Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN GANGGUAN JIWA

Meri Kastini*1, Fera Novitry1, Eko Heryanto1

Program Studi S-1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma’arif Baturaja *korespondensi penulis, e-mail: kastinimeri@gmail.com

ABSTRAK

Seseorang berpotensi terkena gangguan jiwa cukup tinggi. Setiap saat 450 juta orang di seluruh dunia terkena masalah kesehatan jiwa, saraf, maupun perilaku. Kesembuhan pasien dipengaruhi kepatuhan terhadap program pengobatan dimana pasien yang patuh kontrol pada masa rawat jalan sangat dipengaruhi dukungan dari anggota keluarga karena dapat meminimalisir kecemasan oleh penyakit tertentu dan mencegah ketidakpatuhan. Untuk Puskesmas Pajar Bulan dari 62 pasien gangguan jiwa, hanya 32 pasien (51,6%) yang rutin melakukan kunjungan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Sampel adalah seluruh pasien gangguan jiwa yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Pajar Bulan Kabupaten Muara Enim pada bulan Januari-Maret 2023 berjumlah 62 pasien. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi square. Berdasarkan analisis univariat diperoleh hasil terdapat 30 (48,4%) responden yang tidak patuh minum obat, bahwa terdapat 29 (46,8%) responden dengan pengetahuan tidak baik, terdapat 35 (56,5%) responden dengan kategori dukungan keluarga tidak mendukung, terdapat 26 (41,9%) responden menyatakan peran petugas kesehatan tidak baik, dan terdapat 28 (45,2%) responden dengan akses ke pelayanan kesehatan jauh. Analisis bivariat diperoleh hasil variabel pengetahuan dengan p-value 0,000; dukungan keluarga dengan p-value 0,004; peran petugas kesehatan dengan p-value 0,001; dan akses ke pelayanan kesehatan dengan p-value 0,000. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, dukungan keluarga, peran petugas kesehatan, dan akses ke pelayanan kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa.

Kata kunci: akses pelayanan kesehatan, dukungan keluarga, gangguan jiwa, pengetahuan, peran petugas kesehatan

ABSTRACT

A person's potential for mental illness is quite high. Every time 450 million people around the world are affected by mental, nervous, and behavioral health problems. Patient recovery is influenced by adherence to treatment programs where patients who adhere to control during the outpatient period are greatly influenced by support from family members because it can minimize anxiety by certain diseases and prevent non-compliance. For Pajar Bulan Health Center, out of 62 patients with mental disorders, only 32 patients (51,6%) routinely make visits to get health services. The research design used was cross sectional. The sample was all mental patients who were in the Pajar Bulan Health Center Working Area of Muara Enim Regency in January-March 2023, totaling 62 patients. The statistical test used is the chi square test. Based on univariate analysis, it was found that there were 30 (48,4%) respondents who were not compliant with taking medication, that there were 29 (46,8%) respondents with poor knowledge, that there were 35 (56,5%) respondents with a category of unsupportive family support, that there were 26 (41,9%) respondents stated that the role of health workers was not good, and there were 28 (45,2%) respondents with access to health services far away. Bivariate analysis obtained the results of knowledge variables with p-value 0,000; family support with p-value 0,004; the role of health workers with p-value 0,001; and access to health services with p-value 0,000. From the results obtained it can be concluded that there is a significant relationship between knowledge, family support, the role of health workers, and access to health services with compliance with taking medication in patients with mental disorders.

Keywords: access to health services, family support, knowledge, mental disorders, role of health workers

PENDAHULUAN

Gangguan jiwa sering dianggap sebagai masalah yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun berefek pada kesehatan fisik dalam waktu lama sehingga akan menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan perawatan diri, risiko bunuh diri, dan berisiko mencederai diri sendiri serta orang lain. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan bagi orang tersebut sehingga tidak dapat produktif secara sosial dan ekonomi (Pramana dan Herdiyanto, 2018).

Data statistik yang dikemukakan oleh World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa masalah kesehatan jiwa saat ini setiap tahunnya meningkat, dimana 25% dari penduduk dunia terkena masalah kesehatan gangguan jiwa, 1% diantaranya adalah gangguan jiwa berat. WHO regional Asia Pasifik (WHO SEARO) mencatat India negara terbanyak dengan kejadian gangguan depresi mencapai 56.675.969 kasus atau sekitar 4,5% dari populasi dan terendah di Maldives yaitu sekitar 12.739 kasus atau 3,7% dari total populasi. Seseorang berpotensi terkena serangan gangguan jiwa memang cukup tinggi, setiap saat 450 juta orang diseluruh dunia terkena masalah kesehatan jiwa, saraf, maupun perilaku (Rokayah, 2021).

Data Riskesdas (2018) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dilakukan pada 300.000 sampel rumah tangga (1,2 juta jiwa) di 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Dari sejumlah data dan informasi kesehatan, poin tentang gangguan jiwa mengungkap peningkatan proporsi cukup signifikan. Sebab, jika dibandingkan dengan Riskesdas (2013) naik dari 1,7 persen menjadi 7 persen. Artinya per 1.000 rumah tangga terdapat 7 rumah tangga yang memiliki ODGJ, sehingga jumlahnya diperkirakan sekitar 450 ribu ODGJ berat (Ditjen P2P Kemenkes, 2020).

Riskesdas (2018) menyatakan bahwa prevalensi gangguan jiwa yang tinggi ada di Provinsi Bali, dan Yogyakarta dengan prevalensi menunjukkan angka 11,1% dan 10,4%. Provinsi Sulawesi Selatan berada pada peringkat 5 terbanyak penderita skizofrenia yaitu sekitar 8,8%. Sedangkan pada tahun 2020 ada sebanyak 277 ribu kasus gangguan jiwa. Jadi jumlah kasus gangguan jiwa terjadi peningkatan dari tahun 2021 yang hanya 197 ribu orang (Syisnawati, 2022).

Dari data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, terhitung dari tahun 2020-2021 saat ini, jumlah pasien dengan gangguan jiwa berat (ODGJ Berat) terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2020, berjumlah 16.385 orang (0,19%), dan di tahun 2021, naik lagi menjadi 17.126 orang (0,20%). Saat ini pasien terbanyak dengan gangguan psikotik, dimana dengan persentase jumlah mencapai 75%, sisanya 25% lagi terbagi dalam pasien dengan gangguan neurotik, retardasi, gangguan jiwa bayi, dan penyakit jiwa lainnya (Dinkes Provinsi Sumsel, 2019).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim tahun 2022, dari 22 puskesmas yang berada di Kabupaten Muara Enim terdapat 3 puskesmas dengan kasus gangguan jiwa yang tertinggi, yaitu Puskesmas Tanjung Agung dengan 111 kasus (0,19%) dari 57.000 jumlah penduduk, kemudian Puskesmas Benakat dengan 31 kasus (0,149%) dari 22.000 jumlah penduduk dan Puskesmas Gelumbang dengan 128 kasus (0,145%) dari 88.000 jumlah penduduk. Sedangkan berdasarkan tingkat kepatuhan minum obat penderita gangguan jiwa Puskesmas Tanjung Agung sebesar 75,3%, Puskesmas Benakat 71,6% dan Puskesmas Gelumbang sebesar 68,4%. Untuk Puskesmas Pajar Bulan, dari 62 pasien gangguan jiwa, hanya 32 pasien (51,6%) yang rutin melakukan kunjungan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan lebih rendah dibandingkan dengan ketiga puskesmas di atas. Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian di Puskesmas Pajar Bulan untuk

mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa.

Kesembuhan pasien dipengaruhi kepatuhan terhadap program pengobatan dimana pasien yang patuh kontrol pada masa rawat jalan sangat dipengaruhi dukungan dari anggota keluarga karena dapat meminimalisir kecemasan oleh penyakit tertentu dan mencegah ketidakpatuhan. Pengetahuan keluarga terhadap kesehatan pasien gangguan jiwa berdampak besar dalam proses penyembuhannya. Faktor lingkungan sosial juga berperan penting terhadap kepatuhan pasien diantaranya adalah kemudahan akses menjangkau tempat pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang memberikan motivasi dalam proses penyembuhan pasien gangguan jiwa (Ernia, 2020).

Berdasarkan survei pendahuluan, masih banyak ditemukan pasien ODGJ

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, desain yang digunakan adalah rancangan cross sectional. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan variabel independen yaitu pengetahuan keluarga, dukungan keluarga, peran petugas kesehatan, dan akses ke pelayanan kesehatan. Variabel dependen yaitu kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa.

Populasi adalah seluruh pasien gangguan jiwa yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Pajar Bulan Kabupaten Muara Enim berjumlah 62 pasien. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama bulan Mei - Agustus 2023. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Instrumen dalam

yang dibawa keluarganya berobat ke dukun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya rendahnya tingkat pengetahuan, selain itu faktor kepercayaan dan adat istiadat masih kuat dipercaya oleh masyarakat setempat. Masih ada orang yang menganggap ODGJ adalah roh jahat. Akibatnya, penderita gangguan jiwa dikucilkan karena dianggap memalukan keluarga. Adanya logika yang salah dalam masyarakat mengenai ketidaktahuan ini menuju kepada suatu tindakan yang tidak membantu dalam mempercepat pemulihan bagi orang penderita gangguan jiwa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Pajar Bulan Kabupaten Muara Enim tahun 2023.

penelitian menggunakan kuesioner. Jumlah pertanyaan dalam instrumen sekitar 20-25 pertanyaan. Instrumen ini digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat-obatan gangguan jiwa. Setiap pertanyaan memiliki skala jawaban yang dapat berupa "Ya/Tidak" dan multiplechoice. Nilai-nilai yang diberikan pada setiap jawaban bisa dijumlahkan atau dihitung rata-rata untuk mengukur masing-masing variabel. Pengumpulan data satu kali waktu (cross-sectional) dilakukan pada satu titik waktu tertentu. Responden diwawancarai atau diminta mengisi kuesioner dalam satu sesi tertentu. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian, prosedur yang dilakukan, dan hak-hak responden dengan jelas.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Pajar Bulan Kabupaten Muara Enim tahun 2023

Variabel

Kategori

n

%

Kepatuhan minum obat pada pasien

Tidak patuh

30

48,4

gangguan jiwa

Patuh

32

51,6

Pengetahuan

Tidak baik

29

46,8

Baik

33

53,2

Dukungan keluarga

Tidak mendukung

35

56,5

Mendukung

27

43,5


Peran petugas kesehatan

Tidak baik

26

41,9

Baik

36

58,1

Akses ke pelayanan kesehatan

Jauh

28

45,2

Dekat

34

54,8


Tabel 1 menunjukkan hasil terdapat 30 (48,4%) responden yang tidak patuh minum obat, bahwa terdapat 29 (46,8%) responden dengan pengetahuan tidak baik, terdapat 35 (56,5%) responden dengan kategori dukungan keluarga tidak

mendukung, bahwa terdapat 26 (41,9%) responden menyatakan peran petugas kesehatan tidak baik, dan terdapat 28 (45,2%) responden dengan akses ke pelayanan kesehatan jauh.

Tabel 2. Analisis Hubungan Variabel Independen dengan Variabel Dependen di Wilayah Kerja Puskesmas Pajar Bulan Kabupaten Muara Enim tahun 2023

No

Variabel Independen

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Gangguan Jiwa

Total

p-value

Tidak patuh

Patuh

1.

Pengetahuan

1. Tidak Baik

24

5

29

(82,8%)

(17,2%)

(100%)

0,000

2. Baik

6

27

33

(18,2%)

(81,8%)

(100%)

Jumlah

30

32

62

(48,4%)

(51,6%)

(100%)

2.

Dukungan keluarga

1. Tidak mendukung

23

12

35

(65,7%)

(34,3%)

(100%)

0,004

2. Mendukung

7

20

27

(25,9%)

(74,1%)

(100%)

Jumlah

30

32

62

(48,4%)

(51,6%)

(100%)

3.

Peran petugas kesehatan

1. Tidak baik

20

6

26

(76,6%)

(23,1%)

(100%)

0,001

2. Baik

10

26

36

(27,8%)

(72,2%)

(100%)

Jumlah

30

32

62

(48,4%)

(51,6%)

(100%)

4.

Akses ke pelayanan kesehatan 1. Jauh

23

5

28

(82,1%)

(17,9%)

(100%)

0,000

2. Dekat

7

27

34

(20,6%)

(79,4%)

(100%)

Jumlah

30

32

62

(48,4%)

(51,6%)

(100%)

Tabel 2 menunjukkan analisis bivariat diperoleh hasil ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa dengan p-value 0,000; ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa dengan p-value

.

PEMBAHASAN

Dari hasil analisa univariat dari 62 responden, didapat sebanyak 29 (46,8%)

0,004; ada hubungan yang bermakna antara peran petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa dengan p-value 0,001 dan ada hubungan yang bermakna antara akses ke pelayanan kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa dengan p-value 0,000.

responden dengan pengetahuan tidak baik sedangkan responden dengan pengetahuan

baik yaitu sebanyak 33 (53,2%) responden. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p-value 0,000. Maka dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Naimah (2022), tentang hubungan pengetahuan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien gangguan jiwa mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara pengetahuan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien gangguan jiwa di Puskesmas 1 dan 2 Sayung dengan hasil p-value sebesar 0,030 (p-value <0,05).

Stuart (2016) menyatakan bahwa pengetahuan keluarga pasien gangguan jiwa merupakan faktor yang sangat penting. Pengetahuan yang didasari dengan pemahaman yang tepat akan menumbuhkan perilaku yang diharapkan dalam melakukan perawatan pasien gangguan jiwa terutama terkait dengan kepatuhan dalam pengobatan. Pengetahuan tentang gangguan jiwa sangat penting bagi seluruh anggota keluarga tetapi tidak semua anggota keluarga mengetahui dan memahaminya. Saat ini pasien membutuhkan dukungan dan semangat dari keluarga untuk kesembuhannya. Jika pengetahuan keluarga meningkat, maka akan semakin cepat untuk kesembuhan pasien. Tetapi jika pengetahuan masih kurang, maka akan semakin lama pula kesembuhan pasien.

Dalam penelitian masih banyak ditemukan keluarga dengan pengetahuan tidak baik yaitu sebesar 29 (46,8%) keluarga. Menurut asumsi peneliti, rendahnya pengetahuan pada keluarga bisa terjadi karena rendahnya pendidikan keluarga. Hal ini terbukti masih banyaknya yang tamat SD, sebagian lagi tamat SMP dan ada juga yang tidak tamat SMA sehingga sulit untuk memahami informasi-informasi yang telah disampaikan terutama informasi tentang pengobatan pasien ODGJ. Pengetahuan tentang gangguan jiwa sangat penting bagi seluruh anggota keluarga tetapi tidak semua anggota keluarga mengetahui dan memahaminya.

Jika pengetahuan keluarga meningkat maka akan semakin cepat untuk kesembuhan pasien, tetapi jika pengetahuan masih kurang maka akan semakin lama pula kesembuhan bagi pasien. Akan tetapi dari hasil penelitian pengetahuan keluarga masih banyak yang tidak baik dan perlu untuk ditingkatkan lagi pengetahuannya. Karena itu sangat dibutuhkan oleh pasien untuk kesembuhannya.

Dalam meningkatkan pengetahuan keluarga penderita ODGJ, petugas telah berupaya memberikan informasi terkait pengobatan penderita ODGJ. Informasi tersebut disampaikan dengan cara penyuluhan. Namun hal ini masih belum maksimal, dikarenakan pada saat diadakan penyuluhan banyak keluarga penderita ODGJ yang tidak menghadirinya. Menurut asumsi peneliti, faktor geografis yang menjadi penghambat untuk bisa menghadiri penyuluhan tersebut. Di mana desa-desa di wilayah kerja Puskesmas Pajar Bulan banyak yang terletak di perbukitan, sehingga menyulitkan keluarga penderita ODGJ untuk menghadiri kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan di Puskesmas Pajar Bulan.

Bagi petugas kesehatan, pengetahuan keluarga dapat ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan secara perlahan, sabar, dan dengan pendekatan teraupetik. Penyuluhan dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah sehingga penyampaian informasi tentang penyakit, perawatan, penatalaksanaan, dan pengobatan gangguan jiwa dapat diterima oleh semua keluarga penderita ODGJ dan dapat dicerna dengan baik oleh keluarga.

Dari hasil analisa univariat dari 62 responden, didapat sebanyak 35 (56,5%) responden dengan kategori dukungan keluarga tidak mendukung sedangkan responden dengan kategori dukungan keluarga mendukung yaitu sebanyak 27 (43,5%) responden. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p-value 0,004. Maka dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa.

Hal ini sejalan dengan penelitian Irman (2017) yang menemukan hasil uji statistik (p-value 0,011) terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kepatuhan klien minum obat di wilayah kerja Puskesmas Jua Gaek tahun 2017. Faktor yang menyebabkan timbulnya kekambuhan pasien ODGJ ialah kurangnya peran serta keluarga dalam perawatan pasien ODGJ. Kekambuhan pasien ODGJ dapat dipicu oleh ketidakpatuhan dalam meminum obat dan tidak kontrol ke dokter secara berkala, dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut adalah kekambuhan dan perlunya mendapatkan perawatan di rumah sakit jiwa.

Menurut Susanto (2014), keluarga merupakan salah satu elemen terkecil di masyarakat. Keluarga adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional. Keluarga menjadi tempat sentral bagi pertumbuhan dan perkembangan individu atau seseorang. Menurut Friedman (2015) dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga sangatlah berpengaruh pada penerimanya, dalam hal ini penerima dukungan keluarga akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya.

Dukungan keluarga sangat penting terhadap pengobatan pasien skizofrenia, karena pada umumnya klien belum mampu mengatur dan mengetahui jadwal dan jenis obat yang akan diminum. Keluarga harus selalu membimbing dan mengarahkan agar klien skizofrenia dapat minum obat dengan benar dan teratur. Dukungan keluarga sangat diperlukan oleh seorang penderita, karena seseorang yang sedang sakit tentunya membutuhkan perhatian dari keluarga. Keluarga dapat berperan sebagai motivator terhadap anggota keluarganya yang sakit (penderita) sehingga mendorong penderita untuk terus berpikir positif terhadap sakitnya dan patuh terhadap

pengobatan yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan (Pelealu, 2018).

Dalam penelitian, sebagian besar keluarga tidak mendukung pengobatan pasien gangguan jiwa, yaitu sebesar 35 (56,5%) responden. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya dukungan keluarga terutama dalam hal mengingatkan jadwal minum obat. Menurut asumsi peneliti, hal ini disebabkan diantaranya perasaan lelah karena penderita ODGJ yang tidak kunjung sembuh, sehingga menjadi kurang yakin terhadap pengobatan medis. Ada juga keluarga yang beranggapan bahwa sakit yang diderita ini adalah akibat “guna-guna” sehingga mereka lebih memilih ke pengobatan alternatif / dukun dan melalaikan obat-obatan dari medis.

Selain itu, sebagian besar keluarga merasa terbebani dengan adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, sebab keluarga merasa dikucilkan teman dan tetangga yang dapat mengakibatkan anggota keluarga cenderung mengisolasi diri dan membatasi diri dalam aktivitis sosial. Hal ini menyebabkan perasaan tidak nyaman atas kehadiran keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Faktor-faktor ini dapat membuat rendahnya kemauan dalam memberikan dorongan dan dukungan dalam melakukan perawatan penderita gangguan jiwa juga dalam kepatuhan kontrol berobat ke UPTD Puskesmas Pajar Bulan.

Untuk itu, kepada petugas kesehatan perlunya memberikan pemahaman khususnya kepada keluarga penderita ODGJ bahwa ODGJ adalah gangguan medis bukan disebabkan oleh “guna-guna” sehingga dukungan keluarga sangat diperlukan dalam proses penyembuhannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan secara “door to door” sehingga informasi tentang penanganan penderita ODGJ dapat benar-benar diterima oleh keluarga penderita.

Dari hasil analisa univariat dari 62 responden, didapat sebanyak 26 (41,9%) responden menyatakan peran petugas kesehatan tidak baik sedangkan responden yang menyatakan peran petugas kesehatan

baik yaitu sebesar 36 (58,1%) responden. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p-value 0,001. Maka dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara peran petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Siagian (2020), dengan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p 0,008 maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh dukungan tenaga kesehatan terhadap kepatuhan pasien gangguan jiwa dalam melakukan pengobatan rutin. Responden dengan peran petugas kesehatan yang baik ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan peran petugas kesehatan yang kurang. Dukungan dari petugas kesehatan yang baik inilah yang menjadi acuan atau referensi untuk mempengaruhi perilaku kepatuhan responden.

Green dalam Notoatmodjo (2017) menyatakan bahwa faktor yang menentukan terjadinya perubahan perilaku adalah faktor reinforcing atau faktor penguat. Dimana yang termasuk dalam faktor tersebut salah satunya adalah dukungan tenaga kesehatan. Dukungan tenaga kesehatan dalam melakukan suatu tindakan akan memperkuat terjadinya seseorang untuk melakukan sebagaimana yang diinginkan oleh petugas kesehatan. Terjadinya perubahan perilaku tersebut juga bisa terjadi karena adanya dukungan masyarakat, dukungan praktisi promosi kesehatan, dan pendidik kesehatan. Petugas kesehatan merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam pembentukan persepsi seseorang.

Dalam penelitian ini masih ditemukan responden yang menyatakan peran petugas kesehatan yang tidak baik yaitu sebesar 41,9%. Menurut asumsi peneliti, hal ini disebabkan karena stigma dan diskriminasi terhadap gangguan jiwa masih terjadi di masyarakat. Hal ini dapat memengaruhi perilaku petugas kesehatan dan menyebabkan perlakuan yang tidak sensitif atau menjaga jarak dengan pasien ODGJ. Dalam beberapa kasus, stigma ini juga

dapat membuat petugas kesehatan takut untuk memberikan perawatan atau dukungan yang diperlukan. Padahal dengan melibatkan pasien ODGJ dalam masyarakat memberikan rasa diterima dan diakui sebagai bagian penting dari komunitas. Mereka merasa dihargai dan memiliki pengetahuan atau keterampilan yang dapat mereka bagikan dengan orang lain. Dengan memberikan kesempatan untuk berkontribusi, pasien ODGJ merasa memiliki peran yang aktif dalam masyarakat, yang dapat meningkatkan rasa bahagia. Selain itu, terbatasnya sumber daya seperti personel, fasilitas, dan anggaran di bidang kesehatan mental dapat membatasi kemampuan petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan dukungan yang memadai kepada pasien ODGJ.

Petugas kesehatan dapat berperan sebagai pendukung dalam menghadapi tantangan emosional yang mungkin dihadapi oleh pasien ODGJ. Mereka memberikan dukungan emosional, motivasi, dan dorongan agar pasien tetap berkomitmen untuk mengikuti pengobatan dan menjaga semangat dalam proses kesembuhan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melibatkan pasien ODGJ dalam kegiatan senam lansia. Terlibat dalam senam lansia memiliki beberapa manfaat fisik dan emosional yang dapat membantu pasien ODGJ. Melalui kegiatan senam lansia, pasien ODGJ memiliki kesempatan untuk terlibat dalam interaksi sosial dengan orang lain yang memiliki kondisi serupa. Hal ini dapat membantu mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan kehidupan sosial mereka.

Dari hasil analisa univariat, dari 62 responden dengan akses ke pelayanan kesehatan jauh sebanyak 28 (45,2%) responden sedangkan responden dengan akses ke pelayanan kesehatan dekat yaitu sebanyak 34 (54,8%) responden. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p-value 0,000. Maka dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara akses ke pelayanan kesehatan dengan

kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2020) yang menyatakan jarak dari tempat tinggal ke fasilitas pelayanan kesehatan berhubungan dengan kepatuhan berobat pada pasien ODGJ dengan p-value 0,004. Keterjangkauan akses ke pelayanan kesehatan adalah mudah atau sulitnya seseorang untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan. Jarak adalah penghalang besar bagi kepatuhan terhadap pengobatan gangguan jiwa.

Jarak tempat tinggal dengan Puskesmas menjadi penyebab patuh atau tidak patuhnya keluarga dalam mengantarkan pasien untuk melakukan kontrol berobat. Jarak tempat tinggal merupakan jauh dekatnya perjalanan yang harus ditempuh oleh pasien dalam melakukan kontrol berobat. Keterjangkauan akses dilihat dari segi jarak, waktu tempuh, dan kemudahan transportasi untuk mencapai pelayanan kesehatan. Semakin jauh jarak rumah pasien dari tempat pelayanan kesehatan dan sulitnya transportasi maka akan berhubungan dengan kepatuhan berobat.

Dalam penelitian ini diketahui responden dengan akses ke pelayanan kesehatan jauh yaitu sebanyak 28 (45,2%) responden, sehingga masih banyak ditemukan responden yang tidak patuh minum obat. Aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya adalah faktor geografis. Keterjangkauan akses yang dimaksud dalam penelitian ini dilihat dari segi jarak, waktu tempuh, dan kemudahan transportasi untuk mencapai pelayanan kesehatan. Semakin jauh jarak rumah pasien dari tempat pelayanan kesehatan dan sulitnya transportasi maka akan berhubungan dengan kepatuhan berobat.

Asumsi peneliti dalam penelitian ini kondisi jarak tempat tinggal dengan kepatuhan kontrol berobat ODGJ di UPTD Puskesmas Pajar Bulan merupakan faktor penyebab yang besar terkait ketidakpatuhan dalam kontrol berobat, ditandai dengan

sebanyak 82,1% dari responden dengan jarak yang jauh tidak patuh dalam minum obat. Berdasarkan pengamatan peneliti, lokasi desa-desa di wilayah Puskesmas Pajar Bulan cukup jauh dengan medan sulit ditempuh. Masih banyak responden yang tinggal di Talang atau di kebun sehingga mereka kesulitan datang ke Puskesmas. Satu-satunya kendaraan yang bisa mereka gunakan adalah ojek kebun yang biasa dipakai untuk mengangkut hasil perkebunan, itupun mereka harus membayar dengan ongkos yang tidak murah. Jarak jangkauan ke pelayanan kesehatan yang jauh menyebabkan keluarga tidak mampu membiayai transportasi dalam melakukan pengobatan.

Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim, agar dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan jiwa dalam rangka pemenuhan tenaga khusus kesehatan jiwa di Puskesmas Pajar Bulan serta penambahan tenaga kesehatan jiwa atau membentuk kader-kader kesehatan jiwa sehingga dapat menjangkau seluruh penderita ODGJ dalam upaya pengobatan dan pencegahan ODGJ. Selain itu, dapat juga memanfaatkan peran bidan desa dalam pemberian obat ODGJ, sehingga keluarga tidak harus datang ke Puskesmas untuk mengambil obat namun bisa diambil di bidan desa. .

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, dukungan keluarga, peran petugas kesehatan, dan akses ke pelayanan kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa. Pengetahuan keluarga dapat ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan secara perlahan, sabar, dan dengan pendekatan teraupetik. Penyuluhan dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah sehingga penyampaian informasi tentang       penyakit,       perawatan,

penatalaksanaan, dan pengobatan gangguan jiwa dapat diterima oleh semua keluarga penderita ODGJ dan dapat dicerna dengan baik oleh keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Dinkes Kab. Muara Enim. (2022). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim, Muara Enim.

Ditjen P2P Kemenkes. (2020). Rencana Aksi Kegiatan 2020 - 2024 pada Direktorat

Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza. Jakarta.

Ernia, N. dkk (2020). Hubungan Dukungan Instrumental Keluarga dengan Kepatuhan Kontrol Pasien Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Irman, V. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan keluarga dalam mengontrol minum obat pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK) April 2018 Volume 2, Nomor 1. P-ISSN: 2597-8594 E-ISSN: 2580-930X.

Naimah, NF. (2022). Hubungan Antara Pengetahuan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien Gangguan Jiwa. Skripsi. Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Notoatmodjo, S. (2017). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.

Pelealu, A. (2018). Hubungan dukungan keluarga dengan                        kepatuhan

minum obat pasien Skizofrenia di Rumah Sakit                                Jiwa

Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Provinsi

Sulawesi Utara. e-journal Keperawatan (e-Kp), Volume 6, Nomor 1, Mei 2018.

Pramana dan Herdiyanto. (2018). Penerapan Kearifan Lokal Masyarakat Bali yang Dapat Mengurangi Stigma Terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa. Jurnal Psikologi Udayana. 2018, Vol. 5, No. 2, 226-241.

Rokayah, C. (2021). Penyuluhan Kesehatan tentang Perawatan Pasien Halusinasi di Rumah. Jurnal Peduli Masyarakat, 3(1),  27-32.

https://doi.org/10.37287/jpm.v3i1.369

Siagian, N.D.Y., dkk. (2020). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Gangguan Jiwa Melakukan Pengobatan Rutin  di

Puskesmas Sidodadi Kota Kisaran. Jurnal Kajian Kesehatan Masyarakat, 1(2).

Stuart, G.W. (2016). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3. Jakarta: EGC.

Susanto, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Keluarga:    Aplikasi    Teori    Pada

Praktik Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta: Trans Info Media.

Syisnawati, dkk. (2022). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ):   Persatuan Perawat Nasional

Indonesia, Volume 11 No 1 Hal 11 - 18, Februari 2023, e-ISSN 2655-8106, p-ISSN 2338-2090.

Volume 11, Nomor 5, Oktober 2023

397