Volume 14 No. 5: 531-540

Oktober 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i05.p13

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Identifikasi Jenis Lalat Tidak Penghisap Darah pada Peternakan Babi di Bali

(IDENTIFICATION OF NON-BLOODSUCKING FLIES ON PIG FARM IN BALI)

Alice Viria Cordeiro da Costa Xavier1*, I Made Dwinata2, Ida Bagus Made Oka2 1Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Sanglah, Denpasar, Bali; Indonesia, 80234;

2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl.

PB. Sudirman, Sanglah, Denpasar, Bali; Indonesia, 80234

*Email: [email protected]

Abstrak

Lalat merupakan ektoparasit yang berperan sebagai vektor penyakit dan keberadaanya sangat mempengaruhi kesehatan ternak Babi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis dan fluktuasi jumlah lalat tidak penghisap darah pada peternakan babi yang berlokasi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Koleksi lalat dilakukan pada peternakan babi semi intensif dengan periode penangkapan setiap minggu selama 3 bulan. Objek penelitian yang digunakan adalah lalat yang di tangkap dengan menggunakan lem perekat dan sweeping net kemudian diawetkan menggunakan alkohol 70%. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon. Hasil identifikasi menunjukan bahwa jenis lalat tidak penghisap darah yang terdapat pada peternakan babi di kota Denpasar dan di Kabupaten Badung adalah lalat Musca sp. sebanyak 2.383 ekor (96,99%), Lucilia sp. sebanyak 56 ekor (2,28%) dan Fannia sp. sebanyak 18 ekor (0,73%). Selama 12 minggu pengamatan terjadi fluktuasi dengan penurunan populasi lalat paling tinggi pada minggu ke 3 (November) dan 10 (Januari) sementara peningkatan terjadi pada minggu ke-5 (Desember) sampai minggu ke-9 (Januari). Hasil analisis statistik dari lalat tidak penghisap darah dengan Uji Wilcoxon Signed Rank Test didapatkan output tes statistic diketahui bernilai 0,028 menunjukan rata-rata jumlah lalat tidak penghisap darah pada peternakan babi di kota Denpasar secara nyata lebih besar (P<0.05) dibandingkan rata-rata jumlah lalat tidak penghisap darah di kabupaten Badung.

Kata kunci: Lalat tidak penghisap darah; ternakan babi

Abstract

Flies are ectoparasites that act as vectors of disease and their existence greatly affects the health of pigs. The purpose of this study was to identify the types and fluctuations in the number of flies that do not suck blood in pig farms in Badung Regency and Denpasar City. The fly collection was carried out on a semi-intensive pig farm with a period of every week for three months. In this study, flies were caught using flypaper glue and sweeping net and then euthanized with 70% alcohol. The data obtained were presented descriptively and analyzed using the Wilcoxon test. The identification results showed that the type of non-blood-sucking flies found in pig farms in Badung Regency and Denpasar City was Musca sp. as many as 2,383 tails (96.99%), Lucilia sp. as 56 tails (2.28%) and Fannia sp. as 18 tails (0.73%). During the 12 weeks of observation, fluctuations occurred with the highest decrease in fly population in the 3rd week (November) and 10th (January) while the increase occurred in the 5th week (December) to the 9th week (January). The results of statistical analysis of non-blood-sucking flies using the Wilcoxon Signed Rank Test, obtained statistical test output was known to be worth 0.028, indicating that the average number of non-blood-sucking flies on pig farms in Denpasar was significantly greater (P<0.05) than the average number of non-blood-sucking flies in Badung Regency.

Keywords: Non-bloodsucking flies; pig farm

PENDAHULUAN

Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lainnya, diantaranya: laju pertumbuhan yang cepat, mudah berkembangbiak, mudah mencari sumber pakan serta nilai karkas cukup tinggi (Nugroho dan Whendrato, 1990). Babi

mempunyai peranan penting bagi masyarakat baik sebagai sumber protein hewani, pendapatan, lapangan pekerjaan, tabungan serta penghasil pupuk (DPKP Bali, 2012). Peternakan babi di Bali tersebar diseluruh kabupaten, salah satunya di Kabupaten Badung tersebar di Kecamatan Abiansemal, Petang, dan Mengwi serta di Kota Denpasar di Desa Padangsambian Kaja. Kebutuhan akan daging babi di Kabupaten Badung cukup tinggi karena merupakan salah satu daerah pariwisata yang banyak dikunjungi wisatawan baik mancanegara maupun domestik yang mengkomsumsi daging babi (Purba et al., 2014).

Kegiatan usaha budidaya ternak babi di pemukiman padat penduduk akan menimbulkan permasalahan yang komplek terhadap lingkungan hidup. Permasalahan yang paling sering dijumpai dari peternakan babi adalah dampak kotoran dan urine yang menyebabkan bau tidak sedap. Permasalahan lingkungan tersebut sebagian besar disebabkan oleh limbah organik yang tidak terurai dengan baik, sehingga menimbulkan bau, gas beracun dan dampak lainnya yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan produksi (Budaarsa et al., 2014).

Lalat termasuk ektoparasit yang merupakan vektor penyakit dari agen virus, bakteri, protozoa, dan telur cacing (Chaiwong et al., 2014). Lalat merupakan vektor mekanis dari berbagai macam penyakit, terutama penyakit-penyakit pada saluran pencernaan. Penyakit yang ditularkan oleh lalat tergantung sepesiesnya, lalat rumah Musca domestica dapat menularkan penyakit berbagai protozoa seperti Entamoeba histolytica, E.

coli, Giardia intestinalis dan beberapa telur cacing diantaranya cacing Enterobius vermicularis, Ascaris lumbricoides, Ancylostoma sp., Necator americanus, cacing pita (Taenia sp., Dipylidium caninum), dan cacing Trichuris trichiura (Sigit et al., 2006). Lee (2002) melaporkan kejadian myiasis pada ternak di daerah endemik bisa mencapai 95% yang juga bisa bersifat zoonosis. Kejadian myiasis jarang menyebabkan kematian tetapi kerugian ekonomi yang ditimbulkannya cukup besar, karena bisa menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan dan produksi susu, penurunan kualitas kulit, wol, abortus dan gangguan sistem pertahanan tubuh hospes (Kaswardjono et al., 2019).

Cuaca atau iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan serangga khususnya lalat. Lalat sering berpindah ke tempat yang kotor untuk kemudian berpindah ke makanan atau tubuh manusia atau hewan karena hidup dan tersebar pada populasi padat dan dapat berperan sebagai polinator serta dapat bertindak sebagai vektor pada banyak agen pathogen (Ihsan et al., 2016). Faktor lainnya yang disenangi lalat adalah tempat yang kotor dan basah seperti kotoran hewan yang lembab merupakan tempat perindukan lalat rumah yang paling utama, Sampah dan sisa makanan dari hasil olahan serta permukaan kotor dan terbuka (Sucipto, 2011).

Dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kupang di padang penggembalaan dan kandang ternak sapi menemukan dominasi spesies terbanyak pada spesies lalat Musca domestica sebanyak (84,35%), lalat Musca stabulans (0,67%), Fannia Canicularis (0,32%), Haematobia irritans (0,56%) dan Tabanus striatus     (0,04)     (Oematan     dan

Moenek,2018). Selanjutnya hasil penelitian survei kepadatang lalat di TPA. Sampah Jatibarang adalah Chrysomya megacephala (66%), Musca domestica (22%) dan Lucilia sericata (12%) (Masyhuda et al., 2017).

Hasil penelitian mengenai Keanekaragaman Spesies Lalat dan jumlah individu lalat (Diptera) yang ditemukan di Pasar Induk Jakabaring Palembang sebanyak 127 ekor lalat Musca Domestica, 56 ekor Lalat Chrysomya megacephala, 21 ekor Lucillia sp. 2 ekor Sarcophaga sp. dan 26 ekor Fannia sp. (Putri, 2018).

Timbulnya bau yang tidak sedap dan didukung oleh keadaan lingkungan yang kotor dengan kelembaban yang tinggi sehingga merangsang lalat tidak penghisap darah (lalat pengganggu) menyelesaikan siklus hidupnya di tempat tersebut. Selain sebagai vektor mekanik beberapa agen pathogen, lalat juga akan mengganggu kenyamanan hidup dari babi dan pada akhirnya akan berdampak penurunan produksi. Laporan mengenai identifikasi jenis lalat tidak penghisap darah pada peternakan babi di Bali belum pernah dilaporkan, maka dari itu penulis melakukan penelitian untuk mengetahui jenis-jenis lalat tidak penghisap darah pada peternakan babi di Bali.

METODE PENELITIAN

Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah lalat tidak penghisap darah pada ternak babi yang dipelihara di peternakan yang berada di wilayah Denpasar Barat dan Kabupaten Badung yang ditentukan secara purposive sampling. Periode penangkapan lalat dilakukan setiap minggu selama 3 bulan. Pengambilan sampel dilakukan di dua peternakan babi di Bali yang berbeda di Desa Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar dan Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

Rancagan Penelitian

Rancangan Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilakukan pada peternakan babi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Sampel lalat dikumpulkan dari peternakan yang berada di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Pertama dilakukan pengamatan pada

sekitar kandang ternak, tumpukan sampah, pakan dan tubuh ternak babi yang diamati secara keseluruhan kemudian dilihat apakah terinfestasi lalat. Jika ditemukan adanya lalat, maka dapat ditangkap menggunakan lem perekat lalat yang ditempatkan secara random di kandang dan sekitarnya beserta sweeping net dengan cara mengayunkan ke arah kemudian lalat dimasukkan ke dalam pot sampel direndam dengan larutan alkohol 70% sebagai pengawet sampai merendam seluruh lalat, kemudian diberi label yang memuat keterangan untuk dapat dijadikan sebagai penanda setiap sampel.

Identifikasi Lalat

Sampel yang telah terkumpul selanjutnya akan diidentifikasi di Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Pemeriksaan sampel dilakukan dengan cara lalat dalam larutan pengawet dituangkan ke dalam telapa petri, kemudian diamati menggunakan mikroskop sterio dan diidentifikasi berdasarkan morfologi dan warnanya. Untuk keperluan identifikasi lalat, menggunakan kunci identifikasi Marshall et al., (2011) dan Pictorial keys (1966).

Analisis Data

Data hasil pemeriksaan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui hubungan antara dua peternakan yang berbeda terhadap infestasi dan fluktuasi lalat tidak penghisap darah dan diuji dengan uji Wilcoxon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil penelitian yang dilakukan pada peternakan babi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung selama 3 bulan berhasil ditangkap lalat tidak penghisap darah berjumlah 2.457 ekor. Jumlah lalat yang ditemukan di peternakan Kota Denpasar sebanyak 1.464 ekor sedangkan di Kabupaten Badung sebanyak 993 ekor lalat. Identifikasi Jenis lalat terdiri dari lalat Musca sp. sebanyak 2.383 ekor (96,99%),

Lucilia sp. sebanyak 56 ekor (2,28%) dan Fannia sp. sebanyak 18 ekor (0,73%). Ringkasannya seperti terlihat pada Tabel 1.

Musca sp.

Morfologi Musca sp. memiliki alat mulut proboscis dengan bagian ujung (labela) melebar dan memiliki struktur seperti spons yang berfungsi untuk menyerap makanan, memiliki vena sayap ke- 4 membentuk sudut yang miring agak tertutup ke distal dan pada bagian toraks berwarna kelabu memiliki empat garis hitam panjang serta abdomen berwarna kuning (Gambar 1). Ditemukannya Musca sp. paling banyak pada penelitian ini dikarenakan lalat ini tertarik pada tumpukan pakan ternak seperti ampas tahu, konsentrat karena berbau dan termasuk hewan omnivorous (pemakan segala) yang mampu berkembang biak pada kotoran, makanan ternak yang basah, dan bahan organik lainnya yang biasa terdapat pada peternakan yang kurang saniter. Hasil penelitian Putra (2016), menjelaskan bahwa M. domestica memiliki dominansi tertinggi dibandingkan spesies lainnya karena memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi yang menyebabkan ia mampu hidup di berbagai kondisi lingkungan. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian dari Oematan dan Moenek (2018) pada peternakan sapi semi ektensif di Kabupaten Kupang yang menemukan jenis yang sama yaitu lalat Musca domestica dan Fannia canicularis dimana menurut Lilies (1991) bahwa lalat ini merupakan spesies lalat dari famili Muscidae yang selalu dapat ditemukan di semua tempat atau bersifat Kosmopolitan.

Fannia sp.

Hasil pengamatan dari morfologi Fannia sp. memiliki proboscis yang bertipe menjilat, memiliki venasi sayap ke-4 yang lurus atau sejajar dan bentuk umum yang berukuran sedang hingga lebih kecil dari Musca domestica degan tubuh beserta kaki berwarna hitam (Gambar 3). Fannia sp. ditemukan pada peternakan Babi sebab

berdekatan dengan kandang unggas. Menurut Borror et al. (1992), Fannia sp. berkembangbiak di kotoran manusia dan hewan dan juga dibagian-bagian tumbuhan yang membusuk. Studi lain juga melaporkan bahwa keberadaan Fannia sp. sering ditemukan di fasilitas unggas dan sering menyerang peternakan ayam petelur (Rezende et al., 2018).

Lucilia sp.

Lalat Lucilia sp. memiliki alat mulut proboscis yang dilengkapi labelum untuk menghisap dan menjilat cairan, venasi sayap ke-4 bersudut tajam dan sedikit melengkung ke dalam, memiliki variasi warna tubuh dari hijau metalik, biru metalik sampai hijau kecoklatan metalik, bentuk tubuh yang bulat hingga oval dengan panjang bervariasi (Gambar 2). Lalat betina memiliki mata kanan dan kiri yang terpisah sementara lalat jantan memiliki mata yang menyatu.

Pembahasan

Lucilia sp. ditemukan di peternakan babi, hal ini dikarenakan kondisi peternakan babi lebih mendukung untuk hidup dan berkembangbiak lalat ini, karena disekitar lokasi terdapat genangan air, tumpukan limbah ternak maupun sampah, dan bau busuk yang tercium lebih menyegat dibandingkan kandang sapi yang akhirnya dapat mendukung untuk perkembangan hidup lalat. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Laili (2017) bahwa, selain menyukai bangkai lalat ini juga menyukai sampah dan biasa memasukan larvanya kedalam bangkai, sampah dan kotoran lainnya. Famili Calliphoridae mempunyai alat deteksi atau chemical detector dan visual detector untuk mendeteksi sumber makanan bahkan dalam jarak yang jauh. Sementara lalat Lucilia sp. sendiri juga merupakan anggota famili Calliphoridae, dan seperti lalat hijau lainnya, Lucilia sp. sering ditemukan di sekitar bangkai, kotoran, dan sampah (Rueda et al., 2010). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian dari Oematan dan Moenek (2018) pada peternakan sapi dimana jenis

Lucilia tidak ditemukan, perbedaan hasil ini dapat disebabkan oleh perbedaan sistem pemeliharaan secara semi ekstensif pada sapi dengan semi intensif pada babi dimana akumulasi bau dari limbah ternak babi lebih cenderung menyengat dan mendatangkan lalat daripada ternak sapi yang dipelihara secara semi ekstensif di daerah terbuka dan luas seperti padang pengembalaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Torr et al. (2006) bahwa luas wilayah peternakan yang tidak terlalu lebar sehingga mengakibatkan bau khas yang dihasilkan oleh ternak akan tercium lebih kuat oleh lalat pengganggu.

Hasil dari penangkapan lalat tidak penghisap darah pada peternakan babi di Kota Denpasar pada minggu 1–12 (November - Januari) secara berurutan adalah sebanyak 88, 122, 68, 142, 189, 184, 88, 111, 133, 81, 138 dan 120 ekor. Sedangkan hasil penangkapan lalat tidak penghisap darah pada peternakan babi di Kabupaten Badung pada minggu 1 – 12 secara berurutan adalah sebanyak 56, 133, 90,52,86, 83, 91,94, 102, 88, 69 dan 49 ekor (Gambar 4)

Pada grafik (Gambar 4) dapat dilihat bahwa total lalat tidak penghisap darah yang paling banyak ditangkap di kota Denpasar pada minggu ke-5 dan paling sedikit pada minggu ke-3. Sementara pada kabupaten Badung yang paling banyak ditangkap pada minggu ke-2 dan paling sedikit pada minggu ke-12. Secara umum, peternakan babi di kota Denpasar, terjadi peningkatan awal dari minggu ke 4 sampai 6 (Desember) dan terakhir di minggu ke 8 sampai 9 (Januari), sedangkan penurunan tinggi jumlah populasi lalat pada minggu ke 3 (November) dan di minggu ke 10 (Januari). Untuk Kabupaten Badung secara umum terjadi peningkatan dari minggu ke 5 (Desember) sampai 9 (Januari) sementara penurunan awal jumlah populasi lalat terjadi pada minggu ke 3 (November) dan kembali menurun pada minggu ke 10 sampai 12 (Januari).

Hasil analisis statistik dari lalat tidak penghisap darah dengan Uji Wilcoxon Signed Rank Test didapatkan output tes

statistic diketahui asymp sig. (2-tailed) bernilai 0,028 menunjukan rata - rata jumlah lalat tidak penghisap darah pada peternakan babi di kota Denpasar secara nyata lebih besar (P<0.05) dibandingkan rata-rata jumlah lalat tidak penghisap darah di kabupaten Badung. Perbedaan hasil ini terjadi karena terdapat perbedaan kondisi lingkungan anatara dua peternakan tersebut dimana pada peternakan di Kota Denpasar kondisi lingkungan dan sanitasi di kandang maupun sekitarnya kurang higienis serta tidak dikelolah dengan baik seperti terdapatnya penumpukan sampah, pakan dan pembuangan limbah ternak yang menumpuk di selokan atau got disekitar kandang sehingga menghasilkan akumulasi bau yang cenderung menyegat menjadikan daya tarik untuk perkembangbiakan jenis lalat penganggu dalam peternakan dan tersbut dan mengalami siklus hidup tetap. Kondisi peternakan yang kurang memperhatikan kebersihan kandang dan sekitarnya cenderung mendatangkan lalat Musca sp., Lucilia sp. dan Fannia sp., ditambah dengan adanya pemeliharaan ternak unggas yang berdekatan dengan kandang babi tersebut. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Kurniawan (2013) bahwa media pembiakan lalat yang disukai adalah kotoran ayam, kuda, kotoran babi dan kotoran burung. Hasil penelitian Rezende et al. (2018) menunjukkan bahwa lalat dari genus Fannia sp. sering ditemukan pada peternakan ayam petelur. Menurut Borror et al. (1992), Fannia sp. berkembangbiak di kotoran manusia dan hewan dan juga dibagian-bagian tumbuhan yang membusuk. Sementara pada peternakan babi di Kabupaten Badung dikarenakan kondisi kandang yang selalu saniter, terdapatnya kali dibelakan peternakan dan jarang terdapat tumpukan sampah di sekitar kandang sehingga indikasi dari lalat tersebut sedikit minim. Kondisi kandang yang bersih dapat berpengaruh pada tingkat kepadatan lalat (Zuroida dan Azizah, 2018).

Penurunan populasi lalat pada peternakan di kota Denpasar dan

Kabupaten Badung terjadi pada minggu ke 3 (November) dan 10 (Januari). Faktor ini dipengaruhi oleh peningkatan suhu dan kelembaban sehingga dapat mempengaruhi aktifitas lalat dimana berdasarkan laporan cuaca dari BMKG kelas III Denpasar (2021) selama penelitian berlangsung suhu di kota Denpasar pada bulan tersebut rata-rata diatas 24-35oC dengan kelembaban rata-rata diatas 60-95% sedangkan di Kabupaten Badung, suhu dan kelembaban diatas rata-rata 24-31OC dan 70-95% dimana dapat berpengaruh terhadap aktifitas lalat. Seperti yang di laporkan Oematan et al. (2019) bahwa suhu dan kelembaban merupakan faktor pendukung, lalat akan beraktifitas pada suhu 20-31OC maka lalat akan banyak teramati terutama pada saat pagi hingga siang hari pukul 09.00 hingga 12.00. Setelah itu aktifitas kebanyakan lalat akan menurun dan akan meningkat lagi pada sore hari antara jam 16.00-18.00. Selain itu lalat tampaknya mencari tempat berlindung dari matahari langsung yang panas di siang hari pukul 12.00. Menurut Clark et al. (1982) bahwa jumlah lalat sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, pada pagi hari terutama pukul 06.00-09.00 jumlah relatif lalat rumah sangat banyak karena suhu rata-rata 23oC dengan kelembaban relatif 68% memungkinkan bagi lalat untuk memulai aktifitasnya. Suhu tinggi dan rendah dapat mengakibatkan daya tahan hidup lalat menjadi rendah (Ihsan et al., 2016). Jika kelembaban udara kurang dari 600% atau lebih dari 900% maka tidak mendukung untuk pertumbuhan lalat (Sinaga dan Emita, 2021).

Peningkatan Populasi lalat pada peternakan babi di kota Denpasar dan kabupaten Badung terjadi pada awal bulan desember dari minggu ke-5 (Desember) sampai minggu ke-9 (Januari). Hal ini terjadi dikarenakan pada bulan tersebut terjadi peningkatan curah hujan yang dapat meningkatkan populasi lalat. Menurut data dari BMKG kelas II Jembrana (2021), curah hujan pada bulan Desember di

Kabupaten Badung dan Kota Denpasar berkisar dari tingkat menengah 201 mm sampai 400 mm tingkat tinggi di atas normal. Meningkatnya populasi lalat pada musim penghujan dipengaruhi oleh aktivitas mencari tempat bertelur terutama pada bahan-bahan organik yang membusuk, tempat ini menjadi tempat penting untuk siklus hidup lalat, sejak dari telur menjadi larva hingga akhirnya menjadi bentuk dewasa (Ahmed et al., 2005).

Menurut Manurung et al. (2012) bahwa adanya pengaruh faktor abiotik lingkungan seperti jumlah curah hujan dalam mempengaruhi kelimpahan dan dinamika populasi lalat, berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan selama 3 bulan dari awal bulan (November 2020-Januari 2021) dimana merupakan awal musim hujan di provinsi Bali sementara data yang didapatkan dari BMKG menunjukan bahwa curah hujan di kabupaten Badung dan kota Denpasar mulai dari tingkat menengah sampai tinggi. Hal ini juga diperkuat oleh laporan dari Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa puncak curah hujan di Bali akan terjadi pada Desember 2020 hingga Januari 2021 pada periode itu curah hujan berpotensi meningkat 50% Karnawati (2020). Kondisi lingkungan yang sesuai seperti kelembapan dan curah hujan yang sesuai akan memungkinkan pertumbuhan larva menjadi bentuk dewasa dengan cepat (Vazquez et al., 2004).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa jenis lalat tidak penghisap darah yang terdapat pada peternakan babi di kota Denpasar dan di Kabupaten Badung adalah lalat Musca sp. sebanyak 2.383 ekor (96,99%), Lucilia sp. sebanyak 56 ekor (2,28%) dan Fannia sp. sebanyak 18 ekor (0,73%). Populasi lalat pada peternakan babi di kota Denpasar dan kabupaten Badung selama 12 minggu

pengamatan terjadi fluktuasi dengan penurunan populasi lalat paling tinggi pada minggu ke 3 (November) dan 10 (Januari) sementara peningkatan terjadi pada minggu ke-5 (Desember) sampai minggu ke-9 (januari).

Saran

Dari hasil ini dapat disarankan kepada peternakan babi harus lebih meningkatkan sanitasi lingkungan kandang dan sekitar dengan membuang sampah pada tempat sampah yang dikelola dengan baik dan menerapkan biosekuriti yang baik. Penelitian dapat dilanjutkan dengan memperbanyak tempat yang diteliti pada periode musim yang berbeda sehingga dapat diketahui fluktuasi lalat pada musim hujan dan kemarau.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Peternakan Pak Leong di desa Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar dan Peternakan Maha di desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, yang telah mengizinkan saya untuk penelitian di peternakan tersebut, serta para pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed AB, Okiwelu SN, Samdi SM. 2005.

Species diversity, abundance and seasonal occurrence of some bitng flies in Southern Kaduna, Nigeria. Travel Med. Infect. Dis. 8: 113-118.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.    2021. Data    Suhu,

Kelembaban, dan  Curah  Hujan.

Denpasar.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2020. Buletin Analisis Hujan dan Prakiraan Hujan Bulanan Provinsi Bali.Stasiun Klimatologi Klas II Jembrana.

http://iklim.bali.bmkg.go.id/2021/01/1

9/informasi-iklim-januari-2021/.(15 Februari 2020)

Borrorn DJ, Triplehorn CA, Johson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. 6th Ed. Terjemahan S. Partosoejono, M.Sc. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Budaarsa K. 2014. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi. Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar Bali.05-Agustus 2014. Denpasar.

Chaiwong T, Srivoramas T, Sueabsamran P, Sukontason K, Sanford MR, Sukontason KL. 2014. The Blow Fly, Chrysomya megacephala, and the House Fly, Musca domestica, as Mechanical        Vectors        of

Pathogenicbacteria in Northeast Thailand. Trop. Biomed. 31(2): 336346.

Clark LR, Geier PW, Hunges RD, Morris RF.  1982. The Ecology of Insect

Population in Theory and Practice. Chapman and Hall Ltd.London New York. Pp.10-21.

Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan, Denpasar (DPKP) Bali. 2012. Potensi Babi di Bali. Indonesia Investment Coordinating Board. Direktorat Pengembangan Potensi Daerah BKPM.

Dodge  HR.  1966. Pictorial keys to

arthropods, reptiles, birds and mammals of republic health significance, US. Department of Health, Education and Welfare, Public Health Service, Bureau of Disease Prevention and Enviromental Control, National Communicable Center. Atlanta, Georgia. Pp. 120-133.

Ihsan IM, Rini H, dan Hadi UK. 2016. Pengaruh suhu udara terhadap fekunditas    dan    perkembangan

pradewasa lalat rumah (Musca Domestica). J. Teknol. Lingk. 17(2):

100-107.

Kaswardjono Y, Indarjulianto S, Nururrozi A, dan Purnamaningsih H. 2019. Myiasis pada ruminansia: diagnosis,

manajemen terapi dan pencegahan. J. Ilmu Peternakan Vet. Trop. 9(2): 67-75.

Karnawati D. 2020. BMKG: Puncak Hujan di Bali December – Januari. Dalam iNews.id. Bali: iNewsBali.id.

Kurniawan HAE. 2013. Studi deskrptif tingkat kepadatan lalat di pemukiman sekitar rumah pemotongan unggas (RPU)    Penggaron    Kelurahan

Penggaron    Kidul    Kecamatan

Pedurungan Kota Semarang. Unnes J. Pub. Health. 2(4): 1-13.

Laili A. 2017. Identifikasi jenis lalat pada tempat pembuangan sampah di kawasan pasar renteng dan potensinya sebagai kajian mata kuliah ekologi hewan. Skripsi. Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan (FITK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram.

Lee J. 2002. Hunting Screwworm fly. Proc. Screwworm fly emergency preparedness conference Canberra. Departement of agriculture fisheries and forestry Australia. Canberra, 12-15 November 2001. Pp. 85–91.

Lilies CS. 1991. Kunci determinasi serangga program nasional pelatihan dan pengembangan pengendalian hama terpadu. Yogyakarta: Kanisius. Edisi 1. Pp. 223.

Manurung B, Prastowo P, Tarigan EE. 2012. Pola aktivitas harian dan dinamika populasi lalat buah Bactrocera dorsalis complex pada pertanaman jeruk di dataran tinggi Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. J. Hama dan Penyakit Tumbuhan Trop. 12(2): 103-110.

Marshall SA, Whitworth T, Roscoe L. 2011. Blow flies (Diptera: Calliphoridae) of eastern Canada with a key to Calliphoridae subfamilies and genera of eastern North America, and a key to the eastern Canadian species of Calliphorinae,     Luciliinae     and

Chrysomyiinae. Can. J. Arthropod Identification. 11: 1-93.

Masyhuda, Hestiningsih R, Rahadian R. 2017. Survei kepadatan lalat di tempat

pembuangan akhir (TPA) sampah Jatibarang. J. Kes. Mas. 5(4): 560-569.

Nugroho E, Whendrato i. 1990. Raising Pigs. Eka Offset: Semarang. Pp. 51-55.

Oematan AB,  Moenek DYJ.  2018.

Keragaman  Dan Aktifitas  Lalat

Pengganggu Di Peternakan Sapi Semi Ekstensif. J. Kajian Vet. 23(2): 722729.

Oematan AB, Sakan GY, Lenda V. 2019. Studi keragaman jenis dan pola aktivitas harian lalat di peternakan sapi semi ekstensif di Kelurahan Tuatuka Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. J. Kajian Vet. 7(2): 101-106 .

Purba IO, Budiasa MK, Ardana KB. 2014. Penampilan Reproduksi Induk Babi Landrace yang Dipelihara Secara Intensif di Kabupaten Badung. Indon. Med. Vet. 3(2): 163-168.

Putra AK, Soviana S, Hadi UK. 2016. Ragam jenis dan aktifitas lalat di kawasan usaha peternakan sapi perah cibungbulang Kabupaten Bogor. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Putri YP. 2018. Taksonomi lalat di pasar induk jakabaring Kota Palembang. J. Ilmiah Matematika Ilmu Pengetahuan Alam.15(2):105-111.

Rezende LC, Oliveira TM, Texeira CM, Oliveira PR, Martins NRS, Cunha PM. 2018. Occurrence and epidemiology of fannia spp.(diptera: fanniidae) in laying poultry farms in state of Minas Gerais, Brazil. Braz. J. Poult. Sci. 20(3): 419424.

Rueda LC, Ortega LG, Segura NA, Acero VM dan Bello F. 2010. Lucilia sericata strain from Colombia: Experimental colonization, life tables and evaluation of two artificial diets of the blowfly Lucilia sericata (Meigen) (Diptera: Calliphoridae), Bogota, Colombia strain. Biol. Res. 43(2): 197–203.

Scott HG, Scott, Borrom ME. 1962. Domestic Flies: Pictorial Key to Common Species. US. Department of Health Education and Welfare, Public

Health Service, Communicable Disease Center, Training Branch, Atlanta, Georgia. USA.

Sigit SH, Hadi UK. 2006. Hama permukiman Indonesia, pengenalan, biologi dan pengendalian. Bogor: Unit Kajian     Pengendalian     Hama

Permukiman (UKPHP).

Sinaga JL dan Emita.2021. Identifikasi morfologi kepadatan species lalat dan upaya pengendalian di pusat pasar berastagi Kabupaten Karo. J. Ilmiah Pannmed. 16(1): 125-129.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Domesticated Animals. 7th Ed.

Bailliere Tidall–London.

Sucipto CD. 2011. Vektor Penyakit Tropis. Yogyakarta: Goysen Publishing.

Torr SJ, Mangwiro TNC, Hall DR.2006. The effects of host physiology on the attraction of tsetse (Diptera: Glossinidae) and Stomoxys (Diptera: Muscidae) to cattle. Bul. Entomol. Res. 96: 71-84.

Vazquez CC, Mendoza IV, Parra MR, Vazquez ZG. 2004. Influence of perature, humidity and rainfall on field population trend of stomoxy calcitrans (diptera:  muscidae) in a semiarid

climate in Mexico. Parasitol. Latino. 59: 99-103.

Zuroida R, Azizah R. 2018. Cages sanitation and health complaints among dairy farmers in Murukan Village, Jombang . J. Kes. Ling. 10(4): 434-440.

Tabel.1 Jumlah dan persentase jenis lalat tidak penghisap darah pada peternakan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

Jenis Lalat

Jumlah (ekor)

Presentase (%)

Musca sp.

2.383

96,99

Lucilia sp.

56

2,28

Fannia sp.

18

0,73

Total (%)

2.457

A.



B.

C.



Gambar 1. Keterangan: (A). Proboscis, (B). Venasi Sayap, (C). Bentuk Umum Musca sp.

A.




Gambar 3. Keterangan: (A). Proboscis, (B). Venasi Sayap, (C). Bentuk Umum Fannia sp.

A.




C.



Gambar 3. Keterangan: (A). Proboscis (B). Venasi Sayap, (C). Bentuk Umum Lucilia sp.

Fluktuasi Jumlah Lalat Tidak Penghisap Darah di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung

200

180

160

140

120

100

80

60

40

20

0



«■■■■■MKOTA DENPASAR

^^^^^^KABUPATEN BADUNG


M.1  M.2M.3

88   12268

56   13390

M.4  M.5M.6

142  189184

52   8683

M.7  M.8M.9

88   111133

91   94102

M.10 M.11 M.12

81   138120

88   6949

Gambar 4. Grafik distribusi fluktuasi jumlah lalat tidak penghisap darah pada peternakan babi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

540