THE REPRODUCTIVE APPEARANCE OF BALINESE PIGS RAISED SEMI INTENSIVELY
on
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 1: 16-22
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Pebruari 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i01.p03
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Penampilan Reproduksi Babi Bali yang dipelihara Semi Intensif
(THE REPRODUCTIVE APPEARANCE OF BALINESE PIGS RAISED SEMI INTENSIVELY)
Wayan Bebas1*, I Wayan Gorda2
-
1Laboratorium Reproduksi dan Kemajiran, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali;
-
2Laboratorium Bedah dan Radiologi Veteriner, Departemen Klinik Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan Gg. Markisa No. 6. Denpasar, Bali.
*Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan reproduksi babi bali yang dipelihara secara semi intensif. Penelitian dilakukan di Desa Grokgak, Buleleng, secara purposive random sampling dan pendekatan eksploratif. Pengumpulan data dilakukan pada beberapa peternak dengan teknik wawancara dengan orang/kelompok peternak, tenaga inseminator (data sekunder) dan pengamatan langsung di lapangan (data primer). Tabulasi dilakukan terhadap data primer maupun sekunder dan dianalisis secara deskriptif untuk melihat rataan dan standar deviasi. Hasil penelian penampilan reproduksi menunjukkan : babi bali mulai mengalami awal estrus pada umur 6,7 ± 0,78 bulan; awal dikawinkan 7,8 ± 0,6 bulan; lama estrus 2,8 ± 0,4 hari; lama siklus estrus 17,8 ± 1,40 hari; tanda-tanda estrus : gelisah, tidak mau makan, vulvanya membengkak, diam bila punggungnya ditekan dan babi merespon dengan posisi siap kawin, babi kadang mengeluarkan air liur, dan suara lenguhan; lama kebuntingan 111,6 ± 1,50 hari; litter size 10,8 ± 0,98 ekor, umur sapih 2,5 ± 0,5 bulan; berat sapih 6,35 ± 0,79 Kg; dan estrus post partus 79,8 ± 8,02 hari. Dapat disimpulkan pemeliharaan babi bali secara semi intensif menghasilkan penampilan reproduksi yang cukup baik dan sangat menjanjikan dipelihara pada daerah yang kering karena daya adaptasi terhadap lingkungan dan pakan yang cukup baik.
Kata kunci: babi bali; penampilan reproduksi; semi intensif.
Abstract
This study aims to determine the reproductive appearance of balinese pigs that are raised semi-intensively. The research was conducted in Grokgak Village, Buleleng, by purposive random sampling and an exploratory approach. Data collection was carried out on several breeders using interview techniques with person/farmer group, inseminator (secondary data) and direct observations in the field (primary data). Tabulation is done on primary and secondary data and analyzed descriptively to see the mean and standard deviation. Reproductive appearance research results show : bali pigs began to experience early estrus at the age of 6.7 ± 0.78 months; initial mating 7.8 ± 0.6 months; duration of estrus 2.8 ± 0.4 days; cycle length of estrus 17.8 ± 1.40 days; signs of estrus: restlessness, refusing to eat, swollen vulva, silent when his back is pressed and the pigs respond in a ready to mate position, pigs sometimes salivate, and a distinctive voice; duration of pregnancy 111.6 ± 1.50 days; litter size 10.8 ± 0.98 tail, weaning age 2.5 ± 0.5 months; weaning weight 6.35 ± 0.79 Kg; and estrus postpartum 79.8 ± 8.02 days. It can be concluded that semi-intensive balinese pig rearing produces a fairly good reproductive performance and very promising to be maintained in dry areas because the adaptability to the environment and feed is quite good.
Keywords: bali pig; reproductive performance; semi intensive.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara nomor dua di dunia di bawah Brasil dalam hal keragaman flora dan fauna. Indonesia memiliki 325.350 jenis flora-fauna yang tersebar di 17.000 pulau. Namun dalam hal spesies endemis (asli), Indonesia paling kaya (Suarna dan Suryana, 2015). Sapi bali, babi bali, itik bali, jalak bali, kambing gembrong, kera ekor panjang, harimau bali, rusa bali, anjing Kintamani, kakatua jambul kuning, dan sapi putih taro adalah plasma nutfah kekayaan alam Bali yang tak ternilai harganya. Beberapa jenis diantaranya ada yang sudah punah, kritis, nyaris kritis, dan masih berkembang baik. Itik bali keberadaannya sangat sulit ditemukan sedangkan harimau bali telah lama dinyatakan punah. Kakatua jambul kuning, kambing gembrong, dan sapi putih taro populasinya saat ini dalam kondisi kritis karena jumlahnya di bawah 100 ekor. Jenis ternak lainnya masih berkembang dengan baik kecuali babi bali (asli) populasinya sudah mulai mengkhawatirkan (Suarna dan Suryana, 2015; Budaarsa, 2017).
Berdasarkan potensi genetiknya babi bali menghasilkan banyak lemak, sehingga babi bali lebih mendekati babi tipe lemak, sangat potensial untuk dijadikan babi guling (Suarna dan Suryana, 2015). Secara fisik, tekstur daging babi bali lebih lembek, karena banyak mengandung asam-asam lemak tak jenuh terutama asam lemak linoleat dan oleat, yang mengakibatkan citarasa yang sangat khas. Keberadaan lemak tak jenuh ini akan banyak mempengaruhi flavor daging. Lemak punggung dan kulit babi bali lebih tebal dari babi ras. Ini yang menjadikan kelebihan untuk babi guling, karena kulit babi guling akan lebih tebal dan lebih empuk (Budaarsa, 2017). Babi bali juga mempunyai kelebihan lain seperti cepat beradaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim, lebih sedikit membutuhkan air, mampu bertahan hidup walau diberi makan seadanya, lebih tahan terhadap berbagai penyakit, sehingga sangat cocok
dipelihara di daerah kering (Budaarsa, 2017; Suarna et al., 2015)
Meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali disinyalir memberikan dampak positif terhadap permintaan akan daging babi khususnya dalam bentuk babi guling dan pangan olahan lainnya seperti urutan, lawar, sate, jukut ares. Kebutuhan akan daging babi bali untuk menujang kegiatan adat juga semakin meningkat tiap tahunnya, ini merupakan peluang bagi peternak untuk mengembangkan usaha peternakan babi bali dalam upaya memenuhi kebutuhan daging babi bali (Agustina et al., 2016).
Selama ini babi bali masih dipelihara secara tradisional (Agustina, 2013), babi diikat di bawah pohon yang teduh/patok, sistem perkandangan yang belum memadai (seadanya), serta makanan yang diberikan secara kuantitas dan kualitas sangat rendah. Pemeliharaan babi bali yang demikian ini oleh masyarakat di Bali disebut dengan istilah tatakan banyu. Artinya babi yang dipelihara hanya sekedar penampung banyu atau segala limbah yang dihasilkan selama proses memasak di dapur kemudian diberikan kepada ternak babi agar limbah tersebut tidak terbuang, maka dipeliharalah babi satu sampai dua ekor dalam satu rumah tangga (Sudiastra dan Budaarsa, 2015). Sejalan dengan perkembangan jaman, pengetahuan peternak, dan peningkatan permintaan daging babi bali, peternak mulai meningkatkan sistem pemeliharaan babi bali ke semi intensif. Babi mulai dipelihara dalam kandang semi permanen, lantai diplester, dinding ditembok batako, ada tempat pakan dan air minum, beratap genteng/seng. Jumlah babi yang dipelihara 5-10 ekor (Putri et al., 2018). Pemberian pakan masih
memamfaatkan limbah rumah tangga dan pertanian seperti batang pisang, ketela rambat, ketela pohon, kangkung, daun pepaya, daun pisang dan hijauan lainnya, tapi yang dominan adalah batang pisang sekitar 95%. Pemberian hijauan dalam bentuk segar dan direbus. Kandungan batang pisang utamanya adalah air, serat
kasar dan mineral Zn (Hartadi et al., 1990; Budaarsa et al., 2013).
Didarapkan dengan sistem
pemeliharaan semi intensif dapat meningkatkan performa produksi dan reproduksinya. Performa reproduksi pada babi betina meliputi awal mulainnya estrus, lama siklus estrus, tanda-tanda estrus, lama kebuntingan, litter size, umur sapih, berat sapih, dan estrus pos partus, Sampai saat sekarang, informasi/data dasar mengenai performa reproduksi babi bali yang dipelihara secara semi intensif masih sangat terbatas berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah penelitian mengenai
penampilan reproduksi babi bali yang dipelihara secara semi intensif.
METODE PENELITIAN
Sampel Penelitian
Hewan coba yang digunakan adalah babi bali milik dari beberapa peternak yang dikandangkan secara semi intensif. Sistem perkandangan sudah mulai mendapat perhatian, lantai mulai diplester, dinding menggunakan tembok batako/ bilah bambu, ada tempat pakan dan tempat air minum, beratap genteng/seng/asbes. Pakan yang diberikan merupakan limbah pertanian dan limbah rumah tangga seperti batang pisang, kangkung, ketela rambat, ketela pohon, daun pepaya, daun pisang dan hijauan lainnya, sisa nasi, air tajin, nasi aking, dedak padi dan yang lainnya. Makanan ini dicampur kemudian direbus, dan juga ada diberi dalam bentuk segar. Hewan coba sebelum dipakai penelitian dilakukan pemeriksaan terhadap kesehatannya berupa pemeriksaan ektoparasit dan endoparasit serta pemberian vitamin. Alat yang digunakan berupa timbangan gantung untuk menimbang berat badan anak umur sapih.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada beberapa peternak dengan teknik wawancara dengan orang/organisasi yang berperan seperti kelompok peternak, tenaga
inseminator (data sekunder) dan observasi langsung di lapangan (data primer). Penelitian dilakukan di Desa Grokgak, Kabupaten Buleleng. Pengamatan awal munculnya estrus dilakukan dimana babi saat memulai estrus yang pertama kali, lalu dilakukan pencatatan terhadap umur babi saat mulai munculnya estrus pertama. Lamanya estrus adalah waktu mulai babi menampakkan estrus sampai estrusnya berakhir. Lamaya babi mengalami estrus dilakukan pencatatan. Lamanya siklus estrus adalah lamanya waktu dari estrus sampai munculnya estrus berikutnya lalu dilakukan pencatatan. Tanda tanda estrus, dilakukan pengamatan terhadap tingkah laku terhadap babi yang sedang estrus beserta tanda tanda yang muncul dari saluran reproduksi babi selama estrus. Lama kebuntingan dihitung mulai dari babi dikawinkan sampai melahirkan anak. Litter Ssize adalah jumlah anak yang dilahirkan dalam sekali melahirkan. Umur sapih adalah waktu yang dibutuhkan dari anak babi dari lahir sampai dilakukan penyapihan dari induk. Berat sapih adalah berat badan anak babi saat dilakukan penyapihan dengan cara ditimbang. Estrus pos partus adalah waktu yang dibutuhkan oleh induk dari saat melahirkan sampai munculnya estrus kembali.
Analisis Data
Tabulasi data dilakukan terhadap data primer maupun sekunder dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Analisis statistik deskritif digunakan untuk melihat rataan dan Standar Deviasi (SD).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Sistem pemeliharaan ternak babi bali yang digunakan sebagai sampel adalah ternak babi bali yang dipelihara secara semi intensif. Babi dipelihara dalam kandang semi permanen dengan lantai sudah diplester, dinding terbuat dari tembok batako, ada tempat pakan dan sekalian sebagai tempat air minum yang juga terbuat
dari plesteran, atapnya sudah beratap asbes atau menggunakan seng. Jumlah babi yang dipelihara 1- 2 ekor. Babi masih di ikat menggunakan tali dengan ukuran panjang 1,5 – 2 meter. Panjang tali ikatan hampir sama seperti pada babi yang dipelihara secara tradisional yang diikat di bawah pohon (Sumardani et al., 2017). Pengikatan dilakukan untuk jaga jaga agar babi tidak lepas dan meloncati dinding kandang, dengan diikat peternak lebih mudah melakukan kontak fisik dengan babinya, lebih mudah mengelus-elus babinya saat pemberian makan, lebih mudah memberikan kasih sayang dengan harapan makannya tambah lahap dan cepat tumbuh besar. Kedekatannya dengan babinya lebih memudahkan juga untuk mengontrol kesehatan ternak babinya. Peternak belum memikirkan kapasitas kandang dengan induk yang dipelihara. Peternak ingin melihat babinya nyaman beraktifitas, dengan tali ikatan sepanjang 1,5- 2 meter merupakan diameter babi untuk melakukan aktifitas.
Pemberian pakan masih memamfaatkan limbah rumah tangga dan pertanian. Limbah rumah tangga berupa banyu (air tajin), sisa dapur, nasi aking/sengauk lungsuran habis menghaturkan sesajen. Limbah pertanian seperti batang pisang, bungkil kelapa (usam), kangkung, ketela rambat, ketela pohon, dedak padi, daun pepaya, daun pisang, dan hijauan lainnya, tapi yang dominan adalah batang pisang. Cara pemberian dalam bentuk segar dengan mengiris tipis batang pisang, atau hijauan lainnya dan ditaruh pada tempat makan, tetapi sebagian besar peternak melakukan perebusan terlebih dahulu. Beberapa peternak sudah memberikan makan tambahan berupa dedak padi dan polar dengan cara mencampur dengan makanan yang sudah direbus ditempat makannya. Jumlah pakan yang diberikan oleh beberapa peternak sampai babi merasa kenyang baru dihentikan.
Pemeliharaan ternak babi secara semi intensif akan memberikan dampak yang
lebih nyaman pada ternak babi, jika dibandingkan pemeliharaan secara tradisional. Peternakan secara tradisiona memberikan kesan kumuh dan kurang enak dipandang mata. Pada pemeliharaan secara tradisional lantai kandang tidak dipelester sehinga tanah disekitarnya akan selalu lembab dan becek seperti kolam lumpur, akibat dari limbah kotoran ternak yang bercampur dengan urine, sisa-sisa pakan ternak yang tumpah, sehingga babi akan terlihat selalu kotor. Ini mengakibatkan ternak babi sangat rawan terinfeksi oleh kuman, atau parasit cacing. Ini semakin parah ketika dimusim hujan.
Pengamatan penampilan reproduksi babi bali yang dipelihara secara semi intensif meliputi dewasa kelamin yaitu keadaan dimana mulai berfungsinya alat kelamin menghasilkan spermatozoa untuk yang jantan atau sel telur untuk yang betina. Babi bali betina calon induk yang dipelihara oleh peternak di Desa Grokgak mengalami dewasa kelamin dengan kisaran umur 6 - 8 bulan denngan rerata ± SD (6,7 ± 0,78 bulan), sedangkan babi bali yang dipelihara secara tradisional di Kabupaten karangasem mencapai dewasa kelamin pada umur 6.65 ± 2.18 (Sumardani dan Ardika, 2016), sedangkan dewasa kelamin babi bali yang dipelihara secara tradisional di Kecamatan Nusa Penida, Kubu, dan Grokgak dicapai pada umur 6-7 bulan (Widiastra et al., 2016). Ketiga hasil penelitian tersebut hampir sejalan, ini disebabkan karena genetik babi bali untuk mencapai dewasa kelamin dicapai pada kisaran umur 6,7 ± 0,78 bulan.
Pemeliharaan dengan sistem kandang semi intensi dan tradisional memberikan usia dewasa kelamin yang hampir sama.
Pada saat munculnya estrus pertama, peternak belum mau mengawinkan babi betinanya karena menunggu babi betina mengalami dewas tubuh, dengan membuang estrus satu sampai dua kali. Peternak mengawinkan babinya pada kisaran umur 7,8 ± 0,6 bulan, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sumardani
dan Ardika (2016), di Kabupaten Karangasem pada kisaran umur 7.98 ± 2.05 bulan, sedangkan (Sudiastra el al., 2016) melaporkan mengawinkan babi betina yang
dipelihara secara tradisional di Kecamatan Nusa Penida, Kubu, dan Grokgak dilakukan pada umur 8 bulan.
Tabel 1. Penampilan reproduksi babi bali yang dipelihara secara semi intensif
Penampilan reproduksi babi bali |
Ⴟ ± SD |
Awal munculnya estrus (bulan) |
6,7 ± 0,78 |
Awal dikawinkan |
7,8 ± 0,6 |
Lamanya estrus (hari) |
2,8 ± 0,4 |
Lamanya siklus estrus (hari) |
17,8 ± 1,40 |
Tanda tanda estrus |
gelisah, tidak mau makan, vulvanya membengkak, diam bila punggungnya ditekan dan babi merespon dengan posisi siap kawin, babi kadang mengeluarkan air liur, dan sura lenguhan. |
Lama kebuntingan (hari) |
111,6 ± 1,50 |
Litter size /jumlah anak per kelahiran (ekoer) |
10,8 ± 0,98 |
Umur sapih (bulan) |
2,5 ± 0,5 |
Berat sapih (Kg) |
6,35 ± 0,79 |
Estrus setelah melahirkan (hari) |
79,8 ± 8,02 |
Pembahasan
Estrus adalah kondisi dimana ternak betina ingin atau mau dikawini oleh pejantan. Gejala estrus babi bali adalah babi gelisah, tidak mau makan, vulvanya membengkak, diam bila punggungnya dilakukan penekanan dan babi akan merespon dengan posisi siap kawin, babi kadang mengeluarkan air liur., dan suara lenguhan. Gejala estrus ini juga sama seperti yang dilaporka oleh Sumardani dan Ardika (2016,) dan juga Sudiastra el al. (2016).
Lama birahi babi bali di Grokgak adalah 2,8 ± 0,4 hari, selama birahi babi betina mau dikawini oleh pejantan. Lama birahi babi bali di Kabupaten Karangasem adalah 2.97 ± 1.69 hari (Sumardani dan Ardika, 2016), ada juga yang melaporkan selama 3 hari (Sudiastra el al., 2016). Umumnya peternak mengawinkan babinya pada hari ke 2 dari mulai munculnya birahi. Mereka tidak mau mengawinkan pada birahi hari pertama dengan alasan puncak birahi terjadi pada hari ke 2, supaya
nantinya melahirkan banyak anak. Peternak di Desa Grokgak mengawinkan babinya masih menggunakan kawin alami, dengan mendatangkan pejantan babi bali ke kandang betina.
Lamanya siklus estrus adalah lamanya waktu dari estrus sampai munculnya estrus berikutnya. Apabila babi betina tidak dikawinkan sudah tentu tidak akan terjadi kebuntingan, dan itu akan menyebakan terjadinya estrus kembali. Lamanya siklus estrus babi bali adalah 17,8 ± 1,40 hari. Lama siklus estrus babi di Karangasem berkisar 16.65 ± 3.20, (Sumardani dan Ardika, 2016), ada juga yang melaporkan 15-20 hari (Sudiastra el al., 2016). Kisaran normal siklus estrus pada babi adalah 18 – 20 hari (Feradis, 2010)
Jumlah anak dalam satu kali kelahiran/litter size babi yang dipelihara di Grokgak dengan kandang semi intensif adalah 10,8 ± 0,98 ekor. sedangkan di Karangasem adalah 6.98 ± 2.37 ekor (Sumardani dan Ardika, 2016), sedangkan di kecamatan Nusa Penida, Kubu, dan Grokgak masing masing berkisar 10, 10-14,
dan 10-14 ekor. (Sudiastra el al., 2016). Ketiga hasil penelitian ini ada sedikit keragaman diantara daerah tempat penelitian, hal ini disebakan karena di Nusa Penida litters sizenya paling banyak hanya10 ekor. di daerah Kubu dan Gerokgak Buleleng bisa mencapai 14 ekor, ini mungkin ada hubungannya dengan jumlah puting susu induk. Di Nusa Penida sebagian besar induk babi mempunyai puting susu hanya 10 buah. Sedangkan di Kubu dan Gerokgak sebagian besar 14 buah atau 7 pasang. Sebenarnya semakin banyak puting susu yang aktif semakin baik induk tersebut, sehingga jika anaknya 10 ekor, maka ada cadangan puting susu untuk anak-anaknya sehingga semua anak memdapatkan air susu (Sudiastra et al., 2016).
Penyapihan anak babi di Desa Grokgak dilakukan pada kisaran umur 2,5 ± 0,5 bulan. penyapihan juga dilakukan pada umur 2-3 bulan (Sumardani et al., 2017; Sudiastra et al., 2016). Penyapihan merupakan pemisahan anak babi dari induknya yang dapat mengakibatkan anak babi menangis atau berteriak memanggil induknya sesaat setelah disapih. Jumlah tangisan atau teriakan anak babi sebagai pertanda anak babi merasa tidak nyaman dan dapat mengakibatkan stress. Penyapihan anak babi bali pada umur 2-3 bulan dapat mengurangi tingkat stress terhadap anaknya, dan anak babi sudah bisa mandiri untuk makan dan minum serta menjaga kehangatan badannya.
Anak babi yang disapih pada umur 2-3 bulan mempunyai kisara berat badan 7,15 ± 1,01 Kg, hampir sama dengan yang dilaporkan (Sumardani dan Ardika, 2016), yang melakukan penimbangan berat badan anak babi bali umur sapih 2-3 bulan dengan berat badan 7 Kg. Lama penyapihan dilakukan pada ternak biasanya pada umur 2 bulan tetapi dapat dipersingkat dengan perlakuan tertentu. Adapun bobot badan anak babi sebelum disapih tergantung terhadap produksi dan kemampuan anak babi untuk mengkonsumsi susu dari
induknya (Sinaga dan Martini, 2010). Pada masa prapenyapihan, pertambahan bobot badan anak babi bergantung pada produksi air susu serta kemampuan anak babi untuk konsumsi air susu (Nangoy et al. 2015). Bobot sapih anak babi merupakan indikator dari produksi air susu induknya, serta beberapa fakor yang mempengaruhi bobot sapih antara lain kesehatan anak babi, produksi airs usu induk dan cara pemberian pakan. Faktor genetik dan kemampuan induk membesarkan anaknya serta pengelolaan selama masa prasapih juga mempengaruhi bobot sapih (Tribudi et al., 2018).
Estrus pos partus adalah waktu yang dibutuhkan oleh induk dari saat melahirkan sampai munculnya estrus kembali. Estrus pos partus babi bali yang dipelihara secara semi intensif di Desa Grokgak adalah 79,8 ± 8,02 hari. Angka ini diperolah dari masa menyusui sampai sapih 2-3 bulan, ditambah setelah sapih akan munculnya estrus 7-10 hari.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelian penampilan reproduksi babi bali yang dipelihara secara semi intensif dapat disimpulkan bahwa : babi bali mulai mengalami awal estrus pada umur 6,7 ± 0,78 bulan; awal dikawinkan 7,8 ± 0,6 bulan; lama estrus 2,8 ± 0,4 hari; lama siklus estrus 17,8 ± 1,40 hari; tanda-tanda estrus : gelisah, tidak mau makan, vulvanya membengkak, diam bila punggungnya ditekan dan babi merespon dengan posisi siap kawin, babi kadang mengeluarkan air liur, dan suara lenguhan; lama kebuntingan 111,6 ± 1,50 hari; litter size 10,8 ± 0,98 ekor, umur sapih 2,5 ± 0,5 bulan; berat sapih 6,35 ± 0,79 Kg; dan estrus pos partus 79,8 ± 8,02 hari.
Saran
Saat ini pemeliharaan babi bali cendrung dilakukan oleh masyaraakat yang berpenghasilan rendah dan berlokasi di
daerah yang kritis, karena adaptasi babi babi terhadap lingkungan dan makanan yang mengagumkan. Potensi ini perlu dikembangkan untuk memelihara babi bali dengan memberikan pakan yang sesuai dengan standar kebutuhan babi bali dan dipelihara dengan menagemen
perkandangan yang baik untuk mengetahui potensi babi bali yang sesungguhnya menyangkut pertumbuhan dan penampilan reproduksinya dan kualitas dagingnya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis berterimakasih kepada LPPM dan FKH Universitas Udayana, serta Tim peneliti yang telah memfasilitasi pelaksanaan penelitian ini hingga selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina KK. 2013. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali. Bul. Vet. Udayana. 5(2): 131–138.
Agustina KK, Wirata IW, Dharmayudha AAGO, Kardena IM, Dharmawan NS.
2016. Increasing farmer income by improved pig management systems. Bul. Vet. Udayana. 8(2): 122–127.
Budaarsa KN, Tirta N, Budiasa KM, Astawa PA. 2013. Hijauan pakan babi dan cara penggunaannya pada peternakan babi tradisonal di Provinsi Bali. Disampaikan pada Seminar Nasional II Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HIPTI) di Denpasar 28-29 Juni 2013.
Budaarsa K. 2017. Babi bali plasma nutfah yang harus dikendalikan
https://www.unud.ac.id/in/suarapakar2 -Babi-Bali-Plasma-Nutfah-yang-harus-dilestarikan.html.Diakses 23 November 2019.
Feradis. Reproduksi Ternak. 2010.
Alfabeta. Bandung.
Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD. 1990. Tabel komposisi pakan untuk Indonesia. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Nangoy M, Najoan M, Soputan. 2015. Pengaruh bobot lahir dengan penampilan anak babi sampai disapih. J. Zootek. 35(1): 138-150.
Putri TI, Mariani NNP, Puger AW. 2018. Pemetaan budidaya babi bali di Bali. Majalah Ilmiah Peternakan. 21(3);
120-122.
Sinaga S, Martini S. 2010. Pemberian berbagai dosis curcuminoid pada ransum babi periode starter dan efisiensi ransum. J. Ilmu Ternak. 10(2): 95-101.
Suarna IW, Suryana NN. 2015. Peluang dan tantangan pengembangan ternak babi bali di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. Majalah Ilmiah
Peternakan. 18(2): 61-64.
Suarna IW, Suryani NN, Trisnadewi AAAS. 2015. Plasma nutfah babi bali yang terpendam. J. Bumi Lestari. 15(2): 103-108.
Sudiastra W, Budaarsa K. 2015. Studi ragam eksterior dan karakteristik reproduksi babi bali. Majalah Ilmiah Peternakan. 18(3): 100-105.
Sudiastra W, Budaarsa K, Puger AW. 2016. Karakteristik dan morfometrik babi bali. Proc. Seminar nasional.
Peningkatan kualitas produksi ternak babi nasional. Menado 30 Nopember 2016.
Sumardani NLG, Ardika IN. 2016. Populasi dan performa reproduksi babi bali betina di Kabupaten Karangasem sebagai plasma nutfah asli Bali. Majalah Ilmiah Peternakan. 19(3):
105-109.
Sumardani NLG, Suberata IW, Rasna NMA, Ardika IN. 2017. Performa reproduksi babi bali jantan di Provinsi Bali sebagai plasma nutfah asli Bali. Majalah Ilmiah Peternakan. 20(2): 7378.
Tribudi YA, Tohardi A. 2018. Estimate heritability of birth and weaning weights of duroc and yorkshire pig. J. Trop.l Anim. Prod. 19(1): 46-52.
22
Discussion and feedback