Indonesia terdapat lebih dari 40% perempuan mengurus rumah tangga sambil bekerja (Siregar, 2007). Peran sebagai ibu rumah tangga yang tidak dapat dipenuhi karena bekerja umumnya
dibantu oleh anggota keluarga lainnya seperti kakek-nenek. Hasil penelitian di Australia juga menyebutkan bahwa ketika ibu bekerja maka pengasuhan anak akan digantikan oleh nenek (Fellow & Laverty, 2003).
Survey kesehatan di China menunjukkan bahwa 45% kakek-nenek tinggal bersama cucu dan membantu dalam pengasuhan cucu yang berusia 0-6 tahun selama rentang waktu tahun 1991-2004 (Chen, Liu, & Mair, 2012). Di
Indonesia sendiri, penelitian, fenomena, dan data tentang pengasuhan cucu yang dilakukan oleh lansia sejauh pengetahuan peneliti masih sangat terbatas.
Pengasuhan cucu juga bisa menjadi pengalaman yang baik dan menyenangkan serta dapat berfungsi sebagai kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan cucunya (Drew dan Silverstein, 2004). Neugarten dan Weinstein (dalam Santrock, 2002) menyebutkan bahwa pencarian kesenangan (fun seeking) merupakan salah satu alasan kakek-nenek mengasuh cucunya meskipun kondisi mereka banyak mengalami perubahan.
Pada usia lanjut, akan terjadi penurunan kondisi fisik atau biologis, psikologis dan perubahan sosial (Tamher & Noorkasiani, 2009). Hal ini tentu menjadi masalah bagi lansia apalagi bila ditambah dengan peran lansia dalam mengasuh cucu. Peran kakek nenek yang dilakukan lansia saat orangtua cucu tidak ada di rumah misalnya karena bekerja, membuat kakek-nenek lebih sering terlibat secara langsung dengan aktivitas dan pemenuhan kebutuhan cucu mereka (Rapp & Sargeant, 2016). Hal ini membuat intensitas pengasuhan yang dilakukan oleh kakek-nenek lebih banyak daripada saat orangtua ada di rumah (Chen, Liu, & Mair, 2012). Sebuah survei di Amerika menemukan bahwa pengasuhan cucu berdampak pada kesehatan tergantung pada intensitas atau banyaknya waktu yang dihabiskan dalam menjalankan peran ini (Zella, 2018).
Pengasuhan cucu yang dilakukan oleh lansia dapat memberikan dampak secara fisik, psikologi dan sosial bagi lansia. Mengasuh cucu dapat menyebabkan lansia mengalami kelelahan (Hammill, 2001), stress dan kehilangan waktu senggang (Won, 2012). Di sisi lain, mengasuh cucu juga bisa memberikan subjective well-being (kepuasan hidup dari aspek kognitif dan afektif) yang tinggi (Firmundia & Nugrahawati, 2016) dan dapat
memberikan dampak positif terhadap kesehatan fisik (Di Gessa, Glaser, & Tinker, 2016). Dampak yang terjadi karena peran lansia sebagai pengasuh cucu ini dapat mempengaruhi kehidupan lansia secara keseluruhan termasuk kualitas hidup mereka.
Kualitas hidup adalah sejauh mana seseorang dapat merasakan dan menikmati terjadinya segala peristiwa penting dalam kehidupannya (Rapley, 2003). Kualitas hidup terdiri dari empat domain yaitu kesehatan fisik, kesehatan psikologi, hubungan sosial, dan aspek lingkungan (WHO, 2018). Kebutuhan-kebutuhan dari semua domain tersebut apabila tidak terpenuhi, akan menimbulkan masalah-masalah dalam kehidupan lansia yang akan menurunkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui kualitas hidup kakek-nenek yang mengasuh cucu.
Fenomena pengasuhan cucu yang dilakukan oleh lansia juga terjadi di daerah perkotaan seperti Kota Denpasar. Kecamatan Denpasar Barat merupakan kecamatan yang memilki jumlah lansia dan anak usia di bawah 6 tahun terbanyak di Kota Denpasar. Hasil studi pendahuluan yang di lakukan di Dusun Robokan didapatkan bahwa sekitar 95% ibu dari balita yang terdaftar di posyandu di Dusun Robokan bekerja baik di sektor formal maupun non-formal. Hal ini menyebabkan pengasuhan anak-anak mereka dilakukan oleh kakek-nenek di rumah saat ibu bekerja. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini menjadikan Dusun Robokan sebagai tempat penelitian untuk mengetahui mengenai hubungan intensitas pengasuhan cucu dengan kualitas hidup lansia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh lansia di Dusun Robokan. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling pada 36 lansia. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah lansia yang berusia 60 tahun atau lebih dan bertempat tinggal di wilayah Dusun Robokan (suku Bali), lansia yang menjadi pengasuh dominan dari cucu mereka yang berusia 0-6 tahun saat ibu bekerja, lansia bisa
membaca dan menulis, lansia yang bersedia menjadi responden penelitian
Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu lansia yang mengalami sakit berat yang mengakibatkan lansia tidak bisa beraktivitas secara mandiri, lansia yang mengalami gangguan kognitif berat (apabila total nilai Mini Mental State Examination (MMSE) responden ≤ 22).
Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner demografi dan kuesioner kualitas hidup World Health Organization Quality Of Life-Bref versi bahasa Indonesia yang sudah ada uji validitas (0,41-0,77) dan reliabilitasnya (0,66-0,87) (Salim, Sudharma, Kusumaratna, & Hidayat, 2007).
Pengumpulan data dilakukan hanya satu kali pada responden dengan langsung datang ke rumah responden. Informed consent diisi oleh lansia sebelum mengisi kuesioner. Skor dari kuesioner kualitas hidup dijumlahkan sesuai dengan domain kualitas hidup untuk mendapatkan raw score yang kemudian ditransformasikan menjadi skor 0-100 (WHO, 1996). Analisis data menggunakan uji korelasi
Rank Spearman
dikarenakan data
menggunakan skala kategorik dan numerik. Analisis data menggunakan bantuan program SPSS ver.22 dengan tingkat kepercayaan 95% (p≤0,05).
HASIL PENELITIAN
Berikut ini merupakan hasil penelitian mengenai karakteristik responden.
Tabel 1.
Karakteristik Responden
Karakteristik Responden |
f |
% |
Usia Responden 60-74 Tahun |
30 |
83,3 |
75-90 Tahun |
6 |
16,7 |
Jenis Kelamin Laki-laki |
18 |
50,0 |
Perempuan |
18 |
50,0 |
Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah |
4 |
11,1 |
SD/Sederajat |
22 |
61,1 |
SMP/Sederajat |
6 |
16,7 |
SMA/Sederajat |
4 |
11,1 |
Pekerjaan Wirausaha |
4 |
11,1 |
Buruh |
8 |
22,2 |
Pensiunan |
10 |
27,8 |
Ibu Rumah Tangga/Tidak Bekerja |
14 |
38,9 |
Status Perknikahan Menikah |
26 |
72,2 |
Cerai Mati |
10 |
27,8 |
Usia Cucu yang diasuh <1 Tahun |
4 |
11,1 |
1-3 Tahun |
14 |
38,9 |
4-5 Tahun |
18 |
50,0 |
Jumlah Cucu yang diasuh 1 Orang |
21 |
58,3 |
≥ 2 Orang |
15 |
41,7 |
Status Tinggal Tinggal Satu Rumah |
33 |
91,7 |
Tinggal Terpisah |
3 |
8,3 |
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden paling banyak berusia 6074 tahun (83,3%). Lansia pada penelitian ini berjumlah 36 orang dengan jumlah laki-laki dan perempuan yang sama. Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini mayoritas adalah tamatan SD sebanyak 61,1%. Hasil penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar responden merupakan ibu rumah tangga/tidak bekerja sebanyak 38,9%. ebanyak 72,2% lansia yang melakukan pengasuhan cucu memiliki status menikah. Lansia paling banyak mengasuh cucu mereka yang berusia 4-5 tahun sebanyak 50%. Responden yang mengasuh satu orang cucu ditemukan paling banyak yaitu 58,3% responden. Lansia yang mengasuh cucu pada penelitian ini sebagian
besar tinggal satu rumah dengan cucu mereka sebanyak 91,7%.
Intesitas pengasuhan yang dilakukan responden dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori yaitu kurang dari 40 jam dalam satu minggu (non-intensive) dan 40 jam atau lebih dalam satu minggu atau hampir setiap hari (intensive). Sebagian besar responden mengasuh cucu secara intensive yaitu sebanyak 61,1% responden. Penelitian ini menemukan hasil bahwa kualitas hidup responden secara umum (Q1) pada penelitian ini paling banyak mempunyai kualitas hidup pada kategori baik sebanyak 52,8% dan kesehatan secara umum (Q2) paling banyak pada kategori tidak memuaskan sebanyak 36,1%.
Tabel 2.
Hasil Skor Kualitas Hidup Responden
Domain 1 Domain 2 kesehatan fisik kesehatan psikologis |
Domain 3 hubungan sosial |
Domain 4 lingkungan | ||||
Skor Minimum |
25 |
38 |
44 |
38 | ||
Skor Maksimum |
75 |
81 |
94 |
81 | ||
Skor Rata-rata |
52,91 |
59,36 |
65,18 |
61,86 | ||
Std. Deviasi |
10,88 |
11,10 |
10,46 |
9,90 | ||
Frekuensi cut of point <50 |
11 |
6 |
2 |
3 | ||
Frekuensi cut of point ≥50 |
25 |
30 |
34 |
33 | ||
Tabel 3. | ||||||
Hasil Uji Korelasi | ||||||
Spearmen |
Domain 1 |
Domain 2 |
Domain 3 |
Domain 4 |
Q1 |
Q2 |
Correlation |
Kesehatan |
Kesehatan |
Hubungan |
Lingkungan | ||
Fisik |
Psikologis |
Sosial | ||||
Intensitas Correlation |
.418* |
.635** |
.464** |
.122 |
.440** |
.434 |
Pengasuhan Coefficient |
** | |||||
Sig. (2tailed) |
.011 |
.000 |
.004 |
.478 |
.007 |
.008 |
N |
36 |
36 |
36 |
36 |
36 |
36 |
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa p value dari tiga domain kualitas hidup kurang dari 0,05 yaitu domain kesehatan fisik (p value = 0,011), domain kesehatan psikologis (p value = 0,000), domain hubungan sosial (p value = 0,004), Q1 (p value = 0,007), dan Q2 (p value = 0,008). Hasil p value domain lingkungan pada penilitian ini (p value = 0,478) lebih dari 0,05. Koefisien korelasi semua domain
bernilai positif dan yang paling tinggi adalah domain kesehatan psikologis yaitu 0,635. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas pengasuhan cucu memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup pada domain kesehatan fisik, kesehatan psikologis, dan hubungan sosial. Intensitas pengasuhan cucu tidak memiliki hubungan dengan kualitas hidup domain lingkungan. Nilai korelasi yang positif menunjukkan
bahwa intensitas pengasuhan cucu memiliki hubungan yang searah dengan kualitas hidup. Hal ini berarti bahwa semakin intens pengasuhan cucu yang dilakukan oleh lansia maka kualitas hidup lansia akan semakin baik.
Hasil penelitian ini juga mendapatkan perbedaan skor kualitas hidup yang signifikan antara pengasuhan cucu yang dilakukan secara intensive dan non-intensive. Berdasarkan skor rata-rata, ditemukan bahwa skor kualitas hidup lebih tinggi pada responden yang mengasuh cucu secara intensive dibandingkan dengan responden yang mengasuh cucu secara non-intensive.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, responden lebih banyak mengasuh cucu secara intensive (61,1%), hal ini bisa dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia cucu, usia lansia, alasan pengasuhan, dan status tinggal. Pada penelitian ini usia cucu yang diasuh oleh responden dibatasi sampai usia pre-school. Pada usia cucu yang lebih muda, kakek-nenek lebih sering melakukan pengasuhan secara langsung dan lebih intens (Chen, Liu, & Mair, 2012; Dunifon & Bajracharya, 2012). Usia lansia yang semakin tua dan disertai dengan keterbatasan kemampuan yang dialaminya serta berbagai masalah kesehatan yang muncul dapat mengurangi kuantitas dan kualitas hubungan antara kakek-nenek dengan cucunya (Dunifon & Bajracharya, 2012; Chen, Liu, & Mair, 2012). Pada penelitian ini, responden yang mengasuh cucu paling banyak berusia antara 60-74 tahun yaitu sebanyak 83,3% (termasuk lansia muda) sehingga masalah-masalah terkait penuaan tidak terlalu membatasi hubungan lansia dengan cucu mereka jika dibandingkan dengan usia lansia yang lebih tua. Alasan semua responden melakukan pengasuhan cucu pada penelitian dikarenakan orang tua bekerja. Hasil penelitian ini juga mendapatkan bahwa sebanyak 91,7% responden yang mengasuh cucu tinggal satu rumah dengan keluarga cucu. Hal ini tentu menyebabkan responden
lebih sering kontak dengan cucu mereka sehingga intensitas pengasuhan menjadi lebih banyak.
Rata-rata skor kualitas hidup yang didapat dari masing-masing domain berkisar pada skor 52,91-65,18 dan ini bisa dikategorikan baik karena sudah melebihi cut of point dari skor 0-100 (WHO, 1996). Hasil ini didukung oleh penelitian Saraswati (2016) yang menemukan bahwa lansia yang mengasuh cucu memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tidak mengasuh cucu. Domain kesehatan fisik menjadi domain kualitas hidup yang paling rendah pada penelitian ini, namun rata-rata skornya masih di atas nilai tengah yaitu 52,91. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan fisik responden pada penelitian ini masih bisa menunjang mereka dalam melakukan pengasuhan cucu.
Pengasuhan cucu yang dilakukan lansia secara intensive dan teratur dapat mempertahankan aktivitas fisik lansia. Sehingga hal ini membuat intensitas pengasuhan cucu memiliki hubungan yang positif dengan kualitas hidup domain kesehatan fisik. Semakin banyak waktu yang dihabiskan lansia untuk terlibat dalam pengasuhan cucu bisa membuat lansia mempertahankan atau meningkatkan aktivitas fisiknya dan perilaku kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan fisik dan kehidupan lansia yang lebih baik (Di Gessa, Glaser & Tinker, 2016). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Minkller dalam Backhouse (2009) yang menemukan bahwa sebagian besar nenek-nenek ras Afrika Amerika yang mengasuh cucu mengatakan kesehatan mereka meningkat dari tahun sebelumnya.
Intensitas pengasuhan cucu memiliki hubungan positif yang sangat signifikan dengan domain kesehatan psikologis bisa dikarenakan oleh persepsi kakek-nenek mengenai hubungan mereka dengan cucu yang diasuh. Penelitian menyebutkan bahwa kontak yang lebih sering antara kakek-nenek dengan cucu mereka mengindikasikan kualitas hubungan yang baik (Dunifon &
Bajracharya, 2012). Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian dari Grundya, Albalab, Allena, Dangoura, Elbournea dan Uauya (2012) menunjukan bahwa pengasuhan cucu yang dilakukan selama 4 jam atau lebih per minggu mendapatkan kepuasan hidup yang lebih baik pada kakek dan resiko depresi yang lebih rendah pada nenek setelah 2 tahun.
Intensitas pengasuhan cucu berhubungan dengan hubungan sosial lansia dikarenakan intensnya hubungan yang terbangun dengan cucu yang diasuh dapat menyebabkan lansia memiliki hubungan sosial yang kuat dengan cucu dan orangtua mereka (Di Gessa, Glaser & Tinker, 2016). Chen (1992) (dalam Suardana, 2011) menyatakan bahwa cucu merupakan salah satu hal positif yang dapat menghubungkan antara anak dengan orang tua (lansia). Memberikan kesempatan pada lansia untuk mengasuh cucu dapat berfungsi sebagai dukungan keluarga yang sangat baik bagi lansia dalam mempromosikan kesehatan lansia dengan meningkatkan praktik selfcare, dukungan emosional, dan penguatan diri (Di Gessa, Glaser & Tinker, 2016).
Pada penelitian ini intensitas pengasuhan cucu tidak memiliki hubungan dengan kualitas hidup responden pada domain lingkungan. Hal ini bisa dikarenakan dari kondisi pengasuhan yaitu sebanyak 91,7% responden yang mengasuh cucu tinggal satu rumah dengan keluarga cucu. Responden yang mengasuh cucu baik itu secara intensive atau non-intensive mendapat sumber dukungan yang relatif sama dari segi lingkungan dari keluarga mereka. Hasil wawancara dengan Kepala Dusun Robokan mendapatkan data bahwa umumnya masyarakat Dusun Robokan menganut sistem keluarga patrilineal dan sebagian besar merupakan keluarga luas (extended family) terutama masyarakat asli Dusun Robokan.
SIMPULAN
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara intensitas pengasuhan cucu dengan tiga domain kualitas hidup yaitu
pada domain kesehatan fisik, domain kesehatan psikologis, dan domain hubungan sosial. Intensitas pengasuhan cucu tidak memiliki hubungan dengan domain lingkungan pada penilitian ini. Hubungan yang positif menandakan semakin intens pengasuhan cucu yang dilakukan, maka kualitas hidup lansia akan semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
Backhouse, J. (2009). Grandparents raising their grandchildren: impact of the transition from a traditional grandparent role to a grandparent-as-parent role. Theses. Southern Cross University ePublications@SCU
Brown, J. et all. (2004). Models of Quality of Life: A Taxonomy, Overview and Systematic Review of The Literatur. European Forum on Population Ageing Research.
Chen, F., Liu, G., & Mair, C. A. (2012). Intergenerational Ties in Context:
Grandparents Caring for
Grandchildren in China. Soc Forces. 2011 December 1; 90(2): 571–594.
Drew, L.M., Silverstein, M. (2004). Inter-generational role investments of greatgrandparents: consequences for
psychological well-being. Ageing Soc 24:95–111.
doi:10.1017/S0144686X03001533
Dunifon, R. & Bajracharya, A. (2012). The Role of Grandparents in the Lives of Youth. J Fam Issues. 2012 September 1; 33(9): 1168–1194
Eldayati, E. (2011). Pergeseran Peran Dalam Keluarga TKW (Studi Kasus di Desa Karanggayam Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas). Skripsi. Universitas Negeri Semarang
Fellow, J. G. & Laverty, J. (2003). Grandparents Supporting Working Families: Satisfication and Choice In The Provision Of Child Care. Journal
Family Matters. No. 66 Spring Summer
Firmundia, A. M. & Nugrahawati, E. N. (2017). Subjevtive Well-Being pada Nenek yang Mengasuh Cucu dengan Latar Belakang Sunda di Kecamatan Coblong. Prosiding Psikologi: 2(3):1012-1017
Gessa, G. D., Glaser, K. & Tinker, A. (2016). The impact of caring for grandchildren on the health of grandparents in Europe: A lifecourse approach. Social Science & Medicine 152 (2016) 166e175
Grundy, E. M., Albala, C., Allena, E., Dangour, A. D., Elbourne, D. & Uauy, R. (2012). Grandparenting and
psychosocial health among older Chileans: A longitudinal analysis.
Aging & Mental Health.8(16):1047– 1057
Hank, K., Buber, I., (2009). Grandparents caring for their grandchildren. Findings from the 2004 survey of Health, Ageing, and retirement in Europe. J. Family Issues 30 (1),
53e73.
http://dx.doi.org/10.1177/0192513x08 322627
Rapley, M. (2003). Quality of Life Research: a critical introduction. London: Sage Publications.
Rapp, S. B. & Sargeant, M. (2016). Life Time Disadvantage, Discrimination and the Gendered Workforce. New York: Cambridge University Press
Salim, O. C. H., Sudharma, N. I., Kusumaratna, R. K., dan Hidayat, A. (2007). Validitas Dan Reliabilitas World Health Organization Quality Of Life-BREF Untuk Mengukur Kualitas Hidup Lanjut Usia. Jurnal Universa Medicina:26(1);27-38
Santrock, J. W. (2002). Life span development. . Edisi 5. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Saraswati, D. (2016). Pengasuhan Cucu Dan Kesejahteraan Lansia. Skripsi. Institut Pertanian Bogor
Siregar M., 2007. Keterlibatan Ibu Bekerja Dalam Perkembangan Pendidikan Anak. Jurnal Harmoni Sosial: 2(1).
Suardana, I. W. (2011). Hubungan Faktor Sosiodemografi, Dukungan Sosial dan Status Kesehatan dengan Tingkat Depresi pada Agregat Lanjut Usia di Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Bali. Tesis: Universitas Indonesia
Tamher, S dan Noorkasiani. (2009). Kesehatan usia lanjut dengan pendekatan Asuhan keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
WHO. (2018). The World Health Organization Quality of Life (WHOQOL). World
HealthOrganization.http://www.who.i nt/mental_health/publications/whoqol/ en/
WHO. (1996). WHOQOL-BREF
Introduction, Administration, Scoring And Generic Version Of The Assessment: Field Trial Version.
Geneva: World Health Organization
Won, S. (2009). The Closeness between Grandparents and Grandchildren and Its Impact on Grandparents’Well-being. Dissertation. The Ohio State University
Zella, S. (2018). Is grandparenting good for you?. Oxford Institute Of Population Ageing. (online).
https://www.ageing.ox.ac.uk/blog/gran dparenting. diakses pada 14 Pebruari 20
Volume 8, Nomor 1, April 2020
32
Discussion and feedback