PHYSICAL QUALITY OF BALI PORK
on
Volume 15 No. 3: 437-443
Juni 2023
DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i03.p12
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Kualitas Fisik Daging Babi Bali
(PHYSICAL QUALITY OF BALI PORK)
I Gusti Ngurah Putra Arimbhawa1*, I Wayan Masa Tenaya2, I Made Sukada2
-
1Mahasiswa Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;
-
2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, JL. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234.
*Email: [email protected]
Abstrak
Daging babi merupakan salah satu komoditas penting ditinjau dari aspek gizi, sosial budaya, dan ekonomi, Maka dari itu ketersediaan daging yang aman, sehat dan utuh merupakan perwujudan kongkrit bagi setiap konsumen daging di pasaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas daging babi bali yang dipotong di rumah pemotongan tradisional Desa Penatih, Denpasar ditinjau dari uji subjektif (warna, bau, konsistensi, dan tekstur). Sampel dalam penelitian ini menggunakan daging babi bali jantan berumur tiga bulan dari tiga lokasi otot berbeda. Pengumpulan data uji organoleptik daging babi bali jantan dilakukan oleh 10 orang panelis menggunakan panca indra dengan metode pengamatan dan pemberian skor pada tiga lokasi daging terhadap warna, bau, konsistensi, dan tekstur daging. Data yang diperoleh dianalisis dengan Uji Kruskal-Wallis dan apabila terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji organoleptik (warna, bau, konsistensi, dan tekstur) daging babi bali yang dipotong di rumah pemotongan tradisional Desa Penatih, Denpasar dari tiga lokasi otot yang berbeda (regio femoralis, regio vertebralis thoracis, regio abdominalis lateralis) menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05), berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa kualitas daging babi bali yang diuji secara organoleptik yang diambil pada tiga lokasi otot yang berbeda menunjukan kondisi nilai organoleptik pada penelitian ini adalah baik, disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait kualitas organoleptik daging babi bali berdasarkan jenis kelamin dan umur berbeda sebagai data dasar dari kualitas daging babi bali.
Kata kunci: Babi bali; daging babi; kualitas daging
Abstract
Pork is one of the important commodities in terms of nutritional, socio-cultural, and economic aspects. The availability of safe, healthy and whole meat is a concrete manifestation for every meat consumer on the market. The purpose of this study was to determine the quality of Balinese pork slaughtered at the traditional slaughterhouse of Penatih Village, Denpasar in terms of subjective tests (color, smell, consistency, and texture). The sample in this study used three-month-old male Balinese pork from three different muscle locations. The collection of organoleptic test data for male Balinese pork was carried out by 10 panelists using the five senses with the method of observation and scoring at three locations of meat on the color, smell, consistency, and texture of the meat. The data obtained were analyzed by the Kruskal-Wallis test and if there was a significant difference, it was continued with the Mann Whitney test. The results showed that organoleptic tests (color, smell, consistency, and texture) of Balinese pork slaughtered at the traditional slaughterhouse of Penatih Village, Denpasar from three different muscle locations (femoral region, vertebral thoracic region, lateral abdominal region) showed no results. significantly different (P>0.05), Based on the results of this study, it can be concluded that the quality of Balinese pork which was tested organoleptically taken at three different muscle locations showed the condition of the organoleptic value in this study was good. different ages as the basic data of the quality of Balinese pork.
Keywords: Bali pork; pork; meat quality
PENDAHULUAN
Babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena memiliki sifat-sifat dan kemampuan yang menguntungkan antara lain yaitu laju petumbuhan yang cepat, jumlah anak per kelahiran (litter size) yang tinggi, efisien ransum yang baik (70-80%), dan persentase karkas yang tinggi (65-80%) (Siagian, 1999). Peternakan babi di Bali memegang peranan penting dalam menyediakan daging babi khususnya babi bali yang memiliki status sosial budaya yang sangat penting bagi masyarakat Hindu yang ada di pulau Bali. selain sebagai penunjang kebutuhan protein hewani masyarakat dan untuk upacara agama, daging babi juga digunakan dalam berbagai aktivitas social, selain itu babi bali juga dipelihara untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang tiap tahun terus meningkat (Priadi et al., 2016)
Daging merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Protein hewani sangat bermanfaat untuk pertumbuhan,
mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses dalam tubuh dan menyediakan energi untuk aktivitas tubuh (Norman, 1988). Daging juga merupakan bahan pangan yang mengandung nutrisi tinggi dan cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuh manusia (Arka, 1988). Maka dari itu ketersediaan daging yang aman, sehat dan utuh merupakan perwujudan kongkrit bagi setiap konsumen daging di pasaran. Daging yang bermutu baik adalah daging yang memiliki warna cerah, permukaan mengkilat, tidak pucat, tidak berbau asam apalagi busuk, konsistensinya liat dan masih terasa kebasahannya (Naibaho et al., 2013).
Kualitas daging adalah faktor-faktor yang menjadi pertimbangan konsumen untuk memilih jenis daging untuk dikonsumsi yang dapat dipengaruhi oleh perbedaan genetik jenis babi yang berbeda (Sriyani et al., 2015). Evaluasi terhadap
kualitas daging dapat mempengaruhi penerimaan konsumen di pasaran, karena kualitas daging berkaitan dengan hasil olahan daging tersebut. Bagi konsumen, daging dari berbagai spesies dan bangsa ternak mempunyai nilai penerimaan yang bebeda. Diantara individual konsumen, nilai penerimaan daging juga berbeda, tergantung pada faktor fisiologis dan sensasi organoleptik. Faktor yang sangat menentukan penerimaa daging dipasaran adalah faktor organoleptik daging seperti: warna, aroma, tekstur dan citarasa daging (Soeparno, 1994).
METODE PENELITIAN
Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging babi bali sebanyak 3 sampel yang diambel dari satu babi bali jantan berumur 3 bulan pada tiga lokasi otot berbeda (regio femoralis, region veetebralis thoracis, region abdominalis lateralis) masing-masing seberat 100g yang diperoleh dari rumah pemotongan tradisonal Desa Penatih, Denpasar.
Uji Subyektif
Sampel daging babi bali akan diuji kualitas fisiknya terhadap warna, bau, konsistensi dan tekstur menggunakan 10 orang panelis dari mahasiswi FKH Unud yang telah memenuhi syarat (sudah mengambil mata kuliah kesehatan masyarakat veteriner, tidak mengalami buta warna serta dalam keadaan sehat tidak mengalami gangguan penciuman dan tidak alergi dengan daging babi bali).
Pengujian warna daging yaitu menggunakan uji skor dengan skala (1-3) yang dinyatakan dalam format uji sebagai berikut : skor 1 untuk warna coklat merah muda, skor 2 untuk warna coklat kemerahan, dan skor 3 untuk warna coklat tua, utuk parameter bau dilakukan uji skor dengan skala (1-2) yang dinyatakan dalam format uji sebagai berikut : skor 1 untuk bau darah segar (normal), dan skor 2 untuk bau lain/menyimpang, untuk parameter
konsistensi dilakukan uji skor dengan skala (1-3) yang dinyatakan dalam format uji sebagai berikut : skor 1 untuk lembek/berair, skor 2 untuk kenyal/liat, dan skor 3 untuk sangat kenyal/liat, dan untuk parameter tekstur dilakukan uji skor (1-2) yang dinyatakan dalam format uji sebagai berikut : Skor 1 halus dan skor 2 kasar.
Analisis Data
Data berupa skoring kualitas fisik daging babi bali dianalisis dengan Uji Kruskal-Walis jika terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Mann Whitney.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil skorsing pemeriksaan organoleptik daging babi bali selanjutnya dianalisis menggunakan uji stastistik non parametric kruskal-wallis dengan hasil dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3.
Berdasarkan hasil uji stastistik non parametric kruskal-wallis (Tabel 1) pada sampel daging babi bali bagian paha (regio femoralis) didapatkan hasil pada Warna = 0,347, Bau/Aroma = 1,000, Konsistensi = 0,251, Dan Tekstur = 0,517 yang berarti tidak berbeda nyata (P>0,05) oleh karena itu uji Mann-Whitney sebagai uji lanjutan tidak dilakukan.
Berdasarkan hasil uji stastistik non parametric kruskal-wallis (Tabel 2) pada sampel daging babi bali bagian punggung (regio veetebralis thoracis) didapatkan hasil pada Warna= 0,680, Bau/Aroma= 0,368, Konsistensi= 0,799, Dan Tekstur= 0,789 yang berarti tidak berbeda nyata (P>0,05) oleh karena itu uji Mann-Whitney sebagai uji lanjutan tidak dilakukan.
Berdasarkan hasil uji stastistik non parametric kruskal-wallis (Tabel 3) pada sampel daging babi bali bagian perut (regio abdominalis lateralis) didapatkan hasil pada warna= 0,796, Bau/Aroma= 1,000, Konsistensi = 0,644, Dan Tekstur = 0,937 yang berarti tidak berbeda nyata
(P>0,05) oleh karena itu uji Mann-Whitney sebagai uji lanjutan tidak dilakukan.
Pembahasan
Evaluasi terhadap kualitas dan kesehatan daging babi bali dapat dilakukan secara subjektif yang meliputi uji organoleptik yaitu penilaian terhadap warna, bau, konsistensi, dan tekstur. Secara umum, hasil evaluasi organoleptik pada penelitian ini masih dalam batas-batas normal. Hal ini mungkin terkait perlakuan pengambilan sampel yang cukup baik dan sampel yang diperiksa merupakan sampel masih relative masih segar. Warna merupakan salah satu sifat sensoris daging yang dinilai paling awal, karena penilaian warna dapat dilakukan saat pertama kali daging dilihat. Hasil penelitian ini pada sampel paha, punggung, dan perut yang ditinjau dari parameter warna secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Dimana pada hasil penelitian ini sebagian besar panelis memilih parameter warna coklat merah muda hal ini sesuai dengan penelitian Sriyani et al. (2015) yang menunjukan bahwa warna daging segar babi bali lebih merah dibandingkan dengan daging segar babi landrace. Perbedaan warna daging dipengaruhi oleh faktor bangsa/genetik dan tingkat aktivitas ternak (Suandana et al., 2016)
Warna daging merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan suatu kualitas fisik daging. Warna daging dipengaruhi oleh pigmen yaitu mioglobin, Tipe myoglobin, status kimia mioglobin serta kondisi kimia dan fisik dari protein sarkoplasmik dari suatu rantai polipeptida tunggal terikat di sekeliling grup heme yang membawa oksigen. (Sihombing et al., 2020). Faktor-faktor yang mempengaruhi warna daging adalah nutrisi, spesies, bangsa, umur,jenis kelamin, stress dan oksigen. Faktor penentu utama yang mempengaruhi warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging yaitu mioglobin. Konsentrasi mioglobin berbeda setiap spesies, bangsa dan lokasi otot. Tipe molekul myoglobin, status
kimia myoglobin, status kimia dan fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging (Sriyani et al., 2015). Tingginya aktivitas babi bali juga menyebabkan terjadi banyak pengikatan oksigen oleh mioglobin (oksimioglobin) yang
menyebabkan banyaknya terbentuk globin atau warna merah pada daging. Otot yang mempunyai aktivitas fisik yang banyak biasanya diikuti oleh kandungan myoglobin yang tinggi sehingga daging atau otot berwarna lebih merah jika dibandingkan dengan daging atau otot yang kurang aktivitasnya (Suandana, et al., 2016).
Hasil penelitian ini pada sampel punggung, paha, dan perut yang ditinjau dari parameter bau/aroma yang di uji secara statistic menunjukan tidak berbeda nyata (P>0,05). pada penelitian ini sebagian besar penerimaan panelis terhadap parameter bau sangat baik dimana panelis memilih bau darah segar hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suandana et al. (2016). yang menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma daging babi bali lebih tinggi dibandingkan dengan daging babi landrace. Hal ini menunjukkan bahwa aroma daging babi bali lebih spesifik dibandingkan dengan aroma daging babi landrace. Suardana dan Swacita (2009) menjelaskan bahwa bau daging disebabkan oleh adanya fraksi yang mudah menguap berupa inosin-5-monofosfat (merupakan hasil konversi dari adenosin-5- trifosfat pada jaringan otot hewan semasa hidup) yang mengandung hidrogen sulfida dan metil merkaptan. Daging yang masih segar berbau seperti darah segar, Daging yang telah mengalami pembusukan khususnya pada daging merah akan berbau busuk, bau daging merupakan pengaruh campuran dari aktivitas enzim lipolitik triasilgliserol, ketengikan oksidatif asam lemak tak jenuh serta produk degradasi protein yang terakumulasi dalam jaringan lemak. Produk degradasi protein daging dapat diketahui dari pelepasan gas-gas amonia
(NH3), dan hidrogen sulfida (H2S) serta metil merkaptan yang berbau busuk. Pelepasan gas-gas ini bersumber dari asam-asam amino penyusun protein daging yang mengandung gugus NH, gugus S dan gugus CH3 dalam kombinasi dengan senyawa lain (Merthayasa et al., 2015).
Dari aspek parameter konsistensi daging sampel punggung, paha, dan perut yang di uji secara statistic menunjukan tidak berbeda nyata (P>0,05). pada penelitian ini hasil penerimaan panelis menunjukkan bahwa sebagian besar panelis memilih konsistensi kenyal yang dimana pada penelitian Sosiawan et al. (2021) menunjukkan bahwa daging babi yang diistirahatkan sebelum disembelih memiliki nilai uji konsistensi yang lebih baik, sementara daging babi yang tidak diistirahatkan cenderung lembek dan berair. Konsistensi daging yang berbeda dapat disebabkan oleh pergerakan homeostatis air daging, pergerakan tersebut dapat terjadi dikarenakan ternak mengalami tingkat stres dan kelelahan sebelum disembelih (Sosiawan et al., 2021). Konsistensi daging ditentukan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang menyusun otot suatu daging. Daging yang baik mempunyai konsistensi kenyal dan elastis bila ditekan, kalau dipegang terasa basah meskipun tidak sampai membasahi tangan si pemegang (Susanto, 2014) dalam (Sihombing et al., 2020). Konsistensi daging disebabkan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang terdapat dalam daging. Jaringan ikat dalam daging terdiri atas jaringan ikat kolagen, jaringan ikat retikulin, dan jaringan ikat elastis dan banyak sedikitnya jaringan ikat sangat mempengaruhi kualitas daging. Semakin sedikit kandungan jaringan ikat pada daging, maka konsistensi daging akan semakin empuk dan kualitasnya semakin baik, sebaliknya apabila jaringan ikat pada daging semakin banyak, maka kualitas daging semakin jelek, konsistensinya sangat kenyal/liat, dan jaringan ikat yang banyak pada daging sering ditemukan pada
daging hewan yang sudah tua (Sihombing et al., 2020)
Sedangkan dari aspek parameter tekstur, ketiga sampel daging punggung, paha, dan perut yang di uji secara statistic menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). pada penelitian ini sebagian besar panelis memilih tekstur halus namun pada penelitian Suandana, et al., (2016). menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur daging babi bali lebih rendah dibandingkan dengan daging babi landrace. Tekstur daging dipengaruhi oleh konsistensi daging. Daging yang konsistensinya kenyal karena banyak mengandung jaringan ikat, akan memiliki tekstur kasar, sebaliknya jika konsistensi daging empuk, maka teksturnya terlihat halus (Suardana dan Swacita, 2009) dalam (Sihombing et al., 2020). Menurut Soeparno (2005), tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi tekstur daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. (Sihombing et al., 2020). Natasasmita et al. (2005) mengungkapkan bahwa jumlah jaringan ikat dalam otot akan mempengaruhi tekstur daging (Suandana et al, 2016). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tobing dan Wardani (2012) yang menunjukkan bahwa tingginya penerimaan panelis terhadap tekstur daging babi peliharaan kemungkinan besar disebabkan perbedaan aktivitas babi peliharaan dengan babi hutan di mana babi peliharaan tidak banyak bergerak oleh karena hidup di dalam kandang dan dipelihara secara intensif. Kondisi ini menyebabkan otot tidak banyak beraktivitas sehingga jumlah jaringan ikat
dalam otot lebih sedikit yang menjadikan tekstur daging babi peliharaan lebih halus dan disukai oleh panelis (Suandana et al, 2016). Aktivitas juga ternak mempengaruhi ukuran berkas otot individual (fasciculi) dan juga jumlah jaringan ikat dalam otot yang kemudian akan mempengaruhi tekstur daging. Semakin tinggi aktivitas seekor ternak, maka berkas otot individual (fasciculi) semakin luas dan jumlah jaringan ikat dalam otot semakin banyak sehingga tekstur daging menjadi kasar dan kurang disukai oleh panelis (Suandana et al, 2016). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lebret dan Bouregba (2008) yang menunjukkan bahwa tekstur daging babi yang dilepas di lahan penggembalaan (pasture) terlihat lebih kasar dibandingkan dengan tekstur daging babi yang sistem pemeliharaannya dikandangkan (Suandana et al., 2016).
Kualitas dan kuantitas daging juga dipengaruhi oleh perlakuan terhadap babi sebelum disembelih, perlakuan yang membuat babi stres akan berpengaruh terhadap kualitas daging. Salah satu faktornya ialah proses perjalanan babi dari peternakan sampai Rumah Pemotongan Hewan juga dapat mempengaruhi kualitas daging, saat proses pengangkutan berlangsung babi akan mengalami berbagai kendala, salah satunya adalah stres yang diakibatkan oleh lingkungan mikro transportasi, cuaca yang panas, dehidrasi dan tempat yang sempit atau kurang nyaman, selain stres babi juga akan mengalami kelelahan. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi kualitas karkas dan daging babi (Windriasari et al., 2017) dalam (Sosiawan et al., 2021). Kelelahan pada ternak membuat cadangan energi di dalam tubuh berkurang sehingga nantinya proses rigor mortis akan berlangsung kurang maksimal (Suardana dan Swacita, 2009). Pengistirahatan ternak yang baik yaitu selama kurang lebih 12-24 jam, adapun tujuan pengistirahatan adalah agar ternak tidak mengalami stres dan kelelahan. Stres dan kelelahan akan
mengakibatkan daging yang kurang baik, seperti pH tinggi, warna daging agak gelap dan tekstur menjadi keras (Kuntoro et al., 2013) dalam (Sosiawan et al., 2021). Hal inilah yang perlu dirubah dari pemikiran petugas pemotongan ternak agar mampu menghasilkan kualitas daging yang lebih optimal dengan pengistirahatan ternak sebelum disembelih (Sosiawan et al., 2021).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa kualitas daging babi bali yang diuji secara organoleptik (warna, bau, konsistensi, dan tekstur) yang diambil pada tiga lokasi otot berbeda (regio femoralis, regio vertebralis thoracis, dan regio abdominalis lateralis) yang dipotong di rumah pemotongan tradisional desa penatih Denpasar, menunjukan hasil penerimaan panelis terhadap kualitas organoleptik daging babi bali pada lokasi otot yang berbeda menunjukan hasil yang baik mengingat sampel daging didapatkan dari hewan yang baru disembelih.
Saran
Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait kualitas organoleptik daging babi bali berdasarkan jenis kelamin dan umur berbeda sebagai data dasar dari kualitas daging babi bali.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arka IB. 1988. Peranan ilmu kesmavet dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Pidato Guru Besar. PSKH UNUD. Denpasar.
Merthayasa JD, Suada IK, Agustina KK.
2015. Daya ikat air, ph, warna, bau dan
tekstur daging sapi bali dan daging wagyu. Indon. Med. Vet. 4(1): 16-24.
Naibaho AA, Oka IBM, Swacita IBN. 2013. Kualitas daging babi ditinjau dari uji obyektif dan pemeriksaan larva cacing Trichinella spp. Indon. Med. Vet. 2(1): 12-21.
Natasasmita S, Siagian PH, Silalahi P. 2005. Pengaruh substitusi jagung dengan Corn Gluten Feed (CGF) dalam ransum terhadap kualitas karkas babi dan analisis ekonomi. IPB (Bogor Agricultural University). Bogor.
Norman WD. 1988. Teknologi pengawetan daging. Penerbit
Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Priadi IGD, Sriyani NLP, Lindawati SA. 2016. Tingkat cemaran mikroba daging babi bali dan daging babi landrace. Pet. Trop. 6(3): 673-684.
Siagian HP. 1999. Manajemen ternak babi, diktat kuliah jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sihombing VE, Swacita IBN, Suada IK. 2020. Perbandingan uji subjektif kualitas daging sapi bali produksi Rumah Pemotongan Hewan Gianyar, Klungkung dan Karangasem. Indon. Med. Vet. 9(1): 99-106.
Soeparno. 1994. Ilmu dan teknologi daging. Edisi II. Gajah Mada University Press. Yogjakarta.
Sosiawan IGAM, Agustina KK, Suada IK. 2021. Kualitas daging babi yang diistirahatkan sebelum disembelih lebih baik dalam konsistensi, warna, ph, daya ikat air dan kadar air. Indon. Med. Vet. 10(4): 589-598.
Sriyani NLP, Artiningsih Rasna NM, Lindawati SA, Oka AA. 2015. Studi perbandingan kualitas fisik daging babi bali dengan babi landrace persilangan yang dipotong di rumah potong hewan tradisional. Maj. Ilmiah Pet. 18(1): 2629.
Suandana IWEE, Sriyani NLP, Hartawan M. 2016. Studi perbandingan kualitas organoleptik daging babi bali dengan
daging babi landrace. Pet. Trop. 4(3): 405-418
Suardana IW, Swacita IBN. 2009. Higene makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar, Denpasar: Udayana University Press.
Susanto E. 2014. Standar penanganan pasca panen daging segar. J. Ternak. 5(1): 15-20.
Tobing S, Wardani. 2012. Perbandingan kualitas karkas dan daging antara babi peliharaan dengan babi hutan. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang.
Tabel 1. Hasil uji stastistik non parametric kruskal-wallis pada sampel daging babi bali
bagian paha (regio femoralis) | ||||
Warna |
Bau/Aroma |
Konsistensi |
Tekstur | |
Kruskal-Wallis H |
2,105 |
0,000 |
2,762 |
1,318 |
df |
2 |
2 |
2 |
2 |
Asymp. Sig. |
0,349 |
1,000 |
0,251 |
0,517 |
Tabel 2. Hasil uji stastistik non parametric kruskal-wallis pada sampel daging babi bali bagian punggung (regio veetebralis thoracis)
Warna |
Bau /aroma |
Konsistensi |
Tekstur | |
Kruskal-Wallis H |
0,772 |
2,000 |
0,449 |
0,475 |
df |
2 |
2 |
2 |
2 |
Asymp. Sig. |
0,680 |
0,368 |
0,799 |
0,789 |
Tabel 3. Hasil uji stastistik non parametric kruskal-wallis pada sampel daging babi bali bagian perut (regio abdominalis lateralis)
Warna Bau/Aroma Konsistensi Tekstur
Kruskal-Wallis H |
0,456 |
0,000 |
0,881 |
0,130 |
df |
2 |
2 |
2 |
2 |
Asymp. Sig. |
0,796 |
1,000 |
0,644 |
0,937 |
443
Discussion and feedback