Volume 15 No. 4: 639-646

Agustus 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i04.p16

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Laporan Kasus: Dermatofitosis pada Anjing Ras Campuran

(DERMATOPHYTOSIS IN MIXED BREED DOG: A CASE REPORT)

I Gede Made Andy Pratama1*, Sri Kayati Widiastuti2, I Wayan Batan3

  • 1Praktisi Banjar Pemenang, Banjar Anyar, Kediri, Tabanan, Bali, Indonesia, 82123;

  • 2Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

  • 3Laboratorium Diagnosis Klinik, Patologi Klinik, dan Radiologi Veteriner, Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan, Gang Markisa No. 6 Denpasar Selatan, Bali Indonesia, 80223;

*Email: madeandy098@gmail.com

Abstrak

Dermatofitosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh kapang dermatofita. Tujuan dilakukan pemeriksaan pada anjing kasus adalah untuk mengetahui agen penyakit yang menyebabkan terjadinya banyak lesi pada kulit anjing tesebut. Anjing kasus dibawa ke klinik Pedungan Vet Care dengan keluhan gangguan kulit yang sudah terjadi selama satu bulan. Anjing kasus merupakan anjing ras campuran jantan berumur sekitar satu tahun dengan bobot badan 12,2 kg dan merupakan anjing yang di-rescue. Pada pemeriksaan klinis terdapat kelainan seperti ditemukan lesi yang terdiri dari kombinasi alopesia, eritema, dan crust. Lesi-lesi tersebut ditemukan di bagian daun telinga, wajah, kaki depan, kaki belakang, bagian perut dan bagian dorsal tubuh. Kemudian bagian-bagian lesi tersebut dikerok dibagian pinggir lesi menggunakan KOH 10% dan swab. Dari hasil pemeriksaan kerokan kulit menunjukkan hasil negatif jamur. Pemeriksaan Wood’s lamp menunjukkan hasil negatif. Pada pemeriksaan tape smear ditemukan makrokonidia yang berbentuk eliptikal yang terbagi menjadi beberapa sel, menunjukkan hasil positif Microsporum sp. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan klinis dan laboratorium, dapat disimpulkan bahwa kasus didiagnosis dermatofitosis. Anjing kasus diberikan terapi kausatif dan simptomatis, untuk terapi kausatif diberikan griseofulvin dosis 500 mg/kg/bb q.12 jam per oral dan terapi simptomatis diberikan antihistamin klorfeniramin maleat dengan dosis 4 mg/kg/bb q.12 jam per oral selama 14 hari, antiseptik klorheksidin glukonat 0,05% untuk membersihkan luka dua kali sehari, serta anjing kasus dimandikan dengan sampo antifungal Sebazole® dua kali dalam satu minggu selama satu bulan. Setelah tujuh hari pengobatan, teramati gejala pruritus yang menurun tetapi untuk lesi lainnya belum terjadi perubahan yang signifikan.

Kata kunci: Anjing; dermatofitosis; lesi

Abstract

Dermatophytosis is a skin disease caused by dermatophytes yeast. The purpose of examining the case dogs is to determine the agent of the disease that causes many lesions on the dog's skin. The case dog was brought to the Pedungan Vet Care clinic with complaints of skin problems that had been occurring for one month. the case dog is a mixed breed dog aged about one year with a body weight of 12.2 kg and is a rescued dog. On clinical examination there were abnormalities such as lesions consisting of a combination of alopecia, erythema, and crusts. The lesions were found on the ear, face, hind limb, pelvic limb, abdomen, and dorsal part of the body. Then the parts of the lesion were scraped at the edges of the lesion using 10% KOH and a swab. From the results of skin scrapings, the results were negative for dermatophytes. The Wood's lamp examination was negative. On tape smear examination, macroconidia were found in the form of elliptical which were divided into several cells, indicating a positive result of Microsporum sp. Based on the history, physical examination, clinical examination, and laboratory, it can be said that the disease is dermatophytosis. Case dogs were given causative and symptomatic therapy, for causative therapy griseofulvin was given at a dose of 500 mg/kg/bb q.12 hours orally and symptomatic therapy was given the antihistamine chlorpheniramine maleate at a dose of 4 mg/kg/bb q.12 hours orally for 14 days, antiseptic chlorhexidine gluconate 0.05% for cleaning wounds twice a

day, and case dogs were bathed with Sebazole® antifungal shampoo twice a week for one month. After seven days of treatment, the pruritus symptoms observed decreased but there were no significant changes for other diseases.

Keywords: Dog; dermatophytosis; lesion

PENDAHULUAN

Anjing dikenal sebagai hewan kesayangan yang memiliki nilai tersendiri bagi manusia dengan memberikan sumbangan untuk kebahagiaan. Memelihara anjing merupakan suatu hal yang sering ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dahulu anjing hanya dijadikan peliharaan untuk menjaga rumah, namun sekarang sudah menjadi hewan kesayangan yang pemeliharaannya sangat diperhatikan. Akan tetapi, walaupun sudah dirawat dengan intensif tidak jarang anjing juga mengalami sakit bahkan kematian. Masalah pada kulit merupakan hal cukup sering menyerang anjing peliharaan. Berdasarkan jumlah agen penyebabnya penyakit kulit dibagi menjadi dua jenis yaitu infeksi tunggal dan infeksi jamak atau oleh lebih dari satu agen penyakit (multiple infestation). Agen penyebab penyakit kulit seperti ektoparasit, bakteri dan jamur (Wiryana et al., 2014). Dalam beberapa tahun terakhir, baik jumlah hewan peliharaan domestik yang diberi makan di dalam rumah pemiliknya dan minat untuk memiliki hewan sebagai hewan peliharaan di rumah seseorang telah meningkat tajam. Mengingat kontak dekat antara hewan peliharaan dan pemiliknya, terutama antara anak-anak dan kucing dan anjing, hewan-hewan yang sering menjadi pembawa dermatofit tanpa gejala ini dapat menjadi sumber infeksi dan/atau pembawa infeksi yang penting (Ates et al., 2008).

Dermatofitosis pada hewan kesayangan adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi kapang superfisial struktur kulit berkeratin oleh organisme jamur zoofilik, geofilik, atau antropofilik. Microsporum canis, M. gypseum dan Trichophyton mentagrophytes. Karena gambaran klinisnya yang pleomorfik, sifatnya yang

menular dan menular, serta potensi zoonosis, dermatofitosis merupakan penyakit penting dalam kedokteran hewan. Kapang merupakan salah satu jenis parasit yang terdiri atas genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Berbagai spesies dari tiga genus kapang ini dapat menginfeksi kulit, bulu/rambut dan kuku/tanduk dalam berbagai intensitas infeksi (Adzima et al., 2013). Dari ribuan spesies yang berbeda, hanya beberapa jamur yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit pada hewan (Kotnik, 2007). Dermatofita yang paling umum menginfeksi anjing dan kucing adalah M. canis (Outerbridge, 2006). Dermatofitosis dapat menginfeksi kulit, rambut, atau kuku. Pada anjing, sekitar 70% penderita ringworm disebabkan kapang M. canis, 20% oleh M. gypseum, dan 10% oleh Trichophyton mentagrophytes (Sparkers et al., 1993; Vermout et al., 2008).

Dermatofita sering ditemukan di rambut dan lapisan keratin kulit karena dapat memakan protein keratin (Outerbridge, 2006). Mortalitas penyakit rendah, namun demikian kerugian ekonomis dapat terjadi karena kerusakan kulit dan rambut atau bobot badan turun karena hewan menjadi tidak tenang serta adanya risiko zoonosis yang ditimbulkan oleh M. canis (Kotnik, 2007). Pada sebagian besar host imunokompeten, dermatofitosis adalah penyakit kulit yang sembuh sendiri dalam beberapa minggu hingga bulan. Pengobatan dianjurkan dengan tujuan memperpendek perjalanan penyakit untuk mencegah penyebaran ke hewan dan manusia lain (Moriello et al., 2017).

Laporan kasus ini bertujuan untuk melaporkan mengenai pemeriksaan dan pengobatan pada anjing yang terinfeksi dermatofitosis.

METODE PENELITIAN

Kasus

Sinyalemen

Anjing bernama Digo, ras campuran, berwarna coklat dan hitam, jenis kelamin jantan, diperkirakan berumur satu tahun, dan bobot badan 4,4 kg. Anjing ini memiliki postur tegak dan tingkah laku lincah, serta anjing sering dilepaskan di halaman rumah.

Anamnesis

Anjing dibawa ke klinik Pedungan Vet Care dengan riwayat mengalami pruritis selama lebih dari satu bulan. Anjing kasus merupakan anjing rescue yang ditemukan dengan gangguan kulit yang mempunyai luka dan rontok. Intensitas menggaruk pada anjing sangat tinggi. Sejak mulai muncul gejala, anjing sudah pernah diobati dengan diberikan       antiparasit       sarolaner

(Simparica®, Zoetis, New Jersey, Amerika Serikat) sekitar satu bulan sebelumnya tetapi masih gatal-gatal. Anjing kasus belum mempunyai riwayat vaksinasi.

Pemeriksaan Fisik

Pertama dilakukan pengamatan pada kulit anjing ditemukan adanya alopesia, eritema, dan scale. Lesi-lesi tersebut ditemukan pada bagian daun telinga, wajah, kaki depan, kaki belakang, bagian perut dan bagian dorsal tubuh. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Dari pemeriksaan fisik anjing diperoleh data suhu tubuh 38,8ºC, frekuensi degup jantung 100 kali/menit, frekuensi pulsus 100 kali/menit, frekuensi napas 60 kali/menit, dan CRT (Capillary Refill Time) kurang dari dua detik. Pada pemeriksaan fisik anggota gerak, muskuloskeletal, saraf, sirkulasi, urogenital, respirasi, pencernaan dan limfonodus normal. Sedangkan pada pemeriksaan kulit ditemukan adanya gangguan. Dikarenakan pada saat di palpasi pada bagian kulit anjing menunjukan rasa tidak nyaman dan intesitas menggaruk-garuk kulit sangat sering.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopik menggunakan sampel kerokan kulit superfisial dan

dalam/deep. Dilakukan dengan metode natif dengan cara mengerok pinggiran atau tepi lesi dan debris-debris yang sudah diberikan baby oil menggunakan scapel dengan tekanan yang berbeda, untuk superfisial pengerokan kulit dilakukan dengan tekanan yang ringan dan deep skin scrapping dilakukan dengan tekanan yang lebih besar dan daerah kerokan mengeluarkan bintik-bintik darah. Kemudian debris kerokan ditaruh di atas kaca objek kemudian ditutup dengan kaca penutup. Setelah itu, diberikan KOH 10% berfungsi sebagai agen keratolitik yaitu untuk melisiskan keratin yang ada pada kerokan kulit dan rambut.

Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium anjing kasus didiagnosis dermatofitosis      spesies

Microsporum sp.

Prognosis

Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjaang hewan kasus secara umum maka prognosis yang dapat diambil adalah dubius.

Terapi

Terapi yang diberikan pada hewan yang didiagnosis dermatofitosis adalah dengan pemberian griseofulvin dengan dosis 500 mg/kg/bb q.12 jam secara per oral selama satu bulan. Antihistamin klorfeniramin maleat (Alleron®, Mega Esa Farma, Jakarta, Indonesia) dengan dosis 4 mg/kg/bb q.12 jam secara peroral selama 14 hari. Antiseptik klorheksidin glukonat 0,05% (Minosep®, Minorock, Bogor, Indonesia) diberikan dua kali sehari untuk membersihkan luka pada anjing. Anjing dimandikan dua kali dalam satu minggu dengan sampo antifungal (Sebazole®, Virbac, Carros, Perancis) untuk membantu penyembuhan dan diamati selama satu bulan untuk perkembangannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dari pemeriksaan fisik anjing diperoleh data suhu tubuh 38,8ºC, frekuensi degup

jantung 100 kali/menit, frekuensi pulsus 100 kali/menit, frekuensi napas 60 kali/menit, dan CRT (Capillary Refill Time) kurang dari dua detik. Pada pemeriksaan fisik anggota gerak, muskuloskeletal, saraf, sirkulasi, urogenital, respirasi, pencernaan dan limfonodus normal. Sedangkan pada pemeriksaan kulit ditemukan adanya gangguan. Pada kulit ditemukan adanya alopesia, eritema, dan scale. Lesi-lesi tersebut ditemukan pada bagian daun telinga, wajah, kaki depan, kaki belakang, bagian perut dan bagian dorsal tubuh.

Dari hasil pemeriksaan kerokan kulit menunjukkan hasil negatif. Pada pemeriksaan dengan menggunakan Wood’s lamp dilakukan dengan langsung diamati pada tiap lesi. Pada pemeriksaan ini tidak terdapat pendaran pada lesi anjing kasus sehingga hasil negatif. Pada pemeriksaan natif tape smear ditemukan makrokonidia yang berbentuk elips yang berisi beberapa sel sehingga menunjukkan hasil positif Microsporum sp.

Pembahasan

Dermatofitosis ditandai dengan infeksi kulit superfisial terbatas pada epitel keratin, adalah penyakit jamur yang paling umum dalam kedokteran hewan klinis pada hewan kesayangan terutama anjing. Jamur ini menghasilkan keratinase dan enzim lain yang mampu mencerna kompleks protein keratin, memungkinkan dermatofita untuk menggali lebih dalam ke dalam stratum korneum pada inang dan oleh karena itu menimbulkan reaksi inflamasi. Derajat inflamasi, tergantung interaksi inang-jamur, menentukan derajat dan signifikansi gejala klinis (Mattei et al., 2014). Gejala inflamasi sering muncul dikarenakan terlepasnya mediator proinflamasi sebagai konsekuensi dari terdegradasinya keratin sebagai sumber nutrisi dermatofita. Fase penting dalam infeksi dermatofita adalah terikatnya dermatofita dengan jaringan keratin yang diikuti oleh invasi dan pertumbuhan elemen myocelial (Bond, 2010).

Agen etiologi dermatofitosis diklasifikasikan dalam tiga genera, Epidermophyton, Microsporum, dan

Trichophyton (Dahdah dan Scher, 2008). Microsporum canis, bersama dengan M. gypseum dan T. mentagrophytes var. mentagrophytes, adalah spesies jamur yang bertanggung jawab untuk lebih dari 95% dari semua kasus dermatofitosis pada hewan peliharaan. Pengangkutan M. canis cukup sering terjadi pada kucing. Hewan itu bisa tanpa gejala meskipun ada beberapa rambut yang terinfeksi. Pembawa mekanis ini, tidak terkait dengan infeksi, akan terungkap melalui kultur jamur.      Prevalensi

dermatofitosis bervariasi sesuai dengan iklim, suhu, kelembaban relatif dan curah hujan di wilayah geografis yang berbeda, serta reservoir alami (Chermette et al., 2008). Penularan infeksi dermatofita antara konidia dari lingkungan atau dari inang yang ada dan penerima baru dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau secara tidak langsung dari fomites yang terkontaminasi, semua keadaan yang mendukung kontak tersebut bertindak sebagai faktor predisposisi. Konidia sangat resisten dan mungkin tetap bertahan di lingkungan selama bertahun-tahun, ini menjelaskan mengapa penggunaan bahan yang digunakan bersama di antara hewan mendukung kontaminasi. Untuk dermatofit geofilik, tanah adalah reservoir tempat jamur berkembang biak. Dengan demikian, risiko kontaminasi lebih tinggi untuk hewan dengan kontak di luar ruangan (Brilhante et al., 2003). Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara kontak langsung dengan lesi pada tubuh hewan, yaitu kontak dengan kulit atau bulu yang terkontaminasi ringworm maupun secara tidak langsung melalui spora dalam lingkungan tempat tinggal hewan. Pemeliharaan dengan cara dilepas (tidak diikat atau tidak dikandangkan) akan membuat penyebaran dermatofitosis semakin cepat (Adzima et al., 2013).

Dalam      pemeriksaan      klinis,

dermatofitosis pada hewan dengan lesi yang terdiri dari kombinasi alopesia, eritema dan crust. Menurut Bond (2010) dermatofitosis harus dicurigai pada hewan apapun yang menunjukkan lesi yang terdiri atas

kombinasi alopecia, eritema, papula, sisik dan krusta. Lesi-lesi tersebut ditemukan di bagian daun telinga, wajah, kaki depan, kaki belakang dan bagian perut. Lesi klasik pada anjing umumnya memiliki batasan dengan radang aktif di pinggiran lesi. Lesi klasik pada anjing dan kucing yang berbatasan dengan daerah yang aktif peradangan dipinggiran, biasanya pada wajah aatau anggota badan. Lesi Microsporum sp. biasanya ditandai alopecia dengan eritema dan sisik atau kerak. Untuk menimbulkan lesi pada host, dermatofita harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa, serta mampu menembus jaringan dan mampu bertahan hidup. Untuk bertahan hidup dermatofita harus mampu mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Microsporum canis mampu memecah keratin sehingga dapat hidup pada kulit dalam keadaan tidak infasif. Seperti keratinase, enzim proteinase, dan elastase jamur merupakan faktor virulensinya (Soedarto, 2015).

Pemeriksaan natif rambut dan lesi kulit untuk mencari adanya hifa jamur dan/atau spora ektotriks. Prosedur ini dapat dilakukan dengan bahan pembersih seperti Kalium Hidroksida (KOH) 10 atau 20%. Nilai positif untuk uji langsung KOH dianggap prediktif dalam kaitannya dengan kultur positif, yang dianggap sebagai standar emas. Unsur jamur diamati pada 61,0% kasus yang dianalisis. Sensitivitas tes ini bervariasi dari satu jamur ke jamur lainnya, dengan spesimen klinis yang diperiksa berasal dari anjing yang lebih sensitif sebanyak 63%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan langsung dapat menjadi sangat penting dalam diagnosis dermatofitosis, karena jika dilakukan oleh profesional yang berpengalaman, tentu dapat membantu dokter hewan dengan mempersingkat waktu yang diperlukan untuk memulai pengobatan yang memadai (Moriello, 2004).

Pemeriksaan penunjang dengan Wood’s lamp merupakan salah satu pemeriksaan dasar infeksi kapang dermatofita. Jika ada pendaran berwarna hijau kekuningan itu

berarti terdapat agen dermatofitosis. Pendaran berwarna hijau kekuningan akibat dari reaksi metabolit dermatofita dengan sinar ultra ultraviolet. Pemeriksaan dengan Wood’s Lamp dapat menunjukkan pendaran (flourescence) pada jamur patogen tertentu. Infeksi oleh M. canis, sekitar 50% fluoresensi, selain itu, beberapa kelemahan dalam teknik ini, penggunaan dan interpretasi. Pemeriksaan ini merupakan alat skrining dan sangat membantu untuk identifikasi rambut untuk pemeriksaan langsung dan/atau kultur; tes negatif tidak mengesampingkan infeksi (Miller et al., 2013). Diagnosis definitif dibuat dengan kultur jamur. Kultur jamur dianggap sebagai "gold standard" untuk diagnosis. Dua media kultur jamur yang paling umum digunakan adalah agar dekstrosa Sabouraud dan media uji dermatofit. Kultur adalah tambahan yang berharga untuk mikroskopi langsung dan sangat penting setidaknya pada semua infeksi kuku dan pada infeksi apa pun yang harus diobati dengan pengobatan sistemik (Mattei et al., 2014).

Tindakan terapeutik harus mencakup kombinasi pengobatan sistemik dan topikal. Durasi pengobatan yang tepat harus dipatuhi. Kombinasi pengobatan sistemik dan topikal harus dipertahankan selama setidaknya 10 minggu (Chermette et al., 2008). Pengobatan secara kausatif untuk infeksi jamur dermatofitosis diberikan griseofulvin. Griseofulvin merupakan obat antifungal yang bersifat fungistatik, yang bekerja dengan cara menghambat mitosis sel jamur berikatan dengan protein mikrotubular (Wientarsih et al., 2012). Griseofulvin diberikan peroral setengah tablet dua kali sehari dan dapat diberikan dengan mencampurkan obat tersebut dengan makanan. Sedangkan untuk pengobatan simtomatik diberikan klorfeniramine maleate merupakan jenis obat dari golongan antihistamin yang digunakan untuk meredakan gejala alergi, demam, dan flu biasa. Sesuai dengan nama golongannya, obat tersebut bekerja dengan cara menghalangi zat alami tertentu

(histamin) yang dihasilkan tubuh selama reaksi alergi (Wahyudi et al., 2020). Histamin memiliki efek melebarkan pembuluh darah dan mencegah rasa gatal. Klorfeniramin maleat diberikan peroral setengah tablet dua kali sehari dan diberikan dengan mencampurkan obat tersebut dengan makanan.

Pada pengobatan simptomatis lainnya dilakukan pembersihan luka dengan antiseptik klorheksidin diberikan dua kali sehari untuk membersihkan luka pada anjing. Klorheksidin (CHX) adalah salah satu agen antiseptik yang paling umum digunakan untuk desinfeksi kulit dan mukosa. CHX aktif terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, kapang seperti dermatofita dan virus (Karpiński dan Szkaradkiewicz, 2015). Klorheksidin adalah senyawa biguanida. Konsentrasi rendah mempengaruhi integritas membran sel dan konsentrasi yang lebih tinggi mengakibatkan pembekuan sitoplasma. Empat studi melaporkan penggunaan klorheksidin terhadap keadaan infektif alami M. canis (Moreillo et al., 2017). Anjing kasus juga dimandikan dengan sampo sebazole® satu minggu dua kali untuk membantu penyembuhan. Sebazole® merupakan sampo antifungal, antibakteri, keratolitik, keratoplastik, dan antipruritus untuk anjing dan kucing. Kandungan sampo ini adalah antifungal econazole nitrat 10 mg/mL, sulfur (dalam bentuk sodium thiosulphate 75mg) 19,4 mg/mL, Sodium salisilat 35 mg/mL, chloroxylenol 5 mg/mL. Econazole adalah analog struktural dari Miconazole dan efektif pada konsentrasi yang jauh lebih rendah daripada Miconazole. Sebazole® mengandung sulfur dan sodium salisilat yang bekerja dalam menghilangkan scale dan crust yang terkait dengan seborrhoea. Kandungan ini juga meningkatkan penetrasi econazole dan chloroxylenol (Virbac, 2018).

Setelah satu minggu pengobatan, anjing kasus belum menampakkan perbaikan sistem kulit yang signifikan tetapi intensintas garukan sedikit menurun dan lesi crust serta gejala inflamasi yang mulai

berkurang. Alopesia pada anjing kasus masih teramati. Tetapi pada hari ke-9 pengobatan anjing melarikan diri dari rumah klien sehingga pengobatan tidak dapat dilanjutkan dan perkembangan penyakit tidak diketahui.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laboratorium, maka anjing yang bernama Digo didiagnosis mengalami dermatofitosis dengan prognosis dubius. Terapi yang diberikan berupa griseofulvin yang diaplikasikan secara peroral sebagai terapi kausatif dan klorfeniramin maleat serta dimandikan dengan sampo Sebazole® dan antiseptik klorheksidine glukonat sebagai terapi simtomatik. Setelah tujuh hari pengobatan, teramati gejala pruritus yang menurun tetapi untuk lesi lainnya belum terjadi perubahan yang signifikan.

Saran

Sebelum melakukan terapi diharapkan adanya pemetaan lesi yang ada pada hewan kasus untuk melihat perubahan lesi setelah terapi. Setelah hewan kasus sembuh diharapkan melakukan uji laboratorium lebih lanjut untuk memastikan hewan benar-benar sembuh dari dermatofitosis.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pedungan Vet Care dan semua teman-teman kelompok PPDH gelombang 19 C yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adzima V, Jamin F, Abrar M. 2013. Isolasi dan identifikasi kapang penyebab dermatofitosis pada anjing di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. J. Med. Vet. 7(1): 46-47.

Ates A, Ilkit M, Ozdemir R, Ozcan K. 2008.

Dermatophytes     isolated     from

asymptomatic dogs in Adana, Turkey: A preliminary study. J. Med. Mycol. 18(3):154-157.

Bond R. 2010. Superficial Veterinary Mycoses. Clin. Dermatol. 28: 226–236.

Brilhante RS, Cavalcante CS, Soares-Junior FA, Cordeiro RA, Sidrim JJ, Rocha

MFG. 2003. High rate of Microsporum canis feline and canine dermatophytoses in North east Brazil: Epidemiological and         diagnostic         features.

Mycopathologia. 156(4): 303-308.

Chermette R, Ferreiro L, Guillot J. 2008. Dermatophytoses     in     animals.

Mycopathologia. 166(5-6): 385-405.

Dahdah MJ, Scher RK. 2008.

Dermatophytes. Cur. Fungal Infect. Rep. 2: 81–86.

Karpiński TM, Szkaradkiewicz AK. 2015. Chlorhexidine–pharmaco-biological activity and application. Eur. Rev. Med. Pharmacol. Sci. 19(7): 1321-1326.

Kotnik T. 2007. Dermatophytoses in domestic animals and their zoonotic potential. Slovenian Vet. Res. 44(3): 6373.

Mattei AS, Beber MA, Madrid IM. 2014. Dermatophytosis in small animals. SOJ Microbiol. Infect. Dis. 2(3): 1-6.

Miller WH, Craig EG, Campbell KL,

Muller GH, Scott DW. 2013. Muller &

Kirk’s Small animal dermatology. 7th ed.

St. Louis. Elsevier. Pp. 429-438.

Moriello KA. 2004. Treatment of

dermatophytosis in dogs and cats: review of published studies. Vet. Dermatol. 15(2): 99-107.

Moriello KA, Coyner K, Paterson S,

treatment of dermatophytosis in dogs and cats. Vet. Dermatol. 28: 266-308.

Outerbridge CA. 2006. Mycologic disorders of the skin. Clin. Tech. Small Anim.

Pract. 21: 128-134.

Soedarto. 2015. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta. CV Sagung Seto. Pp. 202-220.

Sparkes AH, Gruffydd-Jones TJ, Shaw SE, Wright AI, Stokes CR. 1993. Epidemiological and diagnostic features of canine and feline dermatophytosis in the United Kingdom from 1956 to 1991. Vet. Rec. 133: 57-60.

Vermout S, Tabart J, Baldo A, Mathy A, Losson B, Mignon B. 2008. Pathogenesis of dermatophytosis. Mycopathologia. 166: 267-275.

Virbac. 2018. Sebazole antibacterial shampoo for dogs and cats. https://au.virbac.com/products/dog-skin/sebazole-antifungal-shampoo [Diakses 28 Juli 2022]

Wahyudi G, Anthara MS, Arjentinia IPGY. 2020. Studi kasus: demodekosis pada anjing jantan muda ras pug umur satu tahun. Indon. Med. Vet. 9(1): 45-53.

Wientarsih L, Noviyanti L, Prasetyo BF,

Madyastuti R. 2012. Penggunaan obat

untuk hewan-hewan kecil. Bogor.

Techno Medica Press. Pp. 83-85.

Wiryana IKS, Damriyasa IM, Dharmawan

NS, Arnawa KAA, Dianiyanti K, Harumna D. 2014. Kejadian dermatosis yang tinggi pada anjing jalanan di Bali. J. Vet. 15(2): 217-220.

Mignon B. 2017. Diagnosis and

Gambar 1. Adanya A. alopesia (panah kuning), B. eritema (panah merah), dan C. luka mongering atau scale (panah hitam) pada tubuh anjing kasus


Gambar 2. Sebaran pemetaan lesi dari anjing kasus

Gambar 3. Hasil pemeriksaan tape smear ditemukan makrokonidia Microsporum sp. (panah hitam). Perbesaran 40 kali.

646