Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980

TERAPI MINDFULNESS DAN EDUCATIONAL-COUNSELLING TERHADAP KUALITAS HIDUP PASIEN SLE: A LITERATURE REVIEW

Pande Komang Sudiantika1, Nyoman Agus Jagat Raya*1

1Program Studi Sarjana Keperawatan dan Pendidikan Profesi Ners Fakultas Kedokteran Universitas Udayana *korespondensi penulis, e-mail: jagatraya91@unud.ac.id

ABSTRAK

Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) mengalami berbagai gejala fisik dan psikologis yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Apabila gejala tersebut tidak diatasi, maka dapat menurunkan kualitas hidup. Literature review ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh intervensi terapi mindfulness dan educational-counselling terhadap kualitas hidup pasien SLE. Studi ini mencakup 1.625 artikel menggunakan database Google Scholar, PubMed, dan Science Direct yang diterbitkan dalam 5 tahun terakhir (2018-2023). Total didapatkan 8 literatur yang dianalisis berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan serta PRISMA flowchart. Hasil literature review ini mendapatkan tiga tema yang dibahas, yaitu terapi mindfulness, educational-counselling, dan kualitas hidup pasien SLE. Intervensi terapi mindfulness dan educational-counselling dapat mengurangi stres, cemas, dan depresi, menurunkan kelelahan, penerimaan diri, mengurangi nyeri, serta meningkatkan aktivitas fisik. Intervensi tersebut berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup pasien SLE. Keluarga dan tenaga kesehatan salah satunya perawat mempunyai peran penting dalam mendukung dan menjalankan intervensi.

Kata kunci: edukasi, konseling, kualitas hidup, mindfulness, SLE

ABSTRACT

Patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) experience various physical and psychological symptoms that disrupt their daily activities. If these symptoms are not addressed, they can be decreased quality of life (QoL). This literature review aims to describe the impact of mindfulness therapy and educational-counseling interventions on the QoL of SLE patients. This study encompasses 1.625 articles obtained from the Google Scholar, PubMed, and Science Direct databases, published within the past five years (2018-2023). A total of eight literature sources were analyzed based on predetermined inclusion and exclusion criteria, as well as the PRISMA flowchart. The results of this literature review identified three themes discussed: mindfulness therapy, educational-counseling, and the QoL of SLE patients. Mindfulness therapy and educational-counseling interventions can reduce stress, anxiety, and depression, decrease fatigue, promote self-acceptance, alleviate pain, and enhance physical activity. These interventions have an impact on improving the QoL of SLE patients. Family members and healthcare professionals, including nurses, play a crucial role in supporting and implementing these interventions.

Keywords: counselling, educational, mindfulness, SLE, quality of life

PENDAHULUAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sering dikenal dengan penyakit “lupus” atau “seribu wajah” merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang melibatkan berbagai organ, seperti ginjal, paru, kulit, dan jantung (Middleton et al., 2018). Menurut World Health Organization (WHO) menyatakan terdapat 5 juta pasien SLE di seluruh dunia, sementara di Indonesia terdapat sekitar 1.250.000 orang menderita penyakit SLE. Namun, belum diketahui secara pasti karena beberapa alasan, salah satunya sulit menegakkan diagnosa SLE dan gejala setiap pasien berbeda-beda tergantung manifestasi klinis yang muncul (Kertapati, 2020). Selain itu, menurut perhimpunan SLE Indonesia (PESLI) yang dikutip Puspadatin Kemenkes RI (2017), rata-rata insiden kasus baru dari 8 rumah sakit mencapai 10,5% yang didominasi menyerang perempuan usia 15-50 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan menyerang pria dan anak-anak dengan gejala yang beragam.

Pasien SLE mengalami berbagai gejala fisik dan psikologis (Naziha, Maharatih, & Hermasari, 2022). Gejala fisik seperti jerawat, rambut rontok, alopecia, dan penurunan atau penambahan berat badan (Taub, et al., 2021; Risnawaty, Putri, & Gunjaya, 2021). Pasien SLE juga merasakan tekanan psikologis dan beban pikiran akibat kondisinya (Risnawaty, Putri, & Gunjaya, 2021). Kondisi yang demikian menyebabkan pasien SLE kesulitan dalam berinteraksi sosial sehingga mereka merasa malu bersosialisasi. Berbagai gejala yang dirasakan pasien SLE mengakibatkan perubahan pada kualitas hidup mereka. Kualitas hidup yang mencakup kondisi fisik, psikologis, dan sosial dapat menurun dikarenakan dampak dari suatu penyakit yang dialami (Ayu & Yudiarso, 2021). Apabila kualitas hidup pasien SLE tidak mendapatkan penanganan yang baik, maka berisiko 67% mengalami kematian (Wulandari & Irwanto, 2022). Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk membantu pasien SLE agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari lebih baik dan beradaptasi dengan kondisinya

sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

Upaya yang dapat dilakukan dalam membantu pasien SLE, yaitu dengan cara melatih menghadirkan pikiran-pikiran positif dan menumbuhkan rasa syukur melalui terapi mindfulness. Reaksi imun tubuh akan lebih terkontrol apabila melakukan distraksi pada pikiran yang baik dan menyenangkan serta mengakibatkan tubuh juga menjadi lebih rileks (Salsabila, 2020). Terapi berbasis kognitif ini melibatkan perhatian penuh pada kegiatan atau aktivitas yang dilakukan (Ayu & Yudiarso, 2021). Terapi mindfulness terdiri dari yoga dan pengaturan atau pemusatan pikiran. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam meningkatkan pemahaman atau pengetahuan pasien SLE terkait penyakitnya yaitu melalui educational-counselling yang terdiri dari aktivitas fisik, perawatan diri sendiri, dan penerimaan diri sebagai pasien SLE. Kegiatan ini diberikan oleh tenaga kesehatan pada rentang waktu tertentu berupa penyampaian materi edukasi ataupun konseling (Kankaya & Karadakovan, 2020). Beberapa penelitian menemukan bahwa terapi mindfulness dan educational-counselling dapat mengurangi stres, cemas, dan depresi, menurunkan kelelahan, meningkatkan penerimaan diri, mengurangi rasa nyeri, serta meningkatkan aktivitas fisik. Hal tersebut secara simultan akan meningkatkan kualitas hidup pasien SLE.

Penelusuran literatur mendapatkan terapi mindfulness dan educational-counselling masih minim diteliti di Indonesia dan lebih banyak diterapkan di luar negeri, sehingga dapat menjadi acuan dalam penerapan di Indonesia. Pembahasan yang lebih mendalam tentang pengaruh terapi mindfulness dan educational-counselling pada pasien SLE sangat penting ditelaah karena dua intervensi ini masih jarang diteliti di Indonesia. Literature review ini bertujuan untuk menelaah literatur terkait pengaruh intervensi terapi mindfulness dan educational-counselling serta mengetahui

intervensi mana yang lebih efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien SLE.

METODE PENELITIAN

Literature review ini mencakup 1.625 literatur. Lima studi ditemukan duplikat pada sumber database yang berbeda, sehingga menjadi 1.620 literatur. Pada tahap skrining terdapat 1.609 literatur yang dieksklusi karena tidak full-text sehingga didapatkan 11 literatur. Sebelas literatur tersebut didapatkan delapan literatur yang dikaji sebagai kelayakan dengan total yang dieksklusi yaitu tiga literatur dengan alasan tidak menjawab tujuan literature review ini dan tidak berhubungan erat dengan terapi mindfulness dan educational-counselling. Pencarian literatur menggunakan database Pubmed, Google Scholar, dan Science Direct dengan kata kunci counselling, educational, mindfulness, quality of life, serta mengaplikasikan Boolean logic yaitu “AND” dan “OR” untuk membatasi dan

memperluas area cakupan pencarian literatur. Literature review ini menggunakan metode PICOT agar sesuai dengan kriteria inklusi (Population: pasien dewasa SLE, Intervention: mindfulness, Comparison: educational-counselling, Outcome: meningkatkan kualitas hidup, Time: 20182023). Kriteria inklusi pada literature review ini, yaitu 1) studi desain: randomized controlled trial, a pilot study, a randomized single-blind clinical trial, a quasiexperimental study, 2) responden berusia di atas 18 tahun, 3) menjelaskan intervensi terapi mindfulness dan educational-counselling, 4) menggunakan bahasa Inggris dalam bentuk full-text. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu study protocol design. Flow chart penelusuran dan proses seleksi literatur di bawah ini.

Gambar 1. Diagram Alur Pencarian dan Pemilihan Literatur


HASIL PENELITIAN

Karakteristik Studi

Literature review ini menggunakan delapan literatur full-text berbahasa Inggris yang dikaji sebagai kelayakan. Total populasi yang digunakan pada delapan literatur yaitu sebanyak 355 orang. Karakteristik umur pada sampel penelitian

ini secara keseluruhan merupakan pasien dewasa SLE berusia lebih dari 18 tahun. Sampel penelitian yang digunakan pada penelitian lebih banyak perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Data demografi dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Data Demografi

Tipe Data

Middleton et al (2018)

Kim et al (2019)

Hanwong burana et al (2020)

Taub et al (2021)

Wu et al (2019)

Kankaya et al (2020)

Rizk et al (2020)

Zahiri et al (2022)

Negara

Amerika

Korea

Thailand

Israel

Taiwan

Turki

Mesir

Iran

Popu-

7 pasien

24

12

26

76

80 pasien

86

40 pasien SLE

lasi

SLE

perempuan

narasum-

pasien

pasien

SLE (95%

pasien

(20 perempuan;

perempuan

; 1 pria

ber:

SLE

perem-

pasien

(79,1%

20 pria)

; 3

pasien

puan

perempuan)

perem-

instruktur

SLE,

SLE

puan;

yoga

perawat

20,9%

SLE, pakar Buddhis

pria)

Usia

37-52

34,4-49,6

22-64

20-65

26,29-51,71

30-40

29,94-41,52

tahun

tahun

tahun

tahun

tahun

tahun

tahun

Peker-

Pedagang

pakar

bekerja (20-

bekerja

pengangguran 4

jaan

kelontong;

Buddhis,

50%); tidak

(52,3%);

orang; pekerja

desainer

dokter/

bekerja (20-

tidak

resmi 3-7 orang;

web;

perawat

50%);

bekerja

ibu rumah

instruktur

SLE

pensiun

(47,7%)

tangga 9-16

yoga

(0%)

orang

Tabel 2. Deskripsi Analisis Studi

Penulis

Metode

Peserta

Intervensi

Hasil

Middleton et al (2018)

Qualitative methods; Randomized Control Trial (RCT) Yoga for Arthritis

7 pasien wanita SLE

3 instruktur yoga

Intervensi yoga melalui kelas yoga bilingual 60 menit selama 8 minggu. Lalu dilaksanakan wawancara sekitar 30 menit untuk mengetahui persepsi peserta tentang kelas yoga yang dilakukan.

Intervensi yoga layak dan aman untuk pasien SLE dengan gerakan yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan kemampuan pasien. Yoga membantu lebih banyak menggerakkan tubuh dan menumbuhkan pikiran positif pada dua kelompok penelitian.

Kim et al (2019)

A pilot study

25 pasien SLE: 24 pasien perempuan (96%); 1 pasien laki-laki (4%)

Intervensi Mindfulness Based Cognitive Therapy (MBCT) terbagi menjadi dua kelompok (kelompok MBCT dan kelompok kontrol) yang dipimpin 2 psikiater selama 2 jam/sesi dalam 6 minggu.

Mindfulness Based Cognitive Therapy (MBCT) efektif mengurangi kecemasan, stres, dan depresi pada pasien SLE. Namun, kualitas hidup pasien dan aktivitas penyakit tidak membaik setelah MBCT. Beck Depression Inventory-II (BDI-II) (p<0,01); Beck Anxiety Inventory (BAI) (p=0,04); Perceived Stress Scale (PSS) (p=0,04).

Hanwongburana et al (2020)

Qualitative research: study document

12 narasumber: pasien SLE, perawat SLE, pakar Buddhis

Wawancara mendalam pada 3 kelompok (12 narasumber), kemudian dilakukan diskusi kelompok terarah.

Teknik mindfulness (aktif dan pasif) bermanfaat dipraktekkan pasien SLE untuk penyesuaian pola pikir, mengurangi stres, membentuk cara hidup mindful, dan tanpa biaya.

Taub et al (2021)

A mixed-methods pilot randomized controlled trial of an adapted protocol

26 pasien SLE

Intervensi pelatihan Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR) diberikan selama 8 minggu meliputi latihan bodyscan, mental, fisik, kesadaran penuh pada aktivitas sehari-hari.

Pelatihan Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR) berbasis mindfulness efektif mengurangi stres, rasa nyeri, rasa malu, perspektif negatif (akibat ruam wajah, alopecia, dan penambahan berat badan khususnya pada wanita), serta meningkatkan kualitas hidup pasien SLE.

Wu et al (2019)

A randomized singleblind clinical trial

76 pasien perempuan SLE

Kelompok intervensi memakai pedometer di pinggang dan menerima 3 kali intervensi konseling aktivitas fisik. Kelompok kontrol memakai pedometer di pinggang selama 1 minggu.

Konseling aktivitas fisik meningkatkan aktivitas fisik peserta wanita penderita SLE. Ketika aktivitas fisik meningkat, mereka merasa lebih bahagia dan energik serta dapat termotivasi untuk berolahraga saat bad mood atau lelah. p-value < 0,001 membuktikan bahwa latihan tersebut secara efektif meningkatkan jumlah harian langkah dari waktu ke waktu.

Kankaya et al (2020)

Randomized controlled trial (RCT)

80 pasien SLE (95% pasien perempuan)

Intervensi edukasi berbasis web dilakukan 3 bulan pertama untuk kelompok kontrol dan 3 bulan selajutnya diberikan intervensi konseling untuk kelompok eksperimen.

Intervensi educational-counselling berdampak positif pada persepsi pasien SLE tentang self-efficacy, mengurangi kelelahan, penilaian perawatan penyakit kronis meningkat (p<0,05).

Rizk et al (2020)     A quasi-experimental

study

Pasien dewasa SLE (30-40 tahun)

Intervensi program edukasi melalui pemberian pre-test, ceramah dan diskusi kelompok, post-test selama 4 bulan dan diakhiri tahap evaluasi dengan mengisi post-test.

Intervensi edukasi berdampak positif terhadap peningkatan self-care agency dan self-related abilities. Praktik kesehatan setelah implementasi program edukasi dengan nilai p (<0,001). Program ini membuat pasien SLE mandiri dan berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri untuk peningkatan kesehatan.

Zahiri et al (2022)   A quasi-experimental

study

40 pasien SLE

Kelompok kontrol hanya mendapat intervensi melalui pengobatan dan kelompok intervensi diberikan kombinasi program Fatigue and Activity Management Education (FAME).

Intervensi program Fatigue and Activity Management Education (FAME) mengurangi kelelahan dan meningkatkan Activity of Daily Living (ADL) pasien SLE pada kelompok intervensi. Rata-rata kelelahan (p<0,0001) dan rata-rata ADL (p=0,009) setelah intervensi.

Tabel 3. Sintesis Artikel Jurnal

Item Review

Middleton et al (2018)

Kim et al   Hanwong

(2019)     burana et

al (2020)

Taub et al (2021)

Wu et al (2019)

Kankaya et al (2020)

Rizk et al (2020)

Zahiri et al (2022)

Terapi Mindfulness

Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR)

Mindfulness Based Cognitive Therapy (MBCT)

Yoga

Educational-Counselling

Aktivitas fisik

Penerimaan diri

Perawatan diri

Meningkatkan Kualitas Hidup

Menurunkan kelelahan

b

b

Mengurangi stres, cemas, depresi

ab

a         √ab

ab

Penerimaan diri

ab

ab

Mengurangi nyeri

ab

Meningkatkan aktivitas fisik

ab

ab

b

n: a = 9, b = 11

Catatan: a = terapi mindfulness; b = educational-counselling

PEMBAHASAN

Intervensi Terapi Mindfulness

Intervensi mindfulness merupakan psikoterapi yang didasarkan atas praktik meditasi Buddhis yang didefinisikan sebagai persepsi yang dihasilkan melalui kesadaran selain menerima pengalaman yang dirasakan setiap saat secara kritis serta memanfaatkan sikap penerimaan dan keterbukaan (rasa ingin tahu) dalam menghadapi pengalaman pribadi (Tao, Chenghan, & Xiaoduo, 2016). Penyakit SLE ditandai dengan terbentuknya berbagai jenis antibodi yang membentuk kompleks imun yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan, sehingga hal tersebut akan memunculkan berbagai manifestasi klinis yang berpengaruh pada fungsi tubuh (Harsaya & Jusup, 2020). Gejala psikologis seperti stres, gangguan mood, bahkan depresi sering terjadi selain gejala fisik yang muncul. Terapi mindfulness ini sangat penting diberikan pada pasien SLE untuk mengurangi berbagai gejala psikologis yang muncul akibat perubahan pada area otak yang berfungsi atas proses regulasi yang dapat mempengaruhi bagaimana individu merespon tekanan yang bepengaruh pada fungsi tubuh (Ayu & Yudiarso, 2021).

Terapi mindfulness dapat dibagi menjadi yoga, Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR), dan Mindfulness Based Cognitive Therapy (MBCT). Ketiga jenis terapi ini termasuk ke dalam mindfulness aktif karena meskipun terdapat perbedaan dalam praktiknya, namun tetap melibatkan partisipasi aktif dari individu dalam mengarahkan perhatian mereka secara sengaja. Hal ini sejalan dengan penelitian Hanwongburana et al (2020) menyatakan mindfulness aktif melibatkan kesadaran penuh atas kegiatan yang dilakukan dan berhubungan dengan orang lain serta dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari atau melalui terapis klinis mereka. Adapun jenis yang pertama, yoga yaitu terapi pikiran-tubuh yang membutuhkan perhatian simultan pada pernafasan, tubuh, dan afektif (Middleton et al., 2018). Studi menunjukkan bahwa elemen yoga yang meliputi pernafasan lambat, gerakan

lembut, dan imajinasi terpadu dapat memberikan relaksasi mental dan mempengaruhi saraf parasimpatis berkaitan dengan tubuh saat istirahat. Yoga nindra (teknik relaksasi/meditasi mendalam) juga direkomendasikan sebagai praktik restoratif untuk pasien SLE (Middleton et al., 2018). Praktik yoga lebih berfokus pada perhatian simultan pada tubuh, pernafasan, regulasi, dan afektif dibandingkan jenis terapi lainnya. Kedua, Mindfulness Based Cognitive Therapy (MBCT) yaitu intervensi yang mengintegrasikan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) ke dalam format MBSR yang berdurasi lebih singkat dari MBSR (Maharani, 2016). Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR) merupakan program pelatihan terapi kelompok yang memberikan pelatihan sistemik melalui teknik meditasi kesadaran dalam mengurangi stres (Taub et al., 2021). Berdasarkan hasil review, didapatkan bahwa intervensi mindfulness jenis MBSR lebih berdampak signifikan pada pasien SLE.

Program pelatihan MBSR dilakukan 2-2,5 jam selama 8 minggu. MBSR berfokus pada elemen inti program yaitu: 1) latihan body-scan (memperhatikan seluruh bagian tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki), 2) latihan mental yang berpusat pada pernafasan, 3) latihan fisik seperti meditasi berjalan yang berfokus pada kesadaran tentang batasan diri dan sensasi tubuh, 4) kesadaran penuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Setiap kelompok bersama-sama merenungkan apa yang mereka rasakan selama mempraktikkan elemen ini. Di sela-sela sesi, peserta akan diinstruksikan mendengarkan latihan terpadu selama 3045 menit tentang fokus pada pernafasan, peregangan yoga, pemindaian tubuh, dan meditasi duduk. Terapis diinstruksikan memberi perhatian khusus pada tema yang berhubungan dengan SLE seperti kelelahan dan nyeri.

Program pelatihan MBSR merupakan varian Mindfulness Based Intervention (MBI) paling terkenal, namun MBSR jarang diterapkan di Indonesia. Pelatihan ini

membutuhkan bimbingan khusus dari terapis untuk mendapatkan manfaat yang baik. Pasien juga dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia seperti modul pelatihan, buku panduan, dan CD untuk mendapatkan petunjuk melakukan latihan mindfulness. Selain itu, para terapis dapat menggunakan pelatihan ini ketika saat menjalankan profesinya ataupun dalam kondisi sehari-hari. Penelitian tersebut juga menyatakan MBSR memiliki dampak positif dalam mengurangi stres, perasaan malu yang diakibatkan gejala fisik seperti penambahan berat badan, ruam wajah, dan alopecia serta peningkatan kualitas hidup (Taub et al., 2021).

Intervensi Educational-Counselling

Educational-counselling adalah pemberian edukasi maupun konseling tentang informasi, bimbingan, dan dukungan emosional kepada pasien secara individu ataupun kelompok. Hal ini dibutuhkan karena penyakit SLE masih kurang dipahami sehingga sering menimbulkan salah persepsi. Pasien SLE umumnya merasakan takut dan sangat terganggu mendengar penyakit yang dialaminya, namun dengan membangun kenyamanan dan penyampaian yang baik dan benar tentang SLE maka pasien akan menerima informasi dengan nyaman (Ikom, 2020).

Melalui pemberian edukasi, seorang edukator perlu memberikan informasi yang komprehensif tentang penyakit hingga perawatan yang diperlukan (Rizk, Bastawesy, & Hegy, 2020). Pemberian edukasi juga diarahkan kepada keluarga pasien tentang pentingnya support system yang tak berlebihan dan tetap memberdayakan pasien SLE agar mampu mandiri dalam sehari-hari (Kasjmir, et al., 2011). Kemudian, dalam melakukan konseling, seorang konselor memerlukan komunikasi interpersonal untuk menyampaikan informasi lebih efektif baik ke pasien maupun keluarga. Penting dalam melibatkan keluarga dalam konseling karena pasien sangat membutuhkan dorongan dan semangat keluarga (Ikom, 2020). Berdasarkan hasil review,

didapatkan bahwa intervensi educational (pendidikan) lebih berdampak signifikan pada pasien SLE. Hal ini sejalan dengan penelitian Sedrak et al (2020) yang menyatakan pendidikan merupakan salah satu hal yang penting untuk pasien SLE. Pendidikan dari tenaga kesehatan juga menjadi salah satu bentuk dukungan psikis yang penting untuk pasien SLE (Dewi & Mulyanti, 2023).

Intervensi educational diberikan dalam bentuk program yang terdiri dari tiga tahap (Rizk, Bastawesy, & Hegy, 2020). Pertama yaitu tahap persiapan, mengembangkan program pendidikan berdasarkan tinjauan literatur dan persiapan media seperti booklet bergambar, pamflet, dan power point. Buku kecil juga dirancang untuk mengetahui kebutuhan dan pemahaman pasien. Tahap selanjutnya yaitu implementasi, diawali dengan pretest tentang demografis dan riwayat medis selama 30-40 menit. Pelaksanaan program pendidikan ini disajikan dalam tiga sesi melalui ceramah dan diskusi kelompok. Sesi pertama bersifat teoritis yaitu tinjauan tentang SLE, sesi kedua bersifat praktis selama bulan kedua kunjungan tindak lanjut yang meliputi aktivitas fisik, serta sesi ketiga adalah kombinasi keduanya selama kunjungan tindak lanjut bulan ketiga tentang cara mengelola gejala secara mandiri. Setiap sesi berlangsung 45-60 menit dan disertai umpan balik. Sesi edukasi dilakukan secara individu atau kelompok sesuai jumlah pasien tiap ruangan. Kemudian diakhiri dengan tahap evaluasi berupa pengisian posttest.

Berdasarkan tinjauan literatur, program pelatihan educational ini jarang diterapkan untuk pasien SLE di Indonesia. Hal ini menjadi sebuah dimensi baru sebagai salah satu intervensi yang dapat dikombinasikan dengan teknologi masa kini seperti dalam pembuatan web dan media edukasi seperti booklet, power point presentasi, pamflet (Kankaya & Karadakovan, 2020; Rizk, Bastawesy, & Hegy, 2020). Program educational dapat dikolaborasikan dengan program counselling. Program counselling dapat berupa aktivitas fisik dan konseling

berbasis web. Intervensi aktivitas fisik diawali dengan pengkajian, nasehat, dan persetujuan tentang program yang akan dilakukan. Lalu pasien akan dibantu pelatih mengimplementasikan program serta dijadwalkan kunjungan tindak lanjut. Kelompok intervensi dan kontrol samasama memakai pedometer di pinggang untuk memonitor langkah harian mereka. Intervensi counselling aktivitas fisik dapat meningkatkan aktivitas fisik dan membuat peserta wanita SLE merasa lebih bahagia dan energik serta dapat termotivasi untuk berolahraga saat bad mood atau lelah (Wu, Tsai, Yu, & Chen, 2019). Di sisi lain, konseling berbasis web diberikan setelah program pendidikan selama 3 bulan. Peserta akan diwawancarai melalui telepon untuk menginformasikan proses pendidikan sudah selesai, namun konseling tetap dilanjutkan apabila diperlukan. Dalam pemberian intervensi perawatan standar, pasien diberikan informasi umum tentang penyakit dan pengobatan, serta sesi tanya jawab dengan dokter dan perawat (Kankaya & Karadakovan, 2020).

Program kombinasi antara educational dan counselling pada pasien SLE memerlukan hal yang harus dipertimbangkan, seperti program yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan peserta sehingga bisa memahami dan mengikuti informasi yang diberikan. Selain itu, komunikasi efektif menjadi dasar utama yang penting dilakukan antara tenaga kesehatan dan pasien dalam menjalankan kombinasi program ini (Kankaya & Karadakovan, 2020). Manfaat yang diperoleh dari kombinasi program ini yang berbasis web yaitu berdampak positif pada persepsi pasien SLE tentang efikasi diri, mengurangi kelelahan, dan meningkatkan penilaian perawatan penyakit kronis (p<0,05) (Kankaya & Karadakovan, 2020). Menurut teori perilaku terencana (theory of planned behavior) yang menyatakan perubahan perilaku bergantung pada niat yang dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan, dimana semakin kuat niat untuk melakukan perilaku maka semakin besar kemungkinan

perilaku tersebut akan dilakukan (LaMorte, 2022). Teori ini berfokus pada keyakinan dan niat seseorang melakukan perilaku sehingga teori ini bisa menjadi acuan dalam intervensi educational-counselling agar pasien bisa mendapatkan edukasi atau pendidikan yang baik, meningkatkan kendali diri, serta mengenali norma subjektif yang mendukung pasien untuk melakukan perubahan perilaku ke arah adaptif. Hal ini dapat meningkatkan tercapainya perubahan perilaku yang diinginkan pada pasien SLE.

Kualitas Hidup Pasien SLE

Berdasarkan hasil review, intervensi educational-counselling (b=11) lebih berdampak signifikan dibandingkan intervensi terapi mindfulness (a=9) dalam meningkatkan kualitas hidup pasien SLE. Secara patofisiologis terjadi aktivitas yang berlebih dari sistem kekebalan tubuh yang akhirnya merusak jaringan tubuhnya sendiri, lalu tubuh akan mengalami penurunan kemampuan dalam melawan partikel asing yang masuk sehingga timbul gejala fisik seperti nyeri, kelelahan, dan penurunan aktivitas fisik (Hoffman, 2022).

Perubahan kondisi fisik yang terus menurun juga akan menyebabkan gangguan psikologis seperti stres, cemas, depresi, dan sulit menerima kondisinya karena timbul pemikiran pesimis yang seolah-olah tidak melihat jalan keluar (Risnawaty, Putri, & Gunjaya, 2021). Melalui intervensi educational-counselling ini dapat memberikan manfaat signifikan dalam mengelola gejala fisik dan psikologis yang dialami sehingga berdampak pada peningkatan kualitas hidup pasien SLE (Wu, Tsai, Yu, & Chen, 2019; Kankaya & Karadakovan, 2020).

Tenaga kesehatan memegang peranan penting dalam mendukung dan melaksanakan program educational-counselling seperti perawat dan dokter (Rizk, Bastawesy, & Hegy, 2020). Salah satu tenaga kesehatan yang merawat pasien selama 24 jam selain keluarga pasien yaitu perawat. Studi menunjukkan bahwa perawat berperan sebagai edukator yaitu berfokus pada penyampaian informasi dan

pendidikan kesehatan terkait penyakit pasien seperti definisi, faktor risiko manifestasi klinis, diagnosis, tindakan medis, efek samping pengobatan, dan komplikasi (Rizk, Bastawesy, & Hegy, 2020). Selain itu, sebagai seorang konselor, perawat berperan memberikan informasi yang berfokus pada dukungan emosional dengan cara menciptakan hubungan yang nyaman, baik dengan pasien ataupun keluarga (Ikom, 2020). Selain perawat, dokter juga berperan dalam program ini seperti memberikan perawatan medis dan berkolaborasi dengan perawat dalam menyiapkan materi presentasi edukasi dan konsultasi untuk diberikan kepada pasien SLE. Salah satu konseling yang dapat

SIMPULAN

Terapi mindfulness dan educational-counselling dapat diberikan pada pasien SLE yang disesuaikan dengan kemampuan pasien. Educational-counselling lebih berdampak pada peningkatan kualitas hidup pasien SLE. Salah satu tenaga kesehatan yang merawat pasien selama 24 jam yaitu perawat sebagai edukator yang berfokus menyampaikan informasi tentang penyakit SLE serta sebagai konselor yang berfokus memberikan dukungan emosional dan psikologis bertujuan untuk mendukung dan

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, D. U., & Yudiarso, A. (2021). Efektivitas mindfulness untuk meningkatkan kualitas hidup: Studi meta-analisis. Jurnal Psikologi Udayana,       8(2),       9-16.       doi:

10.24843/JPU/2021.v08.i02.p02

Dewi, H. R. R., & Mulyanti, D. (2023). Peningkatan Kepatuhan Minum Obat Pasien Lupus Eritematosus Sistemik. DIAGNOSA: Jurnal Ilmu Kesehatan Dan Keperawatan, 1(2),

105-111.                               doi:

https://doi.org/10.59581/diagnosa-widyakarya.v1i2.210

Frade, S., O'Neill, S., Greene, D., & Cameron, M. (2021). Exercise as adjunctive therapy for systemic lupus erythematosus. Cochrane Database Syst Rev, 14(10):CD014816. doi: 10.1002/14651858.CD014816.

Hanwongburana, P., Sirikanchana, P.,   &

Dhammahaso, P. H. (2020). Stress Management for Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Patients Based on The Buddha's Teaching of Mindfulness. The

diberikan menurut penelitian Wu et al (2019) yaitu konseling aktivitas fisik karena pasien SLE cenderung mengalami penurunan aktivitas fisik akibat kondisinya. Aktivitas fisik yang dapat dilakukan pasien SLE meliputi tiga jenis latihan utama meliputi aerobik (berjalan kaki, bersepeda, jogging, dan menari), latihan ketahanan (menginduksi kontraksi otot yang membangun kekuatan dan daya tahan anaerobik, misalnya duduk hingga berdiri, berjalan ke atas, dan mengangkat), serta latihan rentang gerak mengacu pada aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan pergerakan sendi tertentu (Frade et al., 2021).

menjalankan intervensi ini. Dalam menjalankan intervensi tersebut, penting melibatkan peran keluarga.

Penelitian selanjutnya dapat menjadikan hasil literature review ini sebagai dasar dalam melihat tingkat efektivitas dari salah satu intervensi yang telah diulas. Selain itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang kesiapan tenaga kesehatan salah satunya perawat dalam merawat pasien SLE.

Journal of The International Buddhist Studies College, 13-25. Diunduh dari: https://so03.tci-

thaijo.org/index.php/ibsc/article/view/23955 6

Harsaya, I., & Jusup, I. (2020). Systemic Lupus Erythematosus Berhubungan dengan Depresi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Jiwa, 2(1), 9-12. Diunduh dari:   https://jurnal.rs-

amino.jatengprov.go.id/index.php/JIKJ/articl e/view/8

Hoffman, M. (2022, May 5). What Are Autoimune Disorder? Diunduh Jun 2023, dari WebMD: https://www.webmd.com/a-to-z-guides/autoimmune-diseases

Ikom, A. M. (2020). Komunikasi Antarpribadi dengan Odapus (Orang Dengan Penyakit Lupus). Journal of Advertising, 1(1), 117124.            Diunduh            dari:

https://jurnal.umt.ac.id/index.php/ADVIS/art icle/view/3999/2220

Kankaya, H., & Karadakovan, A. (2020). Effects of web-based education and counselling for patients with systemic lupus erythematosus: self-efficacy, fatique, and assesment of care. Lupus,         0(0),         1-8.         doi:

10.1177/0961203320928423

Kasjmir, Y. I., Handono, K., Wijaya, L. K., Hamijoyo, L., Albar, Z., Kalim, H., . . . Ongkowijaya.    (2011).    Rekomendasi

Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik (hal. 1-42).

Kertapati, D. T. (2020, May 11). Dipetik Jun 2023, dari MediaKom Kementerian Kesehatan Republik                       Indonesia:

https://mediakom.kemkes.go.id/2020/06/suli tnya-mendata-pasien-lupus-di-indonesia/

Kim, H. A., Seo, L., Jung, J. Y., Kim, Y. W., Lee, E., Che, S. M., & Suh, C. H. (2019). Mindfulness-based cognitive therapy in Korean patients  with  systemic  lupus

erythematosus:     A     pilot     study.

Complementary Therapies in Clinical Practice,        35,        18-21.        doi:

10.1016/j.ctcp.2019.01.009

LaMorte, M. W. (2022). Diunduh Jun 2023, dari Boston University School of Public Health.

Maharani, E. A. (2016). Pengaruh Pelatihan Berbasis Mindfulness terhadap Tingkat Stres pada Guru PAUD. Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan,          100-110.          doi:

https://doi.org/10.21831/jpipfip.v9i2.12919

Middleton, K. R., Moonaz, S. H., Hasni, S. A., Lopez, M. M., Ayuketah, G. T., Farmer, N., & Wallen, G. R. (2018). Yoga for systemic lupus erythematosus (SLE):   Clinician

experiences and qualitative perspectives from students and yoga instructions living with SLE. Complementary Therapies in Medicine, 41,             111-117.             DOI:

10.1016/j.ctim.2018.09.001

Naziha, A., Maharatih, G. A., & Hermasari, B. K. (2022). Hubungan Dukungan Sosial dengan Tingkat Depresi Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Plexus Medical Journal,           1(6),           234-241.

doi:https://doi.org/10.20961/plexus.v1i6.498

Puspadatin RI. (2017). Situasi Lupus di Indonesia.

Diunduh                             dari:

https://www.kemkes.go.id/article/view/1709 1200003/situasi-lupus-di-indonesia.html

Risnawaty, W., Putri, M. G., & Gunjaya, R. V. (2021). Penerapan Konseling Kelompok

dalam Pendampingan Psikologis Komunitas Orang Dengan Autoimun (Komunitas ODAI). SERINA   III,   1435-1446.doi:

https://doi.org/10.24912/pserina.v1i1.17676

Rizk, S. M., Bastawesy, S. E., & Hegy, E. (2020). Impact of an Education Program on Self-Care Agency and Self-Related Abilities among Patients     with     Systemic     Lupus

Erythomatosus. Egyptian Journal of Health Care,       3(1),       417-430.       doi:

10.21608/EJHC.2020.119023

Sedrak, M. W., Mohammad, Z. A. E., Abo-ElNoor, E. I., Elrazik, H. A. (2020). Effect of Nursing Education on Knowledge and Self Care for Patient's     with     Systemic     Lupus

Erythematosus. Assiust Scientific Nursing Journal,           8(23),          113-121.

doi:10.21608/ASNJ.2020.48644.1069

Salsabila, S. S. (2020). Pengaruh Meditasi dalam Pendidikan Islam untuk Memperkuat Sistem Imun sebagai Tindakan Melawan Covid-19. Al Ulya: Jurnal Pendidikan Islam, 5(2), 210225.

Tao, Chenghan, & Xiaoduo. (2016). The Clinical Value, Principle, and Basic Practical Technique of Mindfulness Intervention. Shanghai Archives of Psychiatry, 28(3): 121130. doi: 10.11919/j.issn.1002-0829.216060

Taub, R., Horesh, D., Rubin, N., Glick, I., Reem, O., Shriqui, G.,  & Levin, N. A. (2021).

Mindfulness-Based Stress Reduction for Systemic Lupus Erythematosus: A Mixed-Methods Pilot Randomized Controlled Trial of an Adapted Protocol. Journal of Clinical Medicine,     10(4450),     2-18.     doi:

10.3390/jcm10194450

Wu, M. L., Tsai, J. C., Yu, K. H., & Chen, J. J. (2019). Effects of physical activity counselling in women with systemic lupus erythematosus:  A randomized controlled

trial. International Journal of Nursing Practice, 1-11. doi: 10.1111/ijn.12770

Wulandari, P. I., & Irwanto. (2022). Pendekatan Mindfulness dalam Menggambarkan Hubungan Rasa Syukur dan Kualitas Hidup pada Orang yang Hidup dengan Lupus. PSIKODIMENSIA Kajian Ilmiah Psikologi, 21(1),               15-26.               doi:

10.24167/psidim.v21i1.3582

Zahiri, S., Jahani, S., Sayadi, N., Cheraghian, B., & Rajaei, E. (2022). The Effects of an Educational Intervention on Fatique and Activities of Daily Living in Patients with Systemic Lupus Erythematosus. Nursing and Midwifery Studies, 1(1), 24-30.

Volume 12, Nomor 1, Februari 2024

18