Jurnal Bumi Lestari, Volume 24, Nomor 1, Tahun 2024, Halaman 75-84

Korelasi Kelimpahan Megabentos dengan Persentase Tutupan Terumbu Karang di Perairan Amed, Kabupaten Karangasem, Bali

I Gusti Ngurah Galih Ksatria Mahadhika Nurdyputra a*, I Nyoman Giri Putra a, Putu Satya Pratama Atmaja a

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali-Indonesia

*Email: galmahadhika@gmail.com

Diterima (received) 20 Juli 2023; disetujui (accepted) 5 Februari 2024; tersedia secara online (available online) 14 Februari 2024

Abstract

The existence of each megabenthos is related to the condition of coral reefs which act as habitats for various types of megabenthos species. Benthos are commonly takes advantage of the ecosytem of coral reef as a habitat to live and shelter in the coral niches from natural predators. This study aimed to determined the abundance of megabenthos and the percentage of coral reef cover, as well as the correlation between the abundance of megabenthos and the percentage of live coral cover in Amed Waters. Megabenthos data collection was carried out using the Benthos Belt Transect (BBT) method. Point Intercept Transect (PIT) was used to examined the coral percentage cover. Correlation of Pearson was used to analyzed the correlation between abundance of megabenthos and coral percentage cover. A total of 473 individuals with a total abundance of 0.26 ind/m2 were found in this study. Interestingly, there were no Acanthaster planci individuals found during the data collection. The condition of coral reefs was dominated by Dead Coral Algae (DCA), while the percentage value of live coral cover in Amed Waters were 19% to 35% in the damaged to moderate category, respectively. Pearson correlation showed a value of (r) 0.067 with a very weak positive category which indicates that there is a positive relationship between the two variables which indicating that the correlation of megabenthos abundance has no significant relationship with the percentage of live coral cover.

Keywords: megabenthos; Amed; pearson; dead coral algae

Abstrak

Keberadaan dari setiap spesies megabentos berkaitan dengan kondisi terumbu karang yang berperan sebagai habitat dari beranekaragam jenis spesies megabentos. Bentos akan memanfaatkan ekosistem terumbu karang untuk menjadi tempat tinggal dan berlindung di celah - celah karang dari predator alaminya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan megabentos dan persentase tutupan terumbu karang, serta korelasi antara kelimpahan megabentos dengan persentase tutupan terumbu karang hidup di Perairan Amed. Pengambilan data megabentos dilakukan dengan metode Benthos Belt Transect (BBT). Pengambilan data karang dengan metode Point Intercept Transect (PIT). Perhitungan korelasi menggunakan korelasi Pearson. Hasil penelitian di Perairan Amed menemukan jumlah total 473 individu dengan jumlah kelimpahan total adalah 0.26 ind/m2 dan tidak ditemukan individu Acanthaster planci. Sedangkan kondisi terumbu karang didominasi oleh Dead Coral Algae (DCA). Nilai persentase tutupan karang hidup di Perairan Amed adalah 19% hingga 35% dengan kategori rusak hingga sedang. Perhitungan korelasi secara keseluruhan memiliki nilai (r) 0.067 dengan kategori positif sangat lemah yang mengindikasikan bahwa adanya hubungan positif antara kedua variabel.

Kata Kunci: megabentos; Amed; pearson; dead coral algae

doi: https://doi.org/10.24843/blje.2024.v24.i01.p08


© 2019 by the authors; Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution 3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by Udayana University, Indonesia.

  • 1.    Pendahuluan

Amed merupakan salah satu kawasan perairan yang terletak di Bali. Perairan ini memiliki kekayaan potensi biologis di laut. Wisata alam pada wilayah Amed seperti pantai yang di dalamnya terdapat ekosistem terumbu karang yang menjadi objek wisata untuk menarik wisatawan berkunjung (Hoeksema & Putra, 2000).

Ekosistem terumbu karang mempunyai beberapa fungsi, salah satunya adalah sebagai tempat bagi beranekaragam biota untuk berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang, baik dengan memanfaatkan polip karang sebagai sumber makanannya, ataupun untuk bersembunyi dari predator pada siang hari maupun malam hari (Tatipata dan Mashoreng, 2019). Terumbu karang memiliki keanekaragaman dalam segi hayati yang produktif dan paling kaya serta memiliki peran sangat penting baik fisis maupun ekologis bagi kelangsungan biota laut dan merupakan habitat bagi banyak biota laut baik yang sementara ataupun yang menetap seperti ikan karang dan megabentos (Oktarina et al., 2015).

Fauna bentik merupakan biota yang biasanya terdapat pada ekosistem terumbu karang (Tuhumena et al., 2013). Megabentos adalah salah satu organisme yang mempunyai ukuran lebih dari 1 cm serta hidup pada dasar substrat yang mencakup biota yang menempel, merayap, dan meliang serta memiliki fungsi sebagai sumber makanan. Megabentos terdiri dari beberapa organisme yang meliputi teripang, kima, lobster, lola, bintang laut berduri, siput drupella, bulu babi, dan bintang laut (Giyanto et al., 2014). Organisme bentik yang berukuran relatif lebih besar memiliki populasi yang banyak dan berperan penting bagi kondisi serta keberlangsungan ekosistem terumbu karang (Mutaqin et al., 2020). Hal ini menjadikan kelompok ini potensial sebagai objek pemantauan persentase tutupan terumbu karang.

Menurut Widiastiti et al. (2021) kondisi tutupan terumbu karang hidup di Pantai Amed memiliki nilai rata-rata 46,11% pada kedalaman 3 m dengan dan persentase senilai 28,19% pada kedalaman 10 m yang mana pada kedua kedalaman tersebut termasuk dalam kategori sedang dan didominasi oleh coral massive. Hadirnya individu megabentos pada ekosistem terumbu karang sering dianggap menjadi indikator alami bahwa karang di lokasi tersebut masih sehat atau telah mengalami kerusakan (Siringoringo et al., 2014). Menurut Mutaqin et al. (2020) dalam penelitiannya di Taman Nasional Baluran didapatkan individu Diadema setosum serta Linckia laevigata dalam jumlah sedikit, tidak adanya terumbu karang berpengaruh terhadap kelimpahan megabentos yang ditemukan pada penelitiannya dan jenis yang tidak bervariasi bahkan beberapa yang ditemui telah mati. Hal ini disebabkan karena keberadaan setiap individu megabentos tidak lepas dari kondisi kesehatan terumbu karang yang merupakan habitat dari berbagai jenis fauna megabentos. Dari banyaknya penelitian yang dilakukan tentang kelimpahan megabentos dan korelasinya terhadap terumbu karang, belum ada penelitian terkait yang dilakukan di Perairan Amed. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kelimpahan megabentos dengan persentase tutupan terumbu karang di Pantai Amed dan diharapkan dapat memberikan informasi dan data mengenai kelimpahan megabentos dan persentase tutupan terumbu karang.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1.    Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20-22 Februari 2023 di Perairan Amed. Pengambilan data dilakukan pada tiga stasiun yang berbeda. Stasiun 1 pada koordinat 115°39'18.17"E, 8°20'1.68"S, stasiun 2 pada koordinat 115°39'25.20"E, 8°20'2.95"S, dan stasiun 3 pada koordinat 115°39'32.21"E, 8°20'8.44"S. Pada setiap stasiun dilakukan 3 kali pengulangan.

  • 2.2.    Pengambilan Data Lapangan

Pengambilan data megabentos dilakukan dengan menggunakan metode Benthos Belt Transect (BBT). Metode BBT merupakan metode modifikasi dari metode Belt Transect (Munro, 2005) menggunakan peralatan SCUBA dengan menarik garis roll meter sejajar dengan garis pantai pada kedalaman 5-10 m dengan panjang transek 100 m. Kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan jenis seluruh megabentos yang memiliki ukuran lebih dari 1 cm, terutama megabentos target yang memiliki nilai ekonomi dan

ekologi yang tinggi mencakup bintang laut berduri dan bintang laut biru dari famili Asteroidea, bulu babi (Echinoidea), teripang (Holothuridea), kima (Tridacninae), siput drupella (Muricidae), trochidae dan lobster (Paniluridae). Dicatat seluruh jumlah individu dari titik 0 m hingga titik 100 m dengan lebar pengamatan 1 m ke kiri dan 1 m ke kanan garis transek sehingga luasan area pemantauan menjadi 200 m2 (2 x 100 m) pada setiap pengulangan sehingga didapatkan 600 m2 pada tiap stasiun. Peta penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian


Pengambilan data persentase tutupan terumbu karang menggunakan metode Point Intercept Transect (PIT). Skema pengambilan data Point Intercept Transect dilakukan dengan menggunakan transek yang diletakkan sejajar garis pantai dengan panjang 100 m di titik yang sama dengan transek BBT. Dicatat substrat dan tipe pertumbuhan karang setiap 50 cm atau 0,5 m pada kertas newtop sehingga didapatkan 200 titik sampel pengambilan data substrat pada setiap pengulangan sehingga didapatkan 600 titik sampel pada tiap stasiun.

  • 2.3.    Analisis Data

    • 2.3.1    Kelimpahan Megabentos

Perhitungan rumus kelimpahan megabentos menggunakan perhitungan kelimpahan menurut Harvey (2008).

Kelimpahan X =


Jumlah Individu X Luas Belt Transek (200m2)


(1)


dimana kelimpahan x dalam individu per meter persegi merupakan kelimpahan individu ke-x.

  • 2.3.2    Persentase Tutupan Terumbu Karang

Perhitungan persentase tutupan terumbu karang menggunakan rumus menurut Manuputty dan Djuwariah (2009) sebagai berikut:

Tabel 1. Kategori Persentase Tutupan Terumbu Karang

Persentase

Kategori

Rusak

0 – 24,9%

Sedang

25 – 49,9%

Baik

50 – 74,9%

Sangat Baik

75 – 100%

  • 2.3.3 . Perhitungan Korelasi

Perhitungan korelasi menggunakan rumus Pearson menurut Sugiyono (2013) sebagai berikut:

n∑xiyi - (Σxi)(Σyi)

r,7 =

(2)


√{n∑xi2 - (Σxi)2} - {nΣyi2 - (Σyi)2}

dimana rxy merupakan koefisien korelasi pearson, xi merupakan variabel persentase tutupan terumbu karang, yi merupakan variabel kelimpahan megabentos, n merupakan banyak sampel.

  • 2.4.    Alat

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Alat Dalam Penelitian

Alat

Keterangan

Self-Contained Underwater

Kegiatan penyelaman

Breathing Apparatus (SCUBA) Set

Global Positioning System (GPS)

Tagging koordinat lokasi

pengambilan data

Kamera digital bawah air

Dokumentasi penelitian

Roll meter 100 m

Mengukur cakupan wilayah yang

diteliti

Dive Pointer

Penahan roll meter di titik nol

Kertas newtop

Mencatat hasil data penelitian

Pensil

Mencatat hasil data penelitian

Buku Panduan Pemantauan

Mengetahui jenis megabentos yang

Megabentos Edisi 2 (Arbi, 2017)

akan diidentifikasi

Buku identifikasi Reef Benthos of

Mengetahui jenis megabentos yang

Seychelles – A field guide (Fassbender et al., 2021)

akan diidentifikasi

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Kelimpahan Megabentos

Secara keseluruhan pada ketiga stasiun pengambilan data yang dilakukan didapat 473 individu megabentos target dari delapan jenis dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagian besar dari seluruh individu megabentos di Perairan Amed yang ditemukan terdapat dibawah bongkahan karang. Hal ini sesuai dengan Arbi & Sihaloho (2017) sebagian besar makhluk megabentos aktif pada malam hari, sementara bersembunyi dari pemangsa pada siang hari. Meskipun tidak ditemukan individu Acantasther planci pada ketiga stasiun pengamatan, individu Drupella sp. yang salah satunya memiliki nilai kelimpahan tertinggi. Menurut Arbi & Sihaloho (2017) kelompok siput ini memiliki kebiasaan memakan polip karang, terutama pada karang bercabang seperti kelompok Acropora dan Pocillopora, serta karang masif seperti Porites. Pada jumlah yang sedikit, kelompok siput ini tidak memiliki dampak signifikan pada kondisi karang. Namun, jika terjadi ledakan populasi (outbreaks), siput ini dapat menyebabkan kerusakan karang yang fatal. Untuk grafik kelimpahan dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada ketiga stasiun pengamatan ditemukan filum Echinodermata dari beberapa famili yaitu Diadematidae, Holothuridae, dan Asteroidea. Pada famili Diadematidae ditemukan kehadiran bulu babi

dengan spesies Diadema setosum pada ketiga stasiun didapatkan kelimpahan berturut-turut dari stasiun 1 hingga stasiun 3 adalah 0.05 ind/m2, 0.04 ind/m2, dan 0.043 ind/m2, kehadiran individu bulu babi ditemukan pada bongkahan-bongkahan karang keras yang memiliki dinding yang besar. Hal ini diduga karena bulu babi merupakan pemakan detritus dan alga, sementara pada ekosistem terumbu karang dapat menyediakan tempat berlindung bagi bulu babi dan juga menyediakan sumber pakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yudasmara (2014) bahwa terumbu karang memiliki peran sebagai tempat untuk berlindung serta merupakan sumber pakan bagi fauna bulu babi.

Gambar 2. Kelimpahan Megabentos pada Stasiun 1, 2 dan 3

Dari famili Holothuridae hanya ditemukan spesies Bohadschia argus yang hanya berjumlah 1 individu dengan kelimpahan 0.002 ind/m2. Menurut Darsono (2003) teripang memiliki fungsi ekologis yang berperan sebagai pemakan deposit dan pemakan suspensi, penurunan populasi teripang secara cepat dapat menimbulkan konsekuensi pada tingkat trofik lainnya. Menurut Wardana et al. (2022), teripang yang ditemukan pada lokasi penelitian merupakan biota ekonomis penting yang hidup di ekosistem terumbu karang. Rendahnya individu teripang yang ditemukan diduga karena substrat pada saat pengambilan data didominasi oleh substrat karang mati yang telah ditutupi alga, sedangkan Sedangkan habitat teripang menurut Kritsanapuntu et al. (2014) adalah substrat pasir halus atau pasir berlumpur.

Pada famili Asteroidea ditemukan spesies Linckia laevigata dengan kelimpahan berturut-turut adalah 0.078 ind/m2, 0.110 ind/m2, dan 0.118 ind/m2 dan menjadi kelompok megabentos target dengan jumlah terbanyak. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di Kawasan Perairan Amed terutama pada lokasi pengamatan didominasi oleh DCA (Dead Coral Algae) sehingga memiliki banyak ketersediaan makanan dari individu Linckia laevigata berupa alga. Hal ini sesuai dengan Zamani (2015) yang menyatakan bahwa Linckia laevigata memanfaatkan terumbu karang sebagai area untuk mendapatkan makanan seperti alga yang hidup di sekitar terumbu karang, sehingga tidak jarang dalam ekosistem terumbu karang sering dijumpai bintang laut jenis ini.

Meskipun kehadiran Linckia laevigata banyak ditemukan, namun tidak ditemukan kehadiran dari Acanthaster planci. Menurut Tawa et al. (2020) Acanthaster planci merupakan hewan pemakan karang yang bisa menyebabkan kerusakan karang pada populasi yang tinggi. Faktor ketersediaan makanan sangat berpengaruh terhadap ketidakhadiran A. planci. Pada dasarnya A. planci lebih menyukai karang bercabang

dari Acropora sp. untuk dimakan. Sedangkan pada stasiun pengamatan karang yang dominan ditemukan adalah karang non Acropora.

Megabentos berikutnya yang terdapat pada saat pengambilan data penelitian dari filum Moluska ditemukan beberapa famili yaitu Cardidae, Muricidae, dan Trochidae. Pada famili Cardidae ditemukan Tridacna sp. dengan kehadiran 12 individu. Kima yang ditemukan melekat pada substrat karang keras dan ukuran yang beragam mulai dari 7 cm sampai dengan 16 cm. Sedikitnya kehadiran individu ini sesuai dengan Ambariyanto (2007) yang menyatakan bahwa kepadatan kima di wilayah Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Perbedaan tinggi rendahnya kelimpahan spesies kima pada setiap lokasi penelitian disebabkan adanya aktivitas pengambilan dan juga pengumpulan individu kima baik dilakukan oleh masyarakat maupun nelayan. Pada ketiga stasiun pengambilan data masuk ke dalam zona pemanfaatan terbatas yang mempunyai fungsi sosial, ekonomi dan budaya bagi masyarakat setempat di sekitar kawasan konservasi (Bali, 2022).

Pada famili Muricidae ditemukan Drupella sp. dengan kelimpahan pada masing – masing stasiun yaitu 0,13 ind/m2, 0,108 ind/m2, 0,037 ind/m2. Drupella sp. merupakan individu terbanyak kedua setelah Linckia laevigata pada ketiga stasiun pengamatan. Menurut Arbi & Sihaloho (2017), kelompok siput ini memiliki kebiasaan memakan polip karang, terutama pada karang bercabang (dari kelompok acropora dan Pocillopora) maupun karang masif (Porites) sedangkan pada pengambilan data terumbu karang, tutupan karang hidup didominasi oleh karang non acropora. Dalam jumlah sedikit kelompok siput ini memang tidak membawa dampak yang signifikan terhadap kondisi karang, namun jika pada kondisi terjadi ledakan populasi (outbreak) siput ini bisa merusak karang.

Kehadiran Keong Trokha pada famili Trochidae di ketiga stasiun pengamatan hanya didapatkan sedikit secara berturut-turut dari stasiun 1 hingga stasiun 3 adalah 0,003 ind/m2; 0,025 ind/m2; dan 0,025 ind/m2. Trokha yang ditemukan bersembunyi pada celah celah karang dan sulit ditemukan apabila pengamatan dilakukan tanpa senter selam karena terdapat di bagian dalam yang gelap dan minim cahaya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arbi & Sihaloho (2017) bahwa jenis keong ini biasanya hidup di antara patahan karang, karang mati dan celah karang pada terumbu karang di daerah intertidal sampai subtidal dangkal. Hewan ini merupakan hewan yang biasanya menyembunyikan diri di balik karang pada siang hari dan lebih aktif pada malam hari.

Sedangkan pada filum Crustacea hanya ditemukan 1 famili yaitu Paniluridae dengan spesies Panulirus versicolor. Sedikitnya kehadiran lobster pada stasiun pengamatan diduga karena jenis karang yang ditemukan sebagian besar bukan karang batu, dimana menurut Setyono (2006), lobster biasanya berkelompok pada karang batu. Selain habitatnya, rendahnya kelimpahan lobster diduga diakibatkan karena pemanfaatan yang dilakukan di Perairan Amed. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cappenberg & Mahulette (2019) yang menyatakan bahwa spesies megabentos yang memiliki nilai ekonomis penting seperti teripang, lobster, kima dan lola semakin sulit ditemukan pada perairan dikarenakan oleh aktivitas penangkapan nelayan yang memanfaatkan jenis-jenis tersebut untuk dijual kembali.

  • 3.2    Persentase Tutupan Terumbu Karang

Persen tutupan substrat di Perairan Amed dapat dilihat pada Gambar 3. Persen tutupan karang hidup pada stasiun 1 adalah, 19%, stasiun 2 adalah 21% dan stasiun 3 adalah 35%. Tutupan karang hidup tertinggi terjadi pada stasiun 3 dan terendah terjadi pada stasiun 1. Berdasarkan kategori penilaian ekosistem terumbu karang dalam Manuputty & Djuwariah (2009), maka terumbu karang di Perairan Amed berada dalam kondisi sedang hingga rusak. Berdasarkan pengamatan, pada ketiga stasiun dikedalaman 5 m hingga 10 m didominasi oleh dead coral algae (DCA), hal ini diduga merupakan ancaman yang dihadapi oleh terumbu karang pada perairan Amed yang dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu kegiatan manusia dan faktor alam. Keterangan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada Gambar 3.

Aktivitas wisatawan yang melakukan kegiatan penyelaman atau berenang di sekitar daerah terumbu karang dapat mengancam keberlangsungan ekosistem terumbu karang. Mulya (2006) menyatakan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan langsung oleh manusia adalah pembuangan sampah, teknik penangkapan ikan yang merusak dan kegiatan pariwisata. Sedangkan faktor alam yang dapat mengancam ekosistem terumbu karang di Perairan Amed adalah siput drupella yang merupakan predator alami bagi polip karang

yang masih hidup dan mendominasi pada ketiga stasiun pengamatan. Menurut Boneka & Mamangkey (2013), drupella merupakan siput pemakan polip karang dan keberadaannya sangat bergantung pada kondisi terumbu karang yang digunakan untuk mencari makanan bagi individu drupella. Lalang et al. (2013) mengemukakan bahwa kepadatan drupella berkorelasi negatif dengan tutupan karang hidup dan pada ketiga stasiun didapatkan kelimpahan drupella yang tinggi sedangkan tutupan karang hidup yang rendah.

Gambar 3. Persentase Tutupan Terumbu Karang

  • 3.3    Korelasi Kelimpahan Megabentos dengan Persentase Tutupan Terumbu Karang.

Perhitungan korelasi kelimpahan megabentos dengan persentase tutupan terumbu karang pada penelitian ini didapatkan nilai korelasi sebesar 0.067 dengan kategori positif sangat lemah yang sesuai dengan penelitian Yuniar et al. (2023) yang menyatakan bahwa nilai korelasi tergolong positif sangat lemah antara terumbu karang dengan kelimpahan Drupella sp.. Namun, Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian Wardana et al. (2022) yang menyatakan bahwa pada penelitiannya didapatkan nilai korelasi sebesar 0,9497. Hasil dari penelitian menunjukkan ketidaksesuaian dari penelitian yang telah dilakukan oleh Wulandari et al. (2020) yang menyatakan bahwa adanya hubungan positif dan sangat kuat antara kelimpahan karang hidup dan kepadatan megabentos di Perairan Kendari dengan nilai korelasi pada penelitiannya didapatkan sebesar 0.929. Namun menurut Arbi et al. (2020) menyatakan bahwa data tentang megabentos kaitannya dengan kondisi di terumbu karang masih terbatas sehingga perlu penelitian lanjutan.

Berdasarkan penelitian lainnya, nilai korelasi antara kelimpahan megabentos dengan persentase tutupan terumbu karang memiliki nilai korelasi yang positif. Meskipun perhitungan korelasi pada penelitian ini tidak signifikan, namun tetap memiliki nilai korelasi yang positif dan memiliki hubungan asosiasi bagi

ekosistem terumbu karang dimana hubungan ini dapat bersifat permanen atau sementara yang menyangkut persoalan makan atau dalam rangka memenuhi kebutuhan nutrisi bagi individu megabentos.

Rendahnya nilai korelasi antara kelimpahan megabentos dengan persentase tutupan terumbu karang di Perairan Amed dengan nilai mendekati 0 mengindikasikan bahwa korelasi kelimpahan megabentos memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan persentase tutupan karang hidup. Menurut Cappenberg & Mahulette (2019) selain habitat, kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan sangat mempengaruhi kehadiran spesies megabentos pada ekosistem terumbu karang, sehingga rendahnya nilai korelasi pada penelitian ini diduga hubungan antara kelimpahan megabentos dengan persentase tutupan terumbu karang dipengaruhi oleh ketersediaan makanan (Tatipata & Mashoreng, 2019). Perhitungan dan grafik korelasi dapat dilihat pada Gambar 4.

0.35

0.3

0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

0

0.315

00.2.2975 .                              0.285

0.26                       0.265      •

0.23-∙...................................

R² = 0.0045

0.155 •

•   Kelimpahan Megabentos           % Tutupan Karang Hidup

0.05     0.1     0.15     0.2     0.25     0.3     0.35     0.4     0.45

Gambar 4. Korelasi Kelimpahan Megabentos dengan Persentase Tutupan Terumbu Karang

Boneka, F. B., & Mamangkey, N. G. F. (2013). Abundance of coral-polyp-eating gastropods Drupella cornus in Bunaken National Park, Indonesia: indicating anthropogenic impact? Aquatic Science & Management, 1(1), 17-20.

Cappenberg, H. A., & Mahulette, T. (2019). Sebaran dan kepadatan megabentos di Perairan Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, 11(2), 79-93.

Darsono, P. (2003). Sumber daya teripang dan pengelolaannya. Jurnal Oseana, 28(2), 1–9.

Giyanto, Manuputty, A. E., Abrar, M., Siringoringo, R. M., Suharti, S. R., Wibowo, K., Arbi, E. U. Y., Cappenberg, H. A. W., Tuti, H. F. S. Y., & Zulfianita, D. (2014). Panduan monitoring kesehatan terumbu karang. Jakarta, Indonesia: COREMAP CTI LIPI.

Harvey, J. T. (2008). Abudance. In Fath, S. E. J., & Brian, D. (Eds.). Encyclopedia of Ecology. USA: Academic Press, pp 4-10.

Hoeksema, B. W., & Putra, K. S. (2000, October). The reef coral fauna of Bali in the centre of marine diversity. In Proceedings of 9th International Coral Reef Symposium. Bali, Indonesia, 23-27 Oktober 2000 (pp. 173-178).

Kritsanapuntu, S., Chaitanawisuti, N., & Phophet, S. (2014). Field observations of shallow-water sea cucumbers in Gulf of Thailand and Andaman Sea. J. Bio. & Env. Sci, 42(4), 42-47.

Lalang, Sadarun, B., & Haya, L. O. M. Y. (2013). Kelimpahan drupella dan kondisi terumbu karang di Perairan Pulau Mandike Selat Tiworo Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia, 1(1), 12–22.

Manuputty, A. E. W., & Djuwariah. (2009). Panduan metode point intercept transect (PIT) untuk masyarakat studi baseline dan monitoring kesehatan karang di lokasi daerah perlindungan laut (DPL). Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Mulya, M. B. (2006). Kondisi terumbu karang hidup berdasarkan persen tutupan di Pulau Karang Provinsi Sumatera Utara dan hubungannya dengan kualitas perairan. Jurnal Komunikasi Penelitian, 18(2), 1– 6.

Munro, C. (2005). Diving Sytems. In A. Eleftheriou & A. McIntyre (Eds.). Methods for the Study of Marine Benthos. New York, USA: Blackwell Publishing Company, pp 112-159.

Mutaqin, B. W., Yuendini, E. P., Aditya, B., Rachmi, I. N., Fathurrizqi, M. I., Damayanti, S. I., Ahadiah, S. N., & Puspitasari, N. N. A. (2020). Kelimpahan megabentos sebagai indikator kesehatan karang di Perairan Bilik, Taman Nasional Baluran, Indonesia. Jurnal Enggano, 5(2), 181-194.

Oktarina, A., Kamal, E., & Suparno, S. (2015). Kajian kondisi terumbu karang dan strategi pengelolaannya di Pulau Panjang, Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat. Jurnal Natur Indonesia, 16(1), 22-31.

Setyono, D. E. D. (2006). Budidaya pembesaran udang karang (Panulirus spp.). Oseana, 31(4), 39-48.

Siringoringo, R. M., Satria, R., Hermanto, M. A. B., Wibowo, K., Ucu Arbi, M., Eka, W., Rahmawati, S., & Sutiad, R. (2014). Monitoring kesehatan terumbu karang dan kesehatan ekosistem terkait di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Jakarta, Indonesia: CRITC COREMAP - CTI LIPI.

Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung, Indonesia: Alfabeta.

Tatipata, K. P. B., & Mashoreng, S. (2019). Dampak kondisi karang terhadap struktur komunitas megabentos yang berasosiasi dengan terumbu karang Kepulauan Spermonde. Jurnal TORANI JFMarcSci, 3(1), 37-50.

Tawa, H., Mulyadi, A., & Thamrin. (2020). Kepadatan bintang laut berduri (Acanthaster Planci) pada ekosistem terumbu karang di Pulau Tikus Provinsi Bengkulu. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 25(1), 44–52.

Tuhumena, J. R., Kusen, J. D., & Paruntu, C. P. (2013). Struktur komunitas karang dan biota asosiasi pada kawasan terumbu karang di Perairan Desa Minanga Kecamatan Malalayang II dan Desa Mokupa Kecamatan Tombariri. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 3(1), 6-12.

Wardana, M. W., Sadarun, B., & Subhan. (2022). Hubungan kondisi terumbu karang dengan kepadatan megabentos di Perairan Desa Sawopudo, Kabupaten Konawe. Jurnal Sapa Laut (Jurnal Ilmu Kelautan), 7(1), 53-58.

Widiastiti, N. M. A., Arthana, I. W., & Astarini, I. A. (2021). Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di daerah wisata air Tanjung Benoa dan Jemeluk Amed, Bali. Ecotrophic, 15(1), 36–46.

Wulandari, A. T., Sadarun, B., & Palupi, R. D. (2020). Hubungan kelimpahan relatif karang hidup dengan kepadatan megabentos di Perairan Waworaha Sulawesi Tenggara. Jurnal Sapa Laut (Jurnal Ilmu Kelautan), 5(2), 131-138.

Yudasmara, G. A. (2014). Keanekaragaman dan dominansi komunitas bulu babi (echinoidea) di Perairan Pulau Menjangan Kawasan Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Sains dan Teknologi, 2(2), 213-220.

Yuniar, Z., Riyanini, I., Dewanti, L. P., Johan, O., & Ismail, M. R. (2023). Korelasi kelimpahan biota bentik pemakan karang terhadapkesehatan terumbu karang di Perairan Pulau Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Kelautan, 16(1), 17–29.

Zamani, N. P. (2015). Kondisi terumbu karang dan asosiasinya dengan bintang laut di Perairan Pulau Tunda, Kabupaten Seram, Provinsi Banten. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 6(1), 1-10.

84