Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980

HUBUNGAN ANTARA SIKAP KERJA DENGAN KELUHAN LOW BACK PAIN PADA PENGRAJIN GAMELAN DI DESA TIHINGAN

Pande Made Dwi Ayu Purnama*1, Putu Oka Yuli Nurhesti1, Meril Valentine Manangkot1

1Program Studi Sarjana Keperawatan dan Pendidikan Profesi Ners Fakultas Kedokteran Universitas Udayana *korespondensi penulis, e-mail: aypande17@gmail.com

ABSTRAK

Low back pain merupakan bagian dari gangguan muskuloskeletal yang sering terjadi selama aktivitas kerja. Keluhan low back pain banyak dialami oleh masyarakat umum dan paling banyak terjadi pada pekerja, salah satunya adalah pengrajin gamelan. Proses pembuatan gamelan yang melalui beberapa tahapan menimbulkan keluhan nyeri yang dirasakan pada tubuh. Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya nyeri tersebut yaitu sikap kerja. Sikap kerja yang tidak ergonomis akan meningkatkan risiko terjadinya low back pain pada pekerja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap kerja dengan keluhan low back pain pada pengrajin gamelan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif. Responden dalam penelitian ini berjumlah 57 orang, yang didapatkan dengan teknik total sampling. Sikap kerja dan keluhan low back pain diukur dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map (NBM) dan REBA. Analisa data menggunakan uji Spearman Rank. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan kuat dengan arah korelasi positif antara sikap kerja dengan keluhan low back pain pada pengrajin gamelan p-value < 0,0001 dengan nilai r = 0,653. Koefisien determinan menunjukkan hasil sebesar 42,6% yang berarti sikap kerja memiliki hubungan dengan keluhan LBP pada pengrajin gamelan sebesar 42,6% sehingga dalam hal ini pekerja pengrajin gamelan diharapkan lebih menyesuaikan posisi tubuh dan memperhatikan durasi dalam bekerja agar terhindar dari risiko kesehatan seperti low back pain.

Kata kunci: low back pain, pekerja, pengrajin gamelan, sikap kerja

ABSTRACT

Low back pain is a part of musculoskeletal disorders that often occur during work activities. Low back pain complaints are experienced among public and mostly occur among workers such as gamelan craftsman. The process of making gamelan through several stages causes pain that is felt in the body. One factor that influences the onset of pain is work attitude. Non-Ergonomic work attitude will increase the risk of low back pain among workers. This study aimed to determine the correlation between work attitude and low back pain complaints among gamelan craftsmen. This study was a correlative descriptive study. Total sampling was used to recruit 57 respondents. Work attitudes and low back pain complaints are measured using Nordic Body Map (NBM) and REBA questionnaires. Data analysis that used was the Spearman rank test. The result shows that there is a significant and strong correlation with positive direction between work attitudes and low back pain complaints among gamelan craftsmen with p-value < 0,0001, r = 0,653. The result also show that determinant coefficient is 42,6%, it means work attitude has a correlation with low back pain complaints among gamelan craftsmen by 42,6%, Thus, the gamelan craftworkers require to adjust with body position and control the work duration to escape from health risk, such as low back pain.

Keywords: craftsmen gamelan, low back pain, work attitude, workers

PENDAHULUAN

Low Back Pain (LBP) merupakan bagian dari musculoskeletal disorders yang sering terjadi dalam aktivitas kerja. Setiap individu merasakan keluhan nyeri yang berbeda, mulai dari ringan hingga sedang (Sembiring, Munthe, & Tarigan, 2019). Prevalensi LBP di dunia bervariasi diperkirakan sekitar 15-45%, sedangkan di Indonesia, belum dapat dipastikan jumlah angka kejadian LBP, dan diperkirakan sekitar 7,6-37%. Penduduk di Jawa Tengah yang berusia 65 tahun, sekitar 40% menderita dengan prevalensi 18,2% terjadi pada laki-laki dan sekitar 13,6% pada wanita (Wulandari dkk, 2017).

Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014-2015 dengan total 34 sampel, didapatkan sebanyak 61,8% LBP terjadi pada laki-laki dengan mayoritas bekerja sebagai wiraswasta (Cahya & Asmara, 2020). Penelitian lain yang juga dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar pada Maret 2016-Oktober 2017 didapatkan persentase terbanyak LBP pada usia 50-59 tahun dengan jenis kelamin laki-laki (Sari, Martadiani, & Asih, 2019).

Keluhan LBP dapat dialami oleh setiap orang. Keluhan ini biasanya banyak ditemukan pada pekerja karena masih banyak pekerja yang menggunakan teknik manual handling dalam bekerja (Benynda, 2016). Pekerja yang juga memiliki risiko mengalami LBP adalah pengrajin gamelan yang salah satunya terdapat di Desa Tihingan, Kabupaten Klungkung.

Proses pembuatan gamelan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Tihingan melalui beberapa tahapan. Dimulai dari membuat laklakan hingga penempaan atau disebut dengan ngebugin atau nguad. Tahap penempaan memakan waktu hingga 7-8 jam, dengan posisi berdiri terus-menerus dengan gerakan berulang untuk menjadikan lempengan bahan baku menjadi instrumen gamelan yang diinginkan. Situasi ini membuat pekerja mengeluh pegal pada lengan, punggung, dan kaki. Apabila pekerja mengalami keluhan ini, maka akan

memengaruhi kehidupannya sehari-hari terutama pekerjaan sehingga dibutuhkan tindakan atau upaya dalam mengatasi masalah LBP. Upaya yang dapat dilakukan adalah menurunkan faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya LBP.

Risiko tinggi terjadinya LBP pada pekerja disebabkan oleh pengaruh dari beberapa faktor, diantaranya faktor individu, lingkungan, ataupun pekerjaan. Faktor individu yaitu usia, jenis kelamin, IMT, dan aktivitas fisik, sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan tempat kerja dan faktor pekerjaan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya LBP yakni sikap kerja (Hadyan, 2015).

Sikap kerja yang normal merupakan sikap kerja yang sesuai dengan anatomi serta tidak menyebabkan terjadinya penekanan atau pergeseran pada organ tubuh, saraf, tendon, maupun tulang (Tarwaka, 2004). Sikap tubuh yang meliputi sikap punggung membungkuk, sikap tubuh membungkuk sambil menyamping, sikap berdiri yang terlalu lama dengan beban yang berlebihan, sikap duduk yang kurang tepat dan terlalu lama saat bekerja akan menyebabkan kekakuan dan ketegangan otot dan ligamen tulang belakang (Koesyanto, 2013).

Berdasarkan hasil wawancara pada 11 orang dinyatakan bahwa mereka bekerja setiap harinya selama 7-8 jam dengan posisi berdiri, duduk, serta membungkuk dan dari 11 responden, 8 diantaranya mengeluhkan sakit pada punggung bawah setelah bekerja. Dampak yang dapat ditimbulkan apabila pekerja mengalami masalah ini, antara lain menurunkan tingkat produktivitas kerja serta kualitas pekerjaan. Secara tidak langsung juga dapat meningkatkan risiko kecelakaan pada saat bekerja. Mengusung latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti bertujuan meneliti tentang apakah sikap kerja memiliki hubungan dengan keluhan LBP pada pengrajin gamelan yang ada di wilayah Desa Tihingan, Klungkung.

METODE PENELITIAN

Studi deskriptif korelatif merupakan metode penelitian dengan desain penelitian analitik cross sectional. Pengrajin atau pemande gamelan di Desa Tihingan merupakan populasi dalam penelitian ini dengan pemilihan sampel berupa total sampling dan didapatkan sebanyak 57 pengrajin gamelan sebagai sampel dalam penelitian ini.

Kuesioner Nordic Body Map (NBM) dan Rapid Entire Body Assessment (REBA) dipergunakan sebagai instrumen dalam pengumpulan data. Keluhan nyeri yang dirasakan responden diukur menggunakan kuesioner NBM dan sikap kerja pengrajin gamelan ketika bekerja diukur menggunakan kuesioner REBA. Kuesioner NBM merupakan instrumen baku yang dibuat oleh Kourinka dkk pada tahun 1987 untuk mengetahui nyeri muskuloskeletal. REBA merupakan metode yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Lynn McAtamney di Rumah Sakit Nottingham United Kingdom pada tahun 2000 yang merupakan hasil kerja yang dilakukan dengan tim ahli ergonomis, fisioterapi, dan perawat dengan

HASIL PENELITIAN

Tabel 1 memaparkan tentang hasil dari penelitian mengenai karakteristik dari responden.

menggunakan 600 sampel. Kuesioner NBM dan REBA merupakan instrumen baku yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya serta digunakan secara luas khususnya di industri layanan kesehatan (Stanton dkk, 2004).

Pengumpulan data LBP dengan kuesioner NBM dilakukan hanya satu kali pada responden dengan menghubungi setiap pekerja pengrajin gamelan. Data sikap kerja didapatkan dengan menghubungi pemilik usaha gamelan untuk mengumpulkan foto dan video pengrajin ketika bekerja. Informed consent diisi oleh pekerja sebelum pengisian kuesioner.

Uji korelasi Spearman Rank dipergunakan dalam analisis data pada penelitian ini, karena uji normalitas menunjukkan kedua variabel yakni keluhan LBP dan sikap kerja tidak terdistribusi normal. Komisi Etik Penelitian RSUP Sanglah Denpasar dengan dokumen no. 1102/UN14.2.2.VII.14/L/T/ 2020 telah memberikan persetujuan sebagai legalitas dalam melaksanakan penelitian ini.

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden

No

Variabel

Frekuensi (N)

Persentase (%)

1.

Usia

17-25 tahun

4

7,0

26-35 tahun

4

7,0

36-45 tahun

20

35,1

46-55 tahun

19

33,3

56-65 tahun

10

17,5

Total

57

100,0

2.

Jenis Kelamin

Laki-laki

57

100,0

Total

57

100,0

3.

IMT

Normal (18,8-22,0)

27

47,4

Overweight (22,0-24,9)

19

33,3

Obese I (25,0-29,9)

10

17,5

Obese II (≥30)

1

1,8

Total

57

100,0


4.   Masa Kerja

<5 tahun

12

21,1

5-10 tahun

8

14,0

11-20 tahun

18

31,6

21-30 tahun

14

24,6

>30 tahun

5

8,8

Total

57

100,0

Hasil yang ditunjukkan pada tabel 1 menyatakan responden sebagian besar berusia 36-45 tahun yakni dengan jumlah 20 responden (35,1%), semua responden yang bekerja sebagai pengrajin gamelan

berjenis kelamin laki-laki, dan sebagian besar memiliki IMT normal yakni 27 responden (47,4%), dengan masa kerja paling banyak 11-20 tahun yakni 18 responden (31,6%).


Tabel 2. Distribusi Karakteristik Sikap Kerja Pengrajin Gamelan di Desa Tihingan Klungkung Berdasarkan Kategori

Variabel

Frekuensi (N)

Persentase (%)

Risiko rendah

0

0

Risiko sedang

32

56,1

Risiko tinggi

23

40,4

Risiko sangat tinggi

2

3,5

Total

57

100,0

Hasil yang ditunjukkan pada tabel 2, menyatakan bahwa mayoritas responden yakni pengrajin gamelan memiliki sikap

kerja risiko sedang responden (56,1%).

yaitu sebanyak 32

Tabel 3. Distribusi Karakteristik LBP pada Pengrajin Gamelan di Desa Tihingan Klungkung Berdasarkan Kategori


Variabel

Frekuensi (N)

Persentase (%)

Tidak ada risiko

0

0

Risiko rendah

39

68,4

Risiko sedang

18

31,6

Risiko tinggi

0

0

Risiko sangat tinggi

0

0

Total

57

100,0

Tabel 3 menunjukkan mayoritas

rendah yaitu

sebanyak 39 responden

responden  yakni  pengrajin  gamelan

(68,4%).

memiliki keluhan LBP dengan risiko


Tabel 4. Analisis Hubungan Antara Sikap Kerja dengan Keluhan LBP pada Pengrajin Gamelan di Desa Tihingan, Klungkung

Variabel

N

Median (Min-Max)

p-value

r

R

Sikap Kerja

7 (4-11)

< 0,0001

0,653

42,6%

Low Back Pain

57

44 (33-55)


Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan nilai tengah sikap kerja yakni 7 dengan nilai minimum dan maksimum secara berurutan yakni 4 dan 11. Nilai tengah LBP yakni 44 dengan nilai minimum dan maksimum secara berurutan yakni 33 dan 55. Nilai p-value yang ditunjukkan pada hasil uji statistik adalah < 0,0001, hal ini berarti p-value ≤ 0,05. Dengan demikian, hipotesis (H0) ditolak. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan arah korelasi positif

antara sikap kerja dengan LBP pada pengrajin gamelan di Desa Tihingan, Klungkung.

Adapun kekuatan hubungan antara kedua variabel yaitu 0,653 yang menunjukkan hubungan yang kuat. Koefisien determinan dari kedua variabel yaitu 42,6% yang artinya terdapat hubungan antara variabel sikap kerja dengan keluhan LBP pada pengrajin gamelan sebesar 42,6%.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada rentang usia 36-45 tahun sebanyak 20 responden (35,1%). Berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2018, usia produktif yaitu usia 15-54 tahun sehingga pekerja pengrajin gamelan dalam usia ini dapat melakukan pekerjaannya dalam membuat gamelan secara optimal.

Pengrajin gamelan yang menjadi responden dalam penelitian ini seluruhnya berjenis kelamin laki-laki, karena sejak dulu pekerjaan sebagai pengrajin gamelan memang dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, pekerjaan ini lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati (2015), bahwa kekuatan fisik pada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan.

Berdasarkan IMT, mayoritas responden memiliki IMT yaitu normal sebanyak 27 (47,4%). Hal ini karena selain pekerja pengrajin gamelan melakukan aktivitas membuat gamelan setiap harinya, mereka juga melakukan aktivitas lainnya, sehingga lebih banyak pekerja yang memiliki IMT normal dibandingkan dengan overweight. Adanya peningkatan IMT dapat menyebabkan meningkatnya tekanan mekanik pada struktur-struktur tubuh yang bertugas menopang massa tubuh sehingga menimbulkan kelelahan dan cedera pada struktur penyusun muskuloskeletal (Tandirerung, Male, & Mutiarasari, 2019).

Apabila dilihat dari masa kerja, pengrajin gamelan yang menjadi responden, mayoritas memiliki masa kerja yakni 11-20 tahun sebanyak 18 responden (31,6%). Hal ini disebabkan karena kerajinan membuat gamelan di Desa Tihingan sudah dilakukan secara turun-temurun, sehingga masyarakat di Desa Tihingan berusaha untuk tetap melestarikan budaya ini dengan bekerja sebagai pengrajin gamelan selain menjadikan keterampilan ini sebagai mata pencarian utama.

Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden memiliki sikap kerja dengan risiko sedang, yaitu sejumlah 32 orang (56,1%). Sikap kerja pada pengrajin gamelan yakni dengan posisi duduk dan juga berdiri serta membungkuk. Posisi berdiri dilakukan dengan menekuk satu atau kedua kakinya. Posisi duduk maupun berdiri ini dilakukan saat membentuk bahan kerawang menjadi sebuah gamelan menggunakan alat dengan berat sekitar 7-8 kg. Pembentukan kerawang menjadi sebuah gamelan ini dilakukan secara berulang-ulang.

Posisi berdiri lebih banyak ditemukan pada pengrajin gamelan ketika bekerja. Posisi berdiri lebih nyaman dirasakan pekerja dibandingkan dengan posisi duduk. Hal ini karena saat bekerja, pengrajin harus menopang beban alat yang digunakan untuk membentuk kerawang menjadi gamelan. Pengrajin bekerja dengan posisi berdiri kurang lebih 3-4 menit. Hal ini berlangsung kurang lebih selama 4-8 jam. Durasi selama 4-8 jam tersebut, akan menyebabkan elastisitas otot berkurang dan menyebabkan tekanan pada otot dan menimbulkan ketidaknyamanan karena ketika berdiri dengan satu kaki, tubuh hanya dapat mentolerir selama 20 menit (Susanti, Hartiyah, & Kuntowanto, 2015).

Selain posisi berdiri, posisi duduk membungkuk juga terlihat pada pengrajin gamelan. Posisi duduk yang salah akan memiliki masalah pada bagian punggung, karena ketika anggota gerak atas melakukan aktivitas, maka beban anggota gerak atas akan ditahan oleh otot-otot punggung, dengan demikian daerah pinggang menjadi tumpuan dari beban kerja. Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti dkk (2019), duduk membungkuk akan menyebabkan otot-otot erektor spina berkontraksi lebih sering dan lebih cepat sehingga akan menyebabkan ketegangan yang berlebihan. Sementara itu, gerakan berulang-ulang pada saat pekerja melakukan aktivitasnya

juga akan menimbulkan kelelahan dan ketegangan pada otot tendon.

Lamanya durasi kerja pada pengrajin gamelan yaitu sekitar 4-8 jam, namun jam kerja bisa melebihi 8 jam apabila pekerja mengejar target untuk menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat. Pekerja yang bekerja waktu penuh (≥ 8 jam) maka akan mendapat waktu istirahat ≤ 1 jam dan terdapat waktu jeda selama membuat kerawang selama 2 menit. Meskipun terdapat waktu istirahat hal ini tetap memiliki risiko terjadinya LBP, karena pekerja seharusnya memiliki durasi kerja maksimal 8 jam/hari, dengan durasi waktu istirahat adalah 1 jam (Utami, Karimuna, & Jufri, 2017).

Sikap kerja dengan risiko sedang hingga tinggi pada pengrajin gamelan juga disebabkan karena adanya tuntutan tugas pengrajin dalam bekerja. Meskipun pekerja yang bertugas sebagai “tukang sepit” bekerja menggunakan kursi, namun kursi yang digunakan belum memenuhi standar kursi yang ergonomis. Pekerja sebagai “tukang sepit” duduk menggunakan kursi tanpa sandaran karena pekerja bekerja membungkuk untuk menjepit bahan kerawang yang ada di depannya dengan posisi lebih rendah dari posisi pekerja dan ketinggian kursi tidak mencapai 41-45 cm, serta beberapa kursi terlihat memiliki lebar bantalan lebih kecil dari lebar pinggul. Kursi yang ergonomi adalah kursi yang memiliki ukuran sesuai dengan pekerja, memiliki ketinggian sekitar 41,44-44,7 cm, terdapat sandaran punggung dan sandaran tersebut menyangga lengkungan pinggang serta lebar dudukan kursi sesuai dengan karyawan atau pekerja yang menggunakannya (Kemenkes RI, 2018). Meskipun demikian, pekerjaan sebagai pengrajin gamelan memang dilakukan dengan posisi sedemikian rupa dan sulit untuk dilakukan perubahan, termasuk dalam penggunaan kursi. Selain itu, pekerja yang menempa kerawang lebih banyak berdiri juga disebabkan karena tempat kerja yang kurang memadai seperti area kerja yang sempit.

Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden memiliki keluhan LBP rendah sebanyak 39 responden (68,4%). Pengrajin gamelan di Desa Tihingan lebih banyak mengalami LBP dengan risiko rendah karena bekerja dengan posisi yang tidak ergonomis serta sebagian besar pengrajin hanya merasakan sakit pada beberapa bagian tubuh terutama bagian ekstremitas atas.

Kekuatan fisik dan kesegaran jasmani juga merupakan hal yang dapat mempengaruhi terjadinya keluhan muskuloskeletal pada pekerja. Kekuatan otot yang lebih besar yang dimiliki oleh pekerja menyebabkan pekerja mempunyai risiko yang lebih rendah mengalami LBP dibandingkan dengan pekerja yang memiliki kekuatan otot yang lemah dan apabila pekerja memiliki pekerjaan yang harus mengerahkan tenaga yang besar namun tidak memiliki waktu untuk istirahat yang cukup akan lebih besar berisiko untuk mengalami LBP (Tarwaka, 2004).

Hubungan yang signifikan dengan arah korelasi positif kuat antara sikap kerja dengan LBP pada pengrajin gamelan ditunjukkan pada hasil uji statistik. Hasil penelitian yang didapatkan berhubungan positif dengan penelitian dari Suryadi & Rachmawati (2020) mendapatkan hasil serupa yang meneliti tentang hubungan kedua variabel yang sama seperti halnya di penelitian ini, yang dilakukan di PT X, yakni adanya hubungan antara kedua variabel, yaitu sikap kerja dan LBP pada pekerja di PT X (p = 0,047).

Pekerja pengrajin gamelan ketika melaksanakan aktivitas kerja dengan sikap kerja yang tidak ergonomi, maka risiko mengalami LBP akan lebih besar. Hasil pengukuran dengan menggunakan kuesioner REBA menunjukkan sebagian pengrajin bekerja pada posisi leher fleksi lebih dari 15°, posisi punggung fleksi 2060°, lengan atas fleksi 20°-45°, lengan bawah fleksi <60° dan melebihi 100°, pergelangan tangan fleksi serta kaki yang ditekuk. Pengrajin yang bekerja dengan posisi leher fleksi lebih dari 15° karena

bahan kerawang yang ditempa dan dijepit berada di bawah pandangan mata sedangkan posisi punggung fleksi ini juga disebabkan karena bahan kerawang harus ditempa oleh pengrajin untuk membentuk suatu gamelan dengan gerakan berulang serta posisi ini dilakukan saat pengrajin membuat “laklakan”, sehingga hal ini membuat pengrajin yang menempa kerawang lebih banyak dengan posisi berdiri membungkuk. Selain itu, lengan atas fleksi dan lengan bawah fleksi pada saat pengrajin bekerja karena mereka menggunakan alat palu besi yang memiliki berat 7-8 kg untuk menempa kerawang menjadi bentuk gamelan baru.

Menurut Irzal (2016), posisi alamiah ketika berdiri yaitu tulang belakang vertikal atau lurus dan kedua kaki menumpu berat badan. Selain itu, leher ketika bekerja dalam posisi fleksi tidak melebihi 20° atau memutar, punggung tidak membungkuk dan lengan tidak terlalu lama pada posisi ke depan atau ke samping. Apabila pengrajin bekerja dengan sikap kerja tidak ergonomi maka akan mengakibatkan timbulnya nyeri. Hasil pengukuran dengan NBM, didapatkan bahwa sebagian besar pengrajin pada daerah leher, punggung, pinggang, bagian lengan atas dan bawah serta pada daerah pergelangan tangan, mengalami nyeri.

Nyeri pada punggung juga timbul karena pengrajin gamelan bekerja dengan

SIMPULAN

Penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa sikap kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan LBP pada

DAFTAR PUSTAKA

Benynda, T. (2016). Hubungan cara kerja angkat dengan keluhan low back pain pada porter di pasar tanah abang blok A jakarta pusat tahun 2016. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 1-37. https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-7149-ABSTRAK.pdf

Budianto., Prasetio, D.E.A., & Herlina, KN. (2020). Perbaikan Postur Kerja Aktivitas Manual Material Handling Industri Kecil Tahu dengan Metode Ovako Work Posture Analysis System (OWAS). Jurnal Baut dan

sikap posisi berdiri dan membungkuk. Sikap kerja tersebut lebih berisiko mengalami keluhan LBP. Hal ini sejalan dengan yang terjadi pada pengrajin gamelan, dimana keluhan nyeri lebih banyak dirasakan pada daerah punggung dibandingkan dengan ekstremitas bawah seperti lutut ataupun kaki. Selain posisi berdiri, pengrajin gamelan juga bekerja dengan posisi tubuh duduk dan membungkuk. Tubuh dalam posisi duduk membungkuk atau lebih merosot ke depan dapat menurunkan aktivitas otot, namun akan menyebabkan meningkatnya tekanan pada diskus. Penelitian Rininingrum & Widowati (2016), menunjukkan bahwa tekanan diskus lebih besar terjadi pada posisi duduk membungkuk ke depan dibandingkan dengan duduk tegak sebesar 190%.

Berdasarkan dari penelitian-penelitian terdahulu, LBP dapat terjadi pada pekerja dilihat dari bagaimana posisi kerja atau sikap kerja seseorang saat bekerja. Dilihat dari posisi kerja pengrajin gamelan, dimana posisi tersebut lebih banyak menunjukkan posisi yang tidak ergonomis seperti posisi berdiri membungkuk, duduk membungkuk, leher menunduk dan menopang alat yang digunakan dengan berat 7-8 kg dengan gerakan yang dilakukan secara berulang sehingga lebih besar menimbulkan LBP.

pengrajin gamelan yang ada di wilayah Desa Tihingan Klungkung (p-value = 0,000; r = 0,653).

Manufaktur,     2(1),     45-51.     Doi:

https://doi.org/10.34005/bautdanmanufaktur. v2i1.963

Cahya, I.P.I.,  & Asmara, A.A.G.Y. (2020).

Prevalensi nyeri punggung bawah pada tahun 2014-2015 di RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal Medika Udayana, 9(6),

35-39.           Retrieved           from:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

Dewi, K.P.P., Sutresna, K., & Susila, M.D.P.

(2017). Pengaruh back massage terhadap

tingkat nyeri low back pain pada kelompok tani semangka mertha abadi di Desa Yeh Sumbul. CARING,  1(2),   13-21. doi:

https://doi.org/10.36474/caring.v1i2.3

Hadyan, M.F. (2015). Faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian low back pain pada pengemudi transportasi publik. Majority, 4(7),  19-24.           Retrieved from :

http://juke.kedokteran.unila.ac.id/

Irzal. (2016). Dasar-dasar kesehatan dan keselamatan kerja (ed 1). Jakarta: KENCANA. https://books.google.co.id/

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI). (2018). Profil kesehatan Indonesia tahun 2017. Jakarta. Kemenkes RI. Retrived from: https://www.kemkes.go.id/resources/downlo ad/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-tahun-2017.pdf

Kesyanto, H. (2013). Masa kerja dan sikap kerja duduk terhadap nyeri punggung. Jurnal Kesehatan Masyarakat,   9(1),   9-14.

Retrieved                           from:

https://www.neliti.com/publications/25397/ masa-kerja-dan-sikap-kerja-duduk-terhadap-nyeri-punggung

Kuorinka., Jonsson, B., Kilbom, A., Vinterberg, H., & dkk. (1987). Standardised Nordic questionnaired for the analysis of musculoskeletal     symtoms.     Applied

Ergonomics,   18(3),   233-237. Doi :

https://doi.org/10.1016/00036870(87)90010-X

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 48 Tahun 2016. (2016, September 28). Retrieved

from: http://www.kesjaor.kemkes.go.id

Rininingrum, H., & Widowati, E. (2016). Pengaruh sikap kerja, usia, dan masa kerja terhadap keluhan low back pain. Jurnal Pena Medika, 6(2),             91-102.             Doi:

http://dx.doi.org/10.3194/pmjk.v6i2.39

Sari, K.M.T., Martadiani, E.D., & Asih, M.W.

(2019). Karakteristik temuan radiologis pada pasien low back pain di RSUP Sanglah Denpasar periode Maret 2016 - Oktober

2017. Intisari Sains Medis, 10(1), 43-47.

Doi: https://doi.org/10.15562/ism.v10i1.235

Sembiring, D. (2019). Pengaruh sikap kerja dan motivasi kerja terhadap kinerja dosen di yayasan perguruan nasional medicom. Jurnal Teknik Informatika Unika St Thomas (JTIUST),     3(2),      108-118.     doi:

http://dx.doi.org/10.17605/jti.v3i2.296

Stanton, N., Hedge, A., Brookhuis, K., Salas, E ., & Hendrick, H. (2004). Handbook of human factors and ergonomics methods. New York:

CRC     Press.     Retrieved     from:

https://books.google.co.id

Sulistyowati, T. (2015). Model pemberdayaan perempuan     dalam     meningkatkan

profesioalitas dan daya saing untuk menghadapi komersialisasi dunia kerja. Jurnal Perempuan dan Anak, 1(1), 1-11.

Retrieved                           from:

http://202.52.52.22/index.php/JPA/article/vi ew/2748

Suryadi, I., & Rahcmawati, S. (2020). Work

posture relations with low back pain complain on partners part of PT “X” manufacture tobacco products. Journal of Vocational Helath Studies, (3),126-130. Doi: 10.20473/jvhs.V3I3.2020

Susanti, N., Hartiyah., & Kuntowanto, D. (2015). Hubungan berdiri lama dengan keluhan nyeri punggung bawah miogenik pada pekerja kasir di Surakarta. Jurnal Pena Medika,       5(1),       60-70.       doi:

http://dx.doi.org/10.3194/pmjk.v5i1.346

Tandirerung, F.J., Male, H.D.C., & Muatiarasari, D. (2019). Hubungan  indeks massa tubuh

terhadap gangguan muskuloskeletal pada pasien pralansia dan lansia di Puskesmas Kamonji Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako, 5(2),      9-17.      Retrieved      from:

http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/He althyTadulako/article/view/12896

Tarwaka., Bakri, S.,  & Sudiajeng. (2004).

Ergonomi untuk keselamatan kerja dan produktivitas (ed 1). Surakarta: Uniba Press.

Utami, U., Karimuna, S.R., & Jufri, N. (2017). Hubungan lama kerja, sikap kerja, dan beban kerja dengan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada petani pada di Desa Ahuhu Kecamatan Meluhu Kabupaten Konawe tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan   Masyarakat,   2(6),   1-10.

Retrieved                           from:

http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMKESMAS/ article/viewFile/2921/2179

Wijayanti, F., Oktafany., Ramadhian, M.R., Saftarina, F., & Cania, E. (2019). Kejadian Low Back Pain (LBP) pada Penjahit Konveksi di Kelurahan Way Halim Kota Bandar Lampung. Medula, 8(2), 82-88.

Retrieved                           from:

http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/ medula/article/view/2175

Wulandari, M., Setyawan, D., & Zubaidi, A.

(2017). Faktor risiko low back pain pada mahasiswa jurusan ortotik politeknik kesehatan surakarta. Jurnal Keterapian Fisik,   2(1),   01-61. Retrieved from:

https://jurnalempathy.com

Volume 11, Nomor 5, Oktober 2023

427