Volume 15 No. 3: 410-422

Juni 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i03.p09

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Laporan Kasus: Demodekosis Disertai Dermatitis Akibat Infeksi Jamur Malassezia Sp. pada Anjing Shih Tzu

(DEMODECOSIS WITH DERMATITIS DUE TO FUNGAL INFECTION MALASSEZIA SP. IN SHIH TZU DOG: A CASE REPORT)

Ni Made Ernawati1*, I Gede Soma2, I Nyoman Suartha2

  • 1Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudimarn, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

  • 2Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Jl. Sesetan Denpasar, Bali, Indonesia 80223.

*Email: [email protected]

Abstrak

Seekor anjing Shih Tzu jantan bernama Renbow berumur 10 tahun mengalami masalah kulit dengan tanda gatal-gatal. Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya alopesia, eritema, penebalan pada kulit dan kulit yang berminyak. Pada bagian wajah hingga leher sebelah kiri anjing mengalami luka akibat garukan dengan intensitas yang cukup tinggi disertai pembengkakan di bawah kulit yang berisi cairan. Pada pemeriksaan deep skin scrapping pada kulit ditemukan adanya tungau Demodex sp. berjumlah 3-8 per satu lapang pandang dan pemeriksaan sitologi kulit menunjukkan adanya jamur Malassezia sp. dengan sporanya. Pemeriksaan hematologi menunjukkan hewan mengalami anemia normositik normokromik. Anjing kasus didiagnosis demodekosis disertai dermatitis akibat infeksi jamur Malassezia sp. Terapi yang diberikan yaitu dengan membersihkan bagian kulit yang luka menggunakan Chlorhexidine dan diolesi Gentamicin dan Ketokonazole (dalam bentuk salep), pemberian antiparasit NexGard SPECTRA®, Clindamycin, Cetirizine, Furosemide dan fish oil. Anjing dimandikan 2 kali seminggu menggunakan shampoo yang mengandung sulfur. Evaluasi setelah 10 hari kondisi anjing telah mengalami perbaikan dengan berkurangnya intensitas menggaruk, pembengkakan akibat cairan pada leher dan wajah telah hilang, eritema sudah mulai berkurang dan kulit yang awalnya berminyak sudah mulai menghilang. Hasil pemeriksaan deep skin scrapping dan sitologi kulit setelah 10 hari juga menunjukkan tidak adanya tungau Demodex sp. dan berkurangnya temuan jamur Malassezia sp. Pengobatan yang diberikan tetap dilanjutkan dalam dua bulan kedepan untuk dievaluasi kembali. Anjing menunjukkan perbaikan kondisi setelah diberikan terapi dan diperlukan perawatan yang intensif terhadap anjing untuk mencegah infeksi kembali.

Kata kunci: Anjing; demodekosis; dermatitis; Malassezia sp.

Abstract

A 10-year-old male Shih Tzu dog named Renbow is experiencing skin problems with signs of itching. Clinical examination showed alopecia, erythema, thickening of the skin and oily skin. On the face to the left side of the neck, the dog was injured due to scratching with a high enough intensity with swelling under the skin filled with fluid. On examination of deep skin scraping on the skin found the mite Demodex sp. amounted to 3-8 per one field of view and skin cytology examination showed the fungus Malassezia sp. with the spores. Hematological examination showed that the animal had normochromic normocytic anemia. The case dog was diagnosed with demodicosis with dermatitis due to fungal infection of Malassezia sp. The therapy given is by cleaning the injured skin using Chlorhexidine and smeared with Gentamicin and Ketoconazole (in the form of an ointment), administering the antiparasitic NexGard SPECTRA®, Clindamycin, Cetirizine, Furosemide and fish oil. Dogs are bathed 2 times a week using a shampoo containing sulfur. Evaluation after 10 days the dog's condition has improved with reduced scratching intensity, swelling due to fluid on the neck and face has disappeared, the erythema has begun to decrease and the initially oily skin has begun to disappear. Examinations deep skin scrapping after 10 days also showed the absence of Demodex sp

mites. and reduced findings of Malassezia sp. The treatment given is continued in the next two months to be re-evaluated. Dogs show improvement in condition after being given therapy and intensive care is needed for dogs to prevent re-infection.

Keywords: Dog; demodicosis; dermatitis; Malassezia sp.

PENDAHULUAN

Anjing dikenal sebagai hewan peliharaan yang bernilai bagi manusia. Memelihara anjing adalah hal biasa dalam kehidupan sosial. Dulu, anjing hanya digunakan sebagai hewan untuk penjaga rumah, tetapi sekarang anjing menjadi hewan peliharaan yang sangat penting untuk dijaga. Namun, meski mendapatkan perawatan intensif, tak jarang anjing mengalami masalah pada kesehatannya seperti masalah kulit yang sering terjadi pada anjing peliharaan. Penyakit kulit merupakan hal yang cukup sering terjadi pada anjing peliharaan, agen penyebabnya seperti ektoparasit, bakteri dan jamur (Wirawan et al., 2019). Untuk memelihara seekor anjing terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan seperti pakan yang dikonsumsi, intensitas perawatan serta kebersihan lingkungan hewan. Seringkali pemilik anjing mengabaikan hal tersebut karena kurangnya pengetahuan mengenai dampak dari penyakit yang akan timbul seperti penyakit kulit (Ulfa et al., 2016).

Demodekosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau Demodex sp. dan dapat menyerang anjing. Demodex sp. hidup dalam folikel rambut dan kelenjar sebaseus. Tungau tersebut dapat menimbulkan rasa gatal dan memicu reflex menggaruk. Garukan secara terus menerus dengan kondisi kuku yang tajam dapat menyebabkan terjadinya luka (Anggraeni et al., 2020). Demodekosis juga dikenal dengan Red Mange, Follicular Mange, Acarus Mange. Demodex sp. tidak memberikan kerugian pada anjing pada kondisi normal, namun bila kekebalan tubuh anjing mengalami penurunan maka demodex akan berkembang dan menimbulkan penyakit kulit (Wirawan et

al., 2019). Infestasi Demodex sp. biasanya ditularkan dari anjing lain yang terinfeksi ataupun pada anjing muda yang ditularkan oleh induknya saat menyusui. Infeksi Demodex sp. dapat dilihat pada hewan yang mengalami penurunan kekebalan, anjing tua dan anjing muda umur 3 bulan hingga satu tahun. Imunosupresi pada anjing juga mendukung perkembangbiakan dari tungau ini di folikel rambut sehingga menyebabkan demodekosis (Yogeshpriya et al., 2017).

Demodekosis pada anjing dapat bersifat lokal maupun general. Pada demodekosis lokal, kegatalan jarang terjadi dan biasanya sembuh secara spontan dalam dua bulan. Sedangkan pada sebagian demodekosis general memerlukan pemberian antibiotik selama beberapa minggu bersamaan dengan pengobatan yang lebih spesifik terhadap tungau (Erawan et al., 2019). Terapi demodekosis membutuhkan waktu yang lama untuk proses penyembuhan sehingga sering membuat frustasi bagi pemilik anjing dan dokter hewan yang menanganinya.

Malassezia sp. adalah khamir yang biasa ditemukan pada kulit vertebrata. Beberapa peneliti melaporkan bahwa Malassezia sp. termasuk salah satu flora oportunistik karena pada kondisi yang mendukung dapat menyebabkan kejadian mikosis baik bersifat superfisial maupun sistemik. Salah satu spesies yang paling sering ditemukan pada anjing adalah Malassezia pachydermatitis dan sekitar 50% dari anjing yang sehat merupakan pembawa (carrier) khamir ini (Adiyati dan Pribadi, 2014). Malassezia sp. adalah commensal yeast yang umum ditemukan pada kulit dan mukosa anjing. Yeast ini cenderung ada pada area tubuh yang lembab dan berminyak, biasanya menyebabkan eritema dan hyperplasia

epidermal dengan produksi sebum yang berlebihan (Kristianty et al., 2017). Malassezia sp. diklasifikasikan sebagai jamur dimorfik karena ditemukan dalam fase ragi dan miselium. Jamur ini merupakan jamur lipofilik yang membentuk koloni pada stratum korneum kulit. Malassezia sp. memiliki morfologi yang dapat dibedakan dari jenis jamur lainnya. Pada pemeriksaan mikroskopis Malassezia sp. akan terlihat berupa sel bulat hingga lonjong dengan dinding tebal disertai tunas monopolar (Sudipa et al., 2021).

Diantara jenis infeksi kulit campuran yang terjadi pada anjing, Demodekosis disertai infeksi Malassezia sp. jarang terjadi. Faktor predisposisi kedua infeksi tersebut umumnya disebabkan oleh stress, defisiensi imunitas atau perubahan lingkunngan sehingga kedua agen tersebut menjadi bersifat patologis. Produksi sebum yang berlebihan, kelembaban yang tinggi dan gangguan fungsi organ yang memicu seborrhea juga dapat memicu perkembangan Malassezia sp. Kadang-kadang ditemukan kasus demodekosis yang parah ketika ada infestasi campuran dengan jamur / ragi (Srikala et al., 2010).

Kejadian demodekosis yang disertai infeksi Malassezia sp. beberapa kali dilaporkan khususnya pada anjing yang memiliki riwayat pemeliharaan dan gizi yang buruk. Tarallo et al. (2009); Srikala et al. (2010) dan Abhilash et al. (2013) melaporkan kejadian demodekosis disertai infeksi Malassezia sp., ketiga kasus tersebut dilaporkan terjadi akibat kurangnya pemilik menjaga kebersihan lingkungan pemeliharaan dan kesehatan anjing serta dipengaruhi oleh gizi buruk yang dialami anjing. Adapun tujuan dan manfaat laporan kasus ini adalah untuk mendiagnosa kasus demodekosis yang disertai dengan adanya infeksi jamur Malassezia sp. dan mengetahui keberhasilan terapi pada anjing jantan ras Shih Tzu.

METODE PENELITIAN

Rekam Medis Sinyalemen

Seekor anjing ras Shih-Tzu bernama Renbow, berjenis kelamin jantan berumur sepuluh tahun dengan berat badan 7 kg. Anjing berwarna putih krem dengan postur badan tegap dibawa ke Klinik Griya Husada Satwa Jimbaran.

Anamnesa

Anjing telah mengalami gatal-gatal semenjak enam bulan lalu namun tidak pernah diobati oleh pemilik hingga gejalanya menjadi semakin parah. Gejala yang dialami anjing kasus yaitu gatal-gatal, alopesia pada keempat kaki, leher dan wajah. Anjing kasus diberi makan 2 kali sehari dengan makanan yang dibuat sendiri oleh pemilik yaitu nasi berisikan daging ayam rebus dan diberi air minum PAM. Anjing kasus dipelihara dengan dilepas di lingkungan rumah dan kadang bermain dengan anjing lainnya dalam lingkungan     perumahan.     Pemilik

menerangkan bahwa anjing kasus jarang dimandikan oleh pemilik, terdapat infestasi caplak pada anjing, serta tidak ada riwayat pemberian obat cacing dalam satu tahun terakhir dan vaksinasi telah diberikan.

Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis dilakukan secara inspeksi, palpasi dan auskultasi terhadap pasien. Kemudian dilakukan pemeriksaan status present meliputi pemeriksaan suhu, laju respirasi, denyut jantung dan pulsus. Secara inspeksi diamati kondisi hewan secara keseluruhan yakni keaktifan hewan, membran mukosa dan kondisi kulit hewan. Palpasi dilakukan pada bagian leher yang bengkak untuk mengetahui konsistensinya, turgor kulit, Capillary Refill Time (CRT) serta palpasi pada limfonodus untuk mengetahui adanya pembengkakan yang merupakan respon tubuh terhadap peradangan. Auskultasi dilakukan pada thorak untuk memeriksa organ sirkulasi dan respirasi, serta pada abdomen untuk memeriksa organ pencernaan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan untuk penunjang diagnosis yaitu pemeriksaan hematologi lengkap, deep skin scrapping dan sitologi kulit. Sampel darah diambil dari vena jugularis dan ditampung ke dalam tabung Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA) agar tidak terjadi pembekuan darah, kemudian dilakukan pemeriksaan hematologi lengkap.

Diagnosa

Berdasarkan     hasil     anamnesa,

pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang meliputi hematologi lengkap, deep skin scrapping dan sitologi kulit, anjing kasus didiagnosis mengalami demodekosis disertai dermatitis akibat infeksi jamur Malassezia sp.

Prognosa

Prognosa hewan kasus adalah fausta, karena Demodex sp. dan jamur Malassezia sp. bersifat flora normal dalam kulit anjing serta tingkat keparahan lesi yang masih sedang, sehingga masih bisa sembuh dengan terapi dan pengobatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pemeriksaan Klinis

Berdasarkan pemeriksaan klinis yang dilakukan menunjukkan adanya alopesia pada keempat kaki, leher dan wajah di bagian pipi sebelah kiri. Terlihat adanya penebalan kulit disertai kemerahan pada keempat kaki. Keadaan kulitnya lebih berminyak dan basah khususnya pada daerah leher dan wajah. Pada bagian wajah hingga leher sebelah kiri anjing mengalami luka akibat garukan dengan intensitas yang cukup sering disertai pembengkakan. Hasil aspirasi menggunakan spuit menunjukkan adanya cairan di bawah kulit. Hasil dari pemeriksaan klinis ditunjukkan pada Gambar 1. Pada pemeriksaan fisik urogenitalia, anggota gerak, sirkulasi, pernafasan, pencernaan, saraf dan limfonodus terlihat normal. Sedangkan pemeriksaan status pasien menunjukkan

frekuensi jantung normal, pulsus mengalami penurunan, Capillary Refill Time (CRT) normal, dan frekuensi napas normal (Tabel 1). Sementara hasil pemeriksaan hematologi hewan dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil pemeriksaan hematologi     menunjukkan     anjing

mengalami      anemia      normositik

normokromik.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendapatkan diagnosa definitif adalah dengan melakukan deep skin scrapping pada bagian kulit yang gatal dan mengalami alopesia. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara dikerok pada bagian kulit yang gatal dan mengalami alopesia menggunakan scapel yang sudah disterilkan hingga berdarah, sampel diletakan pada objek glass dan diberikan KOH    10%,    kemudian ditutup

menggunakan cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop. Hasil pemeriksaan tersebut didapatkan hasil yaitu adanya Demodex sp. yang berjumlah 3-8 pada satu lapang pandang (Gambar 2).

Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu dengan melakukan pemeriksaan sitologi kulit pada bagian kulit yang mengalami gatal, kemerahan, penebalan kulit dan alopesia. Pemeriksaan sitologi dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi lainnya seperti infeksi jamur. Hal tersebut didasarkan pada tanda klinis yang diamati berupa kulit superficial anjing yang cukup berminyak serta adanya penebalan dan pengerasan pada kulit (lichenifikasi) yang merupakan salah satu tanda adanya infeksi jamur Malassezia sp. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode skin tape kemudian ditempelkan pada objek glass dan diwarnai dengan metylen blue. Sampel kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000X. Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya infestasi jamur Malassezia sp (Gambar 3).

Terapi

Terapi yang diberikan adalah melakukan pembersihan bagian kulit yang

luka dengan Chlorhexidine dan kemudian diolesi dengan Gentamicin 0,1% 5 gram dan Ketokonazole 2% 10 gram (dalam bentuk salep) dioleskan dua kali sehari pada pagi hari dan sore hari selama 10 hari, pemberian antiparasit NexGard SPECTRA® diberikan satu kali dan diulang pada bulan selanjutnya, pemberian antibiotik Gentamicin dikombinasikan dengan Clindamycin 5.5 mg/kg BB (2x sehari) selama 7 hari, Cetirizine 1 mg/kg BB (2x sehari) selama 10 hari dan obat diuretik Furosemide 3 mg/kg BB (2x sehari) selama 7 hari untuk mengurangi penimbunan cairan yang ada pada leher dan wajah. Terapi supportif diberikan dengan fish oil 500 mg/hari dengan dosis pemberian 1 kapsul (1x sehari) selama 10 hari, kemudian anjing dimandikan 2 kali seminggu menggunakan shampoo yang mengandung sulfur (Virbac Poison Sebazole®).

Hasil sepuluh hari pasca terapi, anjing kasus menunjukkan perubahan pada lesi kulit yang sudah mulai mengering, kulit superfisial yang awalnya berminyak sudah mulai menghilang, gatal-gatal mulai berkurang ditandai dengan berkurangnya intensitas menggaruk, eritema pada kulit mulai berkurang. Dilakukan kembali pemeriksaan sampel kerokan kulit dan sitologi kulit, hasil yang didapatkan yaitu sudah tidak adanya tungau Demodex sp. dan telah berkurangnya jamur Malassezia sp. pada tubuh anjing. Pengobatan masih tetap diberikan dalam dua bulan kedepan untuk dilakukan evaluasi kembali.

Pembahasan

Berdasarkan hasil dari pemeriksaan klinis pada anjing menunjukkan adanya alopesia, eritema dan penebalan pada kulit bagian keempat kaki, leher dan wajah. Pembengkakan berisi cairan juga terlihat pada bagian wajah hingga leher sebelah kiri. Hasil dari pemeriksaan penunjang anjing didiagnosis menderita demodekosis disertai dermatitis akibat infeksi jamur Malassezia sp. Pada anamnesis diketahui anjing mengalami kegatalan pada bagian keempat kaki, leher, dan wajah. Anjing

jarang dimandikan oleh pemilik, pemeliharaannya dilepas di lingkungan rumah, namun tidak jarang anjing keluar rumah dan bertemu dengan anjing lainnya di sekitar rumah.

Infeksi demodekosis dapat terjadi pada anjing semua umur. Demodekosis yang menyerang anak anjing berumur <12-24 bulan (small dog <12 bulan, large dog <18 bulan, dan giant dog <24 bulan) disebut dengan juvenile onset demodecosis. Sedangkan demodekosis yang menyerang anjing berumur > 4 tahun disebut dengan adult onset demodecosis. Pada kasus ini termasuk dalam kategori adult onset demodecosis dilihat dari umur anjing yang sudah berumur 10 tahun. O’Neill et al., 2019 dalam penelitiannya melaporkan bahwa anjing Shih Tzu merupakan salah satu ras yang paling sering terkena adult onset demodecosis diantara anjing yang lainnya. Faktor pemicu dari adult onset demodecosis ini adalah imunosupresif yang dialami oleh hewan. Pada adult onset demodecosis, penyakit penerta seperti diabetes mellitus, hiperadrenokortikal, hipotiroidisme, penyakit hati dan neoplasia ganas, serta pemberian obat imunosupresif merupakan salah satu faktor pemicunya (Holm, 2003). Diduga bahwa pada pasien dengan onset dewasa, faktor imunosupresif bersamaan mungkin ada untuk memungkinkan tungau sebelumnya terkontrol untuk berkembang biak secara berlebihan (Gortel, 2006).

Demodex sp. merupakan flora normal di dalam tubuh anjing namun jumlah parasit ini akan bertambah banyak apabila terjadi penurunan sistem imun atau dalam kondisi stress. Pada penyakit ini, pengaruh yang ditimbulkan yaitu bulu anjing akan menjadi rusak, alopesia, kulit menjadi bersisik dan bulu menjadi kusam. Bentuk dari lesi-lesi pada kulit biasanya berbentuk polkadot atau lingkaran (Sardjana, 2012). Anjing yang terserang demodekosis akan terus menggaruk-garuk bagian tubuh yang terinfeksi sehingga menyebabkan crusta. Erosi epitel oleh mulut tungau, pecahnya folikel rambut karena banyaknya tungau

dan efek protease dari kelenjar ludah biasanya menyebabkan kegatalan hingga menyebabkan alopesia, munculnya komedo dan papula folikular (Forton, 2012). Alopesia pada anjing yang menderita demodekosis mungkin terjadi pada sebagian atau seluruh tubuh, terbatas atau berdifusi, dan simetris atau asimetris. Alopesia terjadi akibat kerusakan serat rambut, disfungsi folikel rambut dan kekurangan nutrisi (Wirawan et al., 2019). Pada kasus ini anjing mengalami pembengkakan berisi cairan pada bagian wajah hingga leher sebelah kiri. Pembentukan cairan tersebut disebabkan oleh reaksi inflamasi akibat garukan yang merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi. Reaksi     inflamasi     menyebabkan

vasokonstriksi pada pembuluh darah sehingga terjadi vasodilatasi arteriol yang mengakibatkan peningkatan aliran darah. Pembuluh darah menjadi lebih permiabel dan cairan yang kaya protein akan mengalir keluar jaringan ekstravaskular. Hal tersebut mengakibatkan tekanan osmotik cairan interstitial meningkat dan cairan masuk ke dalam jaringan sehingga terjadi penimbunan cairan sebagai manifestasi radang (Sheerwood, 2014).

Pada anjing kasus dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis terhadap sampel kerokan kulit yang ditambahkan dengan KOH 10%. KOH 10% berfungsi untuk melisiskan keratin yang ada pada kerokan kulit. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya tungau Demodex sp. Pada kasus ini jenis tungau demodex yang ditemukan yaitu Demodex canis. Anjing peliharaan dapat dipengaruhi oleh tiga spesies Demodex spp. yang dikenal menghasilkan efek klinis, yaitu D. canis yang terletak di folikel rambut, saluran sebasea dan kelenjar sebasea, D. injai yang terletak di folikel rambut dan kelenjar sebasea, dan D. cornei yang berada pada stratum korneum kulit (Wahyudi et al., 2020). Demodex canis berbentuk seperti cerutu, ukuran dewasa 170-225 μm dan memiliki

4 kaki. Demodex injai dewasa berukuran dua kali lebih besar dari Demodex canis yaitu 330-370 μm. Demodex cornei memiliki badan lebih pendek yaitu hanya setengah dari panjang Demodex canis (Sakulploy dan Sangvaranond, 2010).

Spesies Malassezia sp. yang menyebabkan dermatitis biasanya M. pachydermatis akibat pertumbuhan M. pachydermatis yang berlebihan. Infeksi Malassezia sp. dapat menjadi infeksi sekunder dari penyakit lainnya seperti demodekosis (Adiyati dan Pribadi, 2014). Ali et al.  (2012) menyatakan bahwa

infeksi Malassezia sp. dipengaruhi oleh faktor individu (kebersihan, densitas kelenjar sebaceous, dan lain-lain), letak geografis dan iklim, serta perubahan kelembaban dan suhu. Hal tersebut sejalan dengan anamnesis yang didapat dari pemilik yang mana anjing kasus juga terinfeksi demodekosis dan pemilik juga kurang menjaga kebersihan dari anjing tersebut sehingga terjadi infeksi oleh Malassezia sp.

Gejala yang timbul oleh infeksi Malassezia sp pada anjing ditandai dengan adanya pruritus diserta eritema dan terbentuk keropeng. Umumnya anjing yang terinfeksi memiliki kulit yang berminyak,       berbau       dengan

hiperpigmentasi     dan     lichenifikasi

(penebalan dan pengerasan pada kulit). Daerah infeksi biasanya pada daerah wajah, leher bagian bawah, digiti, dan perut (Adiyati dan Pribadi, 2014). Hal tersebut sesuai dengan tanda klinis yang ditunjukkan oleh anjing pada kasus ini. Sedangkan pembengkakan berisi cairan pada bagian wajah hingga leher sebelah kiri pada anjing kasus dapat dipicu oleh adanya luka akibat anjing yang terus menggaruk-garuk pada daerah tersebut. Infeksi akibat adanya jamur yang masuk melalui luka pada kulit juga dapat menyebabkan      pembengkakan/abses

(Siregar, 2002).

Umur anjing yang sudah cukup tua pada kasus ini dapat mempengaruhi

tingkat infeksi dari Malassezia sp. Sudipa et al. (2021) dalam penelitiannya menyatakan bahwa berdasarkan tingkat usia anjing yang terinfeksi, hasil infeksi tertinggi ditemukan pada usia di atas 36 bulan. Prevalensi infeksi Malassezia relatif lebih tinggi pada anjing geriatri dibandingkan anjing muda dan dewasa. Hal tersebut dikaitkan dengan kekebalan anjing geriatric yang lebih rendah dibandingkan dengan anjing muda dan dewasa. Respon imun bawaan maupun spesifik berperan penting dalam daya tahan tubuh terhadap infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur. Imunitas seluler memainkan peran penting dalam pertahanan dan pemulihan kondisi yang disebabkan oleh paparan terhadap Malassezia spp.

Pada pemeriksan hematologi didapatkan hasil bahwa anjing mengalami anemia normositik normokromik. Anemia ditunjukkan adanya penurunan RBC dan hematokrit, normositik ditunjukkan dengan normalnya MCV dan normokromik ditunjukkan dengan kadar MCHC yang normal. Anemia terjadi ketika hewan mengalami defisiensi eritrosit atau jumlah hemoglobin. Tubuh anjing yang terinfestasi parasit seperti pada penyakit demodekosis dapat menyebabkan penurunan nilai hemoglobin dan eritrosit sehingga terjadi anemia. Rendahnya eritrosit pada anjing dapat disebabkan oleh hilangnya darah secara berlebihan, penghancuran eritrosit atau rendahnya produksi eritrosit (Widyanti et al., 2018). Pada kasus ini hewan mengalami luka akibat garukan dengan intensitas yang cukup sering. Hal tersebut memicu pendarahan dan terjadi penimbunan cairan di bawah kulit leher dan wajah bagian kiri. Umur anjing yang sudah tua juga mempengaruhi fungsi tubuh salah satunya produksi eritrosit sehingga terjadi anemia. Hemoglobin merupakan pigmen pembawa oksigen yang menjadi parameter mengukur keadaan anemia. Nilai hemoglobin berbanding lurus dengan eritrosit sehingga penurunan nilai juga

akan menimbulkan penurunan jumlah eritrosit (Erwin et al., 2020). Penurunan hemoglobin dapat disebabkan karena kekurangan zat besi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin (Budiartawan dan Batan, 2018). Hal tersebut berhubungan dengan kurangnya nutrisi yang masuk ke dalam tubuh anjing, yang mana dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian pemilik terhadap komposisi pakan anjing serta kondisi anjing yang stress akibat gejala yang ditimbulkan oleh infestasi Demodex sp. dan Malassezia sp. sehingga nafsu makan anjing berkurang dan mengganggu asupan nutrisi anjing.

Kristianty et al. (2017) dalam penelitiannya menyatakan anjing ras Shih Tzu merupakan salah satu anjing ras yang paling sering terkena penyakit kulit yaitu berjumlah 11% dan merupakan tiga breed anjing teratas yang paling sering terkena penyakit kulit bersama dengan Beagle dan Mongret. Hal ini mungkin disebabkan oleh lipatan kulit atau panjang rambut sehingga lebih rawan terhadap penyakit kulit. Faktor-faktor lain seperti kelembaban lingkungan, kebersihan manusia yang merawat dan daya tahan tubuh setiap hewan juga mempengaruhi tingkat kejadian yang ada.

Pengobatan yang diberikan pada kasus ini yaitu NexGard SPECTRA® yang mengandung bahan aktif afoxolaner dan milbemycin oxime. Afoxolaner merupakan golongan isoxazoline yang berfungsi untuk menghambat parasit dengan menghalangi transfer ion klorida sebelum dan sesudah sinaptik melintasi membran sel yang menghasilkan aktivitas ektoparasitnya. Hipereksitasi yang diinduksi afoxolaner yang berkepanjangan menyebabkan aktivitas sistem saraf pusat tidak terkendali dan kematian parasit. Keuntungan penggunaan golongan isoxazoline adalah penggunaannya mudah dan obat dapat mencapai seluruh tubuh, yang memiliki kepentingan khusus pada anjing berambut panjang. Kejadian buruk akibat penggunaan isoxazoline belum pernah dilaporkan selama perawatan demodekosis

pada anjing (Erawan et al.,  2019).

Milbemycin oxime merupakan zat antihelmintik bekerja dengan mengikat saluran ion klorida di saraf invertebrata dan sel otot. Peningkatan permeabilitas oleh membran sel terhadap ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel yang terkena dan selanjutnya kelumpuhan dan kematian parasit.

Cetirizine merupakan golongan obat antihistamin yang bekerja untuk memblokir reseptor histamin tipe-1 dan menekan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh histamin. Cetirizine digunakan untuk mengontrol kegatalan yang dialami oleh anjing dan inflamasi kulit. Cetirizine mampu menekan gejala pada daerah yang dihasilkan oleh histamine sebesar 95,63% (Soegiarto et al., 2017). Ketokonazole

merupakan obat antifungal azole yang berfungsi untuk menghambat sintesis ergosterol pada dinding sel fungi (Wibinoso dan Putriningsih, 2017). Clindamycin dan Gentamicin diberikan untuk mencegah infeksi sekunder lainnya akibat bakteri pada anjing. Infeksi campuran yang disebabkan oleh kombinasi bakteri aerob fakultatif dan anaerob sering ditemukan di area tubuh yang terpapar floranormal permukaan mukosa atau kulit. Karena multiplisitas organisme dengan kerentanan yang berbeda terhadap agen antimikroba mungkin ada, kombinasi obat sering diindikasikan untuk terapi infeksi campuran tersebut. Clindamycin aktif secara in vitro terhadap staphylococcus sp., streptococcus sp. dan bakteri anaerob serta infeksi yang disebabkan oleh organisme ini. Gentamicin aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Sehingga dengan aktivitas in vitro kedua obat ini terhadap organisme yang terkait dengan kombinasi bakteri tersebut ketika diberikan dalam kombinasi dapat mengobati infeksi ini (Fass, 1977). Clindamycin termasuk golongan obat kelas lincosamid. Clindamycin menghambat sintesis protein dari bakteri dan diabsorbsi cepat oleh saluran pencernaan. Antibiotik

ini umumnya digunakan untuk bakteri gram positif atau infeksi bakteri anaerobic yang melibatkan daerah kulit, saluran napas atau pada rongga mulut (Papich, 2011). Gentamisin merupakan kelompok antibiotik aminoglikosida yang bersifat bakterisid.      Gentamisin     memiliki

mekanisme penghambatan sintesis protein yang berikatan dengan subunit 30S ribosom bakteri atau beberapa protein terikat pada subunit 50S ribosom dan menghambat translokasi peptidil-tRNA dari situs A ke situs P, hal itu menyebabkan   kesalahan pembacaan

mRNA sehingga bakteri tidak mampu mensintesis protein vital untuk pertumbuhannya (Pratiwi, 2008).

Pengobatan suportif yang diberikan yaitu fish oil untuk memperbaiki pertumbuhan rambut dan kondisi tubuh anjing kasus. Fish oil mengandung asam lemak esensial atau omega-3 yang digunakan secara meluas untuk perbaikan kesehatan kulit, pertumbuhan rambut, farmasentikal dan sebagai makanan tambahan (Budiartawan dan Batan, 2018). Furosemide diberikan sebagai obat diuretik untuk mengurangi pembengkakan akibat adanya cairan di bawah kulit wajah dan leher bagian kiri anjing. Diuretik merupakan obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Fungsi utamanya adalah untuk memobilisasi cairan edema dengan mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal (Rosadi dan Marini, 2016). Secara farmakokinetika furosemide sangat terikat pada protein atau albumin, selain itu mekanisme kerja furosemide terletak pada ginjal melalui lengkung henle. Furosemide tidak disaring pada glomerulus, namun diekskresikan di tubulus proksimal melalui transporter asam organik ke dalam jaringan. Hal tersebut akan menyebabkan obat yang terikat albumin dalam jaringan tersaring dalam jaringan tubular sehingga obat yang berikatan dengan albumin di dalam

jaringan membuat penghantaran obat bebas ke dalam lengkung henle menjadi berkurang (Setiadi, 2021). Mekanisme kerja obat diuretik dapat menyebabkan efek samping, diantaranya berupa penurunan ion elektrolit, peningkatan konsentrasi lipid serum dan dehidrasi (Qavi et al., 2015). Oleh karena itu, pemberian cairan elektrolit tambahan dengan terapi cairan sebaiknya dilakukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada anjing.

Keberhasilan dalam pengobatan demodekosis disertai dermatitis yang disebabkan oleh jamur Malassezia sp. pada anjing kasus menunjukkan progress yang baik. Setelah 10 hari pasca pengobatan anjing kasus menunjukkan perubahan dari awal sebelum treatment (Gambar 4). Kegatalan pada anjing sudah mulai berkurang yang ditandai dengan berkurangnya intensitas menggaruk pada anjing kasus. Eritema pada kulit anjing sudah mulai berkurang dan kulit yang awalnya berminyak juga sudah mulai menghilang. Sudah tidak ada pembengkakan di bawah kulit wajah dan leher sebelah kiri yang berisi cairan. Setelah dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dan sitologi kulit kembali tidak ditemukan tungau demodex sp dan telah berkurangnya temuan jamur Malassezia pada kulit anjing (Gambar 5). Namun rambut pada keempat kaki yang mengalami alopesia masih belum tumbuh dan masih perlu pengobatan lebih lanjut untuk mengembalikan kulit anjing yang mengalami penebalan. Rencana terapi yang diberikan akan dilanjutkan hingga dua bulan kedepan yakni dengan pemberian ketoconazole secara rutin dan NexGard SPECTRA® yang diulang pada bulan selanjutnya, kemudian akan dievaluasi kembali.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, anjing tersebut didiagnosis menderita

demodekosis disertai dermatitis akibat infeksi jamur Malassezia sp. dan kondisi anjing kasus mengalami perbaikan kondisi setelah 10 hari diberikan terapi. Namun anjing masih perlu melanjutkan pengobatan untuk mengembalikan kondisi kulit yang mengalami penebalan sehingga dapat mempercepat pertumbuhan rambut pada bagian tersebut.

Saran

Diperlukan perawatan yang intensif terhadap anjing yang terinfeksi demodekosis yang disertai dengan dermatitis akibat infeksi jamur. Untuk mencegah terjadinya infeksi kembali, lingkungan dan kebersihan hewan harus dijaga dengan rutin memandikan anjing minimal satu minggu sekali dan lingkungan yang rutin didesinfeksi. Selain itu, kesehatan anjing harus diperhatikan dengan mengatur komposisi pakan yang diberikan dan dapat ditambah dengan pemberian multivitamin.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Staf Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Dokter Hewan beserta Staf Klinik Hewan Griya Husada Satwa Jimbaran yang telah membimbing dan memberikan tempat beserta fasilitas dalam melakukan pemeriksaan studi kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abhilash RS, Pillai UN, Neethu TK. 2013.

Manajemen terapi malasseziosis dan demodikosis pada anjing. Intas. Polivet. 14(2): 363-365.

Adiyati PN, Pribai ES. 2014. Malassezia spp. dan peranannya sebagai penyebab dermatitis pada hewan peliharaan. J. Vet. 15(4): 570-581.

Ali H, Shahram J, Mansour B, Ali SA, Parviz M, Siamak MR, Mahmoudi B.

2012. Identification of different malassezia species isolated from skin of

healthy dog owners in Tabriz, Iran. J. Anim. Vet. Adv. 11(3): 421-425.

Anggraeni HE, Komara WW, Gulo FDK, Hidayanti M. 2020. Perawatan luka pada anjing penderita demodekosis di Klinik Hewan Bogor Pet Center Bogor. ARSHI Vet. Letters. 4(1): 15-16.

Budiartawan IK, Batan IW. 2018. Infeksi Demodex canis pada anjing persilangan pomeranian dengan anjing lokal. Indon. Med. Vet. 7(5): 562-575.

Erawan IGMK, Puspaeni NKJ, Anthara MS. 2019. Kemanjuran fluralaner untuk pengobatan demodekosis pada anjing persilangan. Indon. Med. Vet. 8(5): 552564.

Erwin E, Rusli R, Jones FD. 2020. Profil darah pada kucing selama proses kesembuhan luka melalui teknik skin flaps rotasi yang dirawat dengan dry dressing dan moist dressing. J. Trop. Anim. Vet. Sci. 10(1): 37-44.

Fass RJ.1977. Treatment of mixed bacterial infections with clindamycin and gentamicin. J. Infect. Dis. 135(Supplement): S74-S79.

Forton FM.2012. Papulopustular rosacea, skin immunity and Demodex: pityriasis folliculorum as a missing link. J. Eur. Academy Dermatol. Venereol. 26(1): 19-28.

Gortel K. 2006. Update on canine demodicosis. Vet. Clin. Small Anim. Practice. 36(1):0-241.

Holm BR. 2003. Efficacy of milbemycin oxime in the treatment of canine generalized      demodicosis:       a

retrospective study of 99 dogs (1995– 2000). Vet. Dermatol. 14(4): 189-195.

Kristianty TA, Efendi ZN, Ramadhani F. 2017. Prevalensi kejadian penyakit kulit pada anjing di my vets animal clinic bumi serpong damai tahun 2016. ARSHI Vet. Letters. 1(1): 15-16.

O'Neill DG, Turgoose E, Church DB, Brodbelt DC, Hendricks A. 2020. Juvenileonset     and     adultonset

demodicosis in dogs in the UK:

prevalence and breed associations. J. Small Anim. Practice. 61(1): 32-41.

Papich MG. 2011. Saunders handbook of veterinary drugs small and large animal third edition. Missiouri: Elsevier Saunders

Pratiwi ST. 2008. Mikrobiologi Farmasi, edisi:  Astikawati R & Safitri A.

Yogyakarta: Erlangga Medical Series.

Qavi AH, Kamal R, Schrier RW. 2015. Clinical use of diuretics in heart failure, cirrhosis, and nephrotic syndrome. Int. J. Nephrol. 2015: 1-9.

Rosadi I, Marini. 2016. Perbandingan daya diuretik infus herba meniran hijau (Phyllanthus   niruri   L)   dengan

furosemid pada kelinci jantan (Ocyctagus caniculus). J. Farmako. 1(2): 30-40.

Sakulploy R, Sangvaranond A. 2010. Canine demodicosis caused by demodex canis and short opisthosomal demodex cornei in Shi Tzu dog from Bangkok Metropolitan Thailand. Kasetsart Vet. 20(1): 27-35.

Sardjana IKW. 2012. Pengobatan demodekosis pada anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Vet. Med. J. 1(1): 9-14.

Setiadi DA. 2021. Efektivitas dan keamanan furosemid continuous infusion dosis 10 dan 20 mg/jam pada pasien penyakit ginjal kronik kondisi fluid overload syndrome disertai hipoalbumin di RSUD abdul wahab sjahranie. Maj. Farmaseutik. 7(1): 6068

Sherwood L. 2014. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Siregar RS. 2002. Penyakit jamur kulit. Edisi 2. Jakarta:  Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Hlm. 62.

Soegiarto G, Kurnia D, Effendi C, Konthen PG. 2017. Cetirizine suppression to skin prick test results in atopic allergy patients. Folia Med. Indon. 53(2): 152-158.

Srikala D, Kumar KS, Kumar VVVA, Nagaraj P, Ayodhya S, Rao DST. 2010. Management of mixed infestation of malasseziosis and demodicosis in dogs. Intas. Polivet. 11(1): 74-76.

Sudipa PH, Gelgel KTP, Jayanti PD. 2021. Malassezia sp. infection prevalence in dermatitis dogs in Badung Area. Trop. Biodiv. Environ. Sci. 5(2):45-49.

Tarallo VD, Lia RP, Sasanelli M, Cafarchia C, Otranto D. 2009. Efficacy of Amitraz plus Metaflumizone for the treatment of canine demodicosis associated      with      Malassezia

pachydermatis. Parasite Vectors. 2(13): 1-5.

Ulfa, Elfidasari D, Sugoro I. 2016. Identifikasi khamir patogen pada kulit dan telinga anjing peliharaan. J. Al-Azhar Indon. Seri Sains Teknol. 3(4): 213-220.

Wahyudi G, Anthara MS, Arjentinia IPGY. 2020. Studi kasus: demodekosis

pada anjing jantan muda ras pug umur satu tahun. Indon. Med. Vet. 9(1): 4553.

Wibisono HW, Putriningsih PAS. 2017. Studi kasus: dermatofitosis pada anjing lokal. Indon. Med. Vet. 6(2): 130-137.

Widyanti AI, Suartha IN, Erawan IGM, Anggreni LD, Sudimartini LM. 2018. Hemogram anjing penderita dermatitis kompleks. Indon. Med. Vet. 7(5): 576587.

Wirawan IG, Widiastuti SK, Batan IW. 2019. Laporan kasus: demodekosis pada anjing lokal Bali. Indon. Med. Vet. 8(1): 9-18.

Yogeshpriya S, Sivakumar M, Selvaraj P, Veeraselvam M, Venkatesan M, Arulkumar T. 2017. Efficacy of amitraz plus Miconazole for the treatment of juvenile generalized demodicosis associated with dermatophytosis in a Pug. J. Entomol. Zool. Stud. 5(5): 16981700.


Gambar 1. Anjing mengalami alopesia dan kemerahan pada kulit keempat kaki, leher dan bagian wajah (tanda panah)

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Status Anjing Kasus

Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Keterangan

Jantung (kali/menit)

92

70-120

Normal

Pulsus (kali/menit)

85

90-120

Turun

CRT (detik)

< 2 detik

< 2 detik

Normal

Respirasi (kali/menit)

30

15-30

Normal

Suhu (oC)

38.5

38,5-39,5oC

Normal

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Hematologi Lengkap anjing kasus

Item

Hasil

Nilai Normal

Keterangan

WBC (103∕μL)

15.3

6 -17

Normal

Limfosit (103∕μL)

2.6

0.8-5.1

Normal

Monosit (103∕μL)

0.7

0 -1.8

Normal

Granulosit (103∕μL)

12.0

4 -12.6

Normal

RBC (106∕μL)

3.49

5.5 -8.5

Rendah

Hemoglobin (g/dL)

7.3

12 - 18

Rendah

Hematokrit (%)

23.4

37 -55

Rendah

MCH (pg)

20.9

20 -25

Normal

MCV (fL)

67.3

62-72

Normal

MCHC (g/dL)

31

31-36

Normal

Keterangan:

WBC= White Blood Cell; RBC= Red Blood Cell; MCH= Mean Corpuscular Hemoglobin;

MCV= Mean Corpuscular Volume; MCHC= Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration

Gambar 2. Demodex sp. ditemukan pada hasil deep skin scrapping kulit anjing (lingkaran hitam)

Gambar 3. Malassezia sp. ditemukan pada hasil pemeriksaan sitologi kulit anjing (tanda panah)

Gambar 4. Kondisi anjing kasus setelah 10 hari pasca pengobatan

Gambar 5. Hasil pemeriksaan sitologi kulit pada anjing kasus setelah 10 hari terapi yaitu berkurangnya Malassezia sp. yang ditemukan pada satu lapang pandang.

422