Hubungan tingkat kecerdasan emosi dan kecenderungan perilaku bullying pada siswa kelas v sekolah dasar negeri
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), ISSN: 2303-1298
HUBUNGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSI DAN KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI
Luh Amanda Titi Suryani1*, Ni Luh Kompyang Sulisnadewi2, Luh Putu Ninik Astriani3 1Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Denpasar 3Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Provinsi Bali
*Email: atitisuryani@gmail.com
ABSTRAK
Perilaku bullying adalah tindakan negatif yang dilakukan oleh satu atau lebih siswa berulang kali karena ketidakseimbangan kekuatan atau kekuatan. Salah satu faktor internal dari perilaku intimidasi adalah rendahnya tingkat kecerdasan emosional telah mengakibatkan kontrol diri yang rendah menyebabkan keinginan untuk mendominasi yang lemah dan mereka yang menjadi korban memiliki keinginan untuk membalas perilaku intimidasi yang pernah diterima sehingga orang lain yang lebih lemah dapat merasakan apa yang mereka rasakan. Penelitian ini menganalisis hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa kelas V sekolah dasar di Kota Denpasar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelasional dengan pendekatan cross-sectional. 185 siswa kelas lima sebagai sampel dipilih menggunakan teknik cluster random sampling sederhana. Pengumpulan data menggunakan formulir kuesioner skala likert. Berdasarkan analisis data yang diolah menggunakan uji Spearman Rank Correlation menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat kecerdasan emosional dan kecenderungan perilaku intimidasi (p = 0,000) dan terdapat korelasi negatif yang kuat antar variabel (r = -0,695).
Kata kunci: perilaku bullying, sekolah dasar, kecerdasan emosional
ABSTRACT
Bullying behavior is a negative act committed by one or more students repeatedly because the imbalance strength or power. One of the internal factors of bullying behavior is the low level of emotional intelligence has resulted in low self-control causing desire to dominate the weak and those who are victims have the urge to avenge the bullying behavior has ever received so that others who are weaker can feel what they feels. This study analyze the relationship between the level of emotional intelligence with a tendency to bullying behavior in grade V elementary schools student at Denpasar city. This research using correlational description method with cross-sectional approach. 185 fifth grade students as samples were selected using simple random cluster sampling technique. Data collection using a likert scale questionnaire form. Based on the analysis of the data processed using the Spearman Rank Correlation test showed a significant relationship between the level of emotional intelligence and bullying behavior tendency (p=0.000) and there is a strong negative correlation between variables (r=-0.695).
Keywords: bullying behavior, elementary schools, emotional intelligence
PENDAHULUAN
Sekolah Dasar merupakan tempat awal anak berinteraksi dengan lingkungan diluar keluarga, disini anak mempelajari hal-hal baru dan mengembangkan kemampuan yang tidak didapatkan dalam keluarga (Santrock, 2011). Namun sekolah juga menjadi sumber stressor yang dapat mengganggu perkembangan anak, salah satunya adalah perilaku bullying di sekolah (Seftiana, 17 Desember 2013).
Bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan oleh satu siswa atau lebih dan diulang setiap waktu, terjadi karena adanya ketimpangan dalam kekuatan atau kekuasaan (Olweus, 2005).
Bentuk perilaku bullying terbagi menjadi tiga yakni : bullying fisik yang melibatkan agresi langsung, bullying verbal yang melibatkan agresi melalui kata-kata menjatuhkan dan bullying psikologis yang terjadi secara tersembunyi dan di luar jangkauan pemantauan (Sejiwa, 2006).
Data The National Youth Risk Behavior Survey 2011 didapatkan 20.1% mengalami bullying di sekolah (CDC, 2011). Prevalensi bullying pada siswa sekolah dasar (kelas I-V) di 14 negara di dunia, menunjukkan bahwa 11,3%-49,5% siswa menjadi korban bullying dan 4,1%-49,7% merupakan pelaku bullying (Joseph, James dan Susan, 2003).
Kasus bullying di sekolah menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat di sektor pendidikan. Dari 2011 sampai Agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah bullying, jumlah tersebut sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus (Novia, 15 Oktober 2014).
Data tahun 2002-2005 telah terjadi 30 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri menimpa korban bullying dengan rentang usia antara 6-15 tahun (Sejiwa, 2006). Belum lama ini media massa juga sempat diramaikan mengenai video bullying yang dilakukan oleh sejumlah murid Sekolah Dasa Perawari Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, yang menambah panjang daftar kasus kekerasan di lingkungan sekolah (Isnaini, 14 Oktober 2014).
Menurut KPAI Daerah Bali Jumlah kasus kekerasan antar anak meningkat dari tahun ke tahun, 25 kasus (2008), 132 kasus (2009) dan tiga kasus yang masuk dalam penanganan pihak kepolisian (dua bulan awal tahun 2010) (Arry dan Saraswati, 20 Februari 2010).
Pada tahun 2007 silam salah seorang anak kelas II di sebuah Sekolah Dasar di Denpasar meninggal akibat bullying hal menujukkan bahwa perilaku kekerasa di dunia pendidikan di Bali khususnya di Kota Denpasar patut diperhatikan (Bali Post, 17 Juni 2007).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di 10 SDN di Kota Denpasar, didapatkan data lima guru mengatakan mengetahui beberapa siswanya kerap terlibat dalam tindakan bullying baik sebagai pelaku maupun korban, hasil wawancara 20 siswa kelas V didapatkan enam diantaranya pernah mengalami bullying dan lima orang siswa mengatakan pernah melakukan beberapa tindakan yang termasuk dalam perilaku bullying.
Karakteristik atau tempramen individu diyakini sebagai faktor utama terjadinya perilaku bullying (Rigby, 2007). Karakter anak dipengaruhi oleh perkembangan motorik, kognitif, sosial dan emosi anak (Rathus, 2006). Bullying
merupakan salah satu masalah yang muncul dalam proses perkembangan sosial dan emosi anak (Rathus, 2006). Kemampuan untuk mengendalikan emosi sangat berpengaruh pada proses dalam hubungan sosial sehingga, kemampuan mengendalikan emosi merupakan salah satu kunci untuk mengurangi terjadinya bullying (Astuti, 2008).
Kemampuan mengendalikan emosi termasuk dalam salah satu aspek kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi merupakan suatu kemampuan dalam diri yang mengarah pada upaya untuk mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat dan upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat memanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama terkait dengan hubungan antarmanusia (Goleman, 2009).
Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya seseorang memiliki kecerdasan emosi. Individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan lebih luas pengalaman dan pengetahuannya daripada individu yang memiliki kecerdasan emosi rendah (Goleman, 2009). Pada penelitian yang dilakukan Vogel (2006) yang dilakukan pada 235 siswa IV dan V sekolah dasar didapatkan hasil yang menyatakan bahwa ada korelasi negatif antara bullying dan kecerdasan emosi (Jimerson, Swearer dan Espelage, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kokkinos dan Kipritsi (2011) di Greece dengan sampel 206 siswa kelas VI didapatkan hasil terdapat korelasi negatif antara perilaku bullying dengan kecerdasan emosi (Kokkinos dan Kipritsi, 2011).
Penelitian Latifah (2012) mengenai hubungan karakteristik anak usia sekolah dengan kejadian bullying di sekolah dasar x di bogor dengan sampel penelitian sejumlah 60 siswa kelas IV dan V didapatkan data 65% siswa pernah mengalai kejadian bullying di sekolah baik sebagai korban, pelaku mupun keduanya, anak dengan usia 11 tahun lebih sering mengalami bullying.
Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa siswa sekolah dasar dan sekolah
Instrumen yang digunakan sebagai pengumpul data dalam penelitian ini kuesioner skala kecerdasan emosi (AES) dengan hasil uji validitas r= 0,000-0,046 dan reabilitas dengan cronbach alpha=0,974 dan kuesioner kecenderungan perilaku bullying (BBS) dengan hasil uji validitas r=0,000 dan reabilitas dengan cronbach alpha=0,955. Dalam pengumpulan data, peneliti dibantu oleh lima orang asisten peneliti yang sudah diberikan minicourse sebelum pelaksanaan untuk menyamakan persepsi.
Setelah mendapatkan ijin untuk melakukan penelitian dari pihak terkait, peneliti melakukan serangkaian persiapan kemudian melakukan pemilihan sampel penelitian. Setelah jumlah sampel terpenuhi peneliti memberikan penjelasan peneltian kepada responden. Setelah menyatakan setuju dan mendapatkan ijin dari orang tua siswa untuk mengikuti penelitian, siswa diminta untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden penelitian. Setelah data terkumpul maka dilakukan analisis menggunakan uji sperman rank correlation dengan tingkat kemaknaan 5% untuk menganalisis hubungan antar variabel.
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan tanggal 5-11 Juni 2015 di 17 SDN di Kota Denpasar.
Tabel 1
menengah lebih cenderung untuk melakukan bullying orang lain daripada siswa menengah atas (Fitzpatrick, Dulin dan Piko, 2007). Sedangkan menurut Due, et al. (2005) perilaku bullying meningkat pada usia 11-15 tahun dan akan menurun seiring dengan pertambahan usia (Prevnet-Samhsa, 2008).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan rancangan deskripsi correlational dengan menggunakan pendekatan cross-sectional, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat kecerdasan emosi dengan kecenderungan perilaku bullying.
Populasi yang diteliti adalah seluruh siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri di Kota Denpasar tahun ajaran 2014-2015. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Probability Sampling dengan teknik Cluster Random Sampling. Kriteria inklusi pada penelitian ini siswa yang berusia 11 tahun sampai 11 tahun 6 bulan dan menyatakan bersedia mengikuti penelitian, sedangkan siswa diekslusikan apabila tidak hadir saat pelaksanaan penelitian. Terdapat 17 SDN di Kota Denpasar sebagai sampel dan 185 siswa yang memenuhi kriteria inklusi.
Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin pada Wilayah Sekolah
Jenis Kelamin |
Wilayah Sekolah Total Denpasar Denpasar Denpasar Denpasar Barat Selatan Timur Utara f % f % f % f % f % |
Laki-laki Perempuan |
27 14,65 29 15,7% 24 13,0% 24 13,0% 104 56,2% 17 9,2% 26 14,1% 18 9,7% 20 10,8% 81 43,8% |
Karakteristik responden tabel 1 Tabel 2 menunjukkan terdapat memperlihatkan bahwa sebagian besar hubungan antara tingkat kecerdasan emosi responden berjenis kelamin laki-laki, dan dengan kecenderungan perilaku bullying (p responden terbanyak berasal dari Denpasar value: 0,000).
Selatan dan terendah dari Denpasar Timur.
Tabel 2.
Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosi dengan Kecenderungan Perilaku Bullying
Kategori Kecerdasan Emosi |
Kategori Kecenderungan Perilaku |
Total |
P Value |
Correlation Coeficient | |||||
Ringan |
Sedang |
Berat | |||||||
f % |
f |
% |
f |
% |
f |
% |
0,000 |
-0,695 | |
Sedang |
0 0 |
0 |
0 |
3 |
1,6 |
3 |
1,6 | ||
Baik |
0 0 |
105 |
56,8 |
2 |
1,1 |
107 |
57,9 | ||
Sangat Baik |
44 23,8 |
31 |
16,8 |
0 |
0 |
75 |
40,5 |
PEMBAHASAN
Pembahasan Hasil Penelitian
Secara umum dari data pada tabel 2 tidak terlihat perbedaan yang terpaut jauh antara kecerdasan emosi pada siswa laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam aspek-aspek tertentu dari kecerdasan emosi. Wanita dan pria berbeda dalam aspek empathy, hal ini dapat disebabkan oleh faktor dari orang tua yang lebih memanfaatkan kata-kata yang mengandung emosi dan lebih banyak memperlihatkan emosi yang bervariasi ketika berinteraksi dengan anak perempuan, sehingga anak perempuan lebih unggul ketika membaca ekspresi emosi pada waktu berinteraksi dengan orang lain (Goleman, 2009).
Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian Khaterina dan Garliah (2012) dalam penelitian berjudul Perbedaan Kecerdasan Emosi pada Pria dan Wanita Yang Mempelajari dan yang Tidak Mempelajari Alat Musik Piano didapatkan hasil pengujian lima aspek kecerdasan emosi dengan independent t-test perbedaan kecerdasan emosi hanya ada pada aspek empathy (Sig. P = 0,001).
Dari tabel 2 juga menunjukkan bahwa perilaku bullying lebih cenderung terjadi pada siswa laki-laki daripada siswa perempuan hal ini di dukung oleh pendapat Pidada (2005) yang mengungkapkan bahwa perbedaan gender secara signifikan mempengaruhi kecenderungan perilaku agresif anak. Siswa laki-laki lebih sering terlibat dalam agresi fisik secara langsung dibandingkan dengan siswa perempuan yang lebih cenderung melakukan agresi tidak langsung (Oneil, 2009).
Borba (2010) dalam bukunya yang berjudul The Big Book of Parenting Solutions menyatakan bahwa pada fase praremaja (usia 11-12 tahun) perilaku bullying lebih terselubung dan pelaku cenderung menyalahkan korban. 60% anak laki-laki memiliki kecenderungan menjadi pelaku bullying terutama dalam agregasi langsung baik secara fisik maupun verbal., anak perempuan lebih cenderung menggunakan agresi relasional seperti mengucilkan, menyebar rumor mengasingkan dan segala bentuk isolasi sosial terhadap korban (Borba,2010).
Hasil analisa data hubungan tingkat kecerdasan emosi dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa kelas V SDN di Kota Denpasar dengan derajat kesalahan 5% menggunakan uji Spearman Rank Correlation didapatkan nilai p value yaitu 0,000 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecerdasan emosi dengan kecenderungan perilaku bullying dan nilai koefisien korelasi -0,695 menunjukkan terdapat hubungan negatif yang kuat pada kedua variabel, dimana jika salah satu variabel mengalami peningkatan nilai maka variabel lain akan mengalami penurunan nilai dan sebaliknya, dalam penelitian ini jika tingkat kecerdasan emosi semakin tinggi maka kecenderungan perilaku bullying cenderung akan mengalami penurunan begitupun sebaliknya.
Tingkat Kecerdasan Emosi dengan Kecenderungan Perilaku Bullying Vogel (2006) mengungkapkan kemampuan interpersonal secara signifikan berhubungan dengan prilaku bullying. Pelaku bullying kurang memiliki empati dan belas kasihan, kompetensi sosial yang rendah, dan memiliki hubungan interpersonal yang
buruk, sedangkan korban lebih sedikit memiliki teman, namun terlihat lebih mementingkan kepuasan hubungan pertemanan mereka (Jimerson, Swearer, dan Espelage, 2010).
Salah satu faktor penyebab anak melakukan bullying adalah tempramen. Tempramen adalah karakterisktik atau kebiasaan yang terbentuk dari respon emosional. Hal ini mengarah pada perkembangan tingkah laku personalitas dan sosial anak (Rigby, 2007). Seseorang yang aktif dan impulsif lebih mungkin untuk melakukan bullying dibandingkan orang yang pasif atau pemalu (CDC, 2013).
Pada penelitian yang dilakukan Vogel (2006) yang dilakukan pada 235 siswa IV dan V sekolah dasar didapatkan hasil yang menyatakan bahwa ada korelasi negatif antara bullying dan kecerdasan emosi (Jimerson, Swearer dan Espelage, 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Kokkinos dan Kipritsi (2011) di Greece dengan sampel 206 siswa kelas VI didapatkan hasil terdapat korelasi negatif antara perilaku bullying dengan kecerdasan emosi (Kokkinos dan Kipritsi, 2011).
Keterbatasan penelitian ini antara lain adalah kesulitan dalam penyesuain jadwal dengan pihak sekolah dan faktor ada lainnya yang tidak di kontrol dalam penelitian ini seperti pendidikan orang tua dan lingkungan tempat tinggal dan pola asuh.
SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan dan korelasi negatif yang kuat antara tingkat kecerdasan emosi dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa kelas V SDN di Kota Denpasar.
SARAN
Untuk menyikapi proses dan hasil pada penelitian ini, maka peneliti menyampaikan beberapa saran, yaitu: untuk pihak sekolah agar dibuat kebijakan mengenai sosialisasi perilaku bullying pada seluruh anggota sekolah dan diadakan sesi konseling bagi siswa maupun orang tua,
bagi orang tua agar menjalin komunikasi yang efektif dengan anak sehingga anak akan lebih terbuka mengenai hal yang dialaminya dan terhindar dari perilaku bullying. Sedangkan untuk menyikapi keterbatasan penelitian ini, peneliti
menyarankan agar penelitian ini dapat dilanjutkan dengan pengontrolan lebih terhadap faktor-faktor lain yang
berhubungan.
DAFTAR PUSTAKA
Arry dan Saraswati. (20 Februari 2010). Kasus Kekerasan Anak di Bali Meningkat. Viva News (online) (http://nasional.news.viva.co.id/news/r ead/131053-kasus_kekerasan_anak_di_bali_menin gkat diakses 5 November 2014).
Borba,M.(2010). The Big Book of Parenting Solutions. Alih Bahasa: Gracinia, J. dan Fitriani, Y. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Center for Disease Control and Prevention.
(2011). Understanding School
Violence Fact Sheet. (online)
(http://www.cdc.gov/violencepreventi on/pdf/school_violence_fact_sheet-a.pdf diakses 30 Oktober 2014).
Center for Disease Control and Prevention. (2011). Youth Risk Behavior Surveillance System: 2011 National Overview. (online)
(http://www.cdc.gov/healthyyouth/yrb s/pdf/us_overview_yrbs.pdf diakses
Coloroso, B. (2007). Stop Bullying. Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka.
Goleman, D. (2009). Emotional Intelligence: Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Alih Bahasa : Hermaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (2009). Emotional Intelligence: Mengapa EI lebih penting daripada
IQ. Alih Bahasa : Hermaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jimerson, S.R, Swearer S.M, Espelage, D.L. (2010).Handbook of bullying in schools an international perspective. New York: Routledge
Kokkinos, Constantinos M.; Kipritsi, Eirini (2011). The relationship between bullying, victimization, trait emotional intelligence, self-efficacy and empathy among preadolescents. Social
Psychology of Education: An
International Journal, Vol. 15 No. 1 P. 41-58
Pidada, U.S.(2005) Perbedaan Gender Dalam Agresi Relasional Pada Anak-Anak. Bandung: Universitas
Padjajaran
Rigby, K. (2007). Revised and Update : Bullying In School and What to Do about it. Australia: ACER Press
Santrock, J. W. (2011). Psikologi
Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Schutte, N. S., Malouff, J. M., Hall, L. E., Haggerty, D. J., Cooper, J. T., Golden, C. J., dan Dornheim, L. (1998). Development and validation of a measure of emotional intelligence. Personality and Individual
Differences, 25, 167–177. (online)
(http://www.recercat.net/bitstream/han dle/2072/48144/tfc-galvez-2010-annexos.pdf?sequence=2 diakses 15 Oktober 2014).
Schutte, N.S., Malouff, J.M., dan Bhullar, N. (2009). The Assessing Emotions Scale. C. Stough, D. Saklofske dan J. Parker (Eds.), The Assessment of Emotional Intelligence. New York:
Springer Publishing, 119-135.
Seftiana, M. (17 Desember 2013). Maraknya Praktik Bullying di
Sekolah. (online)
(http://banjarmasin.tribunnews.com/20 13/12/17/maraknya-praktik-bullying-di-sekolah diakses 15 Oktober 2014).
Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa).
(2006). Bullying. Mengatasi
Kekerasan di Sekolah dan
Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo
Volume 6, Nomor 1, April 2018
40
Discussion and feedback