Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980

STUDI KASUS PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI PENDENGARAN

Maryanto1, Mukhamad Khafidin1, Arni Nur Rahmawati*2

1Program Studi Keperawatan Sarjana, Fakultas Kesehatan, Universitas Harapan Bangsa 2Program Studi Keperawatan Diploma Tiga, Fakultas Kesehatan, Universitas Harapan Bangsa *korespondensi penulis, e-mail: arninr@uhb.ac.id

ABSTRAK

Halusinasi adalah salah satu bentuk gangguan orientasi realitas yang ditandai dengan seseorang memberikan respon atau penilaian tanpa adanya stimulus yang diterima oleh panca indera, dan merupakan salah satu efek dari gangguan persepsi. Tujuan penelitian ini adalah memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan persepsi sensori pendengaran dengan terapi dzikir dan istighfar. Metode yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan penelitian studi kasus (case studies) dengan pendekatan proses keperawatan pada salah satu pasien yang mengalami gangguan persepsi sensori. Pengkajian data dilakukan dengan cara wawancara, observasi dan melihat rekam medis pasien. Analisis data dilakukan dengan pengumpulan data dan reduksi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien mampu mengontrol halusinasi pendengarannya dengan terapi dzikir dan istighfar. Terapi Spiritual dengan dzikir dan istighfar, yaitu pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan suatu penyakit jiwa, kepada setiap individu, dengan kekuatan batin atau spiritual, berupa ritual keagamaan bukan pengobatan dengan obat-obatan, dengan tujuan untuk menguatkan keimanan seseorang sehingga dapat mengembangkan potensi dan fitrah keagamaannya secara maksimal, sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan terapi dzikir dan istighfar dapat mengontrol halusinasi pendengaran yang dialami pasien.

Kata kunci: gangguan persepsi sensori pendengaran, halusinasi, istighfar, terapi dzikir

ABSTRACT

Hallucinations are a form of reality orientation disorder which is characterized by a person giving a response or assessment without any stimulus received by the five senses, and is one of the effects of perceptual disorders. The aim of this research is to provide nursing care to patients with auditory sensory perception disorders using dhikr and istighfar therapy. The method used by researchers is qualitative research using case studies with a nursing process approach to one of the patients who experienced sensory perception disorders. Data assessment was carried out by interviewing, observing and looking at the patient's medical records. Data analysis was carried out by data collection and data reduction. The research results showed that the patient was able to control his auditory hallucinations with dhikr and istighfar therapy. Spiritual Therapy with dhikr and istighfar, namely treatment aimed at curing mental illness, for each individual, with inner or spiritual strength, in the form of religious rituals rather than treatment with drugs, with the aim of strengthening a person's faith so that they can develop their potential and religious nature maximally, so it can be concluded that the application of dhikr and istighfar therapy can control the auditory hallucinations experienced by patients.

Keywords: auditory sensory perception disorders, hallucinations, istighfar, dhikr therapy

PENDAHULUAN

Gangguan mental adalah sindrom atau pola perilaku atau psikologis seseorang yang secara klinis signifikan, dan biasanya terkait dengan gejala distres dan kelemahan/gangguan/cacat pada satu atau lebih fungsi penting manusia atau terkait dengan peningkatan risiko kematian, rasa sakit, kecacatan, atau kehilangan kebebasan yang penting (loss of freedom) (Wicaksono, 2021). Halusinasi merupakan salah satu bentuk gangguan orientasi realitas yang ditandai dengan seseorang memberikan respon atau penilaian tanpa ada stimulus yang diterima panca indera, dan merupakan dampak dari gangguan persepsi (Wuryaningsih, 2019).

Menurut WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia. Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 6% dari populasi dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tercatat ada 1.091 kasus yang mengalami ganggguan jiwa dan beberapa dari kasus tersebut mereka hidup dalam pasungan. Angka tersebut diperoleh dari pendataan sejak Januari hingga November 2012 (Hendry, 2012).

Berdasarkan jumlah banyaknya kunjungan masyarakat yang mengalami gangguan jiwa ke pelayanan kesehatan baik puskesmas, rumah sakit, maupun sarana pelayanan kesehatan yang lainnya pada tahun 2009 terdapat 1,3 juta orang yang melakukan kunjungan, hal ini diperkirakan sebanyak 4,09% (Profil Kesehatan Kab/Kota Jawa Tengah tahun 2009). Sementara untuk wilayah Banyumas menurut data tahun 2011, prevalensi gangguan jiwa berat sekitar 0,6 dengan perbandingan jumlah 1.540.000.

Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia khususnya halusinasi, menyebutkan jumlah gangguan jiwa pada tahun 2014 sebanyak 121.962 orang, tahun 2015 meningkat menjadi 260.247 orang, tahun 2016 meningkat menjadi 317.504 orang (Dinkes, 2017). Di Jawa Tengah pada tahun 2018 terdapat data kunjungan pasien gangguan jiwa sejumlah 474.321 orang (Portal Data Jateng, 2018). Sedangkan kasus gangguan jiwa berat yang ditangani di Kabupaten Banyumas termasuk sasaran ODGJ Berat sebanyak 2.961 orang dan mendapat pelayanan lengkap 100% (Profil Kesehatan Banyumas, 2022).

Halusinasi merupakan gejala yang sering muncul pada penderita gangguan jiwa dan memiliki kaitan erat dengan early psychosis akibat trauma pada masa kanak-kanak (Solesvik, 2016). Halusinasi merupakan distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respon neurobiologis maladaptif (Stuart, 2016). Halusinasi biasanya muncul pada pasien gangguan jiwa diakibatkan terjadinya perubahan orientasi realita, pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Yusuf, 2015). Dampak yang muncul akibat gangguan halusinasi adalah hilangnya kontrol diri yang menyebabkan seseorang menjadi panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Agar tidak berdampak buruk maka penderita halusinasi harus segera ditangani secara tepat.

Menurut Stuart (2016) pemberian asuhan keperawatan pada penderita halusinasi bertujuan membantu penderita meningkatkan kesadaran akan tanda-tanda halusinasi sehingga penderita mampu membedakan antara dunia gangguan jiwa dengan kehidupan nyata. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa pada Tn. S dengan penerapan terapi spiritual: Istighfar dan Dzikir untuk mengontrol halusinasi pendengaran di RSUD Banyumas.

METODE

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dalam bentuk tinjauan kasus untuk mendalami masalah asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa dengan gangguan persepsi sensori pendengaran. Pada studi kasus ini subjeknya adalah Tn. S dengan masalah keperawatan gangguan persepsi sensorik: halusinasi pendengaran di ruang Bima RSUD Banyumas yang dilaksanakan selama 3 hari, yaitu tanggal 9 s/d 11 Maret 2023 dari asesmen sampai evaluasi.

Pengumpulan data dengan wawancara keluarga dan pasien, melakukan

HASIL

Pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien diberikan selama tiga hari dimulai pada tanggal 9 Maret sampai dengan 11 Maret 2023. Asuhan keperawatan dilakukan melalui tahapan proses keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi. Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan studi dokumentasi.

Pada kasus ini ditemukan masalah keperawatan gangguan persepsi sensorik

PEMBAHASAN

Menurut peneliti, terapi dzikir mempengaruhi terhadap pengontrolan halusinasi pasien. Pasien setelah melakukan terapi dzikir mampu menguasai bahkan menghilangkan halusinasi disaat halusinasi tersebut datang sehingga pasien merasa tenang dan tidak gelisah lagi. Kelebihan dari penelitian ini adalah pasien dapat lebih mengenal cara berdzikir yang baik dan bahkan pasien dapat lebih dekat dengan Allah SWT sebagai penciptanya. Kekurangan penelitian ini hanya pada jumlah pasien yang diuji, jika pasien banyak maka akan memerlukan waktu tambahan untuk melakukannya, serta perilaku pasien saat dilakukan terapi dzikir, ada yang dapat mengerti dengan cepat dan ada juga yang butuh waktu untuk dapat mengerti cara melakukan terapi dzikir tersebut.

pemeriksaan fisik dan observasi kepada pasien. Metode dokumentasi dilakukan terhadap pasien dengan memanfaatkan data rekam medis dan hasil pemeriksaan penunjang. Teknik penyajian data yang digunakan adalah data disajikan secara tekstual atau naratif sesuai dengan ketentuan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi pendengaran. Prinsip etika penelitian yang dipertimbangkan dalam studi kasus ini adalah kerahasiaan, persetujuan, beneficience dan nonmaleficence.

prioritas: halusinasi pendengaran. Peneliti menentukan rencana tindakan keperawatan untuk mengontrol halusinasi salah satunya dengan terapi spiritual. Penerapan terapi spiritual: istighfar dan dzikir dalam diagnosis gangguan persepsi sensori selama tiga hari terbukti dapat mempengaruhi pasien dalam mengontrol halusinasi pendengarannya. Pasien merasa lebih tenang dan halusinasi berupa suara yang muncul sudah berkurang.

Pemberian asuhan keperawatan terhadap Tn. S dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi dengan memfokuskan pada peran perawat untuk meningkatkan kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi dari berbagai aspek baik secara kognitif, afektif, dan psikomotor. Penulis melakukan pendekatan dengan klien melalui cara memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan, dan meyakinkan klien bahwa perawat akan membantu klien untuk mengatasi masalah yang diatasi klien dan memberikan rasa nyaman kepada klien agar dapat terbuka terhadap perawat dan meyakinkan bahwa perawat akan menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan. Tindakan keperawatan generalis pada klien halusinasi yang dilakukan sesuai standar asuhan keperawatan memberikan dampak yang positif dalam meningkatkan

kemampuan kognitif dan psikomotor klien untuk mengurangi munculnya tanda-tanda halusinasi (Nyumirah, Keliat, & Helena, 2014).

Pengkajian dilakukan pada tanggal 9 Maret 2023 yang meliputi penelaahan data (riwayat keperawatan, kebutuhan dasar khusus) dari hasil pemeriksaan persepsi didapatkan pasien mengalami persepsi sensori halusinasi. Pasien mengatakan suka mendengar bisikan untuk menghukum yang bersalah, terkadang pasien menuruti dengan ulah. Bisikan muncul saat pasien sedang melamun dan datang kapan saja. Frekuensi 4 kali sehari merubah perasaan sehingga pasien terkesan lebih pendiam / menyendiri. Pasien mengatakan suka mendengar bisikan, pasien mudah tersinggung, pasien juga pernah melakukan kekerasan kepada orang tuanya. Dari data tersebut muncul masalah keperawatan gangguan persepsi sensorik: halusinasi pendengaran.

Diagnosa keperawatan yang ditetapkan oleh penulis adalah gangguan persepsi sensorik: halusinasi pendengaran. Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar (Stuart, 2016). Tanda-tanda halusinasi pendengaran: mendengar suara atau kebisingan, paling sering dalam bentuk suara orang. Suara berkisar dari kebisingan yang tidak jelas hingga kata-kata yang jelas yang diucapkan tentang pasien, bahkan hingga percakapan lengkap antara dua orang yang sedang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana pasien mendengar perkataan bahwa pasien disuruh melakukan sesuatu terkadang bisa berbahaya (Sutejo, 2019). Berdasarkan batasan-batasan karakteristik tersebut telah terpenuhi dalam kasus Tuan S yang mengatakan suka mendengar bisikan-bisikan untuk menghukum yang bersalah. Penulis mengambil diagnosa gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran merupakan masalah utama karena suara yang didengar oleh pasien yang menyebabkan pasien mengalami perubahan perasaan sehingga pasien terkesan lebih pendiam / menyendiri, pasien mengatakan suka mendengar bisikan, pasien mudah

tersinggung, pasien juga melakukan kekerasan terhadap orang tua.

Perencanaan keperawatan adalah suatu proses dalam memecahkan masalah yang merupakan keputusan awal tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya, kapan melakukannya, siapa yang melakukan semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012), sedangkan menurut Setiadi (2012), perencanaan keperawatan merupakan bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan keperawatan dalam upaya membantu, meringankan, memecahkan masalah, atau memenuhi kebutuhan pasien.

Penulis menyusun rencana keperawatan dengan kriteria hasil (SLKI) setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien dapat mengontrol halusinasinya, pasien tidak mencederai dirinya sendiri dan orang lain serta lingkungan. Intervensi yang diterapkan adalah menggunakan SP1 hingga SP3 dengan mempraktekkan cara mengendalikan halusinasi dengan istighfar dan dzikir.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayu dan Akbar (2021) menunjukkan adanya peningkatan kemampuan kontrol halusinasi setelah pemberian terapi psikoreligius: dzikir sebagai upaya terapi nonfarmakologis pada pasien halusinasi pendengaran. Kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran pada kedua pasien diperoleh hasil 6 (baik) setelah diberikan terapi psikoreligius: dzikir sebagai upaya terapi nonfarmakologis pada pasien halusinasi pendengaran. Pasien mengatakan bahwa hatinya menjadi lebih tenang setelah membaca bacaan dzikir yang diajarkan dan pasien dapat tidur lebih nyenyak setelah membaca bacaan dzikir tersebut.

Pelaksanaan diberikan selama tiga hari dari tanggal 9 Maret sampai dengan 11 Maret 2023. Pelaksanaan yang diberikan adalah mengidentifikasi jenis halusinasi yang dialami, mengidentifikasi isi halusinasi, mengidentifikasi waktu,

frekuensi dan situasi yang menyebabkan halusinasi, melatih pasien untuk kontrol halusinasi: menegur, membimbing pasien memasuki jadwal kegiatan. Pelaksanaan pada hari ketiga, 11 Maret 2023 yaitu validasi masalah dan latihan sebelumnya menjelaskan cara mengontrol halusinasi dengan minum obat secara teratur dan kegiatan dzikir, membimbing pasien untuk memasukkan jadwal kegiatan.

Implementasi yang diberikan kepada pasien gangguan persepsi sensori pendengaran meliputi teguran SP1, menurut penelitian yang dilakukan oleh Reliani (2015) menyatakan bahwa untuk membantu pasien agar mampu mengendalikan halusinasi perawat dapat melatih pasien mengendalikan halusinasi. Menegur halusinasi merupakan upaya pengendalian diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk menolak halusinasi yang muncul atau mengabaikan halusinasinya, dan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terjadi peningkatan dalam mengontrol halusinasi (Reliani, 2015). SP 2 yang diberikan kepada pasien yaitu pemberian obat-obatan, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti dkk (2019).

Studi kasus menggunakan cara mengontrol halusinasi aktivitas terjadwal dengan minum obat secara teratur untuk mengontrol halusinasi dengan 6 kali pertemuan pada setiap pasien. Hasil (output) suatu pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan secara kondusif (Notoatmodjo, 2012). Hasil penelitian Wijayanti dkk (2019) menunjukkan bahwa pasien mampu mengontrol halusinasinya dengan minum obat secara teratur. Selain itu, dalam hal ini peneliti juga menerapkan terapi dzikir sebagai upaya pengendalian halusinasi pendengaran pasien.

Terapi dzikir merupakan upaya pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan kondisi psikis dengan cara berdzikir kepada Allah SWT, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dan

Akbar pada pasien halusinasi pendengaran di UPIP RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang menunjukkan adanya peningkatan kemampuan pengendalian halusinasi setelah pemberian terapi psikoreligius: dzikir sebagai upaya terapi nonfarmakologis pada pasien halusinasi pendengaran.

Kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran pada kedua pasien didapatkan hasil 6 (baik) setelah diberikan terapi psikoreligius: dzikir sebagai upaya terapi non farmakologis pada pasien halusinasi pendengaran, intervensi dzikir diberikan selama 3 hari dengan durasi 10-20 menit (Akbar & Rahayu, 2021). Terapi psikoreligius: dzikir dengan membaca istighfar (Astaqfirullahal'adzim) 3 kali, dilanjutkan dengan tasbih (Subhannallah) 33 kali, tahmid (Alhamdulillah) 33 kali, dan takbir (Allahu Akbar) 33 kali, terapi ini dilakukan selama 3 hari dengan durasi 1020 menit dan dilakukan 2 kali setiap harinya. Terapi psikoreligius: dzikir dapat dilakukan saat pasien mendengar suara palsu, saat waktu luang, dan saat pasien selesai menunaikan sholat wajib. Sebelum diajarkan terapi psikoreligius: pasien dzikir diberi kesempatan untuk berwudhu, kemudian menyiapkan perlengkapan ibadah seperti sarung, sajadah, dan tasbih untuk memulai kegiatan dzikir.

Evaluasi keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus untuk menentukan apakah rencana keperawatan sudah efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana, atau menghentikan rencana keperawatan (Manurung, 2011). Berdasarkan hasil evaluasi setelah dilakukan tindakan selama 3 hari diagnosa gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran dapat teratasi dengan kriteria hasil verbalisasi mendengar bisikan menurun. Penerapan terapi dzikir dalam diagnosis gangguan persepsi sensori selama tiga hari terbukti dapat mempengaruhi pasien dalam mengontrol halusinasi pendengarannya. Pasien merasa lebih tenang dan halusinasi berupa suara yang muncul sudah berkurang.

SIMPULAN

Penerapan terapi dzikir pada diagnosis keperawatan gangguan persepsi sensori: halusinasi selama 3 hari terbukti mempengaruhi pasien dalam mengontrol halusinasi pendengarannya. Pasien merasa lebih tenang dan halusinasi berupa suara yang muncul sudah menurun. Terapi psikoreligius:  dzikir dengan membaca

istighfar (Astaqfirullahal’adzim) sebanyak 3 kali, dilanjutkan dengan tasbih (Subhannallah) 33 kali, tahmid (Alhamdulillah) 33 kali, dan takbir (Allahu

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A., & Rahayu, D. A. (2021). Terapi

Psikoreligius: Dzikir Pada Pasien Halusinasi Pendengaran. Ners Muda, 2(2),   66.

https://doi.org/10.26714/nm.v2i2.6286.

Andari Soetji. (2017). Pelayanan Sosial Panti Berbasis Agama dalam Merehabilitasi Penderita Skizofrenia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS).

Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka Kerja. Gosyen Publising: Yogyakarta

Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. (2022).

Profil          Kesehatan          2022.

http://dinkes.banyumaskab.go.id/news/4243 2/profil-kesehatan-kabupaten-banyumas-tahun-2022

Gao, W., Ping, S., & Liu, X. (2020). Gender

differences in depression, anxiety, and stress among college students: A longitudinal study from China. Journal of Affective Disorders, 263(5),                          292–300.

https://doi.org/10.1016/j.jad.2019.11.121

Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan & Teori Aplikasi. Rieka Cipta Nursing. (8th ed). St. Louis Mosby.

Nyumirah, S. (2014). Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien halusinasi di ruang sadewa di Rs. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Jurnal Keperawatan Jiwa, 2(1), 1–13.

Portal Data Jawa Tengah. (2018). Data Program dan

Profil        Kesehatan        Kab/Kota.

https://data.jatengprov.go.id/group/kesehata njateng

Reliani, U. (2015). Pelaksanaan Teknik Mengontrol

Halusinasi: kemampuan pasien skizofrenia mengontrol halusinasi. The Sun, 2(1), 68–73 Solesvik, M., Joa, I., Larsen, T. K., Langeveld, J.,

Johannessen, O., Bjornestad, J., Anda, L.G., Gisselgard, J., Hegelstad, W. V., & Bronnick, K. (2016). Visual hallucinations in firstepisode psychosis: association with

akbar) 33 kali, terapi ini dilakukan selama 3 hari dengan durasi waktu 10-20 menit.

Terapi psikoreligius: dzikir dapat dilakukan ketika pasien mendengar suara-suara palsu, ketika waktu luang, dan ketika pasien selesai melaksanakan sholat wajib. Sebelum diajarkan terapi psikoreligius: dzikir pasien diberikan kesempatan untuk berwudhu, kemudian menyiapkan peralatan ibadah seperti sarung, sajadah, dan tasbih untuk memulai kegiatan dzikir.

childhood trauma. PloS ONE, 11(5), e0153458.          https://doi.org/10.1371/

journal.pone.0153458

Stuart, G. W., & Laraia, M. T. (2013). Principles and practice of psychiatric

Stuart, G. W., Keliat, B. A., & Pasaribu, J. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa

Stuart, G.W. (2016). Prinsip dan praktik keperawatan kesehatan jiwa

Suryono, Christianto, N., & Ratna, H. (2020).

Nurser’s Perspective On Indonesian Nursing Diagnosis Standards: Analysis Study Of Nurses Competence In Documenting Nursing Diagnoses. Solid State Technology.

Sutejo. (2019). Keperawatan jiwa: konsep dan praktik asuhan keperawatan kesehatan jiwa : Gangguan Jisa Psikososial. Yogyakarta: Pustaka Baru

Townsend, M. C. A. M., K. I. (2018). Psychiatric mental health nursing: Concepts of care in evidence-based practice. Philadelphia, F.A. Davis company.

Videbeck, S. L. (2020). Psychiatric mental health nursing. Wolters Kluwer

Wijayanti, Weni, dan Fitriana. (2019). Upaya Minum Obat Untuk Mengontrol Halusinasi Pada Pasien Dengan Gangguan Persepsi Sensori     Halusinasi     Pendengaran.

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Wijayati, F., & Nurfantri, N. (2019). Penerapan Intervensi Manajemen Halusinasi terhadap Tingkat Agitasi pada Pasien Skizofrenia. Health Information: Jurnal Penelitian, 11(1), 13- 19. https://doi.org/10.36990/hijp.v11i1.

Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi. (2018). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember: UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas Jember

Yusuf, A. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Volume 11, Nomor 5, Oktober 2023

410