SISTEM REKRUTMEN POLITIK OTONOMI KHUSUS PAPUA

Maria Elisabeth Sandrina Bonay, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: miabonay04@gmail.com

I Gusti Ngurah Wairocana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: wairocanangurah@yahoo.co.id

ABSTRAK

Dalam perspektif hukum Keputusan serta Ketetapan MPR yang antara lain menekankan pentingnya segera memadankan Otonomi Khusus melalui pengesahan suatu undang-undang tentang Otsus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, merupakan pangkal tolak diambilnya kebijakan pemberian Otsus bagi Provinsi Papua. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji sejauh mana Otonomi Khusus yang telah disahkan dapat berhasil memberikan peluang yang besar bagi Orang Asli Papua (OAP) dalam ranah politik baik secara fisik maupun gagasan dalam kemajuan politik ditanah Papua. Penulisan ini didasarkan pada metode Yuridis Normatif, dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), yakni berfokus pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang terkait. Bahan hukum primer yang telah dikumpulkan diolah, dianalisis dan jabarkan serta diinterprestasikan dalam penelitian ini. Otsus yang telah diberikan kepada Provinsi Papua sebagai sebuah harapan perubahan yang besar sejauh ini terlihat masih belum sanggup untuk banyak memberikan perubahan – perubahan yang signifikan, terlebih dalam ranah politik, ini juga dikarenakan implementasi Otonomi Khusus sejak awal adalah suatu hal yang baru di negara Indonesia. Hal ini pasti menimbulkan kebingungan bagi pelaksana dalam pelaksanaannya. Mereka perlu mendapat penjelasan, agar dalam pelaksanaannya bisa mencapai tujuannya.

Kata Kunci: Otonomi Khusus, Papua, Perubahan, Politik.

ABSTRACT

In a legal perspective, the MPR Decree and Decree, which, among other things, emphasizes the importance of immediately matching Special Autonomy through the passage of a law on Special Autonomy for the Province of Irian Jaya by taking into account the aspirations of the people, is the starting point for adopting the policy of granting Special Autonomy for Papua Province. The purpose of this paper is to examine the extent to which Special Autonomy which has been passed has succeeded in providing great opportunities for Indigenous Papuans (OAP) in the political realm, both physically and in ideas of political progress in the Papuan land. This writing is based on the juridical normative method, with a statute approach, which focuses on the relevant statutory regulations. Primary legal materials that have been collected are processed, analyzed and described and interpreted in this study. The special autonomy that has been given to Papua Province as a hope for big changes so far has not been able to provide many significant changes, especially in the political sphere, this is also because the implementation of Special Autonomy from the beginning is something new in the country of Indonesia. This certainly creates confusion for the implementer in its implementation. They need an explanation, so that in doing so they can achieve their goals.

Keywords: Special Autonomy, Papua, Changes, Politic.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Banyaknya polemik dan dinamika persoalan yang terjadi di Papua selama berpuluh – puluh tahun memicu banyak perdebatan hingga bahkan seringkali berujung pada keinginan Orang Asli Papua untuk melepaskan diri dari NKRI, Sepanjang sejarah bergabungnya Papua ke dalam RI, daerah ini (Papua) selalu menjadi suatu trouble spot yang menumpahkan darah1, dikarenakan banyaknya persoalan dari yang kecil sampai besar yang memerlukan perhatian khusus.

Di Papua salah satu hal yang selalu menjadi masalah adalah hak-hak dasar terkait politik dan pemerintahan yang bahkan hingga hari ini masih saja menjadi perbincangan hangat di dalam masyarakat Papua itu sendiri, berbagai data yang ditemukan sebelum reformasi dan bahkan sesudah reformasi masih memperlihatkan bagaimana telah terjadi marginalisasi OAP dalam ranah politik dan pemerintahan di wilayah Papua sendiri oleh oknum-oknum tertentu sampai pada elit politik tertentu.

Kemudian bisa kita lihat pada pertemuan yang terjadi antar almarhum Presiden BJ Habibie dan seratus orang tokoh masyarakat Papua pada 26 februari 1999, disana telah diutarakan secara gamblang oleh seratus orang tokoh masyarakat yang datang bahwa masyarakat Papua ingin melepaskan dirinya dari kesatuan NKRI, menurut hemat saya ini berarti masyarakat Papua sudah terang-terangan kepada pemerintah Indonesia bahwa ada yang salah, ini bisa disebabkan oleh akumulasi hal yang terjadi sebelumnya, sehingga masyarakat berani untuk secara tegas dan gamblang berbicara terkait hasrat mereka untuk suatu reformasi, bahkan langsung diutarakan di depan orang nomor satu di Indonesia bahwa mereka ingin lepas dan terbebas dari suatu dominasi dan dependensi NKRI yang selama ini kurang memperhatikan hak-hak dasar orang Papua.

Dengan persoalan – persoalan di atas yang terjadi secara terus menerus sejak sebelum reformasi hingga reformasi pemerintah Republik Indonesia dan para intelektual Papua berusaha mencari jalan tengah yang terbaik untuk situasi politik yang kian memanas pada tahun 2001, lalu pemerintah dan sebagian rakyat di Papua sepakat untuk mengatasi konflik-konflik yang ada dengan disetujuinya suatu rancangan Undang-Undang terkait Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua oleh DPR RI, yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 21 November 2001, sebagai UU No 21 Tahun 2001.2

Walaupun banyak juga dari masyarakat di Papua yang tidak menyetujui dan meragukan adanya Otsus ini. Atas dasar pertimbangan bahwa selama ini penyelenggaraan pemerintahan oleh negara dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama berintegrasi dengan negara Indonesia belum sepenuhnya mampu untuk memenuhi rasa keadilan, mencapai kesejahteraan dan mewujudkan penegakan hukum yang dapat memenuhi rasa penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia Papua, dan agar dapat mengurangi kesenjangan di antara Provinsi-Provinsi di Indonesia dengan Provinsi Papua dan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua maka diperlukan suatu political will negara kepada masyarakat Papua melalui kebijakan khusus ini dalam NKRI dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Dalam Bab I perihal ketentuan umum, Pasal I huruf b yang membatasi arti Otonomi Khusus bahwa : Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepetingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.3 Kemudian Sri Moeljani dalam buku “Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua” mengatakan “Sebagai seorang akademisi dalam dunia pendidikan, saya berpendapat bahwa kita tidak boleh berhenti untuk terus bermimpi tentang bagaimana mengelola suata negara—suatu hal yang perlu terus dikembangkan. Ini adalah suatu tugas seumur hidup bagi suatu bangsa seperti bangsa kita yang memang terus menerus ingin berkembang. Dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan, kita di tuntut untuk meredefinisi berbagai hubungan, yaitu hubungan antar masyarakat, antar institusi, dan antar jenjang pemerintah, inisiatif dalam bentuk Otonomi Khusus untuk daerah Papua merupakan suatu keinginan yang luar biasa wajar dalam konteks politik, sosial maupun psikologis masyarakat setempat. Wajar bukan saja karena kita mengetahui banyak ketidakadilan di masa Orde Baru yang di derita oleh banyak daerah, tetapi juga karena otonomi dan desentralisasi adalah paradigma global. Disadari sekarang bahwa mengelola banyak daerah di dunia ini sudah tidak bisa lagi dengan cara yang sentralistis. Jadi, seperti halnya human rights, liberalisai dan mekanisme pasar, otonomi dan desentralisasi merupakan pilar-pilar yang menggejala dan merupakan keharusan. Seusatu yang naturally imperative, artinya secara alamiah memang keharusan.

Dengan demikian, tidak benar apabila ada pandangan yang menganggap bahwa Otonomi Khusus yang diusulkan oleh penduduk asli Papua sebagai suatu tuntutan yang berlebihan. Ini pandangan umum saya sesudah membaca dokumen-dokumen ini.” Tukas-nya dalam buku tersebut. Dengan disahkannya Undang-Undang Otsus bagi Provinsi Papua, diharapakan berbagai masalah yang terjadi di Provinsi Papua dapat teratasi, khususnya permasalahan terkait hak-hak dasar hingga hak-hak politik dan pemerintahan Orang Asli Papua.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan diatas tersebut, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana keterwakilan Orang Asli Papua (OAP) Baik Secara Gagasan Maupun Fisik Pada Lembaga – Lembaga Politik Daerah Maupun Nasional?

  • 2.    Bagaimana Keterlibatan Orang Asli Papua (OAP) Pada Pengambilan Keputusan Politik Yang Berdampak Langsung Bagi Kehidupan Dan Kelangsungan Peradaban Atau Kebudayaan Lokal?

  • II.    Metode Penelitian

Penulis menerapkan metode penelitian Yuridis Normatif dalam menyusun junal ilmiah ini. Pengumpulan data dan bahan-bahan yang ada, di dapat dari berbagai sumber yakni pengumpulan bahan-bahan kepustakaan atau library research dengan mengkaji buku-buku, perundang-undangan, dan berbagai dokumen maupun artikel tertulis lainnya yang berkaitan dengan topik masalah yang dibahas. Dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), yakni berfokus pada

peraturan-peraturan perundang-undangan yang terkait. Bahan hukum primer yang telah dikumpulkan diolah, dianalisis dan jabarkan serta diinterprestasikan dalam penelitian ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Keterwakilan Orang Asli Papua Baik Secara Gagasan Maupun Fisik Pada Lembaga – Lembaga Politik Daerah Maupun Nasional

Keputusan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf g angka 2 merupakan suatu dasar dari pemberian status Otsus kepada Provinsi Irian jaya, serta Keputusan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah, yang salah satunya mementingkan dan segera merealisasikan Otsus tersebut melalui pengesahan suatu undang-undang Otsus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.4

Tahun-tahun berlalu setelah Otsus dijalankan di Provinsi Papua, akhir – akhir ini melalui media cetak dan juga media sosial seperti Facebook, Youtube dan sebagainya banyak dimuat aspirasi dari Orang Asli Papua baik yang duduk di DPRP, MRP, maupun Rakyat dan Pemerintah Daerah di Kabupaten/Kota, tentang masalah keterwakilan Orang Asli Papua pada lembaga Legislatif baik ditingkat pusat, provinsi, maupun Kabupaten/Kota, yang menurut data hasil pemilihan umum sangat minim. Sebagaimana kita ketehui sebagai contoh data pemilu Tahun 2014-2019 dari Koran Jubi sebagai berikut :

No.

Nama Kabupaten

Jumlah Kursi

OAP

Non-OAP

1.

Kab. Sarmi

20

7

13

2.

Kab. Boven Digoel

20

6

14

3.

Kab. Asmat

25

11

14

4.

Kab. Mimika

35

17

18

5.

Kab. Fak-fak

20

8

12

6.

Kab. Raja Ampat

20

9

11

7.

Kota Sorong

30

6

24

8.

Kab. Teluk wandama

20

11

14

9.

Kab. Merauke

30

3

27

10.

Kab. Sorong Selatan

20

3

17

11.

Kab. Sorong

25

7

18

12.

Kota Jayapura

40

13

27

13.

Kab. Kerom

20

7

13

14.

Kab. Jayapura

25

7

18

Dari data diatas terlihat jelas keterwakilan Orang Asli Papua yang duduk sebagai anggota DPR di Kabupaten/Kota sangat minim. Sementara kita ketahui bahwa lembaga Legislatif merupakan lembaga resmi dalam sistem pemerintahan yang diakui dan diatur dalam perundang-undangan sebagai DPR bersama dengan Pemerintah Daerah untuk mengambil keputusan Politik berupa kebijakan-kebijakan diberbagai bidang kehidupan dalam bentuk peraturan-peraturan daerah baik Perdasi maupun

Perdasus yang mempengaruhi hak hidup setiap orang yang mendiami Tanah Papua di dalam NKRI.

Fungsi DPR dibidang proses pembuatan kebijakan politik dalam bentuk peraturan ini disebut legislasi. Berbagai peraturan atau hukum dari hasil proses penyusunan kebijakan formal pada dasarnya merupakan produk dari politik, begitu juga pada saat produk hukum ini diberlakukan, itupun tentunya tidak lepas dari pengaruh para pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan dan yang kemudian mencoba untuk berusaha mempengaruhi pelaksanan kebijakan formal yang sudah berbentuk peraturan-peraturan atau hukum tersebut sejalan dengan kepentingan dan kekuatannya, dalam kondisi semacam ini jika yang mempengaruhi adalah kelompok elit yang mempunyai pengaruh lebih terhadap hukum maka, tentu yang akan dipengaruhi hukum adalah kelompok masa yang secara individual kurang berpengaruh, kecuali jika kelompok ini dapat diolah menjadi kekuatan yang dapat digerakan secara terarah.

Sebagai contoh pemberlakuan Otsus berdasarkan UU No 21 Tahun 2001 dibidang kesehatan sebagai mana kita ketahui bahwa akses pelayanan kesehatan di Papua sangat memprihatinkan baik dari segi infrastuktur maupun sarana penunjang lainnya seperti peralatan kedokteran dan dan juga obat-obatan serta sumberdaya manusia yang sangat terbatas kalaupun ada ketersediaannya kurang menjangkau keberadaan masyarakat Asli Papua. Hal ini disebabkan karena pertama ada anggapan jika pergi kerumah sakit itu akan lebih parah lagi penyakitnya karana secara ekonomis mereka tidak mampu untuk membiayai proses pemeriksaan dan pengobatan yang sangat mahal belum lagi transportasi dan tanggungan hidup keluarga sehari-hari. Itulah sebabnya Orang Asli Papua yang tidak mampu kurang mendapat pelayanan yang manusiawi karena itu mereka baru ke rumah sakit apabila penyakitnya sudah kronis sehingga sering diplesetkan bahwa orang papua kerumah sakit hanya untuk memperolah surat keterangan kematian.

Kondisi inilah yang coba diatasi dengan kebijakan Otonomi Khusus oleh Pemerintah Papua dangan program jaminan kesehatan untuk Orang Asli Papua melalui Kartu Papua Sehat (KPS), yang sangat menolong karena prosesnya tidak serumit BPJS bahkan sampai biaya transportasi ke Rumah Sakit rujukan pun ditanggung. Namun kini dianggap tumpang tindih dengan BPJS sehingga akan diintegrasikan kedalam BPJS yakni JKN-KIS. Kebijakan ini jelas bila tidak diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua akan merugikan kepentingan Orang Asli Papua, sekalipun pemberlakuan khusus itu dilindungi oleh Undang-Undang, hal yang samapun berlaku bagi keterwakilan Orang Asli Papua di lembaga Legislatif sebagaimana dikemukakan diatas.

Dengan ini maka beberapa hal pokok yang selalu menjadi masalah klasik di Papua seperti eksploitasi SDA, diabaikannya hak-hak OAP dalam merepresentasikan diri pada lembaga perwakilan rakyat, hingga pada badan-badan yudikatif negara yang mengabaikan dan kurang memperhatikannya berbagai keputusan dewan peradilan adat, adalah hal-hal yang memicu berbagai ketimpangan sosial antar Provinsi Papua dan Provinsi lainnya di Indonesia, hingga bahkan berujung pada berbagai perlawanan masyarakat Papua kepada negara.

Pada poin kedua dan ketiga di atas bahwa persoalan keterwakilan Orang Asli Papua dalam proses pengambilan keputusan politik yang sangat penting terutama menyangkut keberadaan hak hidupnya, tentu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ini bukanlah persoalan baru namun sudah menjadi masalah klasik, sejak integrasi Papua masuk kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

kemudian menimbulkan sikap ketidakpercayaan kepada pemerintah pusat, dimana sikap ketidakpercayaan tersebut diapresiasikan dalam beberapa bentuk termasuk berbagai aksi tuntutan untuk memisahkan diri dari bingkai NKRI.5

Hal-hal ini tentu punya sangkut paut dengan proses rekrutmen dan syarat-syarat yang berhak mewakili kepentingan Orang Asli Papua termasuk jumlah yang representative mewakili kepentingan Orang Asli Papua, Adapun yang dimaksud dengan rekrutmen politik adalah proses oleh partai politik dalam mencari anggota baru dan mengajak orang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik tidak sebatas hanya untuk mencari anggota baru, tetapi juga merekrut dan mencalonkan anggota partai untuk posisi jabatan publik.6 Perlu juga berbicara terkait keterwakilan Gagasan karena bagi Orang Asli Papua budaya oral itu lebih penting dari analisa dalam bentuk tulisan, karena itu lebih banyak waktu dihabiskan untuk berdiskusi dan saling berargumen sehingga mencapai consensus bersama mengenai gagasan yang diperjuangkan, baru dapat dituangkan secara tertulis dalam bentuk kajian ilmiah, pernyatan sikap ataupun keputusan keputusan politik lainnya. Mekanisme inilah yang tergambar pada saat penyusunan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dimana prosesnya melibatkan berbagai komponen baik kalangan akademisi maupun praktisi dengan melibatkan sebagian besar partisipasi Orang Asli Papua baik Kalangan Adat, Tokoh Pemuda, Perempuan, dan juga Tokoh Agama yang pertemuannya merata diseluruh Tanah Papua. Keterlibatan Orang Asli Papua ini juga didorong oleh pergumulan dan keprihatinan bersama mengenai masa depan Tanah Papua dalam bingkai NKRI.

Untuk menjawab soal kerterwakilan Orang Asli Papua dalam Lembaga-lembaga politik terutama DPR Provinsi Papua dan DPRD Kabupaten/Kota di Papua maupun pusat maka telah diatur dalam UU No 21 Tahun 2001 Pasal 28 Ayat (3) “Rekrutmen Politik oleh partai Politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat Asli papua.” Ayat ini menunjukan bahwa secara hukum proteksi terhadap Orang Asli Papua dibidang politik telah ditetapkan dalam Otsus yang berlaku, hanya soal bagaimana menjabarkannya lebih lanjut dalam bentuk Perdasi/Perdasus. Jika kita tidak membuat Peraturan Daerah Khusus menyangkut pelaksanaan rekrutmen maka kita tidak bisa mempersalahkan proses Pemilihan Umum yang berlangsung secara nasional.

Dalam buku “PAPUA MENGGUGAT : Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat! Bagian II: PAPUA BERTEORI” dijelaskan secara khusus arti auto berarti sendiri. Lalu kata nomy kelihatannya secara etimologis berhubungan dengan ekonomi. Dari itu bisa dikatakan autonomy artinya menjalankan kegiatan ekonomi sendiri. Kalau dilihat secara realitas, agak masuk akal karena apa yang terjadi dalam otonomi adalah mengatur perekonomian (perikehidupan) sendiri.7 Terkait auto dan–nomy di atas, defenisi UU Otsus ini memperkukuh arti tadi, adalah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.8

Demikian hal-hal ini semakin mempertegas maksud dan tujuan dari UU No 21 Tahun 2001 yang telah disahkan sepatutnya memprioritaskan OAP dalam ranah politiknya sendiri, demi kepentingan – kepentingan bersama masyarakat Papua.

  • 3.2    Keterlibatan Orang Asli Papua Pada Pengambilan Keputusan Politik Yang

Berdampak Langsung Bagi Kehidupan Dan Kelangsungan Peradaban Atau Kebudayaan Lokal

Undang-undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah mengatur terkait keterwakilan OAP secara fisik dalam lembaga-lembaga politik khusus untuk Kepala Daerah atau Gubernur Provinsi Papua namun untuk legislatif selain jumlah 14 kursi Orang Asli Papua yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (2) yang menentukan “DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan.” dan Ayat (4) yang menentukan “Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.” maka perlu diatur lebih lanjut soal rekrutmen melalui partai politik sesuai dengan Pasal 28 Ayat (3) yang tertulis “Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.”

Dengan ini maka harus diperhatikan kriteria dan keterwakilan dari Orang Asli Papua khususnya menyangkut jumlah dalam daftar calon tetap yang akan diajukan partai politik ke KPUD. Untuk itu dalam proses rekrutmen Orang Asli Papua yang perlu diperhatikan tentu bukan saja soal keterwakilan daerah adat atau jumlah yang akan diusulkan tetapi juga kwalitas Sumber Daya Manusia (SDM) yakni soal intelektual dan juga karakternya, sebab kalau intelektul saja tanpa karakter maka keputusan-keputusan yang diambil kemungkinan besar tentu akan berujung kepada salah arah, atau kalau karakter saja tanpa pengetahuan maka akan jalan ditempat atau ada kemauan tetapi tidak mampu untuk menjabarkannya, dalam konteks Undang-Undang Otonomi Khusus ibarat kita diberi kunci tapi tidak tahu membuka pintunya. Hal ini merugikan kepentingan Orang Asli Papua dan juga akan berpengaruh terhadap berbagai keputusan politik yang tidak memihak kepada kepentingan Orang Asli Papua. Selo Soedmardjan ketika membaca tentang dokumen – dokumen yang disusun untuk dijadikan Otonomi Khusus Papua mengatakan bahwa “Implementasi Otonomi Daerah ini merupakan hal yang baru di Indonesia bagi semua orang. Pasti akan jadi kebingungan di kalangan pelaksananya. Mereka perlu mendapat penjelasan, agar dalam pelaksanaannya bisa mencapai tujuannya.”9

Pada periode pasca tahun 2001 sesudah enam tahun setelah Otsus disahkan Universitas Negeri Cendrawasih menggelar acara cerminan enam tahun Otsus, yang kemudian mengambil kesimpulan bahwa pelaksanaan dari pada Otsus ini belum berjalan dengan optimal seperti semestinya, Otsus bahkan di cap hanya sebagai simbol daripada political will negara yang ada dan ini berdampak pada masih banyaknya kekurangan dari bagian-bagian yang penting. Berbagai kendala terihat dalam perjalanan Otsus bagi Provinsi Papua yang diantaranya adalah kewenangan dengan aliran dana yang tidak jelas, adanya inkonsisten dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah Provinsi Papua, hingga bahkan pada konflik kepentingan dan kekuasaan di antara para elit local Papua, lalu berakhir pada semakin menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang ada. Dana bagi Otonomi Khusus

Papua bukanlah dana yang sedikit namun dana yang ada terlihat jelas belum dipakai secara efektif untuk menyentuh semua kalangan di Papua, terlebih khusus bagi mereka-mereka yang berada dibawah garis kemiskinan, hingga hari ini kita tahu dan bahkan bisa melihat lewat sosial media bahwa masih banyak masyarakat Papua yang hidupnya kekurangan secara materi dan bahkan kelaparan. Bertha Kambuaya kemudian juga menjelaskan bahwa “Setidaknya ada empat hal yang menyebabkan UU belum memenuhi harapan masyarakat, yaitu belum ada penguat hukum seperti peraturan daerah Provinsi dan peraturan daerah khusus, belum ada kesesuaian fungsi pemerintahan, belum ada sumber daya manusia (SDM) yang memadai, dan juga terbatasnya fasilitas pemerintahan10”.

Oleh karena itu hingga hari ini inilah alasan-alasan utama mengapa isu keterwakilan ini kembali disuarakan karena ini sangat penting sebab keterlibatan secara fisik maupun gagasan dalam pengambilan keputusan politik yang bermuara pada aturan-aturan hukum akan sangat mempengaruhi hak hidup Orang Asli Papua diatas tanahnya sendiri.

  • IV.    Kesimpulan

Meskipun telah tercantum dalam sebuah Otonomi Khusus, beberapa hal seringkali tetap tidak dapat terealisasikan dalam implementasinya, diharapkan kedepannya hal-hal tersebut boleh diperhatikan untuk segera dengan tepat dan solutif dapat dibenahi guna mencapai tujuan awal daripada Otsus itu sendiri. Di Provinsi Papua, Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang telah disahkan sejak tahun 2001 telah dinilai gagal dalam menjamin hak-hak dasar Orang Asli Papua dalam bidang politik karena permasalahan keterwakilan OAP dinilai kurang dibandingkan orang Non-OAP baik secara gagasan maupun fisik pada lembaga – lembaga politik daerah maupun nasional, belum terealisasikan seturut dengan tujuan yang diharapkan sebagaimana yang tertulis dalam UU No 21 Tahun 2001 Pasal 28 Ayat (3) “Rekrutmen Politik oleh partai Politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat Asli papua.” Pemerintah Provinsi Papua sendiri dapat merancangkan peraturan khusus (Perdasus) bersama para pakar hukum guna menjadi perpanjangan daripada UU Otsus, mengatur dan melindungi lebih lanjut tujuan daripada Pasal 28 Ayat (3) yang telah disebutkan diatas, agar semakin membawa dampak yang nyata terasa bagi kesejahteraan OAP di Provinsi Papua. Dengan ini kemudian memungkinkan lebih lanjut pengangkatan/rekrutmen politik oleh partai-partai politik di Papua dapat direalisasikan melalui mekanisme Perdasus tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003).

Sem Karoba, dkk, WatchPapua, PAPUA MENGGUGAT : Politik Otonomisasi NKRI diPapua Barat, Bagian II: PAPUA BERTEORI (Yogyakarta, Galang Offset, 2003).

Frits Bernard ramandey, Paskalis Worot Keagop & Lucky Ireeuw, S.H., Profil Otonomi Khusus Papua, (Jayapura, Nailili Printika, 2005).

Dr. Jacobus Perviddya Solossa, Drs., Msi, Otonomi Khusus Papua Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di Dalam NKRI (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2005).

Frans Maniagasi, Masa Depan Papua, (Jakarta, Dyatama Milenia, 2001).

Lamadi de Lamato, Bola Liar Kegagalan Otsus, (Jayapura, La-keda Institute, 2009).

Jurnal Ilmiah

Akbar Silo, Jack Ronsumbre, “Birokrasi dan Perubahan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.1, No.1, (2003).

Katharina, Riris. “Deliberative Formulation of Papua Special Autonomy Policy”, Universitas Indonesia, International Journal of Administrative Sciences & Organization, (2017).

Kasim, Azhar, “Perubahan Pendekatan Ilmu Administrasi Publik dan Implikasinya terhadap Studi Kebijakan”, Jurnal Administrasi Negara, Vol.IX, No.3, (2001).

Azmi Muttaqin, “OTONOMI KHUSUS PAPUA SEBUAH UPAYA MERESPON

KONFLIK DAN ASPIRASI KEMERDEKAAN PAPUA”, Jurnal Universitas Dipenogoro, Vol.4,                                 No.1,                                 (2014).

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/download/.../5172

Musa’ad, Mohammad A, “Kontekstualisasi Pelaksanaan Otonomi Khusus di\Provinsi Papua: Perspektif Struktur dan Kewenangan Pemerintahan”, Politika: Jurnal Ilmu            Politik            Vol.16,            No.2,            (2011).

https://jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/528

M. Harun Alrasyid, “Ancaman Oligarki Partai Politik Dalam Pemilu”, Jurnal Kybernan, Vol.1, No. (2010).

Mayabubun, Kenny & Conoras, Yusman, “Pembangunan Kesehatan di Era Otonomi Khusus Papua: Catatan Satu Tahun Terakhir”, Jaringan dan Partisipan, Vol. -, No. -, (2010). https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/buku.../buku-individu-public-28.pdf

Muhammad Sopian dan Bismar Arianto, “Rekrutmen Politik Calon Anggora DPRD Kota Tanjungpinang Tahun 20014 (Studi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)”, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.2, No.1, (2017)

Altianua Uamang, Cakti Indra Gunawan dan Cahyo Sasmito, “IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA DALAM KETAHANAN WILAYAH NKRI DI PEMERINTAH KEBUPATEN MIMIKA”, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, REFORMASI, Jurnal Ilmiah Sosial dan Ilmu Politik, Vol.8, No.1, (2018). file:///C:/Users/ASUS/Downloads/925-1768-1-SM.pdf

Fitriyah, “Partai Politik, Rekrutmen Politik dan Pembentukan Dinasti Politik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)”, POLITIKA : Jurnal Ilmu Politik, Vol.11, No.1, (2020).

La Achmadi, ““KEKHUSUSAN” OTONOMI KHUSUS PAPUA”, Jurnal DINAMIS, Vol.17, No.1, (2020).

Else Suhaimi, “POLA REKRUTMEN POLITIK BERDASARKAN IDEOLOGI PARTAI POLITIK DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA”, Jurnal Nurani, Vol.18, No.1, (2021).

Peraturan Perundang-Undangan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Ketetapan MPR Republik Indonesia 2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, Setneg RI, Jakarta. Undang – undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus), diundangkan pada tanggal 21 November 2001 melalui Lembaran Negara RI Tahun 2001 NO.415 dan Tambahan Lembaran Negara RI NO.135. Undang-Undang Otonomi Khusus

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang ditujukan kepada Pemerintah, Pemerintahan Daerah Papua melalui Lembaran Negara RI Tahun 2001 NO.135 dan Tambahan Lembaran Negara RI NO.4151

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 10 Tahun 2020, hlm. 60-69

69