Volume 15 No. 4: 609-619

Agustus 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i04.p13

Buletin Veteriner Udayana pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Laporan Kasus: Penanganan Limfosarkoma Inguinalis pada Anjing Minipom Jantan

(CASE REPORT: TREATMENT OF INGUINALIS LYMPHOSARCOMA IN MALE MINIPOM DOGS)

Ni Putu Gita Kristyari1*, I Gusti Agung Gde Putra Pemayun2, I Wayan Wirata2

1Praktisi di Batubulan, Sukawati, Gianyar, Bali, Indonesia, 80582; 2Laboratorium Ilmu Bedah Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl.

PB. Sudirman, Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia 80234.

*Email: [email protected]

Abstrak

Limfosarkoma adalah tumor ganas yang terjadi pada sistem limfatik, penyebab limfosarkoma belum sepenuhnya diketahui, namun ada beberapa faktor resiko yang dapat memicu terjadinya limfosarkoma seperti usia, perubahan genetik, infeksi, radiasi bahan kimia, dan penyakit imunodefiensi tertentu. Laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui cara mendiagnosa dan penanganan kasus limfosarkoma inguinalis pada anjing. Seekor anjing ras minipom jantan berumur 2 tahun dengan bobot 5,6 kg diperiksa dengan keluhan adanya benjolan didaerah inguinalis bagian dextra penis sejak 3 minggu. Berdasarkan anamnesa, hasil pemeriksaan fisik, tanda klinis yang diamati dan pemeriksaan penunjang histopatologi maka anjing tersebut didiagnosa mengalami limfosarkoma. Hewan kemudian ditangani dengan pembedahan untuk mengangkat tumor. Premedikasi diberikan atrofin sulfat 0.03 mg/kg BB secara subkutan, dan dilanjutkan dengan pemberian anastesi kombinasi xylazine 2 mg/kg BB dan ketamine 12 mg/kg BB secara intravena. Operasi pengangkatan tumor dilakukan dengan cara eksisi pada massa tumor dengan memisahkan jaringan sekitarnya. Pascaoperasi anjing diberikan antibiotik injeksi cefotaxime 20 mg/kg BB secara intravena selama 3 hari, dilanjutkan dengan pemberian cefixime secara per oral 5 mg/kg BB selama 5 hari. Pemberian antiradang tolfedine dengan dosis 4 mg/kg BB secara intramuskuler selama 3 hari. Pada luka operasi hari pertama sampai hari ketujuh diberikan serbuk enbatik dan hari selanjutnya diberikan salep gentamicin sulfat. Setelah operasi hewan diobservasi untuk mengetahui kesembuhan luka pascaoperasi, pada hari ke 12 luka sudah mengering dan menyatu, serta tiga jahitan telah lepas sendirinya. Penanganan kasus limfosarkoma dilakukan dengan tindakan pengangkatan massa tumor. Kesembuhan luka operasi teramati pada hari ke-12. Untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal dipertimbangkan untuk melakukan kemoterapi dan atau radioterapi untuk menghancurkan sel – sel yang telah bermetastase pada jaringan.

Kata kunci: Anjing minipom; eksisi tumor; inguinalis; lymphosarcoma

Abstract

Lymphosarcoma is a malignant tumor that occurs in the lymphosarcoma system, the cause of lymphosarcoma is not fully known, but there are several risk factors that can trigger the occurrence of lymphosarcoma such as age, genetic changes, infections, chemical radiation, and certain immunodeficiency diseases. This case report aims to find out how to diagnose and treat cases of inguinal lymphosarcoma in dogs. A 2 year old male minipom dog with a weight of 5.6 kg was examined with complaints of a lump in the inguinal area on the dextra penis since 3 weeks. Based on the anamnesis, results of physical examination, observed clinical signs and histopathological investigations, the dog was diagnosed with lymphosarcoma. Animals are then treated with rehabilitation to remove the tumor. Premedication was given subcutaneous atropine sulfate 0.03 mg/kg BB, followed by administration of a combination of xylazine 2 mg/kg BB and ketamine 12 mg/kg BB intravenous. Surgical removal of the tumor is carried out by excision of the tumor mass by separating the nearby tissue. Postoperatively the dog was given cefotaxime injection of 20 mg/kg BB intravenous for 3 days, followed by oral administration of cefixime 5 mg/kg BB for 5 days. Giving anti-inflammatory tolfedine at a dose of 4

mg/kg BB intramuscular for 3 days. On the first day to the seventh day of the surgical wound, enbatic powder was given and the next day, gentamicin sulfate ointment was given. After the operation, the animals were observed to determine the healing of the postoperative wounds, on the 12 day the wounds had dried and fused, and the three stitches had fallen off on their own. Treatment of lymphosarcoma cases is carried out by removing the tumor mass. Healing of the surgical wound was observed on the 12 day. To get maximum results, consider chemotherapy and or radiotherapy to destroy cells that have metastasized in tissues.

Keywords: Inguinal; lymphosarcoma; minipom dog; tumor excision

PENDAHULUAN

Anjing merupakan salah satu hewan yang umum dipelihara dan sebagai hewan kesayangan. Anjing menjadi hewan peliharaan favorit karena dinilai sebagai hewan yang cerdas dan setia (Saputra, 2016). Anjing banyak digunakan untuk membantu manusia seperti menjaga rumah, karena memiliki kelebihan pada indera penglihatan, penciuman dan pendengaran. Kecintaan manusia terhadap anjing secara langsung mempengaruhi cara pemeliharaan dan perawatan anjing (Saputra, 2016). Banyak penyakit yang dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup hewan kesayangan baik disebabkan oleh agen infeksius maupun agen non infeksius (Priosoeryanto, 2014). Agen infeksius misalnya virus, bakteri, parasit ataupun jamur. Selain itu bisa juga disebabkan oleh agen non infeksius seperti perubahan patologik, salah satunya adalah tumor (Priosoeryanto, 2014).

Tumor atau neoplasia termasuk ke dalam salah satu penyakit yang umum menyerang anjing. Neoplasia ada yang bersifat jinak (benign) dan ada yang bersifat ganas (malignan) atau yang lebih dikenal dengan istilah sarcoma (kanker). Neoplasia merupakan kumpulan sel abnormal dimana terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus menerus, secara tidak terbatas, tidak terkoordinasi dan tidak ada manfaatnya bagi tubuh (Berata et al., 2011). Tumor dimanapun letaknya pada tubuh, penanganannya dengan melakukan eksisi (pengangkatan) secara total (Sudisma, 2006). Penanganan tumor dengan pengangkatan total tumor termasuk pencegahan kemungkinan sel tumor bermetastasis ke tempat lain dapat

dilakukan dengan tindakan pembedahan dan pengobatan dengan kemotherapi (Mayer, et al., 1959; Martins, et al., 2005). Tumor limfosarkoma ini sangat jarang sekali terjadi, persentase kejadian berkisar 6,8% sampai 7,9% dari keseluruhan kejadian tumor yang menyerang anjing (David dan Steven, 2007). Banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan perkembangan tumor seperti fisik, dan juga usia anjing.

Limfosarkoma adalah kanker yang terjadi pada sistem limfatik. Sistem limfatik terdiri dari pembuluh limfatik, kelenjar getah bening dan organ limfatik. Sistem limfatik memiliki sirkulasi yang terhubung satu sama lain (Amanda, 2019). Oleh karena itu, jika terjadi kelainan atau tumor maka akan dapat menyebar melalui sirkulasi tersebut. Penyebab limfosarkoma belum sepenuhnya diketahui, namun ada beberapa faktor resiko yang dapat memicu terjadinya limfosarkoma. Faktor resiko ini mencakup usia, perubahan genetik, infeksi, radiasi bahan kimia, dan penyakit imunodefiensi tertentu (Mengko dan Surarso 2009). Beberapa tindakan penanganan yang dapat dilakukan pada kasus neoplasia meliputi pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi (Sewoyo dan Kardena, 2022). Sudisma et al, (2006) menyatakan bahwa penanganan beberapa kasus tumor ganas seperti limfosarkoma dapat dilakukan dengan pengangkatan secara total diserati dengan pemberian kemoterapi.

Dewasa ini laporan kasus yang menjelaskan tentang limfosarkoma daerah inguinalis pada anjing masih jarang dilaporkan. Sehingga kasus limfosarkoma pada anjing perlu diperhatikan. Laporan

kasus ini bertujuan untuk mengetahui cara mendiagnosa dan penanganan kasus limfosarkoma inguinalis pada anjing.

METODE PENELITIAN

Sinyalemen dan Anamnesis

Seekor anjing minipom berjenis kelamin jantan belum disteril, berusia 2 tahun dengan bobot badan 5,6 kg, warna rambut coklat bernama Milo, dan sistem pemeliharaan tidak dikandangkan. Dilaporkan oleh pemiliknya Milo mengalami adanya benjolan di daerah inguinal bagian dextra penis kurang lebih sekitar 3 minggu. Berdasarkan keterangan dari pemilik, anjing memiliki nafsu makan yang baik serta tidak mengalami masalah dalam urinasi dan defekasi. Makanan yang diberikan yaitu nasi dicampur dengan ayam dan tulang ayam, serta makanan sisa dari pemiliknya. Status vaksinasi sudah dilakukan vaksin namun belum diberikan obat cacing. Selama ditemukannya benjolan anjing Milo belum pernah diberikan pengobatan. Berikut hewan kasus yang mengalami benjolan pada inguinalis bagian dextra penis (Gambar 1).

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi yaitu terlihat adanya benjolan pada daerah inguinal bagian dextra penis. Ketika dilakukan palpasi massa terasa padat dengan pertumbuhan tak teratur.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada anjing kasus dilakukan hematologi rutin dan pemeriksaan histopatologi. Hematologi rutin dilakukan sebelum operasi, dengan cara pengambilan darah dari vena cephalica sebanyak 2 ml lalu dimasukkan kedalam tabung yang mengandung EDTA. Sedangkan pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan mengambil massa tumor dibagian inguinalis dan diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVET Denpasar).

Diagnosa dan Prognosa

Berdasarkan hasil sinyalemen, anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan histopatologi, anjing kasus di diagnosis menderita limfosarkoma dengan prognosa dubius.

Penanganan

Anjing Milo mengalami Limfosarkoma sehingga ditangani dengan tindakan pengangkatan massa tumor pada daerah inguinalis bagian dextra penis. Prosedur penanganan tindakan operasi harus melewati 3 tahap yaitu tahap preoperasi, operasi, dan pascaoperasi.

Preoperasi

Metode preoperasi dilakukan mulai dari persiapan ruang operasi. Alat-alat seperti meja operasi dan ruangan yang digunakan harus bersih dan dalam keadaan steril. Alat dan bahan yang akan digunakan pada operasi harus dalam keadaan steril agar tidak terjadi kontaminasi selama operasi berlangsung. Persiapan lainnya seperti hewan yang dioperasi dipuasakan makan minimal 12 jam dan minum 6 jam sebelum operasi. Hewan yang akan dioperasi harus dilakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Selanjutnya hewan disiapkan secara aseptic yaitu pencukuran rambut hewan pada daerah yang akan dilakukan insisi.

Anjing kasus diberikan premedikasi atrofin sulfat 0,03 mg/kg BB (Atropin sulfat®, PT. Ethica Industri Farmasi, Semarang, Indonesia) secara subkutan. Anjing dipasangkan infus Sodium Chlorida 0,9% (Sodium Chlorida®, PT. Kimia Farma, Bandung, Indonesia) sebelum dibawa ke meja operasi. Setelah infus terpasang dilakukan anestesi dengan kombinasi ketamin 12 mg/kg BB (Ketamin®, Pfizer, Depok, Indonesia) dengan xylazine 2 mg/kg BB (Xyla®, Interchemie, Venray, Belanda) secara intravena melalui infus. Selanjutnya hewan disiapkan secara aseptik dengan alkohol dan betadin dan diletakkan dengan posisi

rebah dorsal diatas meja operasi, kemudian dipasang kain penutup operasi (drap).

Operasi

Metode operasi pada kasus limfosarkoma dilakukan dengan metode operasi pengangkatan seluruh tumor yang berada pada daerah inguinal bagian dextra penis. Insisi dilakukan di daerah inguinal hingga ditemukan adanya massa padat (Gambar 2a), jaringan lemak subcutan yang mengelilingi bagian tumor dikuakkan dengan menggunakan alice forcep dan cari massa tumornya (Gambar 2b). Kemudian dilakukan juga proses tamponisasi dan ligasi menggunakan arteri klem dan benang vickril untuk menghentikan pendarahan (Gambar 2c).

Setelah dilakukan proses tamponisasi dan ligasi menggunakan arteri klem dan benang vickril, tumor yang sudah terlihat dieksisi dan diangkat massa tumor yang menempel (Gambar 3a,3b), selanjutnya dilakukan pengukuran massa tumor (Gambar 3c). Setelah dipastikan tidak ada pendarahan di bagian yang sudah di insisi, selanjutnya luka bekas insisi ditetesi cefotaxime yang dikombinasikan dengan NaCl fisiologis.

Setelah dipastikan tidak ada pendarahan di bagian yang sudah di insisi, kemudian jaringan lemak disekitar tumor dilakukan penjahitan dengan benang vickril 2-0 (Vicryl Plus®, Ethicon Inc., New Jersey, Amerika) dengan pola jahitan sederhana menerus (simple continuous) (Gambar 4a). Kemudian subcutan dijahit dengan menggunakan benang chromic catgut 2-0 (Chromic Catgut®, Gea Medical, Jakarta, Indonesia) dengan pola jahitan subcutikuler (Gambar 4b). Setelah itu pada bagian kulit dilakukan penjahitan menggunakan pola jahitan sederhana terputus dengan benang silk 2-0 (Gambar 4c). Setelah kulit terjahit secara sempurna kemudian daerah sekitar operasi dibersihkan menggunakan iodin dan luka jahitan diberikan serbuk enbatik (Enbatic®, Erela, Semarang, Indonesia). Setelah itu luka operasi ditutup menggunakan kain kasa steril, kemudian ditutup dengan plaster putih (Ultrafix®).

Kemudian massa tumor diperiksa histopatologinya di Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet Denpasar).

Pascaoperasi

Setelah operasi selesai, hewan diberikan antibiotik cefotaxime 20 mg/kg BB (Cefotaxime®, PT. Dankos Farma, Jakarta, Indonesia) dengan pemberian setiap 24 jam sekali secara intravena selama 3 hari dan anti radang Tolfedine 4 mg/kg BB (Tolfedin®, Ventoquinol, France, Prancis) secara intramuskuler selama 3 hari. Selama perawatan pasca operasi hewan diobservasi selama 12 hari. Hari keempat pasca-operasi hewan diberikan terapi berupa antibiotik cefixime 5 mg/kg BB (Cefixime®, PT. Dankos Farma, Jakarta, Indonesia) dengan pemberian setiap 12 jam sekali secara per oral selama 5 hari. Penggantian kasa dan plester dilakukan setiap hari. Pada hari kedelapan, luka bekas jahitan operasi dioleskan salep gentamicin sulfat (R/Gentamicin Sulfate®, PT. Kimia Farma, Medan, Indonesia). Untuk mengurangi pergerakan,     hewan     dipasangkan

Elizabethan collar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan pemeriksaan fisik diketahui anjing kasus memiliki denyut jantung 104 kali/menit; frekuensi respirasi 32 kali/menit; suhu tubuh 37,8ºC; nilai capillary refill time (CRT) kurang dari dua detik dan mukosa mulut teramati berwarna merah muda dan basah (normal). Tanda klinis terlihat adanya benjolan pada daerah inguinal bagian dextra penis. Ketika dilakukan palpasi massa terasa padat dengan pertumbuhan tak teratur seperti pada gambar dibawah (Gambar 5).

Pemeriksaan penunjang pada anjing kasus dilakukan hematologi rutin dan pemeriksaan histopatologi. Hematologi rutin dilakukan sebelum operasi, dengan cara pengambilan darah dari vena cephalica sebanyak 2 ml lalu dimasukkan kedalam tabung yang mengandung EDTA. Pemeriksaan hematologi dilakukan satu

minggu sebelum operasi seperti pada Tabel 1.

Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya sel-sel tumor yang berasal dari sel-sel limfosit dengan ukuran yang tidak sama, ada yang berukuran besar dan ada yang berukuran kecil, yang tersusun pada stroma dan beberapa sel mengalami mitosis. Pemeriksaan histopatologi dapat dilihat seperti pada gambar dibawah (Gambar 6).

Pengamatan pascaoperasi anjing kasus pada hari ke-1 sampai hari ke-12 (Tabel 2).

Pembahasan

Limfosarkoma merupakan kanker yang terjadi pada sistem limfatik yang penyebab limfosarkoma belum sepenuhnya diketahui, namun ada beberapa faktor resiko yang dapat memicu terjadinya limfosarkoma seperti usia, perubahan genetik, infeksi, radiasi bahan kimia, dan penyakit imunodefiensi tertentu (Mengko dan Surarso 2009). Selain itu hewan yang tinggal di daerah industri dengan paparan bahan kimia yang tinggi, lokasi radioaktif atau tercemar bahan karsinogenik, dapat meningkatkan resiko terjadinya limfosarkoma (Gavazza et al., 2001). Kasus limfosarkoma dapat terjadi pada semua umur anjing, tetapi sebagian besar menyerang anjing yang lebih tua daripada anjing muda dengan tingkat insiden meningkat seiring bertambahnya umur. Dimana kejadian kasus pada anjing umur kurang dari satu tahun mencapai 1,5% sedangkan anjing dengan umur tua yaitu berumur sepuluh tahun kejadian kasusnya mencapai sekitar 84% kasus (Marconato et al. 2013).

Limfosarkoma juga dilaporkan di sejumlah negara dengan prevalensi yang sangat bervariatif. Hal ini dikarenakan perbedaan tingkat paparan karsinogenik, paparan sinar UV yang berlebih, perbedaan ras anjing pada populasi tertentu, dan faktor genetik (Mukaratirwa et al., 2005). Jenis kelamin jantan maupun betina berisiko menderita tumor limfosarkoma, tetapi anjing betina tampaknya memiliki risiko yang lebih rendah (Villamil et al. 2009) hal

ini dikaitkan dengan peran hormon di dalamnya, reseptor progesteron dan estrogen jarang diekspresikan pada limfosit neoplastik (Teske et al. 1987). Stadium limfosarkoma dibagi menjadi 4 yaitu stadium I, II, III, dan IV. Stadium I yaitu sel kanker berkumpul menjadi satu kelompok di daerah tertentu. Stadium II yaitu sel limfosarkoma berada pada sekurang-kurangnya 2 kelompok di daerah tertentu. Stadium III limfosarkoma terdapat pada kelompok kelenjar getah bening di atas maupun di bawah, atau di organ dan jaringan sekitar getah bening. Stadium IV limfosarkoma sudah menyebar ke seluruh satu organ atau jaringan selain kelenjar getah bening, atau bisa juga berada dalam organ hati, atau sumsum tulang (Kemenkes RI 2015).

Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi ditemukan adanya sel-sel tumor berupa sel limfosit dengan bentuk dan ukuran yang tidak sama, dimana ditemukan limposit yang berukuran besar dan juga limfosit kecil, bersifat infiltratif dan tersusun dalam stroma. Stroma merupakan salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan sel tumor dimana stroma sendiri berfungsi sebagai kerangka penunjang dan pengikat sel-sel parenkim neoplasma yang membentuk massa jaringan. Stroma dapat membatasi aktifitas perkembangan jaringan tumor pada suatu jaringan atau organ (Laksmi et al., 2019). Tinggi rendahnya sel yang mengalami mitosis merupakan indikator penting yang menentukan keganasan proliferasi suatu tumor (Francken et al., 2003). Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya tahapan mitosis dari setiap lapang pandang pengamatan. Tingginya sel yang mengalami mitosis pada kasus ini menunjukkan tumor limfosarkoma termasuk tumor tipe ganas (Nasrudin et al., 2014).

Penanganan pasca operasi merupakan bagian yang sangat penting, karena stadium kesembuhan luka akibat insisi harus dimonitor dengan baik. Selama perawatan

pasca operasi, antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder dengan pemberian antibiotik cefotaxime, umumnya diberikan secara IV yang telah terbukti, dapat dipercaya dan efektif terhadap infeksi luka operasi pada semua tipe pembedahan dan dapat diperkirakan kadar serum serta konsentrasinya di dalam tubuh (Lukito, 2019). Pada hari keempat anjing kasus mulai menerima antibiotik per oral berupa cefixime. Dosis cefixime yang diberikan pada anjing kasus ini sebanyak 5 mg/kg dengan q12h. Cefixime merupakan antibiotik yang tergolong kedalam generasi ke-3 cephalosforin. Obat ini berspektrum luas dan bersifat bakterisidal yang bekerja dengan cara menghambat pembentukan dinding sel bakteri dan berperan dalam melisiskan sel bakteri. Cefixime dapat diberikan secara per-oral dan efektif digunakan untuk mencegah (prophylaxis) terjadinya infeksi bakteri pada preoperasi maupun pascaoperasi (Hammad et al., 2013). Mengingat posisi luka pada anjing kasus berada di area inguinal dan luka sangat berisiko terkontaminasi oleh debu atau kotoran saat hewan tidur atau duduk, sehingga penggunaan antibiotik ini dapat membantu mempercepat kesembuhan luka pasca operasi. Pemberian obat Tolfedine ® merupakan antiinflamasi non-steroid (NSAID) yang digunakan untuk perawatan peradangan     kronis     pascaoperasi.

Pemberian serbuk enbatik yang mengandung neomisin sulfat dan termasuk dalam antibiotik aminoglikosida dan zink bacitracin ampuh untuk mengobati infeksi bakteri gram negative dan positif. Salep gentamicin merupakan antibiotik berbentuk salep yang digunakan untuk mengobati infeksi pada kulit yang disebabkan oleh bakteri.

Selain melakukan treatmen dengan pemberian obat, dilakukan juga treatment lainnya. Adapun treatmen yang dilakukan adalah dengan mengurangi gerak, menjaga kebersihan daerah tempat tidurnya, pemasangan Elizabeth   collar,   dan

perlindungan terhadap luka jahitan dengan pemberian enbatik ditutup dengan kasa

steril dan hypafix. Pengamatan terhadap luka operasi dilakukan selama 12 hari pasca operasi terhadap hewan kasus dan menunjukkan hasil yang baik. Pada hari ke-1 sampai hari ke-3 luka terlihat masih mengalami peradangan. Hal ini karena adanya proses peradangan yang umum terjadi pasca operasi. Fase peradangan ditandai dengan adanya kemerahan (rubor), panas (kalor), kebengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor), dan fungsiolesia yang terjadi di tempat peradangan (Berata et al., 2011). Inflamasi terjadi karena adanya mediasi oleh sitokin, chemokine, faktor pertumbuhan, dan efek terhadap reseptor (Purnama et al., 2015). Reaksi imflamasi adalah respon fisiologis normal tubuh dalam mengatasi luka. Tujuan dari proses inflamasi ini adalah untuk membunuh bakteri yang mengkontaminasi luka dengan menetralkan toksin. Pada hari ke-4 kebengkakan dan kemerahan berangsur mereda, namun pada hari ke-5 luka terjilat sehingga luka terlihat membengkak dan kemerahan, luka bekas insisi masih diberikan serbuk enbatik. Pada hari ke-7 kebengkakan dan kemerahan akibat infeksi karena dijilat masih teramati sehingga pengobatan dilanjut dengan pemberian salep gentamicin. Pada hari ke-9 luka anjing kasus mulai mengering, kebengkakan mulai mereda, namun masih terlihat adanya kemerahan. Pada hari ke-12, luka anjing kasus mengering. Kebengkakan pada luka anjing kasus sudah mereda. Jahitan sudah menyatu dan terdapat tiga jahitan sudah lepas dengan sendirinya. Anjing kasus sangat aktif, dapat bergerak bebas, nafsu makan, minum, defekasi dan urinasi normal. Kesembuhan luka pasca operasi sangat didukung oleh kondisi tubuh pasien. Kesembuhan luka pasca operasi dapat dipengaruhi oleh faktor kebersihan luka, faktor umur hewan, dan status gizi hewan. Status gizi sangat berpengaruh terhadap kesembuhan luka pasca operasi (Jeusette et al., 2004). Kecukupan gizi melalui asupan makanan pasca operasi harus terpenuhi guna mempercepat kesembuhan serta menstabilkan kondisi

anjing kasus pasca operasi. Selain itu, penanganan operasi yang lege artis, perawatan pasca operasi yang intensif, dan kebersihan kadang dapat mempercepat proses kesembuhan luka.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium berupa histopatologi maka anjing tersebut didiagnosa mengalami limfosarkoma. Tindakan yang dilakukan dalam mengobati kasus ini adalah melakukan pengangkatan massa tumor. Penanganan pascaoperasi diberikan antibiotik cefotaxime secara intravena selama tiga hari dilanjutkan dengan antibiotik cefixime per oral selama lima hari, dan analgesik yang diberikan adalah tolfedine. Untuk mengatasi infeksi pada kulit diberikan serbuk enbatik dan salep gentamicin. Kesembuhan luka operasi teramati pada hari ke-12 dimana luka sudah mengering dan menyatu, serta teramati tiga jahitan sudah lepas sendirinya sehingga jahitan dapat dibuka.

Saran

Untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal    dipertimbangkan    untuk

melakukan kemoterapi dan atau radioterapi untuk menghancurkan sel – sel yang telah bermetastase pada jaringan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff pengampu koasistensi Ilmu Bedah Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah memberikan fasilitas, bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Amanda SA. 2019. Kasus limfoma pada anjing golden retriever. J. ARSHI Vet. Lett. 3 (2): 21-22.

Berata IK, Winaya IBO, Mirah AAA, Adnyana IBW. 2011. Patologi veteriner umum. Swasta Nulus. Denpasar.

David, Steven. 2007. Small animal clinical oncology. Saunders Elsivier. Westline Industrial Drive. St Louis. Messuery.

Fenta DA, Nuru MM, Yemane T, Asres Y, Wube TB. 2020. Anemia and related factors among highly active antiretroviral therapy experienced children in Hawassa comprehensive specialized hospital, Southern Ethiopia: Emphasis on patient management. Drug. Healthcare and Patient Safety. 12(1): 49-56.

Francken AB, Shaw HM, Thompson JF, Soong SJ, Accortt NA, Azzola MF. 2003. The prognostic importance of tumor mitotic rate confirmed in 1317 patients with primary cutaneous melanoma and long follow-up. Ann. Surg. Oncol. 11(4): 426-433.

Gavazza A, Presciuttini S, Barale R, Lubas G, Gugliucci B. 2001. Association between canine malignant lymphoma, living in industrial areas, and use of chemicals by dog owners. J. Vet. Intern. Med. 15(1): 190-195.

Hammad MA, AL-Akhali MK, Mohammed AT. 2013. Evaluation of surgical antibiotic prophylaxis in aseer area hospitals in kingdom of saudi arabia. JPCS. 6(1): 1-7.

Jeusette I, Detilleux J, Cuvelier C, Istasse L, Diez M. 2004. Ad libitum feeding following ovariectomy in female beagle dogs: effect on maintenance energy requirement and on blood metabolites. J. Anim. Physiol. Anim. Nutr. 88(4): 117121.

Kemenkes RI. 2015. Infodatin pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Laksmi IGAI, Gorda IW, Jayawardhita AAG. 2019. Laporan kasus: penanganan venereal sarcoma pada anjing lokal betina dengan pembedahan dan kemoterapi. Indon. Med. Vet. 8(4): 414423.

Lukito JI. 2019. Antibiotik prolaksis pada tindakan bedah. J. CDK. 46(12): 777783.

Martins MIM, Souza FFD, Gubelo C. 2005. Canine tumor. Etiology, Pathology, Diagnosis dan Treatment. Int. Vet. Inform. Serv. Ithaca New York.

Mayer K, Lacroix JV, Hoskins HP. 1959. Canine surgery 4th ed., American Veterinary Publications. Inc.

Mengko SK, Surarso B. 2009. Patogenesis limfoma non hodgkin ekstra nodal kepala dan leher. J. THT-KL. 2(1):32-47.

Marconato L, Gelain ME, Comazzi S. 2013. The dog as a possible animal model for human   nonHodgkin

lymphoma: a review. Hematol. Oncol. 31(1):1-9.

Mukaratirwa S, Chipunza J, Chitanga S. 2005. Canine cutaneous neoplasms: prevalence and influence of age, sex and site on the presence and potential malignancy of cutaneous neoplasms in dogs from Zimbabwe. J. South African Vet. Assoc. 76(1): 59–62.

Nasrudin F, Kardena M, Supartika KE. 2014. Indeks mitosis venereal sarcoma pada anjing lokal di Denpasar. Indon. Med. Vet.3(4): 334-343.

Purnama H, Sriwidodo, Ratnawulan S. 2015. Proses penyembuhan dan

perawatan luka. Farmaka. 15(2): 251258.

Priosoeryanto BP. 2014. Penyakit tumor pada hewan:  biologi dan upaya

penanganannya.    Bogor:    Institut

Pertanian Bogor.

Saputra CFL. 2014. Implementasi konsep wild into coziness pada perancangan interior dog daycare center di Surabaya. J. Intra. 4(2): 423-434.

Sudisma IGN, Putra Pemayun IGAG, Jaya Wardhita AAG, Gorda IW. 2006. Ilmu bedah veteriner dan teknik operasi. Pelawa Sari. Denpasar.

Sewoyo PS, Kardena IM. 2022. Canine transmissible venereal tumor: treatment review and updates. Rev. Electronica de Vet. 23(1): 1-7.

Teske E, Besselink CM, Blankenstein MA, Rutteman GR, Mis-dorp W. 1987. The occurrence of estrogen and progestin receptors and anti-estrogen binding sites (AEBS) in canine non-Hodgkin’s lymphomas. Anticancer Res. 7(1): 857860.

Villamil JA, Henry CJ, Hahn AW, Bryan JN, Tyler JW, Caldwell CW. 2009. Hormonal and sex impact on the epidemiology of canine lymphoma. J Cancer Epidemiol. 2009: 591753.


Gambar 1. Hewan kasus yang mengalami benjolan pada inguinalis bagian dextra penis

Gambar 2. Prosedur pengangkatan tumor. insisi pada kulit (a), menguakkan massa tumor (b), proses tamponisasi dan ligasi dengan arteri klem dan benang vikryl (c).

Gambar 3. tumor di eksisi dan pengangkatan tumor yang menempel (a,b), massa tumor setelah dieksisi diletakkan pada instrument bedah dan massa tumor diukur (c).

Gambar 4. penjahitan jaringan lemak disekitar tumor dijahit dengan pola jahitan sederhana menerus (a), subcutan dijahit dengan pola jahitan subkutikuler (b), kulit dijahit dengan pola jahitan sederhana terputus (c).

Gambar 5. Benjolan daerah inguinalis bagian dextra penis massa terasa padat

Gambar 6. Mikroskopis Limfosarkoma pada Anjing Jantan Minipom: Sel-sel tumor yang berasal dari sel-sel limfosit dengan ukuran besar (panah merah) dan ukuran kecil (panah kuning), stroma (panah hitam), sel yang mengalami mitosis (panah biru). (Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin A: pembesaran 40x10, B: Pembesaran 10x10 ).

Tabel 1. Hasil hematologi rutin satu minggu sebelum operasi

Parameter

Hasil

Nilai Rujukan

Keterangan

WBC (×103/µL)

11,1

6-17

Normal

Limfosit (×103/µL)

4,8

0,8-5,1

Normal

Monosit (×103/µL)

0,8

0-18

Normal

Granulosit (×103/µL)

5,5

4,0-12,6

Normal

RBC (×106/µL)

5,86

5,5-8,5

Normal

Hemoglobin (g/L)

123

110-190

Normal

HCT (%)

43,3

39-56

Normal

MCV (fL)

74,0

62,0-72,0

Meningkat

MCH (Pg)

20,9

20-25

Normal

MCHC (g/dL)

284

300-380

Menurun

Platelet (×103/µL)

39

117-460

Menurun

Keterangaan: WBC: white blood cell; RBC: red blood cell; MCV: mean corpuscular volume; MCH: mean corpuscular hemoglobin; MCHC: mean corpuscular hemoglobin concetration.

Tabel 2. Hasil pengamatan pascaoperasi dari hari ke-1 hingga hari ke-12 pada anjing kasus penderita limfosarkoma

Pengamatan Pascaoperasi

Hasil Pengamatan

Terapi

Gambar Bekas Jahitan

Hari ke-1

Luka anjing kasus setelah operasi, terlihat masih basah dan kemerahan di sekitar daerah insisi dan jahitan.

Serbuk enbatik, injeksi Cefotaxime 20 mg/kg BB dan injeksi tolfedin 4 mg/kg BB

Hari ke-2 dan 3


Luka anjing kasus terlihat mulai mengering dan terlihat sedikit kemerahan. Nafsu makan dan minum baik.

Serbuk enbatik, injeksi Cefotaxime 20 mg/kg BB dan injeksi tolfedin 4 mg/kg BB


Serbuk enbatik, antibiotik cefixime 5 mg/kg BB per oral dan injeksi tolfedin 4 mg/kg BB


Hari ke-4 dan Pada hari kelima luka 5                anjing kasus terjilat

sehingga luka terlihat membengkak        dan

kemerahan. Nafsu makan dan minum baik.

Hari ke-6 dan Luka anjing kasus masih Serbuk enbatik, 7              terlihat adanya kemerahan. antibiotik cefixime 5


Kebengkakan pada luka mg/kg BB per oral. anjing kasus mulai mereda, Nafsu makan dan minum baik.

Hari ke-8 dan Luka anjing kasus mulai  Pemberian salep

9             mengering. Kebengkakan gentamicin,

pada luka anjing kasus  antibiotik cefixime 5

mulai mereda, masih mg/kg BB per oral.

terlihat ada kemerahan.

Nafsu makan dan minum baik, Urinasi lancar.

Hari ke-10 Luka    anjing    kasus Pemberian salep


dan 11        mengering. Kebengkakan gentamicin

pada luka anjing kasus sudah   mereda.   Jahitan

sudah menyatu dan terdapat dua jahitan sudah lepas dengan sendirinya. Anjing terlihat aktif, nafsu makan tinggi dan minum baik, Urinasi lancar.

Hari ke-12


Luka    anjing    kasus Pemberian salep


mengering. Kebengkakan gentamicin pada luka anjing kasus sudah mereda. Jahitan

sudah menyatu dan terdapat tiga jahitan sudah lepas dengan sendirinya. Anjing terlihat aktif, nafsu makan tinggi dan minum baik, Urinasi lancar.

619