PREVALENCE OF ISOSPORA SPP. INFECTION IN CATS IN DENPASAR CITY
on
Volume 14 No. 6: 743-750
Desember 2022
DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i06.p18
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Prevalensi Infeksi Isospora spp. pada Kucing di Kota Denpasar
(PREVALENCE OF ISOSPORA SPP. INFECTION IN CATS IN DENPASAR CITY)
Nelviana Mesquita1, Nyoman Adi Suratma2*, I Made Dwinata2
-
1Mahasiswa Sarjana Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;
-
2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;
*Email: [email protected]
Abstrak
Kucing adalah salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia dengan berbagai macam ras, dan sebagai hewan kesayangan yang mendapatkan perhatian untuk dipelihara dan dikembangbiakkan. Protozoa gastrointestinal yang umum menginfeksi kucing adalah Gardia felis, Cryptosporidium felis, Isospora felis, Isospora rivolta, Toxoplasma gondii, Hammondia hammondi dan Sarcocystis sp., sedangkan pada usus besar dapat terinfeksi Pentatrichomonas hominis. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui prevalensi infeksi dan hubungan antara beberapa faktor (ras, jenis kelamin, umur dan manajemen pemeliharaan) terhadap protozoa gastrointestinal pada kucing di kota Denpasar. Jumlah sampel yang dipergunakan pada penelitian ini 100 sampel feses kucing dan data dianalisis dengan chisquare. Sampel diperiksa menggunakan metode kosentrasi apung, dengan zat pengapung NaCl jenuh. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing sebesar 24% (24/100). Faktor ras, jenis kelamin, umur dan manajemen pemeliharaan tidak berhubungan dengan prevalensi infeksi prototozoa gastrointestinal pada kucing.
Kata kunci: Kucing; prevalensi; protozoa; Denpasar
Abstract
Cats are one of the most popular pets in the world with a wide variety of breeds, and as pets that get attention to be kept and bred.The common gastrointestinal protozoa that infect cats are Gardia felis, Cryptosporidium felis, Isospora felis, Isospora rivolta, Toxoplasma gondii, Hammondia hammondi and Sarcocystis sp., while Pentatrichomonas hominis can infect the large intestine. This study aims to determine the prevalence of infection and the relationship between some factors (breed, sex, age, and maintenance management) on gastrointestinal protozoa in cats in Denpasar. This study involved 100 samples of cat feces and the data were analyzed by chi-square. Samples were examined using the floating concentration method, with a saturated NaCl flotation agent. The results showed that the prevalence of gastrointestinal protozoa infections in cats reached 24% (24/100). Breed, sex, age and maintenance management factors were not associated with the prevalence of gastrointestinal protozoa infections in cats.
Keywords: Cats; prevalence; protozoa; Denpasar
PENDAHULUAN
Hewan kesayangan merupakan hewan yang sangat menguntungkan untuk dikembangbiakkan dengan berbagai tujuan dan dapat memberikan sumbangan untuk kebahagian manusia. Kucing adalah salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia
dengan berbagai macam ras dan sebagai hewan kesayangan yang mendapatkan perhatian untuk dipelihara dan dikembangbiakkan. Hasil survei di wilayah kota Denpasar kucing yang banyak dipelihara adalah ras anggora, persia, kucing kampung dan eksotis. Di Indonesia kucing ras persia cukup banyak
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet dikembangkkan dibanding dengan ras lain (Nofisulastri, 2018).
Kucing yang hidupnya dipelihara oleh masyarakat dengan manajemen yang baik umumnya memiliki kandang yang bersih, kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin. Biasanya kucing ini, bersifat jinak dan tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya. Kucing yang tidak dikandangkan, kucing ini dibiarkan bebas, tetapi masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya. Kebutuhan makanannya masih diperhatikan
pemiliknya. Kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan, dimana kucing kategori ini, pemiliknya selalu menyediakan makanan dan minuman, namun kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaraan di jalan (Hildreth et al., 2010; Subrata et al., 2017).
Protozoa gastrointestinal merupakan salah satu penyakit parasit yang dapat mengganggu kesehatan kucing. Protozoa gastrointestinal yang umum menginfeksi kucing adalah Girdia felis,
Cryptosporidium felis, Isospora felis (Cystoisospora felis) dan Isospora rivolta (Cystoisospora rivolta), Toxoplasma gondii, Hammondia hammondi dan Sarcocystis, sedangkan pada usus besar dapat terinfeksi Pentatrichomonas hominis (Bowman et al., 2003). Infeksi protozoa pada gastrointestinal tidak selalu menampakkan gejala klinis, hanya pada infeksi berat dapat menyebabkan diare, nafsu makan dan daya tahan tubuh menurun, serta gangguan pertumbuhan pada hewan muda (Lukiswanto et al., 2013). Kejadian penyakit dan penyebarannya yang luas dan penularan yang begitu cepat. Protozoa gastrointestinal yang bersifat zoonosis pada kucing antara lain Giardia felis, Cryptosporidium felis dan Toxoplasma gondii (Subekti et al., 2006).
Penularan protozoa gastrointestinal secara umum adalah melalui stadium infektif (ookista, tropozoit, dan atau kista). Stadium infektif dikeluarkan melalui feses
oleh inangnya, mampu bertahan karena didukung oleh beberapa faktor seperti kondisi lingkungan yang kotor, suhu, kelembaban, sinar matahari langsung, struktur tanah. Kucing yang hidup di lingkungan kotor dan lembab mempunyai risiko terkena penyakit yang lebih besar karena lingkungan yang kotor akan mendukung terjadinya infeksi. Kebiasan kucing yang biasa menggaruk tanah, menjadi salah satu yang memungkinkan termakanya stadium infektif, sehingga kucing menjadi tertular protozoa (Adams et al., 2003).
Beberapa Penelitian yang telah melaporkan kejadian protozoa
gastrointestinal pada kucing. Penelitian yang dilakukan di Denpasar, menemukan infeksi protozoa sebesar 33,3% dari 33 kucing yang diperiksa (Setyoningsih et al., 2004). Dari 90 sampel feses kucing 62 sampel feses dinyatakan positif, atau angka prevalensi infeksi protozoa pada kucing sebesar 68,89% di Klinik Hewan di Surabaya (Pagati et al., 2018). Penelitian yang dilakukan di Kashan-Iran pada kucing ditemukan prevalensi infeksi Giardia felis 0.9% dan Trichomonas spp 1.8% (Mohsen et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di Denpasar menemukan infeksi protozoa saluran pencernaan kucing sebanyak 31,3% dari 80 ekor kucing liar dan peliharaan. Pada 40 feses kucing yang dipelihara ditemuakan 9 sampel terinfeksi protozoa sebesar 22,5%. Protozoa yang ditemukan adalah Giardia felis, Cryptosporidium felis, Sarcocystis spp, Hammondia hamondi, Toxoplasma gondii dan Isospora spp. (Sucitrayani et al., 2014). Hasil survey di Pert, ditemukan prevalensi infeksi Toxoplasma gondii pada kucing sebesar 1,7% (Tuzio et al., 2004). Sedangkan di Brazil melalukan penelitian, hanya menemukan dua jenis protozoa yang menginfeksi kucing, dengan sebesar 3,5% dan tingkat prevalensi infeksi isospora spp sebesar 5,6% (Lorenzini et al., 2007). Penelitian lain di Jerman, menemukan prevalensi infeksi Sarcocystis spp sebesar 2,2%, Cystoisospora spp sebesar 21,9 %, C.
felis sebesar 15,3%, C. rivolta sebesar 7,9%, Hammondia sebesar 4.5% dan Giardia spp sebasar 51,6% dari 771 feses kucing yang diperiksa (Barutzki et al.,2003).
Faktor external yang mempengaruhi prevalesi infeksi parasit yaitu faktor lingkungan dan manajemen pemeliharaan. Manajemen pemeliaharan kucing yang dikandangkan atau tidak dikandangkan, pemberian pakan komersial atau dibiarkan mencari makan sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya kontak antara kucing peliharaan dengan tanah yang terkontaminasi parasit. Lingkugan yang lembab dan kotor merupakan tempat perkembangan agen penyakit parasite, sehingga kucing yang memiliki kandang dan tidak memiliki kandang tentu mempunyai tingkat risiko terinfeksi berbeda (Sucitrayani et al., 2014).
Faktor internal yang mempengaruhi prevalesi infeksi parasite protozoa yaitu Umur, Jenis Kelamin, dan Ras. Umur kucing berpengaruhi terhadap prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing, kucing muda prevalensi infeksi lebih tinggi dibandingkan kucing tua karena hewan yang berumur tua kekebalan tubuhnya lebih baik dalam proteksi agen infeksi. Kucing di bawah tiga bulan lebih rentan karena asi dari induk terinfeksi. Jenis kelamin kucing yang lebih rentan terhadap prevalensi infeksi parasit yaitu kucing jantan, karena kucing jantan diduga memiliki peluang untuk keluar rumah lebih tinggi dibandingkan kucing betina. Hal ini disebabkan karena kucing jantan mencari kucing betina untuk kawin. Sedangkan ras kucing yang lebih rentan terhadap prevalensi infeksi parasite yaitu ras kucing kampung (Kucing American shorthair dan American wirehair), hal ini disebabkan karena kucing kampung kebanyakkan hidup secara liar (Robbie et al., 2020).
METODE PENELITIAN Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses kucing yang
dipelihara di wilayah kota Denpasar. Jumlah sampel yang digunakan adalah feses dari 100 ekor kucing. Data mengenai umur, jenis kelamin, ras, cara manajemen pemeliharaan dan makanan kucing dicatat.
Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilakukan di empat kecamatan yang ada di Kota Denpasar yaitu Kecamatan Selatan, Kecematan Utara, Kecematan Timur, dan Kecamatan Barat, dengan jumlah sampel feses 100 ekor kucing. Parameter yang diamati adalah jenis-jenis protozoa yang diamati dengan mikroskop dari hasil pemeriksaan feses.
Cara pengumpulan feses
Untuk mendapatkan feses dengan cara langsung meminta kepada pemilik kucing. Feses kucing ditampung menggunakan pot plastik dan ditambahkan kalium bikromat sampai meredam seluruh feses, selanjutan di beri label yang meliputi tanggal pengambilan, jenis kelamin, umur, dan ras kucing. Sampel yang terkumpul diperiksa di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Pemeriksaan feses dengan metode konsentrasi pengapungan
Pemeriksaan feses menggunakan metode konsentrasi pengapungan dengan menggunakan zat pengapung NaCl jenuh. Prosudur kerja metode konsentrasi pengapungan sebagai berikut, feses diambil ± 2 gram, masukan ke dalam gelas beaker, ditambahkan dengan sidikit aquades, diaduk hingga homogen. Saring, kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus sampai ¾ tabung, putar dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Supernatannya dibuang, tambahkan NaCl jenuh sampai volumenya ¾ tabung dan kembali diaduk hingga homogen. Putar dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Tabung diletakkan pada rak tabung secara tegak lurus, tambahkan larutan NaCl jenuh dengan cara diteteskan menggunakan pipet sampai permukaan menjadi cembung dan dibiarkan selama 3 menit. Gelas penutup ditempelkan di atas permukaan cairan yang
cembung dengan hati-hati, kemudian tempelkan pada gelas objek dan diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40 X. Identifikasi protozoa saluran pencernaan berdasarkan morfologi.
Analisis data
Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan untuk membedakan jenis kelamin, umur, ras dan manajemen pemeliharaan dengan prevalensi dianalisis dengan Chi-square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pemeriksaan 100 sampel feses kucing di Kota Denpasar ditemukan 24 sampel terinfeksi protozoa gastrointestinal, sehingga prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing dipelihara sebesar 24%. Setelah dilakukan indentifikasi berdasarkan morfologi dan jenis protozoa gastrointestinal hanya ditemukan adalah ookista Isospora spp (Gambar 1). Jenis protozoa gastrointestinal yang ditemukan ookista dari Isospora spp. seperti tampak pada gambar 2.
Berdasarkan ras kucing pada kucing kampung prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal sebesar 36% (9/25), kucig Persia sebesar 24% (6/25), kucing anggora sebesar 20% (5/25), dan kucing eksotis sebesar 16% (4/25).
Hasil analisis dengan uji chi-square ras tidak berhubungan (P>0,05) dengan prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal. Dapat dilihat pada tabel 1.
Berdasarkan umur kucing, didapakan hasil infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing yang dibawah umur 6 bulan 15 positif dari 47 sampel, sehingga prevalensi sebesar 31,9%, sedangkan kucing yang di atas 6 bulan 9 positif dari 53 sampel dengan prevalensi sebesar 16,9 %. Hasil analisis dengan uji chi-square umur tidak berhubungan (P>0,05) dengan prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal. Dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan jenis kelamin kucing, didapatkan hasil infeksi protozoa pada
kucing jantan 16 positif dari 57 sampel, sehingga prevalensi sebesar 28,1 %, pada kucing betina didapatkan 8 positif dari 43 sampel, prevalensi sebesar 18,6 %. Hasil analisis dengan uji chi-square jenis kelamin tidak berhubungan (P>0,05) dengan prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal. Dapat dilihat pada tabel 3.
Berdasarkan manajemen pemeliharaan kucing , didapatkan hasil infeksi protozoa pada kucing yang dikandangkan 17 positif dari 77 sampel, sehingga prevalensi sebesar 22,1 %, pada kucing yang tidak dikandangkan didapatkan 7 positif dari 23 sampel, prevalensi sebesar 30,4 %. Hasil analisis dengan uji chi-square manajemen pemeliharaan tidak berhubungan (P>0,05) dengan prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal. Dapat dilihat pada tabel 4.
Berdasarkan hasil penelitian prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing yang dipelihara di wilaya kota Denpasar sebesar 24%, tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian rumahan di Denpasar dengan prevalensi 22.50% (Sucitrayani et al., 2014). Hasil penelitan ini lebih rendah dengan yang dilaporkan pada kucing di Surabaya sebesar 68,89% (Pagati et al., 2018). Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan karena perbedaan jenis kucing, cara pemeliharaan, umur, daya tahan tubuh individu kucing dan kategori kucing yang digunakan sebagai sampel.
Pembahasan
Protozoa gastrointestinal yang ditemukan pada penelitian ini adalah ookista dari Isospora spp. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilaporkan di Denpasar yang ditemukan isospora spp. oleh (Sucitrayani et al., 2014). Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan di Surabaya, yang menemukan Giardia Sp., Crypotosporidium sp. dan Toxoplasmma sp. (Pagati et al., 2018). Penelitian lain di Jerman, selain Isospora juga ditemukan Hammondia Hammondi (Barutzki et al., 2003). Hasil penelitian prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal
pada kucing di Denpasar tidak ditemukan Pentatrichomonas hominis dan Hammondia Hammondi. Perbedaan hasil penelitian ini dengan peneliti yang lain disebabkan karena sistem manajemen dan lingkungan yang berbeda. Kucing dapat terinfeksi oleh Isospora spp karena sistem pemeliharaan yang kurang baik dapat mempermudah terinfeksi oleh ookista Isospora. Cara penularan melalui tercemarnya makanan dan minuman kucing oleh ookista dari stadium infektif (Bowman et al., 2003).
Hasil penelitian ini berdasarkan ras, ditemukan kucing kampung prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan ras kucing lane, tetapi secara statistik tidak terdapat hubungan yang singnifikan antara ras dengan tingkat prevelensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilaporkan oleh (Milliana et al., 2010), sebanyak 5 sampel feses kucing ras domestik (25%) dan 21 sampel feses kucing persia (26,2%) positif terinfeksi protozoa gastrointestinal dan hasilnya tidak berbeda nyata berdasarkan ras. Penelitian yang dilaporkan di Surabaya, pada perbandingan ras terhadap infeksi protozoa gastrointestinal menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antara ras domestic, Persia dan campuran (Pagati et al., 2018). Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan ras kucing tidak berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing. Hal ini dapat terjadi karena manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang sama.
Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal berdasarkan umur ditemukan kucing umur muda lebih tinggi dibandingkan dengan umur tua, tetapi secara statistik tidak terdapat hubungan yang singnifikan. Hasil penelitian ini sama dengan yang dilaporkan oleh (Pagati et al., 2018) di Surabaya, infeksi protozoa gastrointestinal pada umur dibawah 1 tahun tidak berbeda dengan umur diatas 1 tahun sehingga umur tidak berpengaruh terhadap
prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing.
Berdasarkan jenis kelamin ditemukan kucing jantan prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan kucing betina. Tetapi secara statistik tidak terdapat hubungan yang singnifikan antara jenis kelamin dengan prevelensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan di Surabaya, infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing jantan tidak berbeda nyata pada kucing betina. Hal tersebut menunjukkan bahwa prevalensi kucing jantan dan kucing betina sama (Pagati et al., 2018). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Nigeria, Afrika, prevalensi infeksi protozoa pada kucing jantan sebesar 92.8% dari 14 sampel feses kucing yang diperiksa. Kucing jantan diduga mempunyai peluang lebih besar untuk keluar rumah dibandingkan kucing betina. Hal ini disebabkan karena kucing jantan mencari kucing betina untuk kawin, sehingga kucing jantan dapat tertular dengan kucing liar yang terinfeksi (Raji et al., 2013).
Prevalensi berdasarkan manajemen pemeliharaan ditemukan kucing yang dikandangkan lebih tinggi dibandingkan kucing yang tidak dikandangkan dan secara statistik tidak terdapat hubungan yang singnifikan antara manajemen pemeliharaan dengan tingkat prevelensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing. Hal ini dapat diartikan juga bahwa manajemen pemeliharaan tidak mempunyai korelasi dengan tingkat prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing. Kucing yang dipelihara dikandangkan dan tidak dikandangkan tentu mempunyai tingkat risiko terinfeksi berbeda. Sistem pemeliharaan yang kurang baik dapat menyebabkan kucing terinfeksi berbagai macam penyakit parasit (Hildreth et al., 2010). Pada penelitian ini manajemen pemeliharan berdasarkan system perkandangan tidak berbeda, hal ini disebabkan karena dari 77 ekor kucing yang
dikandangkan hanya didapatkan 10 ekor yang dijaga kebersihannya dan diperhatikan kesehatannya, sedangkan 67 ekor yang lainnya kandangnya jarang dibersihakan dan dalam satu kandang diisi lebih dari satu ekor. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan (Sucitrayani et al., 2014) melaporkan bahwa cara pemeliharaan tidak berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing di kota denpasar sebesar 24 %, namun tidak
ditemukan adanya hubungan antara prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal dengan ras, jenis kelamin, umur dan manajemen pemeliharaan pada kucing di Denpasar.
Saran
Perlu dilakukan pengendalian penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing untuk meningkatkan kesehatan kucing dan juga memberikan pengobatan secara teratur terutama obat untuk koksidiosis.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima ksih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penelitian di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, serta teman-teman yang telah bersedia membantu dalam proses penulisan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adams PJ. 2003. Parasites of feral cats and native fauna from western australia: the application of molecular techniques for the study of parasitic infections in australian wildlife. Murdoch University, Australia.
Barutzki D, Schaper R. 2003. Endoparasites in dogs and cats in Germany 1990-2002. Veterinary Laboratory Freiburg, Freiburg,
Germany.
Bowman DD, Barr SC, Hendrix CM, Lindsay DS. 2003. Gastro-intestinal parasites of cat. International Veterinary Information Services, Ithaca, New York, USA.
Hildreth AM, Vantassel SM, Hygnstrom SE. 2010. Feral cats and their management. University of Nebraska Lincoln.
Lorenzini G, Tasca, Carli GAD. 2007. Prevalence of intestinal parasites in dogs and cats under veterinary care in Porto Alegre, Rio Grande Do Sul, Brazil. Braz. J. Vet. Res. Anim. Sci. 44(2): 137-145.
Lukiswanto BS, Yuniarti WM. 2013. Pemeriksaan fisik pada anjing dan kucing. Airlangga University Press.
Milliana M. 2010. Prevalence of stray cats with intestinal protozoan parasites. Am. J. Anim. Vet. Sci. 5(3): 86-90.
Mohsen A, Hossein H. 2009.
Gastrointestinal parasites of stray cats in Kashan, Iran. J. Trop. Biomed. 26(1): 16-22.
Nofisulastri N. (2018). Studi karakter morfologi kucing peranakan anggora hasil perkawinan silang alami. J. Ilmiah Biol. 6(2): 114-119.
Pagati AL, Suwanti LT, Anwar C, Yuniarti WM, Sarmanu, Suprihati E. 2018. Prevalance of gastrointestinal protozoa of cats in animal hospital and animal clinic in Surabaya. J. Parasite Sci. 2(2): 61-66.
Raji AA, Magaji AA, Bello MB, Lawal MD, Mamuda A, Yahaya MS. 2013. Prevalence of gastrointestinal parasites of stray cats: a case study of two hospitals in Sokoto Metropolis, Sokoto, Nigeria. J. Bacteriol. Parasitol. 4(4): 14.
Robbie MH, Fajeria AL, Pratiwi L, Aeka A. 2020. Gastrointestinal protozoa helminthiasis and coccidiosis infection
in domestic cat. Vet. Med. J. 2020: 97110.
Setyoningsih AP. 2004. Identifikasi protozoa saluran pencernaan kucing dari beberapa lokasi di Bali. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar.
Subekti DT, Arrasyida NK. 2006. Toxoplasma gondii imunopathogenesis based on different strains. Wartazoa. 16(3): 128-145.
Subrata IM, Oka IBM, Agustina KK. 2017. Prevalence of intestinal worm in free
ranging domestic cats in Bali. J. Vet. 18(3): 441-445.
Sucitrayani PTE, Oka IBM, Dwinata IM. 2014. Prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing lokal (felis catus) di Denpasar. Bul. Vet. Udayana. 6(2): 153-159.
Tuzio H, Edwards D, Elston T, Jarboe L, Kudrak S, Richards J, Rodan I. 2004. Feline zoonoses guidelines from the American Association of Feline Practitioners. J. Feline Med. Surg. 7: 243-274.
80%
70%
*5 60%
S 50%
40%
⅛ 30%
‰ 20%
10%
0%

76%
Infeksi Protozoa
■ Positif ■ Negatif
Gambar 1. Grafik prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing

Gambar 2. Ookista Isospora spp. (dengan pembesaran obyektif 10 X)
Tabel 1. Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing berdasarkan ras | ||||
Ras kucing |
Jumlah sampel |
Terinfeksi (+) |
Prevalensi (%) |
P |
Kucing Kampung |
25 |
9 |
36 | |
Kucing Persia |
25 |
6 |
24 |
0.381 |
Kucing Anggora |
25 |
5 |
20 | |
Kucing Eksotis |
25 |
4 |
16 |
Tabel 2. Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing berdasarkan umur
Umur |
Jumlah Sampel (ekor) |
Terinfeksi (+) |
Prevalensi (%) |
P |
< 6 Bulan |
47 |
15 |
31,9 | |
> 6 Bulan |
53 |
9 |
16,9 |
0.081 |
Tabel 3. Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin |
Jumlah Sampel (ekor) |
Terinfeksi (+) |
Prevalensi (%) |
P |
Jantan |
57 |
16 |
28,1 | |
Betina |
43 |
8 |
18,6 |
0,273 |
Tabel 4. Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada kucing berdasarkan manajemen pemeliharaan
Manajemen Pemeliharaan Jumlah Sampel (ekor) Terinfeksi (+) Prevalensi % P
Kandang
77 17
22,1
Tidak Kandang
23
7
30,4 0,410
750
Discussion and feedback