VARIOUS AND INTENCITY PARASITIC INFECTIONS IN CATTLE FARMER GROUP NITI SARI IN BATURITI VILLAGE, TABANAN REGENCY
on
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 1: 9-15
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Pebruari 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i01.p02
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Ragam, Prevalensi dan Intensitas Infeksi Parasit pada Sapi Kelompok Tani Niti Sari Desa Baturiti Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali
(VARIOUS, PREVALENCE AND INTENCITY PARASITIC INFECTIONS IN CATTLE FARMER GROUP NITI SARI IN BATURITI VILLAGE, TABANAN REGENCY OF BALI PROVINCE)
Ida Ayu Pasti Apsari1*, Gusti Agung Ayu Yuniati Kencana2, I Gusti.Ngurah Kade Mahardika2, I Nyoman Mantik Astawa 2, Anak Agung Sagung Kendran3, I Nyoman Suartha4, Srikayati Widyastuti4, Ida Bagus Kade Suardana2, I Gusti Ayu Mayani Kristina Dewi5, I Putu Sudiarta6
-
1Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali;
-
2Laboratorium Virologi Veteriner, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali;
-
3Laboratorium Patologi Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali;
-
4Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali;
-
5Ilmu Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana,Kampus Bukit Jimbaran, Badung Bali;
-
6Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali.
*Email: [email protected]
Abstrak
Infeksi parasit tidak terlepas dari segitiga epidemiologi yaitu hospes, agen dan lingkungan. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi infeksi parasit pada sapi bali. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ragam, prevalensi dan intensitas infeksi parasite pada sapi kelompok tani Niti sari desa Baturiti. Sejumlah 55 ekor sapi bali pada sapi kelompok tani Niti Sari dipergunakan sebagai sampel. Sampel feses diambil untuk diperiksa keberadaan parasit dan prediksi jumlah beban parasite yang menginfeksi. Metoda pemeriksaan keberadaan parasit dengan uji pengapungan dan prediksi beban parasit dengan metoda Stool. Hasil yang diperoleh prevalensi protozoa Coccidia 52,73% (29/55), Entamoeba spp. 16,36% (9/55), Balantidium spp 20,9% (6/55) dengan intensitas infeksi berturut turut 1255,17± 964,82 ookista/gram. 233,3 ± 250 kista/gram dan 150 ± 83,67 kista/gram feses. Prevalensi telur cacing tipe Strongyl 61,82% (34/55), Strongyloides spp. 23,64% (13/55) dan Toxocara spp 18,18% dengan intensitas infeksi berturut turut 420,59 ± 233,26 telur/gram, 253,85 ± 64,55 telur/gram dan 130 ± 48,3 telur/gram feses. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa ragam infeksi parasit protozoa adalah Coccidia, Entamoeba spp. dan Balantidium spp.dengan prevalensi tinggi sampai sedang, tetapi intensitas infeksi rendah sampai sedang. Infeksi oleh cacing nematoda yaitu tipe Strongyl, Strongyloides spp dan Toxocara spp dengan prevalensi tinggi sampai sedang, tetapi intensitas yang rendah.
Kata kunci: intensitas infeksi; nematoda; prevalensi; protozoa; sapi bali.
Abstract
Parasitic infections are inseparable from the epidemiological triangle, namely the host, agent and environment. Environmental conditions greatly affect parasitic infection in Bali cattle. The purpose of this study was to determine the variety, prevalence and intensity of parasite infection in cattle from the Niti Sari
farmer group, Baturiti village. A total of 55 bali cattle in the Niti Sari farmer group cattle were used as samples. Stool samples were taken to examine the presence of parasites and predict the amount of parasite load that infects. The method of examining the presence of parasites is by flotation test and prediction of parasite load using the Stool method. The results obtained were the prevalence of the protozoan Coccidia 52.73% (29/55), Entamoeba spp. 16.36% (9/55), Balantidium spp. 20.9% (6/55) with infection intensity 1255.17 ± 964.82 oocysts/gram, respectively. 233.3 ± 250 cysts/gram and 150 ± 83.67 cysts/gram feces. The prevalence of Strongyl tipe worm eggs 61.82% (34/55), Strongyloides spp. 23.64% (13/55) and Toxocara spp. 18.18% with infection intensity 420.59 ± 233.26 eggs/gram, 253.85 ± 64.55 eggs/gram and 130 ± 48.3 eggs/gram, respectively. grams of feces. The conclusion of this study is that the various protozoal parasitic infections are Coccidia, Entamoeba spp. and Balantidium spp. with high to moderate prevalence, but low to moderate infection intensity. Infections by nematode worms are Strongyl tipe, Strongyloides spp and Toxocara spp types with high to moderate prevalence, but low intensity.
Keywords: bali cattle, protozoa, nematodes, prevalence, intensity of infection.
PENDAHULUAN
Infeksi parasit gastrointestinal pada ternak sapi disamping menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak sapi itu sendiri, juga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi peternak akibat ternak perkembangan tubuh menjadi terhambat (Medicastore, 2011). Infeksi parasit cacing dipengaruhi oleh kondisi wilayah dan keadaan lingkungan tempat pemeliharaan ternak sapi (Rahmawati et al., 2018). Baturiti termasuk wilayah dataran tinggi basah dengan ketinggian tempat 1400 m diatas permukaan laut dengan rata rata curah hujan 2300-2800 mm/tahun dan suhu udara 260C – 280C (BPS Kabupaten Tabanan, 2018). Kondisi wilayah yang demikian merupakan kondisi optimal bagi perkembangan parasit. Menurut Al-Shaibani et al. (2008) suhu optimal untuk perkembangan stadium telur dan larva infektif dari cacing nematoda adalah 18,30C – 340C.
Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa keberadaan cacing lebih banyak pada tipologi lahan basah dibandingkan lahan kering demikian pula beban cacing serta ragam jenis lebih sedikit (Prasetya dan Basuki, 2010; Santos et al., 2012; Kertawirawan, 2014; Ariawan et al., 2018). Faktor biofisik lingkungan berpengaruh pada ketersediaan pakan terutama terhadap pemeliharaan ternak
ekstensif dan semiintensif. Keadaan lingkungan berdampak pada kesehatan ternak itu sendiri. Jenis cacing Fasciola (paling banyak), Cooperia, Pharamphistomum dan Trichostrongylus mendominasi pada tipologi lahan basah di Kalimantan Tengah (Bhermana et al., 2017). Peternakan sapi perah di Malang terinfeksi cacing tipe Strongyl dan Fasciola dengan derajat infeksi yang ringan (Zalizar, 2017). Sementara itu penelitian terhadap protozoa pada sapi bali di lahan basah 77,3% tidak berbeda nyata dengan di lahan kering 78,5% (Rahmawati et al., 2018). Prevalensi nematoda gastrointestinal pada sapi di kabupaten Badung 70,9% dengan jenis Nematoda tipe Strongyl 72%, Strongyloides 12%, Trichuris 2,7%, Toxocara 4% dan Capillaria 1,3% (Ariawan et al., 2018). Penelitian sapi dibanding dengan pada kerbau di Srilangka ditemukan pada kerbau lebih sedikit jenis parasit yang ditemukan hanya Trichuris dan Paramphistomum. Sedangkan pada sapi ditemukan Bunostomum, Trichuris, Paramphistomum, Moniezia dan Coccidia (Gunathilaka et al., 2018).
Sapi pada kelompok Tani Niti Sari desa Baturiti kabupaten Tabanan pemeliharaannya secara semiintensif dengan kondisi lingkungan wilayah tipologi lahan basah keadaan ini memungkinkan prevalensi infeksi parasite menjadi tinggi. Namun
belum bisa dipastikan ragam parasitnya apa saja yang dapat menginfeksi sapi tersebut, demikian pula intensitas infeksinya apa juga tinggi mengikuti prevalensinya. Penelitian pada kesempatan ini, bertujuan untuk meneliti ragam parasit dan prevalensi serta intensitas infeksi yang ditemukan.
METODA PENELITIAN
Sampel penelitian
Obyek penelitian ini adalah sapi bali yang dipelihara oleh kelompok tani Niti Sari desa Baturiti, kabupaten Tabanan, provinsi Bali. Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak 55 feses sapi bali. Sampel feses sapi segar diambil sebanyak ± 10 gram dimasukkan ke dalam pot plastik. Pot plastik diisi larutan kalium bikromat 2,5% sampai feses yang ada di dalamnya terrendam. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium Parasitologi untuk dilakukan pemeriksaan.
Metoda pemeriksaan feses
Metoda pemeriksaan sampel feses secara kualitatif untuk menentukan positif atau negative terinfeksi, dengan metoda pengapungan garam jenuh (Taylor et al. 2016). Cara pemeriksaan dengan menyiapkan ± 3 gram feses dimasukan ke dalam tabung centrifuge dan ditambahkan aquades sampai ¾ tabung. Aduk larutan sampai homogen. Tabung dimasukkan ke dalam centrifugator dan diputar dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang. Endapan ditambahkan larutan pengapung garam jenuh sampai ¾ tabung. Tabung dimasukkan ke dalam centrifugator, selanjutnya diputar 1500 rpm selama 5 menit. Tabung dikeluarkan dari centrifugator dan ditaruh secara tegaklurus di rak tabung. Tabung ditambahkan larutan garam jenuh dengan cara meneteskan secara perlahan sampai penuh dan larutan di pinggir tabung
terlihat cembung. Cover glas disentuhkan pada larutan yang cembung tersebut, selanjutkan ditempel pada obyek glas. Preparat pemeriksaan sampel metoda pengapungan ini siap diperiksa di bawah mikroskup.
Metoda pemeriksaan feses secara kuantitatif untuk menentukan jumlah telur yang ditemukan sebagai prediksi berat ringannya infeksi mempergunakan metoda Stool (Soulsby, 1982). Metoda ini dimulai dengan menimbang 3 gram feses. Feses sebanyak 3 gram tersebut ditambahkan aquades sebanyak 45 ml. Larutan ini diaduk sampai homogen dengamn shaker magnetic stirrer. Larutan diambil sebanyak 0,15 ml diteteskan pada obyek glas. Preparat pemeriksaan metoda kuantitatif ini siap diperiksa di bawah mikroskup untuk dihitung jumlah telur cacing atau protozoa yang ditemukan.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Data prevalensi diperoleh dari jumlah positip parasit yang ditemukan dibagi dengan seluruh jumlah sampel dikali 100%. Data intensitas infeksi diperoleh dari menghitung semua telur cacing atau protozoa yang ditemukan dikali 100. Satuan untuk intensitas infeksi telur cacing adalah telur/gram dan untuk protozoa Coccidia ookista/gram, sedangkan untuk Entamoeba spp dan Balantidium spp. adalah kista/gram.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Menunjukkan bahwa ragam parasit yang ditemukan pada sapi kelompok Tani Niti Sari di Baturiti terdapat protozoa (Coccidia, Entamoeba spp. dan Balantidium spp.) dan cacing nematoda (Tipe Strongyl, Strongyloides spp. dan Toxocara spp.).
Tabel 1. Prevalensi dan Intensitas infeksi parasit pada sapi kelompok Tani Niti Sari Baturiti
No. |
Ragam Parasit |
Prevalensi |
Intensitas Infeksi |
Satuannya |
1 |
Coccidia |
52,73% (29/55) |
1255,17 ± 964,82 |
ookista/gram |
2 |
Entamoeba |
16,36% (9/55) |
233,33 ± 250,00 |
kista/gram |
3 |
Balantidium |
10,9 % (6/55) |
150,00 ± 83,67 |
kista/gram |
4 |
Tipe Strongyl |
61,82% (34/55) |
420, 59 ± 233,26 |
telur/gram |
5 |
Strongyloides |
23,64 % (13/55) |
253,85 ± 64,55 |
telur/gram |
6 |
Toxocara |
18,18 % (10/55) |
130,00 ± 48,3 |
telur/gram |
Pembahasan
Menggunakan metode pemeriksaan dengan metode apung garam jenuh, maka ragam parasite trematoda dan cestode tidak terdeteksi. Ragam parasite protozoa yang ditemukan sama dengan hasil penelitian sebelumnya di Badung (Rahmawati et al., 2018; Saputri et al., 2018), sedangkan ragam parasite nematoda ada yang tidak ditemukan pada penelitian ini dibanding dengan hasil penelitian Ariawan et al. (2018) yaitu Trichuris sp dan Capilaria sp.
Prevalensi Coccidia yang ditemukan (52,78%) sedikit lebih rendah dari wilayah basah dan kering di kabupaten Badung (58,8%) (Rahmawati et al., 2018), tetapi lebih tinggi dari sapi Simantri di kabupaten Badung (Saputri et al., 2018). Hal ini terkait dengan musim saat penelitian yang dilaksanakan saat musim kering, walaupun wilayah Baturiti termasuk wilayah basah. Ordo Coccidia dengan genus Eimeria yang dapat menginfeksi sapi terdapat 13 spesies. Tiga belas spesies tersebut terdapat Eimeria zuurnii yang paling pathogen, sedangkan E.bovis disebutkan paling banyak menginfeksi sapi (Fitriastuti et al, 2011). Ookista Eimeria bersporulasi mulai dari beberapa hari sampai beberapa minggu tergantung pada kelembaban, temperatur, spesies, dan faktor lingkungan lainnya. Ookista sangat tahan dan bisa bertahan di bawah kondisi yang tidak menguntungkan seperti pada suhu minus 4℃. Ookista dapat bertahan sepanjang musim, sehingga
prevalensi yang ada masih tinggi sepanjang tahun, karena tetap ada sepanjang musim, Demikian pula berlaku pada sapi Simantri yang tetap berada di kandang selama pemeliharaan, karena disebutkan bahwa Koksidiosis merupakan penyakit kandang (Levine, 1995).
Prevalensi Balantidium 10,9% dan Entamoeba 16,36% dengan intensitas masing-masing yang kurang dari 500 kista/gram feses, artinya kedua protozoa ini tidak mengkhawatirkan pada sapi di Baturiti. Pada sapi, Entamoeba yang sering ditemukan yaitu Entamoeba bovis yang bersifat tidak pathogen (Al-shabbani, 2016). Infeksi saluran pencernaan akibat Balantidium sp sering tidak serius dan asimtomatik (Lazar et al., 2004; Seadoon dan Almusawi, 2018). Penelitian Wisesa, et al. (2015) pada sapi di seluruh Bali menemukan infeksi Balantidium sebesar 17,19%, ternyata sedikit lebih tinggi dari sapi di Baturiti. Kemungkinan hal ini karena wilayah yang diteliti lebih luas termasuk wilayah basah dan kering seluruh Bali.
Infeksi cacing tipe Strongyl (.61,82%) masih lebih tinggi daripada sapi di Lamongan (43%) (Khozin, 2012) tetapi dengan intensitas yang rendah yaitu dibawah 500 butir/gram feses. Keadaan ini terjadi akibat di sekitar kandang masih ada timbunan feses sebagai sumber infeksi (Wafiyatiningsih dan Bariroh, 2012). Musim hujan atau kondisi lingkungan yang lembab dan basah merupakan media yang cocok untuk
perkembangan telur cacing (Supriyanto, 2017). Hujan membuat feses lembab dan lunak, memungkinkan larva yang terperangkap di dalamnya keluar dan bermigrasi ke rerumputan yang berdekatan dengan feses (Santos et al., 2012). Keadaan ini mencerminkan bahwa infeksi nematoda pada sapi di Baturiti walau ada yang tinggi (61,82%) namun dengan intensitas yang rendah (kurang dari 500 butir telur per gram feses), mengakibatkan tidak sampai timbul gejala penyakit cacing. Faktor lingkungan berpengaruh pada ketersediaan pakan yang berimbas pada kesehatan ternak. Apabila lingkungan tidak mendukung atas tersedianya pakan ternak akhirrnya berdampak pada infeksi parasite yang tinggi. Keadaan lain tampak di Baturiti ini, sumber pakan yang banyak tersedia, mengingat Baturiti tergolong wilayah basah sehingga ketersedianan rerumputan dan hijauan mencukupi. Dampaknya terlihat pada kondisi sapi yang gemuk dan sehat karena nutrisinya cukup. Keadaan ini akan mengakibatkan kondisi imun sapi kuat untuk menekan perkembangan cacing di usus dalam hal memproduksi telur. Prevalensi infeksi tinggi ada mencapai 61,82%, tetapi intensitas infeksinya rendah (kurang dari 500 butir/gram feses). Efektivitas sistem kekebalan tubuh dalam melawan agen infeksi akan meningkat seiring dengan pertambahan umur hewan, sedangkan status imun tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor genetik ternak, nutrisi, umur dan status fisiologis inang (Hendawy et al, 2018).
Infeksi cacing nematoda yang lain juga nampaknya prevalensi yang cukup tinggi 23,64% untuk Strongyloides, namun intensitas yang rendah (kurang dari 500 telur/gram tinja). Dibandingkan dengan daerah dataran rendah basah yang jauh lebih rendah 2,7% (Suastini, 2020). Demikian pula untuk di wilayah lain Strongyloides jauh lebih rendah 3,7 % oleh Yasa (2011) di Petang, 11,5% oleh Ariawan et al. (2018) di
Badung dan 0,04% oleh Putra et al. (2017) di Nusa Penida.. Keadaan yang bervariasi prevalensi ini banyak hal yang dapat mempengaruhi antara lain kondisi wilayah (basah / kering), management pemeliharaan sapi, topografi wilayah serta sanitasi lingkungan.
Infeksi Toxocara pada penelitian ini termasuk rendah (18,18%) dibanding dengan penelitian Agustina et al. (2013) di Bali Timur menemukan 42,5% pada induk sapi dan 36,4% pada pedet. Toxocara vitulorum lebih banyak menginfeksi sapi muda atau pedet, tetapi tidak menutup kemungkinan menginfeksi sapi dewasa atau induk sapi. Toxocariosis lebih banyak menginfeksi sapi jantan daripada induk betina karena pada sapi betina L2 (larva stadium 2) dari Toxocara vitulorum pada yang betina tidak berubah menjadi L3, namun mengalami dormansi pada jaringan.(Estuningsih, 2005). Intensitas infeksi Toxocara pada sapi ada tiga tingkat yaitu ringan (kurang dari 5000 telur/gram), sedang (5.000 – 10.000 telur/gram) dan berat (lebih dari 10.000 telur/gram) (Akhtar et al., 1982), dengan demikian pada penelitian ini dapat dikatakan infeksi oleh Toxocara pada sapi bali di Baturiti ringan (130 telur / gram).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ragam infeksi sapi bali pada kelompok tani Niti Sari desa Baturiti parasit protozoa Coccidia, Entamoeba spp dan Balantidium spp. dengan prevalensi tinggi (Coccidia) dan rendah (Entamoeba spp. dan Balantidium spp) dengan intensitas rendah sampai sedang. Ragam infeksi oleh cacing nematoda tipe Strongyl, Strongyloides spp. dan Toxocara spp. prevalensi berturut turut tinggi, sedang dan rendah dengan intensitas yang rendah.
Saran
Disarankan untuk pemberian obat cacing yang rutin pada ternak sapi di Kelompok Tani
Niti Sari dan disertai dengan pemberian obat anti coccidia.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Program Udayana Untuk Masyarakat (PUMA) atas dukungan materiil dan kesempatan untuk penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, KK, Darmayudha AAGO, Wirata IW. 2013. Prevalensi Toxocara vitulorum pada induk dan anak sapi bali di wilayah Bali Timur. Bull. Vet. Udayana. 5(1):1-6
Akhtar MS, Chattha MI, Chaudry AH. 1982. Comparative efficacy of santonin and piperazine against Neoascaris vitulorum in buffalo calves. J. Vet. Phamacol. Therapeutics. 5: 71-76.
Al-Shaibani IRM, Phulan MS, Arijo A, Qureshi TA. 2008. Contamination of infective larvae of gastrointestinal nematodas of sheep on communal pasture. Int. J. Aglic. Biol. 10: 653-657.
Ariawan KY, Apsari IAP, Dwinata IM. 2018.
Prevalensi infeksi nematoda
gastrointestinal pada sapi bali di lahan basah dan kering di Kabupaten Badung. Indonesia Med. Vet. 7(4): 314-323.
Baruah PK, Singh RP, Ball MK. 1980.
Treatment tirals and correction of electrolyte imbalance caused by Neoascaris vitulorum in buffalo calvet. Indian Vet. J. 4: 76-78.
Bhermana A, Haryanto B, Adrial, Munier FF. 2017. Identifikasi spasial serangan parasit cacing pada ternak sapi di Kalimantan Tengah. Proc. Sem. Nas. Teknol. Peternakan Vet. 2017: 173-183
Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada hewan dan bahayanya pada manusia. Wartazoa.15(3): 136-142.
Fitriastuti, ER, N Atikah dan NMR
Isriyanthi. 2011. Studi Penyakit Koksidiosis pada Sapi betina di 9
Propinsi di Indonesia. Balai besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Bogor.
Gunathilaka N, Niroshana D, Amarasinghe D, Udayanga L. 2018. Prevalence of gastrointestinal parasitic infection and assessment of deworming program among cattle and buffalows in Gampaha District, Sri Lanka. Biomed. Res. Int. 2018(3048373): 1-10.
Hendawy SHM. 2018. Immunity to gastrointestinal nematodes in ruminants: effector cell mechanisms and cytokines. J. Parasitic Dis. 42(4): 471–482.
Kertawirawan IPA. 2014. Identifikasi kasus penyakit gastrointestinal sapi bali dengan pola budidaya tradisional pada agroekosistem lahan kering desa Musi kecamatan Grokgak kabupaten Buleleng. Bull. Teknol. Inform. Pertanian. 12(36): 73-79.
Khozin FA. 2012. Prevalensi penyakit cacing saluran pencernaan pada sapi potong peranakan ongole (PO) dan brahman di Kecamatan Sugio Kabupaten Lamongan. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Lazar S, Altuntas F, Sahin I, Atambay M. 2004. Dysentery caused by Balantidium coli in a patient with non-Hodgkin'slymphoma from Turkey. World J. Gastroenterol. 10(3): 458-459.
Levine ND. 1995. Protozoologi Veteriner. Edisi bahasa Indonesia. Penerjemah Prof. Dr. drh. Soeprapto Soekardono, MSc. Dan Prof. Dr. Mukayat Djarubito Brotowidjojo, MSc. Gadjah Mada University Press.
Prasetyo A, Basuki S. 2010. Analisis masalah dan potensi untuk pendekatan teknologi pada sistem usaha tani terpadu tanaman sayuran dan ternak sapi. (Studi kasus di Desa Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. AGRIPLUS. 20:18-28.
Putra KYS, Apsari IAP, Suwiti NK. 2017. Infeksi Coccidia dan Strongyloides pada
sapi bali pasca pemberian mineral. Bul. Vet. Udayana. 9(2): 117–124.
Rahmawati E, Apsari IAP, Dwinata IM. 2018. Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada sapi bali di lahan basah dan kering di Kabupaten Badung. Indonesia Med. Vet. 7(4): 324-334.
Saadoon ZS, Almusawi YA. 2018. Some risk factors affecting the prevalence of Balantidium coli in cattle and their beeders in Babylon, Iraq. Int. J. Sci.Nat. 9(1): 94-96.
Santos MC, Silva BF, Amarante AFT. 2012. Environmental factors influencing the transmission of Haemonchus contortus. Vet. Parasitol. 188(3-4): 277–284.
Saputri M, Apsari IAP, Oka IBM. 2018. Prevalensi dan identifikasi protozoa gastrointestinal pada sapi bali di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Indonesia Med. Vet. 7(4): 384-392.
Soulsby EJL. 1982. Protozoa. In Helminth, Arthropods and Protozoa of domesticated animals. 7th Ed. Bailliere Tindall London. Pp. 507-759.
Suastini NK. 2020. Prevalensi infeksi Strongyloides pada sapi bali di dataran rendah dan tinggi basah Provinsi Bali. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Pp. 1–31.
Supriyanto. 2017. Pengaruh pemberian albendazole terhadap helminthiasis sapi
potong. J. Pengembangan dan Penyuluhan Pertanian. 14(25): 8-19.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2016. Veterinery Parasitology. 4th. Ed. Wiley Blackwell. West Sussex.
Taylor M. 2010. COWS Control of Worms Sustainably: Sustainable Worm Control Strategies for Cattle. Agriculture and Horticulture Development Board. UK. 44.
Wafiyatiningsih, Bariroh NR. 2012. Optimalisasi penggunaan pakan berbasis limbah sawit melalui manajemen pengendalian nematodiasis di
Kalimantan Timur. Proc. Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak.
Wisesa, IBGR, Siswanto FM, Putra TA, Oka IBM, Suratma NA. 2015. Prevalence of Balantidium spp. in bali cattle at different areas of Bali. Int. J. Agric. Forestry and Plantation. 1(49): 49-53.
Yasa IWS. 2011. Identifikasi cacing nematoda saluran pencernaan pada sapi bali yang di pelihara di Kecamatan Petang, Badung. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar.
Zalizar L. 2017. Helminthiasis saluran cerna pada sapi perah. J. Ilmu Peternakan. 27(2): 116-122.
15
Discussion and feedback