PREVALENCE OF INFECTION OF ZOONOTIC POTENTIAL GASTROINTESTINAL WORM IN CAT IN DENPASAR CITY
on
Volume 14 No. 6: 616-622
Desember 2022
DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i06.p03
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Prevalensi Infeksi Cacing Gastrointestinal Berpotensi Zoonosis pada Kucing di Kota Denpasar
(PREVALENCE OF INFECTION OF ZOONOTIC POTENTIAL GASTROINTESTINAL WORM IN CAT IN DENPASAR CITY)
Makrina Weni Misa1, Nyoman Adi Suratma2*, I Made Dwinata2 1Mahasiswa Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali, Indonesia;
2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali, Indonesia;
*Email: adisuratma@unud.ac.id
Abstrak
Kucing sebagai hewan kesayangan mempunyai daya tarik tersendiri karena bentuk tubuh, mata dan warna rambut yang beraneka ragam. Namun kucing rentan penyakit,bahkan menjadi sumber zoonosis bagi manusia. Ada beberapa jenis parasit cacing yang sering ditemukan pada saluran pencernaan kucing seperti Ancylostoma spp., Toksocara cati, Strongyloides spp. Dipylidium caninum dan Spirometra yang berpotensi tinggi menimbulkan zoonosis.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi infeksi dan hubungan dengan beberapa faktor (ras, jenis kelamin, umur dan manajemen pemeliharaan) terhadap cacing gastrointestinal yang berpotensi zoonosis pada kucing di Kota Denpasar. Jumlah sampel yang dipergunakan pada penelitian ini 100 sampel feses kucing dan data dianalisis dengan uji chi-square. Sampel diperiksa menggunakan metode kosentrasi apung, dengan zat pengapung NaCl jenuh. Hasil penelitian menemukan bahwa prevalensi Ancylostoma spp. sebesar 8%, Toxocara cati 10% dan terdapat infeksi campuran antara keduanya sebesar 19%. Sehingga persentasi keseluruannya sebesar 37%, Sementara itu juga diketahui terdapat hubungan antara manajemen pemeliharaan dengan prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada kucing. Disisi lain tidak terdapat hubungan antara ras, jenis kelamin, dan umur sebagai faktor risiko dengan prevalensi cacing gastrointestinal.Data yang diperoleh ini dapat digunakan dalam strategi pemberantasan penyakit cacing yang berpotensi zoonosis dalam upaya meningkatkan kesehatan kucing dan masyarakat.
Kata kunci: cacing; Denpasar; kucing; prevalensi
Abstract
Cats as pets have their own charm because of their various body shapes, eyes and hair colors. However, cats are susceptible to disease, and even become a source of zoonoses for humans. There are several types of worm parasites that are often found in the digestive tract of cats such as Ancylostoma spp., Toxocara cati, Strongyloides spp. Dipylidium caninum and Spirometra which have high potential to cause zoonoses. The purpose of this study was to determine the prevalence of infection and the relationship with several factors (race, sex, age and maintenance management) to gastrointestinal worms that have zoonotic potential in cats in Denpasar City. The number of samples used in this study was 100 samples of cat feces and the data were analyzed by chi-square test. Samples were examined using the floating concentration method, with a saturated NaCl flotation agent. The results of the study found that the prevalence of Ancylostoma spp. was 8%, Toxocara cati was 10% and there was a mixed infection between the two of 19%. So, the overall percentage is 37%. Meanwhile, it is also known that there is a relationship between maintenance management and the prevalence of gastrointestinal helminth infections in cats. On the other hand, there is no relationship between race, sex, and age as risk factors with the prevalence of gastrointestinal worms.
Keywords: cats; Denpasar; prevalence; worms
PENDAHULUAN
Sebagai hewan kesayangan, kucing mempunyai daya tarik tersendiri karena bentuk tubuh, mata dan warna rambut yang beraneka ragam. Dengan kelebihan-kelebihan tersebut,maka kucing dapat dikembangkan dan dibudidayakan sehingga di sebut kucing domestic dengan nama Felis catus atau Felis dometicus (Mariandayani, 2012).
Sistem pemeliharaan kucing dapat digolongkan dalam beberapa kelompok. Pertama adalah kucing yang dipelihara oleh pemiliknya secara intensif, dengan dikandangkan dan diberikan makanan khusus, serta perawatan kesehatan secara teratur. Kedua, kucing yang dipelihara, namun dibiarkan bebas untuk mencari makan dan minum sendiri. Ketiga, kucing liar yang tidak mempunyai pemilik dan hidup dengan mencari makan di sembarang tempat (Nealama et al., 2014; Subrata et al., 2017). Sistem pemeliharaan yang kurang baik ini dapat menyebabkan kucing terinfeksi berbagai macam penyakit parasit (Mircean, 2010).
Faktor risiko kecacingan pada kucing meliputi manajemen pemeliharaan, cara pemberian pakan, jenis kelamin, ras (breed), umur, dan pengulangan obat antihelmintika (Murniati et al., 2016). Kecacingan sering diabaikan karena tidak menimbulkan gejala klinis yang serius. kecuali, pada infeksi berat dan kronis (Soeharsono, 2007).
Prevalensi infeksi cacing pada kucing di Indonesia berbeda-beda pada setiap daerah. Prevalensi helminthiasis pada kucing di Surabaya sebesar 60,9% (Kusnoto, 2005), di Denpasar sebesar 32,5% (Nealma et al., 2013), dan di Bogor sebesar 53,5% (Murniati et al., 2016). Hal tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian kecacingan pada kucing domestic tinggi. Penelitian di negara lain seperti di Cina dilaporkan 40,5% terdapat telur spirometra sp dalam feses kucing (Fransiska, 2017), di Meksiko prevalenasi
Dipylidium caninum sebesar 36% pada kucing liar (Bashofi et al., 2015).
Parasit saluran pencernaan pada kucing seperti Ancylostoma spp, Toxocara spp, Strongyloides spp, Dipylidium caninum berpotensi tinggi menimbulkan zoonosis (Oktaviana et al., 2014). Kejadian toxocariasis pada manusia perna dilaporkan oleh Chomel et al. (1993), berdasarkan hasil pemeriksaan serum darah dari 190 orang anak yang berumur 1-23 tahun, 120 orang anak (63,2%) di daerah Bali dinyatakan positif antibodi toxocara dan dan 20% diantaranya memberikan reaksi positif kuat (Estuningsih, 2005) dan kejadian cutaneus larva migrans terjadi pada seorang laki-laki berusia 50 tahun dari Sidoarjo dengan gejala ruam kemerahan, lepuh kecil berkelok-kelok serta lesi berbentuk terowongan karena kontak individu dengan tana berpasir yang mengandung tinja kucing (Sudjari et al., 2014). Menurut Sianturi et al. (2016) viseral larva migrans dan okular larva migrans pada umumnya diderita oleh anak-anak, tetapi juga dapat diderita oleh orang dewasa. Organ yang paling sering mengalami kerusakan akibat infeksi Toxocara adalah paru-paru, hati dan sistem saraf pusat (Woodhall and Fiore, 2013; Sing, 2015). Zoonosis terjadi karena adanya kontak manusia dengan kucing yang terinfeksi. Populasi kucing yang sangat besar dan kedekatan dengan kehidupan manusia (Muriana, 2018) dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Kontak secara langsung antara manusia dengan hewan reservoir atau hewan yang sedang sakit akan dapat menularkan penyakitnya ke manusia. Zoonosis dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui hewan perantara (Murdiati dan Indrawati, 2006).
Faktor yang mempengaruhi prevalesi infeksi parasit yaitu lingkungan dan Manajemen pemeliharan, dengan cara dikandangkan atau tidak dikandangkan, pemberian pakan komersil atau dibiarkan
mencari makan sendiri, dan kebersihan merupakan faktor predisposisi terjadinya kontak antara kucing peliharaan dengan tanah yang sudah terkontaminasi stadium infektif dari parasit cacing seperti telur maupun larva. Lingkungan yang lembab dan kotor merupakan tempat perkembangan agen penyakit parasit (Sucitrayani et al., 2014).
METODE PENELITIAN
Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses kucing yang dipelihara di wilayah kota Denpasar. Jumlah sampel yang digunakan adalah feses dari 100 ekor kucing. Data mengenai umur, jenis kelamin, ras dan cara pemeliharaan dicatat.
Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilakukan di empat kecamatan yang ada di Kota Denpasar yaitu Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar Utara, Kecamatan Denpasar Timur dan Kecamatan Denpasar Barat, dengan jumlah sampel feses 100 ekor kucing. Parameter yang diamati adalah jenis-jenis cacing dan prevalensi cacing yang diamati dengan mikroskop dari hasil pemeriksaan feses.
Cara pengumpulan feses
Untuk mendapatkan feses dengan cara langsung meminta kepada pemilik kucing. Feses kucing ditampung menggunakan pot plastik dan ditambahkan kalium bikromat sampai meredam seluruh feses, selanjutan di beri label yang meliputi tanggal pengambilan, jenis kelamin dan asal kucing. Informasi data mengenai ras, umur (muda dibawah 6 bulan dan dewasa diatas 6 bulan), jenis kelamin dan cara pemeliharaan (perkandangan, makanan, kebersihan dan pengobatan) dicatat menggunakan kuisioner. Sampel yang telah terkumpul diperiksa di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Pemeriksaan feses dengan metode konsentrasi pengapungan
Pemeriksaan feses metode konsentrasi pengapungan dengan menggunakan zat pengapung NaCl jenuh (Agustina et al., 2021). Prosedur kerja metode kosentrasi Pengapungan sebagai berikut, feses diambil ± 2 gram, dimasukkan ke dalam gelas beker, ditambahkan dengan sedikit aquades, diaduk hingga homogen. Larutan tersebut selanjutnya disaring. Setelah itu dituangkan ke dalam tabung sentrifus sampai ¾ tabung. Tabung diputar dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Supernatannya dibuang, kemudian ditambahkan NaCl jenuh sampai volumenya ¾ tabung dan kembali diaduk hingga homogen. Tabung diputar dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Selanjutnya tabung diletakkan pada rak tabung secara tegak lurus, ditambahkan larutan NaCl jenuh dengan cara diteteskan menggunakan pipet sampai permukaan menjadi cembung dan dibiarkan selama 3 menit. Gelas penutup ditempelkan di atas permukaan yang cembung dengan hati-hati, lalu ditempelkan pada gelas objek dengan pemeriksaan di bawa mikroskop dengan pembesaran 40x. Identifikasi cacing saluran pencernaan berdasarkan morfologi.
Analisis data
Data mengenai Ras, jenis kelamin, umur serta cara pemeliharaan akan disajikan secara deskriptif, dan dianalisis dengan uji Chi- Square
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pemeriksaan 100 sampel feses kucing peliharaan (rumahan) di Denpasar ditemukan 37 sampel terinfeksi cacing gastrointestinal berpotensi zoonosis, dengan prevalensi sebesar 37% (37/100). Infeksi tunggal Ancylostoma spp. sebesar 8% (8/100), Toxocara cati 10% (10/100), dan infeksi campuran antara Ancylostoma spp. dan Toxocara cati sebesar 19% (19/100). Data selengkapnya seperti pada tabel 1.
Berdasarkan ras kucing, didapat prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada ras angora sebesar 7% (7/100), persia sebesar 9% (9/100), eksotik sebesar 8% (8/100), dan kucing kampung sebesar 13% (13/100), yang mana setelah dilakukan analisis uji chi-square didapatkan nilai p sebesar 0,313. Kemudian berdasarkan jenis kelamin didapatkan infeksi cacing gastrointestinal pada kucing jantan sebesar 25% (25/100) dan kucing betina 12%
(12/100) dengan nilai p sebesar 0,102. Lalu berdasarkan umur didapatkan prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada umur <6 bulan sebesar 13% (13/100) dan umur >6 bulan 24% (24/100) dengan nilai p 0,068. Berdasarkan manajemen
pemeliharaan, didapatkan prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada kucing yang dikandangkan sebesar 12% (12/100) dan kucing yang tidak dikandangkan sebesar 21% (21/100) dengan nilai p 0,000. Data selengkapnya seperti pada tabel 2.
Pembahasan
Dari hasil pemeriksaan terhadap 100 sampel feses kucing peliharaan ditemukan 37 sampel (37%) terinfeksi cacing gastrointestinal berpotensi zoonosis. Hasil ini lebih tinggi dari yang dilaporkan di Australia dengan prevalensi sebesar 0,2% (Farantika dan Susanti, 2016), Nigeria 29,5%, Iran 17,7% (Torkan et al., 2007), Bogor 1,7% (Muriana, 2018), Denpasar 25% (Oktaviana et al., 2014). Lebi rendah dari yang dilaporkan di kota Surabaya dengan prevalensi sebesar 60,9% (Kustono, 2005), Bogor sebesar 53,5% (Murniati et al., 2016).
Telur cacing ditemukan pada kotoran kucing di kota Denpasar berpotensi zoonosis. Telur dari beberapa spesies cacing, termasuk nematoda. Telur ancylostoma sp dan toxocara cati adalah cacing yang paling umum terdeteksi dalam penelitian ini. Hal ini karena Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis lembab yang merupakan lingkungan yang ideal bagi perkembangan cacing yang di tularkan melalui tanah (Suroiyah et al.,
2018) dan Denpasar memiliki temperature udara berkisar 22,2-31°C, (Nealama et al., 2014) sehingga Anak-anak memiliki resiko lebih tinggi untuk terinfeksi dari pada orang dewasa karena kebiasaan bermain di pasir atau tanah dan memasukkan benda-benda ke mulut seperti mainan yang terkontaminasi telur, tanah atau hospes paratenik seperti cacing tanah ke dalam mulut (Woodhall and Fiore,, 2013). Visceral Larva Migran dilaporkan lebih banyak diderita anak kelompok usia 2-6 tahun dan Ocular Larva Migran diderita anak usia 8-16 tahun (Woodhall and Fiore, 2013; Borji et al., 2011) Gejala klinis tidak spesifik berupa demam, lesu, anorexia, lymphanodepati. Gejala pulmonary berupa batuk, sesak nafas, gejala abdominal berupa nyeri abdominal, hepatomegaly atau splenomegaly dapat timbul saat larva bermigrasi ke paru-paru atau organ abdominal (Sianturi et al., 2016). Toxocara juga dapat bermigrasi ke sistem syaraf dan menimbulkan gejala neurologis yang tidak jelas seperti pusing, mual,
meningoencephalitis atau eosinophilic encephalitis (Sing, 2015) dan kejadian
cutaneus larva migrans ole cacing Ancylostoma sp dengan gejala ruam kemerahan lepuh kecil berkelok-kelok serta lesi berbentuk terowongan, karena kontak individu dengan tana berpasir yang mengandung tinja kucing (Sudjari et al., 2014).
Berdasarkan Ras kucing hasil analisis uji chi-square didapatkan nilai p sebesar 0,313 (P>0,05) yang artinya tidak ada
hubungan kejadian infeksi cacing berpotensi zoonosis pada kucing berdasarkan ras. Hal ini ras bukan menjadi persoalan bagi pemilik kucing di kota Denpasar. Karena banyak efek positif yang didapatkan dari aktivitas memelihara hewan sehingga pemilik hewan peliharaan tak jarang memperlakukan hewan peliharaannya secara istimewa, mulai dari pemberian makan, memandikan dengan shampo khusus hingga membawa hewan
peliharaan mereka secara rutin ke dokter hewan untuk melakukan pemeriksaan.
Berdasarkan jenis kelamin ditemukan nilai p sebesar 0,102 (P>0,05). Artinya jenis kelamin tidak mempengarui kejadian infeksi cacing berpotensi zoonosis pada kucing peliharaan karena perlakuan yang di berikan pada kucing kucing jantan dan betina sama baik. Penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan ole Nealma et al. (2013) jenis kelamin tidak mempengarui prevalensi. Hasil penelitian yang berbeda melaporkan adanya hubungan antara jenis kelamin jantan terhadap tingkat kejadian infeksi Toxocara cati pada kucing (Murniati et al., 2016).
Berdasarkan umur, ditemukan nilai p 0,068 (P>0,05) artinya umur kucing tidak mempengaruhi kejadian prevalensi cacing gastrointestinal berpotensi zoonosis pada kucing rumahan. Kejadian infeksi cacing dapat menginfeksi kucing pada semua tingkatan umur (O’Lorcain, 1994).
Berdasarkan manajemen pemeliharaan, ditemukan nilai p 0,000 (P<0,05). Hasilnya signifikan, yang artinya ada pengaruh kejadian prevalensi cacing gastrointestinal berpotensi zoonosis pada kucing terhadap manajemen pemeliharaan. Kucing yang tidak di kandangkan prevalensi lebih tinggi dari yang di kandangkan. Hal ini terjadi karena kucing yang tidak dikandangkan lebih berpeluang terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi telur infektif, karena diduga kucing melakukan defekasi di sembarang tempat sehingga kontrol terhadap kontaminasi dari feses kucing yang terinfeksi telur cacing sulit dilakukan, serta kebiasaan kucing yang mengubur feses mereka di tanah memungkinan infeksi melalui tanah juga tinggi, adanya interaksi antara kucing dengan hewan mamalia liar lainnya meningkatkan resiko infeksi, terutama tikus yang memiliki peran sebagai inang perantara pada penyebaran toxocariasis (Pinto et al., 2014).
Kucing yang di kandangkan memiliki peluang terinfeksi cacing gastro intestinal
lebih kecil karena kandang yang selalu di bersikan, disediakan pasir khusus serta perawatan yang sangat baik sehingga tidak memberikan kesempatan telur cacing berkembang ke larva infektif. Penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Farantika dan Susanti (2016) kucing peliharaan mempunyai kondisi lingkungan baik, pemberian makanan teratur, dan perawatan dari pemiliknya sehingga lebih sedikit resiko tertular penyakit.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat di simpulkan Prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada kucing di Kota Denpasar sebesar 37% dengan prevalensi infeksi tunggal cacing Ancylostoma sp. sebesar 8%, infeksi Toxocara cati sebesar 10%, dan infeksi campuran Ancylostoma sp. dan Toxocara cati sebesar 19%. Terdapat hubungan antara manajemen pemeliharaan sebagai faktor risiko dengan prevalensi cacing gastrointestinal pada kucing sedangkan tidak terdapat hubungan antara ras, jenis kelamin, dan umur.
Saran
Sistem pemeliharaan dan lingkungan memiliki peranan yang sangat penting sehingga Perlu dilakukan pengendalian penyakit yang disebabkan infeksi cacing Ancylostoma sp dan Toksocara cati pada kucing rumahan yang bermanfaat bagi kesehatan pada kucing serta benar- benar memperhatikan manajemen pemeliharaan mengingat resiko penularan terhadap manusia.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penelitian di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, keluarga serta teman-teman seperjuangan yang telah bersedia dalam proses penelitian dan penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina KK, Anthara MS, Sibang NAAN, Wiguna WAR, Apramada JK, Gunawan WNF, Oka IBM, Subrata M, Besung NK. 2021. Prevalence and distribution of soiltransmitted helminth infection in free-roaming dogs in Bali Province, Indonesia. Vet. World. 14(2): 446-451.
Bashofi AS, Soviana S, Ridwan Y. 2014. Infestasi pinjal dan infeksi Dipylidium caninum (Linnaeus) Bogor. J. Entomol. Indon. 12(02): 108-114.
Borji H, Razmi G, Ahmadi A, Karami H, Yaghfoori S, Abedi N. 2011. Survey on edoparasit and ectoparasit of stray cats from Mashad (Iran) and association with risk factors. J. Parasit Dis. 35(1): 202-206.
Chomel BB, Kasten R, Adams C, Lambillotte D, Theis J, Goldsmith J, Koss J, Chioino C, Widjana DP And Sutisna P. 1993. Serosurvey of some major zoonotic infections in children and teenagers in Bali, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Health. 24(2): 321-326.
Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada hewan dan bahayanya pada manusia. Wartazoa. 15(3): 136-142.
Farantika R, Susanti R. 2016. Eksplorasi dan prevalensi jenis telur cacing pada feses kucing liar dan kucing peliharaan di area kampus Universitas Negeri Semarang. J. Vet. 20(3): 316-333.
Fransiska EM. 2017. Identifikasi dan prevalensi cacing pita Spirometra sp pada ular kobra. Skripsi. Airlangga University. Surabaya.
Kusnoto. 2005. Prevalensi toksokariasis pada kucing liar di Surabaya melalui bedah saluran pencernaan. Media Kedo. Hewan. 21(1): 7-11.
Mariandayani HN. 2012. Keragaman kucing domestik (Felis domesticus) berdasarkan morfogenik. J. Peternakan Sriwijaya. 1(1): 10-19
Mircean V. 2010. Prevalence of endoparasites in household cat (Felis
catus) population from Transylvania (Romania) and association with risk factors. J. Vet. Parasite. 171: 163-166.
Murdiati TB, Indrawati S. 2006. Zoonosis yang ditularkan melalui pangan. Wartazoa. 16(1): 14-20.
Muriana ANM. 2018. Kasus kecacingan pada kucing di satu Klinik Hewan Kota Bogor. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Murniati, Sudarnika E, Ridwan Y. 2016. Prevalensi dan faktor resiko infeksi Toxocara cati pada kucing peliharaan di Kota Bogor. J. Ked. Hewan. 10(2): 139-142.
Nealama S, Dwinata M, Oka IBM. 2013. Prevalensi infeksi cacing Toxocara cati pada kucing lokal di wilayah Denpasar. Indon. Med. Vet. 2(4): 428-436.
Oktaviana PA, Dwinata M, Oka IBM. 2014. Prevalensi infeksi cacing Ancylostoma spp pada kucing lokal (Felis catus) di kota Denpasar. Bul. Vet. Udayana. 6(2): 161-167.
O’Lorcain P. 1994. Epidemiology of Toxocara spp. in stray dogs and cats in Dublin, Ireland. J. Heminthol. 68(4): 331-336.
Pinto HA, Mati VTL, Melo ALD. 2014. Toxocara cati (Ascarididae) in
Didelphis albiventris (Marsupialia: Didelphidae) from Brazil: a case pseudoparatism. Braz. J. Parasitol. Jatiboticabal. 23(4): 522-525.
Sianturi CLJ, Priyanto D, Astuti NT.2016. Identifikasi telur Toxocara cati dari feses kucing di Kecamatan Banjar Negara, Bawang dan Purwarejo Klampok kabupaten Banjar Negara. Medsains. 2(1): 25-30.
Sing A. 2015. Zoonosis-Infection Afecting Human and Animals. Springer. London. Textbook of Veterinary Parasitology.
Soeharsono. 2007. Penyakit zoonotic pada anjing dan kucing. Yogyakarta. Kanisius.
Subrata IM, Oka IBM, Agustina, KK. 2017. prevalence of intestinal worm in free
ranging domestic cats in Bali. J. Vet. 18(3): 441-445.
Sucitrayani PTE, Oka IBM, Dwinata M. 2014. Prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing lokal (Felis catus) di Denpasar. Bul. Vet. Udayana. 6(2): 153-159.
Sudjari, Mayashita DK, Brahmanti H. 2014. Creeping eruption. MDVI. 41: 103-107.
Suroiyah FA, Hastutiek P, Yudhana A, Sunarso A, Purnama MTE, Praja RN.
2018. Prevalensi infeksi Toxocara Cati pada kucing peliharaan di Kecamatan Banyuwangi. J. Med. Vet. 1(3): 99-104. Torkan S, Ghandehari AMR, Khamesipour
F. 2017. Survey of prevalence of Toxocara cati in straycats in isfahan
city, Iran by PCR method. Trop. Biomed. 34(3): 550-555.
Woodhall DM, Fiore AE. 2013.
Toxocariasis a review for pediatrician.
J. Pediactric Infect. Dis. Soc.
Tabel 1. Jenis infeksi parasit cacing gastrointesinal pada kucing di Kota Denpasar
Jenis Infeksi |
Total Sampel |
Infeksi Cacing |
Prevalensi (%) | |
Positif |
Negatif | |||
Infeksi Tunggal | ||||
Ancylostoma sp. |
100 |
8 |
92 |
8 |
Toxocara cati |
100 |
10 |
90 |
10 |
Infeksi Campuran | ||||
Ancylostoma sp. |
100 |
19 |
81 |
19 |
dan Toxocara
cati
Tabel 2. Prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada kucing di Kota Denpasar | ||||
Variabel |
Positif |
Negatif |
Prevalensi (%) |
aSig. |
Ras/breed | ||||
Angora |
7 |
18 |
7 |
0,313 |
Persia |
9 |
16 |
9 | |
Eksotik |
8 |
17 |
8 | |
Lokal/Kampung |
13 |
12 |
13 | |
Jenis Kelamin | ||||
Jantan |
25 |
32 |
25 |
0,102 |
Betina |
12 |
31 |
12 | |
Umur | ||||
<6 bulan |
13 |
34 |
13 |
0,068 |
>6 bulan |
24 |
29 |
24 | |
Manajemen Pemeliharaan | ||||
Kandang |
12 |
65 |
12 |
0,000 |
Tidak dikandangkan |
21 |
2 |
21 |
622
Discussion and feedback