Volume 14 No. 6: 736-742

Desember 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i06.p17

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Deteksi Residu Antibiotik pada Daging Ayam Broiler dan Itik Serta Tingkat Kesadaran Peternak di Wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali

(DETECTION OF ANTIBIOTIC RESIDUALS IN BROILER CHICKEN AND DUCKS AND

LEVEL OF FARMERS AWARENESS IN SELEMADEG TIMUR TABANAN OF BALI)

Fitri Indah Permatasari1*, I Nengah Kerta Besung2, Hapsari Mahatmi2

  • 1Mahasiswa Magister Kedoktera Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia 80234;

  • 2Laboratorium Bakteriologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia 80234.

*Email: [email protected]

Abstrak

Konsumsi masyarakat terhadap daging ayam khususnya ayam broiler dan itik terus meningkat namun masih belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Berbagai upaya ditempuh peternak agar meningkatkan hasil produksinya dengan meningkatkan kuantitas ternaknya dan perbaikan manajemen peternakan. Pemerintah telah melarang penggunaan antibiotik pada Undang-Undang No. 41 Tahun 2014. Adanya undang-undang ini perlu dievaluasi terhadap produk ternak yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya residu antibiotik dan juga untuk mengetahui tingkat kesadaran peternak terhadap residu antibiotik pada daging ayam broiler dan itik di wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif secara kualitatif menggunakan uji sampel daging ayam dan itik dengan bioassay di BBvet Denpasar serta melalui pemberian kuesioner kepada peternak di wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali. Jumlah sampel sebanyak 10 sampel daging ayam, 2 sampel daging itik dan 15 sampel kuesioner peternak. Berdasarkan hasil uji bioassay, didapatkan bahwa semua sampel negatif residu antibiotik tetrasiklin, aminoglikosisa, makrolida, dan penisilin. Selain itu berdasarkan hasil data kuesioner tingkat kesadaran masyarakat terhadap penggunaan antibiotik dan bahaya residu antibiotik pada daging sangat tinggi. Sehingga daging ayam di wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali masih dikatakan aman untuk dikonsumsi. Namun masih perlunya pengawasan dari pemerintah dan dokter hewan terkait penggunaan antiobiotik agar produk hasil ternak tetap terjaga kualitasnya.

Kata kunci: Antibiotik; broiler; itik; residu.

Abstract

Public consumption of chicken meat, especially broiler and duck, continues to increase. Various efforts have been taken by farmers to increase their production by increasing the quantity of their livestock and improving livestock management. The government has banned the use of antibiotics under Law no. 41 of 2014. The existence of this law needs to be evaluated on livestock products produced. This study aims to determine the presence of antibiotic residues and also to determine the level of awareness of farmers to antibiotic residues in broiler chicken and duck meat in the Selemadeg Timur Tabanan of Bali. This research is a descriptive study by detecting samples of chicken and duck meat using bioassays at BBVet Denpasar and by giving questionnaires to farmer. The number of samples was 10 samples of chicken meat, 2 samples of duck meat, and 15 samples kuesioner. Based on the results of the bioassay test, it was found that all samples were negative for residues of tetracycline antibiotics, aminoglycosides, macrolides, and penicillin. In addition, based on the results of questionnaire data, the level of public awareness of the use of antibiotics and the dangers of antibiotic residues in meat is very high. So that chicken meat in Selemadeg Timur Tabanan Bali is still said to be safe for consumption. However, there is still a need for supervision from the government and veterinarians regarding the use of antibiotics so that the quality of livestock products is maintained.

Keywords: Antibiotic; broiler; duck; residues

PENDAHULUAN

Konsumsi masyarakat terhadap daging ayam khususnya ayam broiler dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data statistik dari tahun 2017 hingga tahun 2021 rata-rata konsumsi daging ayam broiler di Indonesia mampu mencapai 0,538 Kg perkapita perbulannya (BPS, 2021). Selain daging ayam, daging itik juga mulai digemari masyarakat. Kebutuhan daging itik juga terus meningkat hingga memenuhi 0,94% dari kebutuhan daging secara nasional (Putra, 2016). Daging ayam menjadi pilihan masyarakat karena memiliki harga yang relatif lebih murah (Cohen et al., 2007), sumber protein hewani yang baik karena memiliki asam amino esensial yang lengkap dengan jumlah perbandingan yang seimbang (Harjrawati et al., 2016), serta menjadi salah satu bahan makanan bergizi tinggi, memiliki tekstur daging yang lunak, rasa dan aroma enak (Jaelani et al., 2014).

Salah satu upaya yang dilakukan peternak untuk memenuhi kebutuhan konsumen yaitu dengan menggunakan feed additive yang berfungsi untuk meningkatkan performa unggas ayam broiler dan itik agar lebih optimal. Penggunaan feed additive seperti antibiotik telah marak digunakan, terutama pada pakan komersial. Hal ini terbukti pada data Ditjenak (2006) yang menyatakan bahwa kebutuhan antibiotika untuk pakan dan pengobatan tahun 2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat menjadi 5.574,16 ton pada tahun 2005, dan penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar antara lain 80% digunakan untuk unggas.

Antibiotika merupakan senyawa kimia yang dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme (kecuali virus). Antibiotik digunakan sebagai pencegah infeksi penyakit dan pemacu pertumbuhan pada ayam broiler. Dampak dari penggunaan antibiotik pada ayam yaitu akan meninggalkan residu pada karkas ayam dan dapat menimbulkan masalah resistensi pada konsumen karena jumlah subterapetik yang

diterima secara terus-menerus. Selain resisensi residu antibiotik juga dapat menyebabkan reaksi alergi, toksisitas, mempengaruhi flora usus, respon immun, serta dapat pengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi (Etikaningrum dan Iwantoro, 2017). Antibiotika yang paling sering dideteksi dalam daging yaitu penisilin (termasuk ampisilin), tetrasiklin (termasuk khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin), sulfonamid (termasuk sulfadimethoksin, sulfamethazin dan sulfamethoksazol), neomisin, gentamisin, dan streptomisin) (Cundawan et al., 2020).

Pengujian residu antibiotik dapat dilakukan dengan pengujian cepat, bioassay (BSN, 2008), Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Wang et al., 2009) dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Uji screening dengan bioassay merupakan uji kualitatif yang mudah untuk digunakan. Pada uji ini dapat digunakan pada ukuran sampel yang besar dan tidak terlalu mahal serta hasil uji negatif palsu sangat kecil. Sedangkan uji ELISA dan HPLC sering digunakan untuk menganalisis residu antibiotik secara kuantitatif dan spesifik terhadap antibiotik tertentu (Widiasih et al., 2019).

Mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya residu antibiotik maka pemerintah mengeluarkan kebijakan pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 pasal 22 ayat 4 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada peraturan tersebut pemerintah melarang menggunakan pakan yang dicampur hormone tertentu dan/atau antibiotik pada imbuhan pakan. Setelah adanya peraturan pemerintah ini diharapkan dapat berpengaruh terhadap kasus penggunaan antibiotik di peternakan.

Menurut Purnawarman dan Efendi (2020), praktik penggunaan antibiotik oleh peternak yang tidak sesuai aturan menjadi faktor yang dapat menyebabkan masih ditemukannya residu antibiotik pada daging broiler. Oleh sebab itu, penelitian ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui residu antibiotik pada daging ayam broiler dan itik

dan menganalisis tingkat kesadaran peternak akan bahaya residu antibiotik di wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali. Sehingga hasil yang didapatkan pada penelitian dapat memastikan bahwa tidak adanya peternak yang melanggar peraturan UU serta mampu menjamin keamanan pangan asal hewan khususnya daging ayam broiler dan itik di wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali.

METODE PENELITIAN

Sampel

Pengambilan sampel dilakukan kepada pedagang di wilayah Kecamatan Selemadeg Timur Tabanan Bali yang terdiri dari 4 Sampel daging ayam dan 2 sampel daging itik dari pasar tradisional Megati, 2 sampel wilayah Gunung Salak, dan 4 di wilayah Gadungan. Langkah pertama dalam pengambilan sampel yaitu mencuci tangan dengan larutan alkohol 70%. Sampel daging ayam dimasukkan dalam plastik steril kemudian diikat dan dimasukkan ke dalam kotak sampel yang telah disiapkan. Kemudian sampel diuji residu antibiotik menggunakan metode bioassay di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar.

Uji Residu Antibiotik

Pengujian Residu antibiotik pada daging ayam broiler dan itik dilakukan dengan metode tapis secara bioassay berdasarkan (SNI 7424:2008) (BSN, 2008). Pengujian dilakukan terhadap empat jenis antibiotik yaitu penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida. Biakan bakteri menggunakan Bacilluss tearothermophilus untuk penisilin, Bacillus cereus untuk tetrasiklin, Bacillus subtillis untuk aminoglikosida, dan Micrococcus luteus untuk antibiotik makrolida.

Data kuesioner

Wilayah Kecamatan Selemadeg Timur Tabanan Bali memiliki 15 peternakan ayam broiler. kuesioner diberikan kepada 14 peternak pada wilayah Kecamatan Selemadeg Timur Tabanan Bali

berdasarkan acuan tabel Krejcie. Pengukuran tingkat kesadaran peternak terhadap penggunaan antibiotik di peternakan dan juga tingkat kesadaran akan bahaya residu antibiotik pada daging ayam broiler dilakukan berdasarkan 8 pertanyaan penilaian.

Analisis Data

Data residu antibiotika dan kesadaran peternak dianalisis secara deskriptif dengan mentabulasikan hasil residu antibiotik yang positif dan negatif. Analisis tingkat kesadaran peternak dengan mencandrakan hasil dari hasil survei.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil uji residu antibiotik menggunakan bioassay menunjukan bahwa semua sampel daging ayam ras broiler tidak mengandung residu antibiotik tetrasiklin, aminoglikosisa, makrolida, dan penisilin. Hal tersebut sama seperti sampel daging itik yang menunjukkan hasil negatif tersaji pada Tabel 1.

Pembahasan

Berdasarkan hasil tersebut ada beberapa kemungkinan diantaranya bahwa semua sampel daging ayam ras broiler tidak mengandung residu antibiotik tetrasiklin, aminoglikosisa, makrolida, dan penisilin. Berdasarkan hasil tersebut ada beberapa kemungkinan diantaranya peternak broiler sudah mengerti dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat. Hal ini sesuai dengan penelitian Nadzifah (2019) yang menyatakan bahwa tidak ditemukannya keberadaan residu tetrasiklin pada daging broiler, karena peternak broiler telah mengerti penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Nadzifah et al., 2019). Penelitian lain dari Aniza et al. (2019) juga menjelaskan bahwa 32 sampel daging ayam dan 13 sampel daging sapi negatif residu antibiotik tetrasiklin menggunakan metode Thin Layer Chromatography (TLC) (Aniza et al.,

2019). Kemungkinan pertama ini telah didukung dengan dengan hasil kuesioner peternak pada tabel 5.2.1 dimana tingkat pengetahuan peternak terhadap penggunaan antibiotik meningkat setelah diterbitkannya UU.

Kemungkinan kedua yaitu peternak masih menggunakan pakan dengan kandungan antibiotik namun tidak sampai terdeteksi pada daging ayam broiler. Kondisi seperti ini sama seperti yang telah dilakukan oleh Nadzifah et al. (2019), dimana hasil penelitian menunjukkan semua sampel daging ayam broiler negatif residu antibiotik namun menunjukkan hasil positif pada 3 sampel pengujian residu antibiotik pada pakan ayam broiler. Hal ini disebabkan karena dosis penggunaan dalam pakan rendah (kandungan antara 0,40- 0,52 mg/kg), sehingga tidak menimbulkan residu dalam daging broiler. Selain itu apabila dilakukan penghentian pemberian antibiotik sebagai feed additive maka antibiotik di dalam tubuh broiler akan dimetabolisir dan diekskresi keluar tubuh, sehingga kadar residu di dalam jaringan tubuh broiler diharapkan akan menurun (Nadzifah et al., 2019).

Antibiotik yang ditambahkan dalam pakan sebagai growth promoter diberikan dengan dosis rendah atau di bawah dosis pengobatan, karena targetnya adalah bakteri pada permukaan saluran pencernaan, sehingga pemberian dosis rendah atau di bawah dosis pengobatan diharapkan tidak terdistribusi jauh hingga ke dalam organ dan tidak meninggalkan adanya residu pada daging (Nadzifah et al., 2019). Kemungkinan kedua ini juga didukung oleh hasil pada Tabel 1 yang menjelaskan bahwa masih adanya peternak yang menggunakan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan. Penggunaan antibiotik ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di beberapa wilayah Negara lain seperti Eropa dan Amerika. Pada penelitian Treiber dan Heide (2021), menjelaskan bahwa terdapat 16 temuan jenis residu antibiotik pada peternakan

unggas pada wilayah Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa. Eropa telah melarang penambahan antibiotik ke pakan ternak sebagai tindakan pencegahan dalam kaitannya dengan penghindaran penyakit di peternakan. Selain itu, Uni Eropa juga telah memperkenalkan nilai batas maksimum untuk setiap residu antibiotik. Namun dengan adanya nilai batas tersebut tidak menjamin tidak adanya residu antibiotik. Banyak faktor yang menyebabkan beberapa kasus temuan residu antibiotik masih ditemukan di produk olahan khususnya daging. Beberapa faktor tersebut yaitu waktu yang dibutuhkan setiap antibiotik untuk dipecah atau diekskresikan sering kali kurang, tidak ada pengawasan yang lengkap mulai dari peresepan hingga penggunaan zat yaitu metode deteksi seringkali tidak memadai atau tidak tersedia sama sekali, untuk memenuhi nilai batas dan belum adanya sistem sertifikasi produk pangan asal hewan berkaitan dengan produk makanan olahan khususnya daging ayam (Treiber dan Heide, 2021).

Menurut Aniza et al. (2019), pakan yang mengandung antibiotik jika diberikan pada unggas akan berinteraksi dengan jaringan (organ). Jika pakan yang mengandung antibiotik dalam jumlah yang kecil, pengaruh yang ditimbulkan tidak akan secara langsung namun akan berefek kronis dan tetap berada dalam tubuh unggas. Sisa metabolit dari senyawa antibiotik pada tubuh unggas sebagian akan dikeluarkan melalui urin dan feses, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan di dalam jaringan (organ tubuh) yang disebut sebagai residu. Jika pakan dicampur antibiotik secara terus menerus, akan menimbulkan adanya akumulasi residu di dalam jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi antara organ tubuh.

Kemungkinan ketiga kandungan residu dalam sampel daging broiler terlalu rendah karena pengujian residu antibiotik secara boassay memiliki batas deteksi 0,05 ppm. Kandungan residu antibiotik golongan tetrasiklin     dan     penisilin     yang

dipersyaratkan dalam SNI No: 01 - 63662000 adalah 0,1 mg/kg, sehingga bisa dikatakan daging broiler pada di wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali masih dalam kondisi aman untuk dikonsumsi. Sedangkan hasil kuesioner isian peternak disajikan pada tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 didapatkan bahwa jumlah peternak yang mengetahui jenis antibiotik yang sering diberikan pada ternak unggas seperti tetrasiklin, penisilin, aminoglikosida, dan makrolida sangat tinggi yaitu mencapai 70%. Selain itu tingkat pemahaman peternak mengenai fungsi antibiotik juga sangat tinggi dengan persentase sampel mencapai 80%. Hal ini menggambarkan bahwa jenis antibiotik ini telah banyak dikenal penggunaannya di peternak wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali.

Berdasarkan Tabel 2 didapatkan bahwa peternak sudah tidak lagi menggunakan antibiotik untuk imbuhan pakan (feed additive). Tingginya kesadaran peternak akan penggunaan antibiotik pada daging ayam broiler sejalan dengan larangan pemerintah pada Undang-Undang No. 41 tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada peraturan tersebut pemerintah jelas melarang menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan. Berdasarkan data dari Ditjen Kesehatan Hewan menyatakan bahwa sejak tahun 2018 hingga 2021 sebagian masyarakat telah mengganti imbuhan pakan antibiotik dengan beberapa alternatif seperti herbal, probiotik, vitamin, dan prebiotik. Hal tersebut juga telah sejalan dengan penggunaan antibiotik untuk memacu pertumbuhan (growth promoter). Dimana 90 % masyarakat tidak menggunakan antibiotik untuk memacu pertumbuhan (growth promoter). Seiring dengan tingginya kesadaran yang dimiliki peternak, tentunya masih perlu pengawasan yang ketat dari pemerintah dan juga dokter hewan. Hal ini dikarenakan masih sangat tingginya ketidaktahuan peternak terkait

perundang undangan yang telah dikeluarkan pemerintah.

Selain tingkat kesadaran peternak terkait penggunaan antibiotik pada unggas, tingkat pengetahuan peternak terkait bahaya residu antibiotik pada daging ayam juga cukup tinggi. Hal ini juga sejalan dengan hasil uji sampel daging ayam di wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali yang menunjukkan semua sampel negatif residu antibiotik tetrasiklin, penisilin, aminoglikosida, dan makrolida.

Adanya pelarangan penggunaan antibiotik pada imbuhan pakan pada Undang-Undang No. 41 tahun 2014 telah memberikan pengaruh baik pada tingkat kesadaran peternak serta kasus pengunaan antibiotik pada unggas. Hal ini sesuai dengan hasil yang ditunjukkan pada Tabel 2 yang menjelaskan bahwa penggunaan antibiotik sebagai feed additive berkurang dari 12,5 % hingga tidak ada lagi peternak yang menggunakan antibiotik sebagai feed additive berkurang untuk saat ini. Hal yang sama terjadi pada penggunaan antibiotik untuk memacu pertumbuhan (growth promoter) dari 25 % sebelum diterbitkan UU menjadi 20 % setelah diterbitkan UU. Berdasarkan Tabel 2, selain berkurangnya kasus penggunaan antibiotik pada unggas, adanya UU pelarangan penggunaan antibiotik pada imbuhan pakan juga mampu meningkatkan tingkat kesadaran peternak terhadap adanya residu yang ada pada daging ayam beserta dampak negatif yang ditimbulkannya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan residu penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida pada daging ayam broiler dan itik di wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali. Tingkat kesadaran peternak terhadap penggunaan antibiotik dan bahaya residu antibiotik pada daging ayam broiler sangat tinggi.

Saran

Saran yang perlu diperbaiki yaitu dilakukan uji terhadap antibiotik jenis yang lain. Selain itu perlunya uji residu antibiotik menggunakan metode yang lebih sensitif.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Besar Veteriner yang bertugas di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner atas ijin dan kesempatan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Aniza SN, Ary A, Indah L. 2019. Analisis residu antibiotik tetrasiklin pada daging ayam broiler dan daging sapi. J. Sain Health. 3(2): 22-32.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2000. Batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan.

Badan Pusat Statistik, 2018. Rata-rata konsumsi per kapita seminggu beberapa macam bahan makanan penting, 20072018. BPS. Indonesia.

Cundawan AJ, Sudira IW, Siswanto. 2020. Uji residu antibiotika pada hati sapi bali di beberapa pasar daerah di Provinsi Bali. Bul. Vet. Udayana 12(1): 39-44.

Cohen N, Ennaji H, Bouchrif B, Hassar M, Karib H. 2007. Comparative study of microbiological quality of raw poultry meat at various seasons and for different slaughtering processes in Casablanca (Morocco). J. of Appl. Poult. Res. 16(4): 502-508.

Etikaningrum, Iwantoro S. 2017. Kajian residu antibiotika pada produk ternak

unggas di Indonesia. J. Ilmu Produksi Teknol. Hasil Peternakan 5(1): 29-33.

Hajrawati, Fadliah M, Wahyuni, Arief II. 2016. Kualitas fisik, mikrobiologis, dan organoleptik daging ayam broiler pada pasar tradisional di Bogor. J. Ilmu Produksi Teknol. Hasil Peternakan 4(3): 386-389.

Jaelani A, Dharmawati S, Wanda. 2014. Berbagai lama penyimpanan daging ayam broiler segar dalam kemasan plastik pada lemari es (suhu 400) dan pengaruhnya terhadap sifat fisik dan organoleptik. Ziraa’ah. 39(3): 119-128.

Nadzifah N, Sjofjan O, Irfan H, Djunaidi. 2019. Kajian residu antibiotik pada karkas broiler dari beberapa kemitraan di Kabupaten Blitar. J. Trop. Anim. Prod. 20(2): 165-171.

Purnawarman T, Efendi R. 2020. Pengetahuan, sikap, dan praktik peternak dalam penggunaan antibiotik pada ayam broiler di Kabupaten Subang. Acta Veterinaria Indonesiana 8(3): 4855.

Putra TG. 2016. Uji kualitas daging bebek yang beredar di Nabire. J. Fapertanak. 1(1): 1-10.

Treiber FM, Heide BK. 2021. Antimicrobial residues in food from animal origin—a review of the literature focusing on products collected in stores and markets worldwide. J. Antibiotics. 10(534): 1-15.

Wang S, Xu B, Zhang Y, He JX. 2009. Development of enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for the detection of neomycin residues in pig muscle, chicken muscle, egg, fish, milk and kidney. Meat Sci. 82(1): 53-58.

Tabel 1. Hasil pengujian residu tetrasiklin, aminoglikosisa, makrolida, dan penisilin pada

sampel ayam ras broiler dan itik di wilayah Selemadeg Timur Tabanan Bali.

No

Jenis Sampel

Jumlah sampel

Hasil1)

A

B

C

D

1

Daging ayam

10 Sampel

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

2

Daging itik

2 Sampel

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Tabel 2. Hasil kuesioner indikator tingkat kesadaran peternak

Sub Variabel

Sebelum ada UU         Setelah ada UU

Persentase   Kriteria   Persentase       Kriteria

Pengetahuan antibiotik

Fungsi antibiotik

Penggunaan antibiotik untuk imbuhan pakan

Penggunaan antibiotik untuk memacu pertumbuhan Penggunaan antibiotik tanpa pengawasan

Peraturan larangan penggunaan pakan dicampur antibiotik Pengetahuan residu Pengetahuan bahaya residu antibiotik

25 %    Rendah    70 %     Sangat Tinggi

50 %     Sedang     80 %     Sangat Tinggi

12,5 %    Rendah     0 %        Rendah

37,5 %    Sedang     10 %       Rendah

25 %    Rendah    20 %       Rendah

0 %     Rendah    20 %       Rendah

0 %     Rendah    70 %        Tinggi

0 %     Rendah    60 %        Tinggi

742