THE EFFECTS OF CHITOSAN GEL IN WHITE RAT TOTAL LEUKOCYTES ON INCISION WOUND HEALINGS
on
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 2: 124-128
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 April 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i02.p09
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Pengaruh Pemberian Gel Chitosan terhadap Jumlah Leukosit Tikus Putih pada Penyembuhan Luka Insisi
(THE EFFECTS OF CHITOSAN GEL IN WHITE RAT TOTAL LEUKOCYTES ON INCISION WOUND HEALINGS)
Syafruddin1*, Dessy Ayu Mega Putri2, Budianto Panjaitan1, Arman Sayuti1 1Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 0651-7551536;
2Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 0651-7551536;
*Email: syafruddinkh@unsyiah.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian gel chitosan terhadap jumlah leukosit tikus putih (Rattus norvegicus) pada penyembuhan luka insisi. Dalam penelitian ini digunakan 10 ekor tikus putih betina yang berumur dua bulan dan memiliki berat badan ±165 g yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan (n=5). Perlakuan I (kontrol) luka insisi dioleskan dengan salep gentamisin, perlakuan II luka insisi dioleskan dengan gel chitosan (konsentrasi 5%) dua kali sehari selama 14 hari berturut-turut. Darah diambil melalui vena lateralis ekor sebanyak 0,5 ml dan pengamatan jumlah leukosit dilakukan pada hari ke-0, 3, 7, dan 14 setelah perlakuan. Pemeriksaan jumlah leukosit dilakukan dengan hemositometer dan menggunakan metode Neubauer. Parameter penelitian ini adalah jumlah leukosit pada proses penyembuhan luka insisi pada tikus putih. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisa varian berdasarkan Rancangan Petak Terbagi (Split-plot Design). Jumlah leukosit pada kelompok I (gentamisin) vs kelompok II (chitosan) pada hari ke-0; 3; 7; dan 14 masing-masing adalah 7,89×104/mm3 vs 7,30×104/mm3; 6,28×104/mm3 vs 10,23×104/mm3; 7,27×104/mm3 vs 10,28×104/mm3; dan 7,02×104/mm3 vs 7,52×104/mm3. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan gel chitosan lebih baik daripada salep gentamisin dalam proses penyembuhan luka insisi pada tikus putih. Hasil penelitian ini dapat ditindaklanjuti dengan melakukan penelitian pada hewan lain untuk aplikasi pengobatan luka.
Kata-kata kunci: chitosan; jumlah leukosit; penyembuhan luka insisi; tikus putih
Abstract
This study aims to determine the effect of chitosan gel on the number of white mouse leukocytes (Rattus norvegicus) on incision wound healing. This study used 10 female white rats that were 2 months old and weighed ± 165 g, that was designed with a Split-plot design using 10 rats and was divided into 2 treatment groups with each treatment group consisting of 5 replications. Treatment I (control) incision wound smeared with gentamicin ointment, treatment II incision wound smeared with chitosan gel 2 times a day for 14 consecutive days. This study used chitosan gel with a 5% concentration. Blood sampling through the lateral tail vein as much as 0.5 ml and observation of the number of leukocytes was carried out on days 0, 3, 7 and 14 after treatment. Examination of the number of leukocytes is done with a hemocytometer and using the Neubauer method. The parameters of this study are the number of leukocytes in the incision wounds healing process in white rats. The research data were analyzed using analysis of variance based on the Split-plot Design with the SPSS program. The number of leukocytes in group I (gentamicin) vs group II (chitosan) on days 0; 3; 7; and 14 was 7.89×104/mm3 vs 7.30×104/mm3; 6.28×104/mm3 vs 10.23×104/mm3; 7.27×104/mm3 vs 10.28×104/mm3; and
7.02×104/mm3 vs 7.52×104/mm3, respectively. From the results of this study it can be concluded that the use of chitosan gel is better than gentamicin ointment in the healing process of incision wounds in white rats. The results of thisstudy can be followed by conducting research on other animals for wound treatment applications.
Keywords: chitosan; incision wound healing; total leukocytes; white rat
PENDAHULUAN
Luka adalah suatu kerusakan abnormal pada jaringan kulit yang dapat menyebabkan kematian dan kerusakan pada sel-sel kulit diakibatkan suatu trauma atau cedera (Masir et al., 2012). Menurut Amanda (2018), salah satu ciri umum terjadinya luka dalam tubuh yaitu meningkatnya jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang meningkat menunjukkan adanya aktivasi pertahanan dan sistem kekebalan tubuh serta suatu peradangan pada jaringan (Aulia dan Candra, 2015). Leukosit sebagai sel pertahanan tubuh yang akan memfagositosis seluruh benda asing dalam proses penyembuhan luka (Rafdinal et al., 2016). Jenis leukosit yang bersifat fagosit, yaitu neutrofil, eosinofil, dan monosit yang akan menelan dan menghancurkan patogen sisa-sisa sel (Aulia dan Candra, 2015).
Penyembuhan luka merupakan rangkaian proses fisiologis, seluler, biokemis maupun molekuler dengan menghasilkan pembentukan jaringan parut dan perbaikan jaringan ikat (Cockbill, 2002). Perdanakusuma (2007) menjelaskan bahwa penyembuhan luka merupakan usaha dalam memperbaiki kerusakan jaringan luka. Fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi merupakan fase utama dalam proses penyembuhan luka (Mackay and Alan, 2003). Proses inflamasi berhubungan erat dengan penyembuhan luka yang melibatkan sel-sel inflamasi, seperti neutrofil (Darwin, 2016).
Menurut Rafdinal et al. (2016), proses penyembuhan luka membutuhkan waktu yang lama, dimana untuk mempercepat penyembuhan perlu dikembangkan berbagai upaya untuk mempercepat perbaikan dan penyempurnaan jaringan (Huttenlocher dan Horwitz, 2007). Penggunaan gel chitosan merupakan upaya untuk mempercepat penyembuhan luka. Mempercepat migrasi sel, memiliki efek antibakteria, membantu pematangan jaringan, mudah terdegradasi, tidak
karsinogenik, dan efek penyembuhan yang cepat bagi jaringan luka merupakan fungsi chitosan dalam penyembuhan luka (Nur, 2014).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa chitosan efektif dalam penyembuhan luka karena mempunyai sifat spesifik (Putri dan Tasminatun, 2012). Hal tersebut telah diteliti bahwa chitosan meningktkan proses proliferasi sel, mengakselerasi regenerasi sel (reepitelisasi) pada kulit yang terluka dan meningkatkan kolagenisasi, serta mempunyai daya anti infeksi yaitu kemampuan antibakteria dan antifungi sehingga pada fase awal terjadinya luka mampu menghentikan perdarahan. Berdasarkan penelitian, chitosan dalam bentuk sediaan dapat berpengaruh terhadap percepatan proses penyembuhan luka insisi (Wardono et al., 2012).
METODE PENELITIAN
Pernyataan Etik Penelitian
Penelitian ini telah mendapat kelayakan etik hewan coba dari Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala dengan nomor 139/KEPH/VII/2020.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dirancang dengan Rancangan Petak Terbagi (Split-plot Design) dengan menggunakan tikus sebagai hewan coba sebanyak 10 ekor yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok perlakuan terdiri dari lima ulangan. Perlakuan I (kontrol) dilakukan luka insisi dan dioleskan dengan salep gentamisin, perlakuan II dilakukan luka insisi dan dioleskan dengan gel chitosan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pukul 09.00 WIB dan sore hari pada pukul 21.00 WIB selama tujuh hari berturut-turut. Selanjutnya pengamatan terhadap jumlah leukosit dilakukan pada hari ke 0, 3, 7 dan 14 setelah perlakuan.
Prosedur Penelitian
Proses pembuatan gel chitosan
Chitosan dengan sediaan serbuk dalam penilitian ini didapatkan dari Prof. Dr. Adlim, M.Sc. Chitosan dengan sediaan gel dibuat dengan melarutkan chitosan sediaan serbuk dengan akuades, gliserol 2,5 gram dan asam asetat. Proses pembuatan gel chitosan yaitu dengan melarutkan chitosan sediaan serbuk ke dalam larutan asam asetat 1% dengan penambahan akuades, selanjutnya gliserol 2,5 gram ditambahkan untuk mendapatkan gel dengan konsistensi yang baik, lalu nipagin 0,05 gram ditambahkan sebagai bahan pengawet maka chitosan sediaan gel dengan konsentrasi 5% akan terbentuk. 12
Penyayatan luka pada tikus
Penyayatan atau pembuatan luka dilakukan saat tikus telah dikondisikan atau diadaptasikan selama satu minggu. Rambut di bagian punggung atau dorsal tikus dicukur, lalu dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian bagian tersebut diolesi dengan anastesi tipe lokal menggunakan emla 5%. Lalu setelah 1-2 menit pasca anastesi, dilakukan penyayatan
menggunakan scalpel steril pada punggung bagian tengah yang telah dicukur seluas ±5 cm. Luka dibuat sedalam ±2 mm dengan panjang ±2 cm lalu diolesi gel atau salep sesuai kelompok perlakuan.
Pengambilan darah
Pengambilan darah dilakukan pada vena lateralis ekor dengan jumlah 0,5 ml pada hari ke-0, 3, 7 dan 14 setelah
perlakuan. Darah dikoleksi ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml yang berisi
ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA). Pemeriksaan jumlah leukosit dilakukan secara manual dengan hemositometer dan kamar hitung Neubauer. Pembacaan hasil dilakukan dengan menghitung jumlah leukosit pada masing-masing kelompok perlakuan dan periode waktu pengamatan.
Parameter penelitian
Parameter penelitian ini adalah jumlah leukosit pada proses penyembuhan luka insisi pada tikus putih.
Analisis data
Data hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisa varian Rancangan Petak Terbagi (Split-plot Design) dengan program SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pemeriksaan jumlah leukosit tikus putih pada penyembuhan luka insisi yang diberi salep gentamisin dan gel chitosan disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pemberian salep gentamisin terhadap jumlah leukosit terkait hari penyembuhan luka tidak menunjukkan adanya perbedaan leukosit yang sigfikan. Pada pemberian gel chitosan menunjukkan adanya peningkatan jumlah leukosit pada hari ke-3 dan hari ke-7 sedangkan jumlah leukosit pada hari ke-0 dan hari ke-14 menunjukkan data yang sama karena jumlah leukosit pada hari ke-14 menunjukkan bahwa jumlah leukosit sudah stabil seperti hari ke-0 (hari pengambilan darah sebelum perlakuan).
Tabel 1. Jumlah leukosit tikus putih pada penyembuhan luka insisi yang diberi salep gentamisin dan gel chitosan
Perlakuan |
Hari ke- | ||||
0 |
3 |
7 |
14 |
Rata-rata | |
Gentamisin |
7,89Ac |
6,28Aa |
7,27Abc |
7,02Ab |
7,12A |
Chitosan |
7,30Aa |
10,23Bbc |
10,28Bc |
7,52Aa |
8,83B |
Rata-rata |
7,60a |
8,26b |
8,78c |
7,27a |
7,60a |
Superskrip huruf besar yang berbeda menunjukkan ada perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05)
Superskrip huruf kecil yang berbeda menunjukkan ada perbedaan yang nyata antar waktu (P<0,05).
Pembahasan
Efek pemberian gel chitosan dan salep gentamisin terhadap jumlah leukosit menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada pemberian gel chitosan. Peningkatan jumlah leukosit pada pemberian gel chitosan yang di bandingkan dengan pemberian salep gentamisin terlihat pada jumlah leukosit di hari ke-3 dan hari ke-7 penyembukan luka. Rataan jumlah leukosit pada tikus putih yang diberi gel chitosan lebih tinggi dari pada yang diberi salep gentamisin. Tingginya jumlah leukosit pada tikus yang diberi gel chitosan disebabkan oleh efek chitosan yang dapat mempercepat penyembuhan luka dengan mempercepat migrasi sel-sel inflamasi dan meningkatkan fase granulasi dalam penyembuhan luka (Ueno, 2001).
Terlihat bahwa jumlah leukosit pada tikus putih yang diberi gel chitosan pada hari ke-3 dan hari ke-7 lebih tinggi dari hari ke 0 dan hari ke 14. Jumlah leukosit yang tinggi pada hari ke-3 dan hari ke-7 diduga kondisi tikus pada fase inflamasi.
Jumlah leukosit pada tikus putih yang diberi salep gentamisin pada tiap waktu pengamatan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal tersebut diduga karena efek gentamisin dapat menggangu fungsi leukosit. Burgaleta et al. (1982) juga menyatakan bahwa gentamisin secara signifikan dapat menghambat kemampuan migrasi dari leukosit polimorfonuklear pada manusia.
Jumlah leukosit dapat dipengaruhi oleh gel yang dioleskan pada luka dan waktu pemeriksaan leukosit. Hasil penelitian Ueyama et al. (1994) menyatakan bahwa antibiotik dapat mempengaruhi migrasi dari leukosit polimorfonuklear. Pengaruh antibiotik terhadap jumlah leukosit yaitu meningkatkan migrasi leukosit seperti minocycline maupun menghambat migrasi leukosit seperti cefotiam. Selain itu terdapat antibiotik yang tidak terlalu mempengaruhi jumlah leukosit seperti aminobenzyl penicillin. Pada perlakuan pemberian gentamisin pada hari ke-3 mengalami sedikit penerunan jumlah leukosit. Hal ini
mungkin disebabkan karena terjadi ketidaktelitian dalam proses pengerjaan sehingga menghasilkan data yang kurang akurat. Sukorini et al. (2010) juga menyatakan penanganan spesimen maupun penanganan sampel yang salah merupakan hal yang dapat menyebabkan analisis data yang tidak akurat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan gel chitosan lebih baik daripada salep gentamisin dalam proses penyembuhan luka insisi pada tikus putih.
Saran
Hasil penelitian ini dapat
ditindaklanjuti dengan melakukan
penelitian pada hewan lain untuk aplikasi pengobatan luka.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ketua UPT. Hewan Coba dan Kepala Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala atas fasilitas yang diberikan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda F. 2018. Profil dan diferensiasi leukosit tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley model hiperglikemia melalui pemberian deksametason. Thesis. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aulia A, Candra A. 2015. Pengaruh pemberian seduhan daun kelor
(Moringa oleifera lam) terhadap jumlah leukosit tikus putih (Rattus norvegicus). J. Nut. Coll. 4(2): 308-313.
Burgaleta C, Martinez-Beltran J, Bouza E.
1982. Comparative effects of
moxalactam and gentamicin on human polymorphonuclear leukocyte
functions. Antimicrob. Agens
Chemotherapy. 21(5): 718-72.
Cockbill S. 2002. Wounds The Healing Process. The Welsh School of Pharmacy, University College, Cardiff.
Darwin CO. 2016. Gambaran sel darah putih pada respon inflamasi pasca pemasangan implan yang dilapisi platelet rich plasma dan tanpa dilapisi platelet rich plasma. Thesis. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hasanuddin Makasar, Makassar.
Huttenlocher A, Horwitz AR. 2007. Wound healing with electric potential. N. Engl. J. Med. 356(3): 303-304.
Mackay D, Alan LM. 2003. Nutritional support for wound healing. Alt. Med. Rev. 8(4): 359-377.
Masir O, Manjas M, Putra AE, Agus S. 2012. Pengaruh cairan Cultur Filtrate Fibroblast (CFF) terhadap
penyembuhan luka penelitian
eksperimental pada Rattus norvegicus galur wistar. J. Kes. Andalas, 1(3): 112117.
Nur M. 2014. Pengaruh kitosan terhadap jumlah osteoklas dan osteoblas pada tikus galur wistar model menopause. J. Pus. Kes. 4(3): 76-87.
Perdanakusuma DS. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka.
Airlangga University School of Medicine, Surabaya.
Putri RF, Tasminatun S. 2012. Efektivitas salep kitosan terhadap penyembuhan luka bakar kimia pada Rattus norvegicus. Mut. Med. 12(1): 24-30.
Rafdinal I, Amiruddin, Asmilia N, Zuraidawati, Sayuri A, Zuhrawati, Daud R. 2016. Perbedaan jumlah leukosit setelah transplantasi kulit secara autograft dan isograft pada anjing lokal (Canis lupus familiaris). J. Med. Vet. 4(2): 144-146.
Sukorini U, Dwi KN, Rizki M, Bambang HPJ. 2010. Pemantapan Mutu Internal Laboratorium Klinik. Yogyakarta, Alfamedia.
Ueno H, Mori T, Fujinaga T. 2001. Topical formulations and wound healing applications of chitosan. Adv. Drug Delivery Rev. 52(2): 105-115.
Ueyama Y, Misaki M, Ishihara Y, Matsumura T. 1994. Effects of antibiotics on human
polymorphonuclear leukocyte
chemotaxisin vitro. British J. Oral Maxillofacial Surg. 32(2): 96-99.
Wardono AP, Pramono BH, Husein RAJ, Tasminatun S. 2012. Pengaruh kitosan secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar kimiawi pada kulit Rattus norvegicus. Mut. Med. 12(3): 178-187.
128
Discussion and feedback