Volume 15 No. 3: 483-489

Juni 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i03.p18

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Persepsi Pedagang Daging Babi di Pasar Badung terhadap Pemilihan Tempat Pemotongan Hewan

(PORK TRADER PERCEPTIONS AT THE BADUNG MARKET ON THE ELECTION OF SLAUGHTERHOUSE)

I Made Gede Wijaya Kusuma1, Kadek Karang Agustina2*, I Made Sukada2

1Mahasiswa Sarjana Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, JL. PB. Sudirman, Denpasar, Bali;

Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, JL. PB. Sudirman, Denpasar, Bali;

*Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pedagang daging babi di Pasar Badung terhadap pemilihan tempat pemotongan dan menelusuri alasan dilakukannya pemotongan babi di rumah sendiri. Seluruh pedagang daging babi di Pasar Badung yaitu sebanyak 38 pedagang digunakan sebagai sampel penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mewawancarai pedagang daging babi yang terdapat di Pasar Badung dengan menggunakan panduan kuesioner. Data yang diperoleh disajikan dan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian persepsi pedagang daging babi terhadap tempat pemotongan babi di Pasar Badung diketahui bahwa dari 38 pedagang daging babi terdapat 95% pedagang daging babi yang melaksanakan pemotongan babi di RPH dan sebanyak 5% pedagang yang melaksanakan pemotongan di luar RPH. Biaya pemotongan di RPH Pesanggaran sebesar Rp 47.500/ ekor dan pedagang daging babi yang melaksanakan pemotongan di luar RPH dikenai biaya pemotongan sebesar Rp 100.000/ekor. Lama proses pemotongan setiap ekor babi di RPH Pesanggaran ± 2 jam, dan lama proses pemotongan di luar RPH yaitu mencapai 4 jam. Lokasi RPH dengan rumah pedagang bervariasi yaitu 4-20 km. Namun pedagang yang memilih memotong di luar RPH dikarenakan jarak tempat tinggalnya yang jauh dengan lokasi RPH. Mereka memahami proses pengolahan limbah RPH, serta mampu menyatakan bahwa pelaksanaan pemotongan babi di RPH bertujuan agar produk daging babi yang mereka jual kualitasnya baik dan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga aman untuk dikonsumsi konsumen nantinya. Sayangnya pengetahuan dan wawasan yang dimiliki oleh pedagang daging babi tentang RPH, penyakit zoonosis dan meatborne disease masih kurang. Jarak antara lokasi pedagang dengan RPH menjadi alasan yang paling mendasari pedagang memilih memotong ternak nya di rumah. Pengetahuan dan wawasan pedagang daging babi yang kurang tentu akan mempengaruhi kualitas daging yang mereka jual nantinya, sebaiknya dilakukan sosialisasi tentang RPH, penyakit zoonosis dan meatborne disease sehingga para pedagang daging babi nantinya dapat melaksanakan pemotongan yang benar dan daging yang mereka jual kualitasnya terjamin dan sangat layak untuk di konsumsi. Selain itu di harapkan juga agar setiap kabupaten/kota harus mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh kementerian pertanian.

Kata kunci: Babi; daging; persepsi; pedagang; rumah potong hewan

Abstract

This study aims to determine the perception of pork traders in Badung Market towards the selection of slaughtering sites and to explore the reasons for slaughtering pork at home. All pork traders in Badung Market as many as 38 traders were used as research samples. Data was collected by interviewing pork traders in Badung Market using a questionnaire guide. The data obtained were presented and analyzed descriptively. The results of the research on the perception of pork traders towards pork slaughterhouses in Badung Market showed that from 38 pork traders, 95% of pork traders carried out pork slaughter at RPH and as many as 5% of traders carried out slaughter outside RPH. The cost of slaughtering at the Pesanggaran RPH is IDR 47,500/head and pork traders who carry out the

slaughter outside the RPH are subject to a slaughter fee of IDR 100,000/head. The length of the slaughtering process for each pig at the Pesanggaran RPH is ± 2 hours, and the length of the slaughtering process outside the RPH is up to 4 hours. The location of the RPH with traders' houses varies from 420 km. However, traders who choose to cut outside the RPH are due to the distance from which they live, which is far from the RPH location. They understand the process of processing RPH waste, and are able to state that the implementation of pork slaughter at the RPH aims to ensure that the pork products they sell are of good quality and are in accordance with applicable regulations so that they are safe for consumer consumption later. Unfortunately, the knowledge and insight possessed by pork traders about RPH, zoonotic diseases and meatborne disease are still lacking. The distance between the location of the traders and the slaughterhouse is the most underlying reason for traders to choose to slaughter their livestock at home. Insufficient knowledge and insight of pork traders will certainly affect the quality of the meat they sell later, it is better to do socialization about RPH, zoonotic diseases and meatborne disease so that pork traders will be able to carry out the correct slaughter and the quality of the meat they sell is guaranteed and very feasible for consumption. In addition, it is also hoped that each district/city must have a RPH that meets the technical requirements set by the ministry of agriculture.

Keywords: Meat; perception of traders; pig; slaughterhouse

PENDAHULUAN

Babi adalah salah satu hewan ternak yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat (Agustina et al., 2016; 2017). Hal ini didukung karena babi merupakan hewan ternak yang mudah dipelihara, pertumbuhan dan perkembangbiakan yang cepat dan memiliki konsentrasi karkas yang tinggi (Prihanto, 2012) yaitu mencapai 6570% (Sriyani et al., 2015).

Daging dikatakan aman jika tidak mengandung penyakit dan residu yang dapat menyebabkan penyakit atau infeksi kesehatan manusia. Daging hasil pemotongan dapat menimbulkan penyakit, jika tercemar oleh bahan biologik, kimia dan fisik. Menurut Rudyanto (2007), daging dapat tercemar oleh toksin beberapa bakteri maupun jamur, diantaranya Clostridium botulinum, Clostridium perfringens, Staphyococcus aureus, Mycotoxin, Salmonella spp., Shigella spp., Bacillus anthracis, Caliform, Escherichia coli, Bacillus cereus, Vibrio cholerae, Vibrio parahaemolyticus. Berbagai penyakit lain juga dapat menular dari babi ke manusia seperti Toxoplasma gondii, Balantidium coli, Entamoeba spp. dan Taenia spp. (Zajac and Conboy, 2006; Estuningsih, 2009), dan Streptococcus suis (Aryasa et al., 2020). Selain itu juga dapat tercemar oleh parasit zoonosis seperti kista daric acing Taenia spp. (Susanty, 2019),

larva cacing Trichinella spiralis (Rawla dan Sharma, 2021).

Bahan pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mengandung banyak asam amino dan juga memiliki potensi sebagai penular penyakit infeksi bagi manusia yang mengkonsumsinya sehingga dapat mengancam kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan dan pengujian terhadap keamanan dan mutu bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner menyebutkan bahwa, pemotongan hewan harus dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan, berdasarkan peraturan di atas diharapkan agar setiap hewan ternak yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan sudah memenuhi standar food grade sehingga aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging (Lawu et al., 2014).

Namun di masyarakat masih banyak ditemukan peternak babi maupun pedagang daging yang melakukan pemotongan di rumah masing-masing atau di rumah jagal yang berada di kawasan pemukiman penduduk. Berbagai dampak negatif yang terjadi akibat dari melakukan pemotongan hewan di rumah tanpa pengawasan petugas yang berwenang, yaitu penularan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kontak langsung dengan hewan maupun dengan

produk hewan (Ismail et al., 2010). Oleh karena itu, penelitian tentang persepsi pedagang daging di Pasar Badung terhadap pemilihan tempat memotong perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri alasan pedagang daging yang masih melakukan pemotongan di rumah sendiri, dibandingkan dengan melakukan pemotongan di Rumah Potong Hewan.

METODE PENELITIAN

Objek Penelitian

Penelitian ini menggunakan sampel pedagang daging babi yang melaksanakan pemotongan babi di RPH dan di rumah masing-masing. pedagang daging babi yang dijadikan objek penelitian berasal dari pasar badung. Sebanyak 38 pedagang daging babi digunakan sebagai sampel penelitian. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan panduan angket atau kuesioner yang dikembangkan oleh peneliti.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan observasional dengan pendekatan metode cross sectional. Penelitian cross sectional adalah suatu penelitian dimana variable yang termasuk faktor resiko dan variable yang termasuk efek diobservasi pada waktu yang sama (Hidayat, 2015). Sampel diambil berdasarkan purposive sampling dengan tujuan untuk memfokuskan terhadap tujuan penelitian. Sebanyak 38 pedagang daging babi yang berada di Pasar Badung. Seluruh pedagang sampel didata menggunakan seperangkat kuesioner.

Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah; Variabel bebas: Pengetahuan pedagang daging babi; Variabel terikat: Persepsi dan pemilihan tempat pemotongan; dan Variabel kontrol: Pedagang daging babi di Pasar Badung.

Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara langsung turun ke lapangan melakukan survei dan wawancara

pada pedagang daging babi yang terdapat di Pasar Badung dengan menggunakan seperangkat kuesioner.

Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan dan dianalisa secara deskriptif sesuai dengan hasil survey dan wawancara.

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan selama 2 minggu pada pedagang daging babi di Pasar Badung. Waktu penelitian dilakukan bulan April 2022.

HASIL DAN PEMBAHASSAN

Hasil

Hasil penelitian terkait persepsi dan alasan pedagang daging babi di Pasar Badung memilih tempat pemotongan hewan disajikan pada Tabel 1.

Pembahasan

Hasil penelitian persepsi pedagang daging babi terhadap tempat pemotongan babi di Pasar Badung. Para pedagang babi di Pasar Badung sudah berjualan sejak 3-4 tahun yang lalu. Didapatkan bahwa dari 38 pedagang daging babi terdapat 36 pedagang daging babi yang melaksanakan pemotongan babi di RPH Pesanggaran dan sebanyak 2 pedagang yang melaksanakan pemotongan di rumah sendiri dan di rumah pemotongan tradisional. 36 pedagang daging babi yang melaksanakan pemotongan di RPH Pesanggaran tersebut membeli karkas babi yang sudah bersih dan siap dijual di RPH dengan ongkos pemotongan dan pembersihan karkas berkisar Rp 47.500/ ekor. Menurut mereka biaya pemotongan dan pembersihan tersebut masih tergolong mahal, tetapi dari pedagang daging babi yang melaksanakan pemotongan di luar RPH dikenai biaya pemotongan sebesar Rp 100.000/ekor. Perbedaan harga tersebut tentunya sangat mempengaruhi keuntungan yang akan diterima oleh pedagang. Biaya pemotongan ternak di setiap RPH ternyata berbeda-beda cara penetapannya. Pada umumnya, dasar yang digunakan adalah perbandingan

terhadap harga yang berlaku di suatu wilayah (Tawaf, 2018). Jika diperhatikan biaya potong di RPH tentu jauh lebih murah di bandingkan di luar RPH dan juga kualitas karkas yang di hasilkan juga lebih terjamin kualitasnya sehingga aman untuk diedarkan di pasar.

Lama proses pemotongan setiap ekor babi di RPH Pesanggaran ± 2 jam, namun berbeda dengan proses pemotongan di luar RPH yaitu mencapai 4 jam. Perbedaan waktu pemotongan babi di RPH jauh lebih cepat dibandingkan di luar RPH hal tersebut didukung dengan peralatan dan tenaga yang sudah terlatih dalam hal penyembelihan hewan, selain itu peralatan yang digunakan di RPH bisa dikatakan jauh lebih memumpuni dibandingkan di luar RPH. Lokasi RPH dengan rumah pedagang bervariasi yaitu 4-8 km. Menurut mereka jarak tersebut masih cukup dekat, namun berbeda pedagang yang memotong di rumah jarak RPH dengan rumah mereka sangat jauh yaitu 20 km. Dengan alasan tersebut beberapa pedagang daging babi lebih memilih memotong ternak di rumah dan di tempat pemotongan tradisional dikarenakan jarak yang jauh dengan lokasi RPH. Tempat potong tradisional atau RPH liar adalah rumah potong tempat dilakukannya kegiatan pemotongan hewan yang oleh seorang atau sekelompok orang di luar lokasi yang telah disediakan oleh Pemerintah Daerah (Mulyono et al., 2003). Tentunya hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia NO 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, yang menyebutkan bahwa pemotongan hewan pemotongan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di rumah potong hewan yang memenuhi syarat teknis yang diatur oleh menteri dan menerapkannya dengan baik.

Dari 38 pedagang daging babi di Pasar Badung tersebut tidak mengetahui tentang penyakit-penyakit zoonosis dan meatborne disease yang dapat menular dari barang dagangan mereka sendiri. Menurut Giritlioglu et al. (2011), pengetahuan

sangat berperan penting dalam penerapan hygiene dan sanitasi dari suatu penyakit, apabila pelaksanaan higiene dan sanitasi tanpa diberikan pengetahuan untuk mempraktikkannya, tentu saja hal tersebut akan berdampak buruk bagi pedagang maupun konsumen jika daging yang mereka jual dan konsumsi mengandung agen patogen yang dapat mengganggu kesehatan mereka.

Pengolahan limbah hasil pemotongan ternak di RPH menurut pedagang yang melakukan pemotongan di RPH Pesanggaran, limbah tersebut dialirkan ke bak penampungan hingga aman untuk dialirkan ke saluran pembuangan, namun berbeda dengan pedagang yang melaksanakan pemotongan di rumah nya, limbah hasil pemotongan dialirkan langsung ke selokan yang berada di rumah pedagang tersebut. Singh et al. (2014), menjelaskan bahwa kegiatan dan manajemen rumah pemotongan hewan berpengaruh pada kualitas tanah, air, dan udara disekitarnya. Menurut Kehinde dan Abiodun (2014), limbah rumah pemotongan hewan bisa mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan jika tidak ditangani dengan benar. Pembuangan limbah di area terbuka dan saluran air dapat merusak lingkungan dan menimbulkan penyakit yang dampak terparahnya dirasakan masyarakat yang tinggal dekat rumah pemotongan hewan karena agen patogen yang berkembang biak dengan mudah.

Menurut pedagang yang melaksankan pemotongan di RPH Pesanggaran mereka yakin daging yang mereka jual sudah baik dan layak untuk dikonsumsi, karena sebelum dan sesudah babi di potong di lakukan pemeriksaan ante-mortem oleh petugas di RPH untuk menjamin kesehatan ternak, jika ternak sehat dilanjutkan ke proses pemotongan. Setelah ternak di potong petugas juga melakukan pemeriksaan     post-mortem     untuk

memastikan karkas yang akan diedarkan kualitas nya baik dan aman dikonsumsi. Mereka juga menambahkan dalam proses

pemotongan dilakukan proses penyetruman dengan maksud agar ternak pingsan sehingga rasa sakit yang dirasakan oleh ternak nantinya berkurang, sesuai dengan kesrawan yaitu mengurangi rasa sakit. Tetapi pedagang yang melaksankan pemotongan di luar RPH pemeriksaan antemortem hanya diperiksa secara visual saja dan pemeriksaan post-mortem nya tidak dilakukan. Tentu saja hal tersebut sangat merugikan konsumen yang membeli produk tersebut karena bisa menyebabkan penyakit zoonosis dan meatborne disease jika salah dalam pengolahan produk hewan tersebut. Pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem harus dilakukan guna terwujudnya produk hewan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) dan dalam Permentan RI No 13 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant), di jelaskan bahwa Pemotongan hewan adalah kegiatan untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri dari pemeriksaan ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan postmortem. Apritya et al. (2021) juga menambahkan bahwa pemeriksaan antemortem dan post-mortem penting dilakukan agar terhindar dari mikroorganisme atau food borne disease yang dapat membahayakan kesehatan manusia.

Menurut pedagang daging babi di Pasar Badung pelaksanaan pemotongan babi di RPH bertujuan agar produk daging babi yang mereka jual kualitasnya baik dan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga aman untuk dikonsumsi konsumen nantinya. Mereka juga menambahkan jika pemotongan di RPH sudah sesuai standar yang berlaku seperti pemeriksaan ante-mortem dan postmortem, proses penyetruman sebelum ternak dipotong, dan pengolahan limbah yang baik, hal tersebut sesuai dengan pendapat Tawaf et al. (2018), RPH adalah lembaga yang menjadi sumber tataniaga hewan potong pada skala produksi dan pada skala konsumsi RPH adalah lembaga yang

menjamin ketersediaan daging sapi bagi konsumen, baik kuantitas maupun kualitas. Selain alasan tadi pemotongan di RPH juga tidak memakan banyak tenaga dan waktu bagi pedagang daging babi sehingga lebih efisien bagi pedagang tersebut. Tetapi masih ada beberapa pedagang yang melakukan pemotongan ternak nya di luar kawasan RPH hal tersebut dilatarbelakangi karena jarak dengan RPH, wawasan tentang RPH yang kurang, informasi penyakit zoonosis dan meatborne disease yang kurang di ketahui oleh pedagang. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengamanatkan bahwa setiap kabupaten atau kota harus mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh menteri pertanian, sehingga nantinya pedagang tidak harus memotong ternaknya di rumah atau di luar kawasan RPH.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pedagang daging babi di Pasar Badung, sebanyak 95% melaksanakan pemotongan ternaknya di RPH karena lebih efisien dan tidak banyak memakan waktu, mereka membeli karkas yang sudah bersih dan siap dijual. Sementara, hanya 5% pedagang yang melaksanakan pemotongan di luar RPH. Dari penelitian ini diketahui bahwa pengetahuan dan wawasan yang dimiliki oleh pedagang daging babi tentang RPH, penyakit zoonosis dan meatborne disease masih kurang. Jarak antara lokasi pedagang dengan RPH menjadi alasan yang paling mendasari pedagang memilih memotong ternak nya di rumah.

Saran

Sebaiknya dilakukan sosialisasi tentang RPH, penyakit zoonosis dan meatborne disease untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan pedagang daging babi sehingga para pedagang daging babi nantinya dapat melaksanakan pemotongan yang benar dan daging yang mereka jual

kualitas nya terjamin sehingga sangat layak untuk dikonsumsi. Selain itu diharapkan juga agar setiap kabupaten/kota harus mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh menteri pertanian.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Kepala Lab. Kesehatan Masyarakat Veteriner, para pedagang daging babi di Pasar Badung dan semua pihak yang telah membantu dalam proses penelitian dan penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina KK, Wirata IW, Dharmayudha AAGO, Kardena IM, Dharmawan NS.

2016. Increasing farmer income by improved pig management systems. Bul. Vet. Udayana. 8(2): 122-127.

Agustina KK. Sari PH, Suada IK. 2017.

Pengaruh perendaman pada infusa daun salam terhadap kualitas dan daya tahan daging babi. Bul. Vet. Udayana. 9(1): 34-41.

Apritya D, Yanestria SM, Hermawan P.

2021. Deteksi kasus fasciolosis dan eurytrematosis pada pemeriksaan antemortem dan postmortem hewan qurban saat masa pandemi Covid 19 di Surabaya. J. Ilmiah Fillia Cendekia. 6(1): 41-45.

Aryasa IGMA, Widiasari NPA, Susilawati NM, Fatmawati NND, Adnyana IMO, Sudewi AAR, Tarini NMA. 2020. Streptococcus suis meningitis related to processing and consuming raw pork during balinese tradition, mebat. Med. J. Indon. 29(1): 88–92.

Estuningsih SE. 2009. Taeniasis dan sistiserkosis   merupakan penyakit

zoonosis parasiter. Wartazoa.  19(2):

84-92.

Giritlioglu I, Batman O, Tetik N. 2011. The knowledge and practices of food safety and hygiene of cookery students in Turkey. Food Control. 22(6): 838-842.

Hidayat AA. 2015. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma  Kuantitatif.

Health Books Publishing. Surabaya.

Ismail HA, Jeon HK, Yu YM, Do C, Lee YH. 2010. Intestinal parasite infections in pigs and beef cattle in rural areas of chungcheongnam do Korea. Korean J. Parasitol. 48(4): 347-349.

Kehinde AH, Abiodun SM. 2014. Poor slaughterhouse waste management: empirical evidences from Nigeria and implications on achieving millennium development goals. Affrev. Stech. 3(1): 110-127.

Lawu MR, Yuliawati S, Yuliawati LD. 2014. Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang).     Jurnal     Kesehatan

Masyarakat. 2(2): 127-131.

Mulyono Sy, Hermana J, Boedisantoso R. 2003. Evaluation of butchering house wastewater treatment plant in concern to centralization of butchering activity in Pontianak. J. Purifikasi. 4(3): 97102.

Pemerintah Pusat. 1983. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Jakarta.

Pemerintah Pusat. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat      Veteriner      dan

Kesejahteraan Hewan. Jakarta.

Prihanto TA. 2012. Perbandingan kinerja reproduksi induk babi landrace yang di flushing dan di kawinkan dengan pejantan duroc serta duroc pietrain. Skripsi. Fakultas Peternakan. Jurusan Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Rawla P, Sharma S. 2021. Trichinella spiralis. National Library of Medicine. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/N BK538511/

Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

Rudyanto MD. 2007. Menciptakan Idul Adha yang ''ASUH''. Bagian Kesehatan Masyarakat    Veteriner Fakultas

Kedokteran    Hewan    Universitas

Udayana. http://www.New Page 1.htm

Singh AL, Jamal S, Baba SA, Islam MM. 2014. Environmental and health impacts from slaughterhouse located on the city outskirts: a case study. J. Environ. Protect. 5(6): 566-575.

Sriyani NLP, Artiningsih RNM, Lindawati SA, Oka AA. 2015. Studi perbandingan kualitas fisik daging babi bali dengan babi landrace persilangan yang di

potong di rumah potong hewan tradisional. Maj. Ilmiah Peternakan. 18(1): 26-29.

Susanty E. 2019. Taeniasis solium dan sistiserkosis pada manusia. JIK. 12(1): 1-6.

Tawaf R, Herlina L, Fitriani A. 2018. Metode analisis biaya potong pada rumah potong hewan di Kabupaten Bandung. J. Ilmu Ternak. 18(1): 34-40.

Zajac AM, Conboy GA. 2006. Veterinary Clinical Parasitology.7th. Ed. Lowa, USA. Blookwell Publishing Co. Pp. 3147.

Tabel 1. Rekapitulasi persepsi dan alasan pedagang daging babi di Pasar Badung memilih tempat pemotongan hewan

Parameter

Indikator

Sasaran

Hasil

Persepsi pedagang daging babi di pasar badung terhadap tempat

Jumlah pedagang daging babi dan lokasi

pemotongan yang di pilih

Pedagang Babi di Pasar Badung

Terdapat 38 orang pedagang daging babi di Pasar Badung yang dimana 36 pedagang daging babi mengambil daging di RPH dan 2 orang lainnya mengambil di luar RPH

pemotongan

Biaya pemotongan ternak, waktu pemotongan dan jarak dengan RPH

Pedagang Babi di Pasar badung

Biaya Pemotongan ternak di RPH sebesar Rp 47.500/ ekor dan di luar RPH 100.000/ekor. Waktu pemotongan di RPH ± 2 jam/ekor, dan Waktu pemotongan di luar RPH 4 jam/ekor dan untuk jarak pedagang dengan lokasi RPH bervariasi yaitu 4-20 km.

Tingkat Pengetahuan pedagang terhadap zoonosis dan meatborne disease.

Pedagang Babi di Pasar badung

Dari 38 pedagang yang ada di pasar Badung masih kurang dalam hal informasi dan pengetahuan tentang zoonosis dan meatborne disease.

Komentar pedagang tentang RPH

Pedagang Babi di Pasar badung

Menurut pedagang daging babi di pasar Badung pelaksanaan pemotongan babi di RPH bertujuan agar produk daging babi yang mereka jual kualitasnya baik dan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga aman untuk di konsumsi konsumen nantinya.

Alasan dilakukannya pemotongan babi di rumah sendiri

Alasan pedagang yang melakukan pemotongan di luar RPH (dirumah)

Pedagang Babi di Pasar badung

Terdapat 2 pedagang yang melakukan pemotongan liar atau di luar kawasan RPH, hal ini di karenakan jarak lokasi pedagang dengan RPH yang jauh yaitu 20km.

489