Buletin Veteriner Udayana                                                 Volume 15 No. 6: 1043-1050

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                Desember 2023

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet        https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i06.p02

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal

Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Efektifitas Pemberian Tetes Antibiotika dalam Proses Kesembuhan Luka Insisi padaTikus Wistar Ditinjau secara Makroskopis

(THE EFFECTIVENESS OF ANTIBIOTIC DROPS IN THE HEALING PROCESS OF INCISION WOUNDS IN WISTAR RATS MACROSCOPICALLY)

Hagai Deosiddhanta Widagdo1, Anak Agung Gde Jayawardhita2, I Wayan Gorda2

  • 1Mahasiswa Sarjana Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

  • 2Laboratorium Bedah Veteriner2, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

*Corresponding author email: [email protected]

Abstrak

Luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan akibat adanya substansi jaringan yang rusak atau hilang akibat cedera atau pembedahan. Kesembuhan luka merupakan suatu proses perbaikan jaringan kulit atau jaringan lainnya setelah terjadinya luka. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui efektifitas dari pemberian tetes antibiotika pada proses kesembuhan luka insisi pada tikus wistar (Rattus norvegicus). Penelitian ini menggunakan hewan coba berupa tikus wistar betina dengan berat masing masing 150-200 gram, umur 120 hari, berjumlah 24 ekor, yang akan dibagi menjadi 4 kelompok dengan perlakuan yang berbeda. Objek penelitian diadaptasi kemudian dibuat luka insisi sepanjang 1,5 cm dengan kedalaman 0.5 mm di bagian punggungnya, kemudian masing-masing kelompok diberikan perlakuan yaitu diberi tetes NaCl (T0), diberi tetes antibiotik oksitetrasiklin (T1), diberi tetes antibiotik amoxicillin (T2), dan diberi tetes antibiotik cefotaxime (T3). Berdasarkan analisis data kesembuhan luka insisi pada tikus wistar yang dilihat dari tanda radang memiliki nilai signifikansi sebesar 0,555 (P>0,05) dan keropeng dengan nilai signifikan sebesar 0,260 (P>0,05) yang menunjukan tidak adanya perbedaan signifikan/nyata dari keempat perlakuan yang dilakukan. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tetes antibiotika yang diberikan menunjukkan hasil kesembuhan luka yang tidak berbeda di antara empat perlakuan.

Kata kunci: antibiotik; keropeng; kesembuhan luka; luka; tanda radang

Abstract

A wound is a break in tissue continuity due to tissue substance that is damaged or lost due to injury or surgery. Wound healing is a process of repairing skin tissue or other tissues after an injury. This study aims to determine the effectiveness of giving antibiotic drops in the healing process of incision wounds in Wistar rats (Rattus norvegicus). This study used experimental animals in the form of female wistar rats weighing 150-200 grams each, 120 days old, totaling 24 rats, which were divided into 4 groups with different treatments. The research object was adapted and then an incision wound 1.5 cm long with a depth of 0.5 mm was made on the back, then each group was given treatment, which was given drops of NaCl (T0), given drops of oxytetracycline (T1) antibiotics, given drops of amoxicillin (T2) antibiotics. , and given cefotaxime (T3) antibiotic drops. Based on the analysis of incision wound healing data in Wistar rats as seen from the signs of inflammation it had a significance value of 0.555 (P>0.05) and scabs with a significant value of 0.260 (P>0.05) which showed no significant/significant difference from the four treatment performed. Based on these results it can be concluded that the antibiotic drops given showed no different wound healing results between the four treatments.

Keywords: antibiotics; scab; wound healing; wound; inflammation sign

PENDAHULUAN

Luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan akibat adanya substansi jaringan yang rusak atau hilang akibat cedera atau pembedahan. Luka dapat terjadi sebagai bagian dari proses suatu penyakit atau memiliki etiologi yang tidak disengaja atau disengaja. Luka yang disengaja ditujukan sebagai terapi, misalnya pada prosedur operasi atau pungsi vena. Akan tetapi, luka yang tidak disengaja terjadi secara accidental (Canpolat dan Basa, 2017). Luka dapat disebabkan oleh adanya trauma tumpul dan tajam. Trauma tumpul diakibatkan karena terbentur oleh benda tumpul dan dapat menyebabkan luka memar (contusio), luka lecet (abrasio) dan luka robek (vulnus laceratum). Sedangkan trauma tajam diakibatkan kontak dengan benda tajam dan dapat mengakibatkan terbentuknya luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) dan luka bacok (vulnus caesum) (Satyo dan Criminales, 2006).

Penyembuhan luka merupakan proses yang rumit, dengan strategi yang berbeda dalam merawat berbagai jenis luka. Penyembuhan luka adalah suatu proses perbaikan jaringan kulit atau organ lainnya setelah terjadi luka. Terdapat tiga fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi atau fibroplasia, dan fase remodelling atau maturasi. Fase inflamasi terjadi segera setelah terjadinya luka. Karakteristik fase inflamasi yaitu tumor, rubor, dolor, color, dan functio lesa. Fase proliferasi atau fibroplasia disebut juga sebagai fase granulasi karena terdapat pembentukan jaringan granulasi sehingga luka tampak berwarna merah segar dan mengkilat. Fibroblas berproliferasi dan mensintesis kolagen yang menyatukan tepi luka. Fase remodelling atau maturasi berupaya memulihkan struktur jaringan normal. Pada fase ini, tanda inflamasi menghilang, terjadi penyerapan sel radang, pematangan sel muda, serta penutupan dan penyerapan kembali kapiler baru (Kusuma, 2017).

Faktor-faktor yang mempengaruhi

kecepatan penyembuhan luka dan potensi infeksi, yaitu faktor pasien, faktor luka dan faktor lokal. Faktor pasien mencakup umur, penyakit yang diderita (anemia, diabetes           mellitus,           atau

immunocompromised penyakit yang mendasari pengaruh cedera pada penyembuhan). Faktor luka berupa organ atau jaringan yang terluka, tingkat cedera, sifat cedera, kontaminasi atau infeksi, waktu antara cedera dan pengobatan. Faktor lokal meliputi hemostasis dan debridement serta waktu penutupan (Wintoko dan Yadika, 2020).

Pasca tindakan operasi, pemberian antibiotik memiliki peran yang penting untuk mempercepat proses penyembuhan luka dan menghindari potensi infeksi. Salah satu faktor yang dapat menghambat kesembuhan luka adalah akibat infeksi bakteri pada daerah luka. Luka dapat terinfeksi bakteri apabila tidak terjaganya kebersihan     yang     menyebabkan

pertumbuhan bakteri semakin cepat. Bakteri yang menginfeksi luka paling sering adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella spp., Pseudomonas spp., Escherichia coli, dan Streptococcus spp., dimana Staphylococcus aureus merupakan bakteri tersering yang menghasilkan pus (nanah) pada luka (Kumar, 2013). Ada banyak antibiotik yang dapat digunakan untuk membantu proses penyembuhan luka terutama akibat infeksi bakteri, beberapa diantaranya yang sering digunakan      adalah      amoxicillin,

oksitetrasiklin dan cefotaxime. Dalam penelitian Lostapa et al.  (2016) dan

Sastrawan et al. (2016) menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik amoxicillin yang dikombinasikan dengan anti radang dapat mempercepat kesembuhan luka insisi pada Tikus Putih   (Rattus

norvegicus). Namun belum ada penelitian yang menunjukkan efektivitas dari tetes antibiotika terhadap luka insisi, karena umumnya pemberian antibiotik dalam proses kesembuhan luka diberikan secara oral, injeksi, atau topikal. Pemberian dengan cara tetes antibiotika masih belum

banyak dilakukan dan diharapkan dapat menjadi alternatif dalam praktik penggunaan antibiotika pasca operasi. Selama ini pemberian antibiotika lebih banyak diaplikasikan secara oral dan injeksi yang dapat menyebabkan risiko resistensi antibiotika lebih besar. Penggunaan tetes antibibiotika dapat mempermudah pengaplikasian pasca operasi dan mengurangi risiko terjadinya resistensi karena antibiotika hanya bekerja di jaringan lokal saja. Oleh karena itu, pada penelitian ini antibiotika akan diberikan dengan cara diteteskan langsung pada luka insisi, untuk mengetahui pengaruh dan efektifitas tetes antibiotika dalam proses kesembuhan luka, yang akan dilihat dari tanda radang dan terbentuknya keropeng. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui efek diberikannya tetes antibiotika pada proses kesembuhan luka insisi pada tikus wistar.

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus wistar sebanyak 24 ekor dengan masing-masing tiap perlakuan 6 ekor, umur 120 hari, berjenis kelamin betina dengan berat badan masing-masing berkisar antara150-200 gram.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Setiap tikus diberikan perlakuan berupa luka insisi di punggung sepanjang 1,5 cm dengan kedalaman mencapai subkutan. Setiap tikus diberikan perlakuan yang berbeda yang terdiri dari kontrol (T0) = diberikan tetes NaCl fisiologis, Perlakuan II (T1) = diberikan tetes antibiotika oksitetrasiklin (Limoxin®, Interchemie, LA Waalre, Belanda), Perlakuan III (T2) = diberikan tetes antibiotika amoxicillin (Longamox®, Vetoquinol, Lure, Perancis), dan Perlakuan IV (T3) = diberikan tetes antibiotika cefotaxime (Cefotaxime, PT.

Dankos Farma, Jakarta, Indonesia).

Cara Pengumpulan Data

Untuk pengamatan makroskopik data akan disajikan secara analisis deskriptif, data diambil setiap hari hingga hari ke-7 setelah perlakuan. Data yang diambil berupa pengamatan makroskopis pada luka seperti tanda-tanda inflamasi atau radang (rubor, kalor, dolor, dan tumor) dan pembentukan keropeng yang diamati setiap hari kemudian dilanjutkan dengan pemberian skor seperti pada tabel 1.

Analisis Data

Penganalisaan data dilakukan pada hasil pengamatan yang didapat dari penelitian secara statistik dengan uji non-parametrik, Kruskal Wallis untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antara kelompok uji coba. Jika pada uji Kruskal Wallis terdapat perbedaan maka dapat dilanjutkan dengan uji Mann Whitney.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil analisis data statistik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis pada kesembuhan luka insisi tikus wistar dilihat dari adanya tanda radang disajikan pada Tabel 2 di bawah ini:

Berdasarkan tabel analisis data kesembuhan luka insisi pada tikus wistar yang dilihat dari tanda radang, didapatkan bahwa pemberian tetes antibiotika memiliki nilai signifikansi sebesar 0,555 (P>0,05), hal ini menunjukan tidak adanya perbedaan nyata dari keempat perlakuan diatas, sehingga tidak dilakukan uji lanjutan dengan analisis Mann Whitney.

Hasil analisis data statistik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis pada kesembuhan luka insisi tikus wistar dilihat dari adanya kemunculan keropeng disajikan pada Tabel 3 di bawah ini:

Dari tabel analisis data kesembuhan luka insisi pada tikus wistar yang dilihat dari adanya keropeng didapatkan bahwa nilai signifikan sebesar 0,260 (P>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan pada keempat pengujian di atas.

Pembahasan

Berdasarkan data pengamatan tanpa dilakukan pengolahan data    spss,

didapatkan bahwa ada sedikit perbedaan tingkat kesembuhan yaitu munculnya keropeng dan hilangnya tanda radang di antara ke-4 perlakuan. Setelah melakukan pengolahan data statistik menggunakan aplikasi spss, hasil analisis data Kruskal Wallis pada data tanda radang dan keropeng yang telah dilakukan, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari antara empat kelompok (P>0,05) sehingga tidak dapat dilanjutkan ke pengujian selanjutnya yaitu uji Mann Whitney. Berdasarkan     pengamatan     secara

makroskopis yang telah dilakukan, semua perlakuan dalam penelitian ini memiliki tingkat kesembuhan yang hampir sama. Tikus wistar yang diberi perlakuan rata-rata mengalami kesembuhan pada hari ke-7 setelah perlakuan. Hal ini didukung oleh penelitian Nakao et al. (2009), yang dalam penelitiannya pemberian tetrasiklin secara topikal memiliki efek kesembuhan luka diabetes tikus pada hari ke-7.

Kesembuhan luka pada penelitian ini dilihat berdasarkan kemunculan keropeng dan hilangnya tanda radang. Pengamatan pada perlakuan T0 yaitu pemberian NaCl pasca insisi pada tikus wistar mulai ditemukan adanya kemunculan keropeng pada hari ke-3 yaitu 1 ekor tikus, hari ke-4 sebanyak 5 ekor, dan hari ke-5 sampai hari ke-7 semuanya sudah muncul keropeng yaitu sebanyak 6 ekor. Hilangnya tanda radang sudah mulai terjadi pada hari ke-3 pada 2 ekor tikus dengan skor 3 dan pada hari ke-7 terdapat 1 ekor tikus dengan hilangnya tanda radang total dengan skor 1, 4 ekor tikus yang mendapatkan skor 1, sisanya dengan skor 3. Perlakuan ini, tanda radang menghilang lebih lama dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Menurut Purnomo et al. (2014), NaCl

merupakan larutan cairan isotonik dan juga merupakan cairan garam fisiologis yang baik digunakan untuk pembersih,

pembasuh dan kompres pada luka. NaCl memiliki komposisi dan konsentrasi cairan yang hampir sama dengan cairan tubuh sehingga tidak mengiritasi jaringan. Penggunaan NaCl tidak terlalu mempengaruhi kesembuhan luka insisi karena NaCl tidak memiliki fungsi lain yang terkait dalam proses penyembuhan luka insisi pada tikus wistar.

Perlakuan T1 yaitu pemberian oksitetrasiklin pada luka insisi tikus wistar mulai ditemukan adanya kemunculan keropeng pada hari ke-3 sebanyak 1 ekor, hari ke-4 sebanyak 4 ekor, dan hari ke-5 sampai hari ke-7 sudah muncul keropeng di 6 ekor tikus perlakuan T1. Hilangnya tanda radang dimulai pada hari ke-1 sebanyak 1 ekor dengan skor 3, pada hari ke-5 mulai hilangnya tanda radang total sebanyak 1 ekor dengan skor 0, dan pada hari ke-7 mengalami peningkatan jumlah hilangnya tanda radang total sebanyak 2 ekor dengan 4 ekor sisanya masih ditemukan tanda radang. Oksitetrasiklin merupakan antibiotika spektrum luas yang bekerja menghambat sintesis protein bakteri. Oksitetrasiklin bersifat lipofilik dan dapat dengan mudah melewati membran sel atau secara pasif berdifusi melalui saluran porin pada membran bakteri. Oksitetrasiklin adalah antibiotik yang masuk ke dalam golongan tetrasiklin yang bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah dan bakterisidal pada konsentrasi tinggi (Bucle dan Williams, 1978). Meskipun oksitetrasiklin adalah turunan dari golongan tetrasiklin, namun oksitetrasiklin termasuk jenis antibiotik yang hanya dapat menghambat pertumbuhan kuman (bakteriostatik). Oksitetrasiklin bekerja pada ribosom bakteri dengan cara menghambat sintesis bakteri pada ribosom 30s kodon-antikodon antara mRNA dengan tRNA (Sader et al., 2009).

Perlakuan T2 yaitu pemberian amoxicillin pada luka insisi tikus wistar mulai ditemukan adanya kemunculan keropeng pada hari ke-3 sebanyak 5 ekor dan pada hari ke-4 sudah muncul semua

tanda radang pada 6 ekor tikus perlakuan. Hilangnya tanda radang dimulai pada hari ke-3 sebanyak 5 ekor dengan skor 3 dan sampai pada hari ke-7 sudah hilang tanda radang pada 2 ekor tikus dengan 2 ekor sisanya masih ada sedikit tanda radang skor 1. Menurut Bertanova et al. (2013), amoxicillin termasuk dalam kelas antimikroba beta-laktam. Beta-laktam bekerja dengan mengikat protein pengikat penisilin yang menghambat proses yang disebut transpeptidasi (proses pengikatan silang dalam sintesis dinding sel), yang menyebabkan aktivasi enzim autolitik di dinding sel bakteri. Proses ini menyebabkan lisis dinding sel, sehingga menghancurkan sel bakteri. Jenis aktivitas ini disebut sebagai pembunuhan bakterisidal. Pemberian amoxicillin pada luka insisi dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

Perlakuan T3 yaitu pemberian cefotaxime pada luka insisi tikus wistar mulai ditemukan adanya kemunculan keropeng pada hari ke-3 sebanyak 5 ekor dan pada hari ke-5 sudah muncul semua keropeng pada 6 ekor tikus perlakuan. Hilangnya tanda radang dimulai pada hari ke-2 sebanyak 3 ekor dengan skor 3 dan pada hari ke-7 terdapat 4 ekor tikus yang mengalami hilangnya tanda radang total dengan skor 0, sedangkan 2 ekor sisanya masih memiliki tanda radang dengan skor 1. Pemberian Cefotaxime memiliki efek kesembuhan paling tinggi dibandingkan perlakuan lain didasarkan pada pengamatan secara makroskopis. Cefotaxime bekerja dengan cara mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri (Kemenkes, 2011). Tahap awal pada kerja antibiotik cefotaxime dimulai dari pengikatan obat pada reseptor sel bakteri yaitu pada protein pengikat penisilin (PBPs=Penicillin-binding proteins). Setelah obat melekat pada satu atau lebih reseptor maka reaksi transpeptidasi akan

dihambat dan selanjutnya sintesis peptidoglikan akan dihambat. Tahap berikutnya adalah inaktivasi serta hilangnya inhibitor enzim-enzim autolitik pada dinding sel. Akibatnya adalah aktivasi enzim-enzim litik yang akan menyebabkan lisis bakteri. Lapisan peptidoglikan sangat penting dalam mempertahankan kehidupan bakteri dari lingkungan yang hipotonik, sehingga kerusakan atau hilangnya lapisan ini akan menyebabkan hilangnya kekakuan dinding sel dan akan mengakibatkan kematian (Neu dan Gootz, 1996).

Kemunculan keropeng dalam penelitian ini terjadi pada hari ketiga pasca perlakuan, karena pada hari ketiga merupakan fase awal proliferasi dari kesembuhan luka. Fase proliferasi yang memiliki karakter berupa formasi granulasi pada jaringan luka/cedera. Menurut Primadina et al. (2019), Proses penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks terdiri dari 3 fase, yaitu: Fase Inflamasi yang dibagi menjadi early inflammation (Fase haemostasis), dan late inflammation yang terjadi sejak hari ke 0 sampai hari ke 5 pasca terluka. Fase Proliferasi, yang meliputi tiga proses utama yakni: Neoangiogenesis, pembentukan fibroblast dan re-epitelisasi, terjadi dari hari ke-3 sampai hari ke-21 pasca terluka. Fase Maturasi terjadi mulai hari ke-21 sampai 1 tahun pasca luka.

Penyembuhan luka sangat dipengaruhi oleh re-epitelisasi, karena semakin cepat proses re-epitelisasi, semakin cepat pula luka tertutup sehingga semakin cepat penyembuhan luka. Re-epitelisasi terjadi karena proses mobilisasi, migrasi, mitosis, dan diferensiasi sel epitel. Semakin tebal epitel, semakin cepat proses re-epitelisasi sehingga semakin cepat pula proses kesembuhan luka (Prasetyo et al., 2010).

Kesembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan saling berhubungan, dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi jaringan yang rusak kembali seperti normal atau mendekati normal. Kesembuhan luka

melibatkan proses seluler, fisiologis, biokemis dan molekuler yang menghasilkan pembentukan jaringan parut dan perbaikan dari jaringan ikat (Cockbill, 2002). Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh (Ingold, 1993).

Pada proses kesembuhan luka, kolagen yang terbentuk akan bertambah. Kolagen berperan sangat penting pada proses kesembuhan luka karena berperan dalam memperbaiki jaringan yang rusak atau hilang. Kolagen merupakan protein utama yang menyusun komponen ECM (Gunawan, 2019). Fibroblas akan mengalami beberapa perubahan fenotip dan menjadi myofibroblas yang berfungsi untuk retraksi luka (Prasetyo et al., 2010). Fibroblas berperan dalam sekresi ECM (extracellular matrix) dan kolagen. Kolagen merupakan komponen protein utama pada ECM, maka pemberian ECM sangat mempengaruhi jumlah kolagen yang dapat mempercepat proses kesembuhan luka.

Tingkat kesembuhan luka dalam penelitian ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal seperti sanitasi kandang, suhu lingkungan, dan kelembaban udara. Faktor internal seperti strain, berat badan, hormon, tingkat stress, jenis kelamin, dan kemungkinan penyakit bawaan pada hewan coba.

Berdasarkan teori yang ada perlakuan dengan pemberian NaCl memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan perlakuan lain yang menggunakan tetes antibiotik. Tetapi pada penelitian kali ini tidak didapatkan hasil yang sesuai dengan teori yang diharapkan. Hasil dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu perbedaan interpretasi peneliti dalam pengamatan kemunculan keropeng dan tanda radang pada setiap perlakuan, perbedaan kedalaman luka dan panjang luka insisi, serta tidak terkontrolnya secara penuh kebersihan kandang yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan bakteri sehingga     mengakibatkan     proses

kesembuhan luka menjadi terhambat. Hasil ini juga dapat dipengaruhi dalam keadaan di mana sama sekali tidak terjadi infeksi bakteri pada setiap perlakuan, sehingga terjadi kesembuhan luka yang hampir sama pada setiap perlakuan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan analisis data kesembuhan luka insisi pada tikus wistar yang dilihat dari tanda radang memiliki nilai signifikansi sebesar 0,555 (P>0,05) dan keropeng dengan nilai signifikan sebesar 0,260 (P>0,05) yang menunjukan tidak adanya perbedaan signifikan/nyata dari keempat perlakuan yang dilakukan. Berdasarkan hasil tersebut tetes antibiotika yang diberikan menunjukkan hasil kesembuhan luka yang tidak berbeda di antara empat perlakuan, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tetes antibiotika tidak berpengaruh dalam proses kesembuhan luka.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan beberapa faktor pembanding serta variabel yang lebih spesifik sehingga dapat meyakinkan efektifitas tetes antibiotika terhadap kesembuhan luka yang dilihat dari tanda radang dan kemunculan keropeng.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, serta pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[KEMENKES RI] Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik      Indonesia      nomor

2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotik. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Bernatová S, Samek O, Pilát Z, Serý M, Ježek J, Jákl P, Siler M, Krzyžánek V, Zemánek P, Holá V, Dvořáčková M, Růžička F. 2013.  Following the

mechanisms of bacteriostatic versus bactericidal   action   using Raman

spectroscopy. Molecules. 18(11):13188 -13199.

Bucle D, Williams S. 1978. Antibiotik sensitivity testing in chemotherapy with antibiotiks and applied drugs, 4th ed. Canbera: MRC.Aus.Grovt.Publ.Serv.

Canpolat I, Basa A. 2017. Wound healing and current treatment techniques. Agric. Vet. Sci. 1(3):180–184.

Cockbill S. 2002. Wounds the healing process. The Welsh School Of Pharmacy. University College. Cardiff.

Gunawan SA, Berata IK, Wirata IW. 2019. Histopatologi kulit pada kesembuhan luka insisi tikus putih pasca pemberian extracellular matrix (ECM) yang berasal dari vesica urinaria babi. Indon. Med. Vet. 8(3): 313-324.

Ingold W. 1993. Wound therapy: growth agents as factor to promotes wound healing. Trends Biotechnol. 11: 387

392.

Kumar AR. 2013. Antimicrobial sensitivity pattern of klebsiella pneumonia isolated from pus from tertiarycar hospital and issues related to the rational selection of antimicrobials. J. Chem. Pharm. Res. 5(11): 326- 331.

Lostapa IWFW, Wardhita AAGJ, Pemayun IGAGP, Sudimartini LM.

2016. Kecepatan kesembuhan luka insisi yang diberi amoxicillin dan asam mefenamat pada tikus putih. Bul. Vet. Udayana. 8(2):172-179.

Nakao C, Angel M, Di Mateo S, Komesu MC. 2009. Effects of topical tetracycline in wound healing on experimental diabetes in rats. Open Diabetes J. 2(1), 53-9.

Neu HC, Gootz TD. 1996. Medical

mirobiology, 4th edition. Texas: University of Texas Medical Branch at Galveston.

Kusuma DSP. 2017. Cara mudah merawat luka. Surabaya: Airlangga University Press.

Prasetyo BF, Wientarsih I, Priosoeryanto BP. 2010. Aktivitas sediaan gel ekstrak batang pohon pisang ambon dalam proses penyembuhan luka pada mencit. J. Vet. 11(2): 70-73.

Primadina N, Basori A, Perdanakusuma DS. 2019. Proses penyembuhan luka ditinjau dari aspek mekanisme seluler dan molekuler. Qanun Med. 3(1): 3143.

Purnomo SEC, Dwiningsih SU, Lestari KP. 2014. Efektifitas penyembuhan luka menggunakan nacl 0, 9% dan

hydrogel pada ulkus diabetes mellitus di RSU Kota Semarang. In Prosiding Seminar Nasional dan Internasional.

Sader HS, Fey PD, Fish DN, Limaye AP, Pankey G,  Rahal J, Rybak MJ,

Snydman DR, Steed LL, Waites K, Jones RN. 2009. Evaluation of vancomycin and daptomycin potency trends (MIC creep) against methicillin-resistant Staphylococcus aureus isolates collected in nine U.S. medical centers from 2002 to 2006. J Antimicrob. Agents. Chemother. 53(10): 4127-32.

Sastrawan NKL, Wardhita AAGJ, Dada IKA, Sudimartini LM. 2016. Perbandingan kecepatan kesembuhan luka insisi yang diberi amoxicillin-deksametason dan amoxicillin-asam mefenamat pada tikus putih (Rattus norvegicus). Indon. Med.Vet. 5(2): 129144.

Satyo AC, Criminales K. 2006. Aspek medikolegalluka pada forensik klinik. Majalah Ked. Nusantara. 39(4):430– 432.

Wintoko R, Yadika ADN. 2020. Manajemen terkini perawatan luka. J. Ked. Univ. Lampung, 4(2): 183-189.

Tabel 1. skoring penilaian tanda radang dan keropeng

Tanda radang

Keropeng

0 = hilangnya semua tanda radang 1 = terdapat 1 tanda radang positif 2 = terdapat 2 tanda radang positif 3 = terdapat 3 tanda radang positif 4 = terdapat 4 tanda radang positif

0 = negatif

1 = positif

Tabel 2. Rata-rata skor dan nilai signifikasi Kesembuhan Luka Insisi pada Tikus Wistar yang dilihat dari tanda radang dengan uji Kruskal Wallis

erlakuan dengan pemberian tetes antibiotika

Skor rata-rata                 Sig.

NaCl (T0)

Oksitetrasiklin (T1)

Amoxicillin (T2)

Cefotaxime (T3)

2,83

2,69

2,74                      0,555

2,31

Tabel 3. Rata-rata skor dan nilai signifikasi Kesembuhan Luka Insisi pada Tikus Wistar yang dilihat dari kemunculan keropeng dengan uji Kruskal Wallis

Perlakuan dengan pemberian tetes antibiotika

Skor rata-rata              Sig.

NaCl (T0)

Oksitetrasiklin (T1)

Amoxicillin (T2)

Cefotaxime (T3)

0,60

0,55

0,69                    0,260

0,69

1050