BLOOD RESULTS IN PIGS INFECTED WITH STREPTOCOCCUS SUIS INTRANASALLY AND INTRAVENOUSLY
on
Volume 14 No. 3: 280-286
Juni 2022
DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p12
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Gambaran Darah pada Babi yang Diinfeksi Streptococcus suis Secara Intranasal dan Intravena
(BLOOD RESULTS IN PIGS INFECTED WITH STREPTOCOCCUS SUIS INTRANASALLY AND INTRAVENOUSLY)
Putri Wiliantari1*, I Nengah Kerta Besung2, I Gusti Ngurah Kade Mahardika3 1Dokter Hewan Praktisi di Kota Denpasar, Bali;
-
2Laboratorium Bakteri dan Mikologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jln. PB. Sudirman, Denpasar, Bali;
-
3Laboratorium Biomedik dan Biomolekuler, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan Gang Markisa No. 6 Denpasar Selatan, Bali.
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian dilakukan untuk mendeteksi perbedaan profil darah babi yang diinfeksi dengan isolat Streptococcus suis dari Bali dengan rute infeksi intravena dan intranasal. Penelitian ini dilakukan secara eksperimental, dengan melakukan uji biologis isolat S. suis dengan kode isolat PPB5 yang ditemukan di Denpasar terhadap enam ekor babi. Inokulasi secara intra vena maupun secara intra nasal dilakukan pada masing-masing tiga ekor babi. Babi yang digunakan dalam penelitian ini berumur 8 minggu. Pada infeksi intranasal sebelum inokulasi terlebih dahulu diberikan asam asetat 1% pada cavum nasal, kemudian disemprotkan cairan inokulum S. suis (2 x 106). Pada infeksi secara intravena, cairan inokulum disuntikan pada vena auricularis. Perubahan pada babi diamati sampai hari ke 15. Pengambilan sampel darah dilakukan saat sebelum diinokulasikan bakteri, hari ke 3 pasca inokulasi, dan sebelum dieuthanasia. Pada hari ke-tiga pasca inokulasi, jumlah eusinofil berbeda nyata pada kedua perlakuan, sementara profil darah yang lain tidak berbeda nyata. Semua indikator darah pada kedua perlakuan tidak berbeda nyata sebelum hewan coba dieuthanasia pada hari ke-15. Pada hari ke 15 terjadi peningkatan jumlah eritrosit dan monositosis pada infeksi intranasal. Terjadi hipohaemoglobinemia dan penurunan PCV pada infeksi intranasal dan intravena. Penelitian lanjut diperlukan dengan jumlah ulangan yang lebih banyak. Vaksin S. suis perlu segera dikembangkan untuk mengurangi ancaman Kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi peternak.
Kata kunci: Babi; intravena; intranasal; profil darah; Streptococcus suis
Abstract
Research has been carried out to elucidate clinical, as well as differences in blood profiles in pigs infected with Streptococcus suis isolated from Bali by intravenous and intranasal infection routes. S.suis isolate of PPB5 were inoculated intranasally and intravenously to three pigs respectively. The pigs used in this study were 8 weeks old. In intranasal infection before inoculation, 1% acetic acid was first applied to the nasal cavity, then S. suis inoculum was sprayed (2 x 106). In intravenous infection, inoculum fluid is injected into the auricular vein. Clinical changes in pigs were observed until day 15. Blood samples were taken before being inoculated with bacteria, 3rd day after inoculation, and before being euthanized. On the 3rd day after inoculation, the number of eosinophils was significantly different in the two treatments, while the other blood profiles were not significantly different. All blood indicators in the two treatments were not significantly different before the animals were euthanized on day 15. The increase number of erythrocytes and monocytosis was found in intranasal infections at that day. Hypohaemoglobinemia and decreased PCV are seen in both intranasal and intravenous infections. Further research is needed with a greater number of replications. The S. suis vaccine needs to be developed immediately to reduce the threat to public health and economic losses for farmers.
Keywords: Blood profile; intravenous; intranasal; pig; Streptococcus suis
PENDAHULUAN
Bakteri Streptococcus suis bersifat zoonosis yaitu dapat menyebabkan penyakit pada babi dan manusia (Gottschalk and Segura, 2000). Bakteri ini berbentuk coccus, Gram positif, bersifat fakultatif anaerob, ukuran koloni kecil, dan colourless (Wisselink et al., 2000). Gejala utamanya infeksi S. suis adalah meningitis atau gejala syaraf lainnya seperti gangguan pendengaran, keradangan pada mata hingga kebutaan. Bakteri ini juga menimbulkan gejala klinis lain seperti arthritis, endocarditis, pneumonia, poliserositis, dan septisemia pada babi. Infeksi S. suis serotipe 3 dan 4 menyebabkan poliserositis di Korea (Kim et al., 2010). Bakteri S. suis serotipe 2 juga dilaporkan menginfeksi anak babi secara vertikal yaitu dari induk ke anak babi maupun horizontal yaitu dari babi ke babi lainnya atau dari suatu peternakan ke peternakan lainnya. Anak babi yang mampu bertahan akan mengalami lesi permanen seumur hidupnya dan dapat mengganggu pertumbuhannya (Salasia et al., 2002).
Kejadian infeksi S. suis pernah dilaporkan di Cina pada tahun 1998 dan 2005 (Gottschalk et al., 2007). Pada tahun 2006 jumlah kasus pada manusia yang dilaporkan di Asia telah meningkat secara signifikan (Wertheim et al., 2009), bahkan di beberapa negara Asia masyarakat umum beresiko tinggi terhadap infeksi S. suis (Gottschalk et al., 2010). Pertengahan tahun 2006, telah terjadi wabah pada peternakan babi di daerah Jila, Kabupaten Puncak Jaya Papua yang menyebabkan kematian sekitar 600 ekor babi. Hasil identifikasi dan isolasi ditemukan pada cairan persendian babi yang terinfeksi ditemukan S. suis serotipe 2. Temuan ini merupakan indikasi yang cukup kuat terhadap keberadaan S. suis di Indonesia. Pada tahun 2008 telah dilaporkan bahwa S. suis dapat diisolasi pada cairan persendian babi di Timika, Papua (Salasia et al., 2011). Di Bali, kasus S. suis pada babi pertama kali dilaporkan muncul pada bulan Mei tahun
1994 (Samsuri dan Utama, 2001). Namun di awal tahun 2017 kasus S. suis kembali menelan korban dan mendapat perhatian serius baik dari kalangan pemerintah, masyarakat, maupun peternak babi (Tribun, 2017).
Sumber daging babi untuk wilayah Denpasar dan Badung sebagian besar berasal dari hasil rumah pemotongan hewan (RPH) konvensional di Darmasaba. Survei terhadap adanya infeksi S. suis pada babi yang dipotong di RPH tersebut didapatkan bahwa ada sampel yang positif S. suis. Isolat tersebut sudah diidentifikasi secara mikrobiologi, PCR, dan sequencing (komunikasi pribadi), tetapi patogenitas isolat tersebut belum diketahui. Kajian ini perlu dilakukan untuk mengetahui patogenesis dari isolat yang berhasil diisolasi tersebut.
METODE PENELITIAN
Hewan Coba Penelitian
Sampel babi yang digunakan dalam penelitian ini berumur 8 minggu. Selama penelitian babi diberikan makanan jenis konsentrat merk Charoen Phokpand C551 dan pemberian minum ad libitum.
Perlakuan pada Hewan Coba
Sebelum diberi perlakuan, babi didaptasikan selama seminggu, berat badan ditimbang dan suhu tubuhnya diukur setiap hari. Pada infeksi secara intranasal sebelum inokulasi terlebih dahulu diberikan asam asetat 1% pada cavum nasal babi guna memberikan efek iritasi pada saluran pernafasan babi (Halbur et al., 2000) kemudian disemprotkan cairan inokulum S. suis kode PPB5 sebanyak dengan kandungan 2 x 106. Pada infeksi secara intravena, cairan inokulum disuntikan pada vena auricularis. Inokulasi secara intra vena maupun secara intra nasal dilakukan pada masing-masing 3 ekor babi.
Pengambilan Sampel Darah
Perubahan pada babi diamati sampai hari ke 15. Setelah hari ke 15 ditidurkan dengan ketamin dosis 2 x 30 mg/kg BB
(Boschert et al., 1996). Pengambilan sampel darah dilakukan saat sebelum diinokulasikan bakteri, hari ke 3 pasca inokulasi, dan sebelum dieuthanasia. Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis.
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui perubahan profil darah diantaranya WBC, RBC, HB, PCV, Monosit, Eusinofil, Basofil, Lymposit, dan Neutrofil. Penghitungan total leukosit (WBC) menggunakan metode thoma leukosit dengan menggunakan reagen turk, penghitungan total eritrosit (RBC) menggunakan metode Hemositometer, penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode hematin (Sahli), sedangkan untuk pemeriksaan diferensial leukosit menggunakan metode pemeriksaan ulas darah.
Analisis Data
Data hasil gambaran darah dianalisis dengan uji Student T Test untuk mengetahui perubahan nilai darah WBC, RBC, HB, PCV, Monosit, Eusinofil, Basofil, Lymposit, dan Neutrofil terhadap kedua perlakuan yang diberikan yaitu secara intranasal dan secara intravena pada saat sebelum inokulasi, hari ke 3 pasca inokulasi, dan sebelum dieuthanasia (hari ke 14).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil tersebut menunjukkan pada H3 inokulasi terjadi neutrofilia pada kedua perlakuan. Nilai darah kedua perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata kecuali eusinofil, dimana kelompok intranasal mengalami eusinofilia dan secara statistik berbeda dengan kelompok intravena. Pada 14 hari setelah infeksi peningkatan terjadi peningkatan sel darah merah atau eritrositosis pada intranasal dan anemia pada intravena. Hipohaemoglobinemia dan
penurunan PCV tampak pada pada intranasal dan intravena sedangkan monositosis terjadi pada pemberian intranasal.
Pembahasan
Seluruh hasil gambaran profil darah sebelum inokulasi pada rute intranasal dan intravena menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil gambaran profil darah babi yang diinokulasikan bakteri S. suis, berdasarkan hasil penelitian pada H3 pasca inokulasi terjadi neutrofilia pada kedua perlakuan. Peningkatan jumlah neutrofil merupakan akibat dari mekanisme kekebalan tubuh yang bekerja sebagai respon adanya infeksi dalam tubuh. Menurut Tizard (1988), fungsi utama neutrofil yaitu sebagai penghancuran benda asing melalui proses fagositosis secara kemotaksis dimana sel akan bermigrasi menuju partikel, pelekatan partikel pada sel, fagositosis sel, dan penghancuran partikel oleh enzim lisosim di dalam fagolisosom.
Berdasarkan hasil uji T, nilai darah dari kedua perlakuan tidak berbeda nyata kecuali eusinofil, dimana kelompok intranasal mengalami eusinofilia sedangkan tidak pada kelompok intravena. Peningkatan jumlah eusinofil pada infeksi intranasal disebabkan apabila agen infeksi berhasil melewati lapisan mukosa saluran pernapasan yang banyak mengandung IgA (Sapulete, 2015). Setelah melewati lapisan mukosa, maka lini pertahanan berikutnya adalah IgE dan eusinofil. Adanya kontak antigen dengan IgE dan eusinofil akan menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin yang menarik agen respons imun dan menghasilkan reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin akan menyebabkan pelepasan IgG dan komplemen. Faktor kemotaktik eosinofil akan menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme penyebab infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik.
Tabel 1. Hasil pengukuran profil darah babi percobaan yang diinokulasi S. suis secara intranasal dan intravena sebelum inokulasi, 3 hari setelah inokulasi, dan sebelum dieuthanasia hari ke 14.
Parameter |
Intranasal (Rataan ± SD) |
Intravena (Rataan ± SD) |
Nilai Normal* |
P** |
Pre Inokulasi | ||||
WBC |
18,1 ± 2,9 |
17,9±13,1 |
11- 22 |
P>0.05 |
RBC |
6,7 ± 1,4 |
6,8±0,8 |
5-8 |
P>0.05 |
HB |
12,5±2,9 |
11,4±1,5 |
10-16 |
P>0.05 |
PCV |
38,3±9,2 |
35,6±4,7 |
32-50 |
P>0.05 |
Monosit |
8,6±0,5 |
7,6±2,3 |
2-10 |
P>0.05 |
Eusinofil |
4,3±5,1 |
6,6±4,1 |
0-11 |
P>0.05 |
Basofil |
0,0±0,0 |
0,0±0,0 |
0-2 |
P>0.05 |
Lymposit |
40,3±0,5 |
43,3±3,0 |
39-62 |
P>0.05 |
Neutrofil |
42,3±3,7 |
43,3±3,2 |
28-47 |
P>0.05 |
H3 Inokulasi | ||||
WBC |
22,1±1,6 |
17,4±4,8 |
11- 22 |
P>0.05 |
RBC |
5,5±0,7 |
5,5±0,9 |
5-8 |
P>0.05 |
HB |
9,8±0,9 |
9,5±0,1 |
10-16 |
P>0.05 |
PCV |
31,0±3,6 |
31,0±3,6 |
32-50 |
P>0.05 |
Monosit |
9,6±4,6 |
9,3±4,1 |
2-10 |
P>0.05 |
Eusinofil |
12,0±3,0 |
3,0±0,0 |
0-11 |
P<0.05 |
Basofil |
0,0±0,0 |
0,0±0,0 |
0-2 |
P>0.05 |
Lymposit |
29,3±6,4 |
37,0±1,0 |
39-62 |
P>0.05 |
Neutrofil |
49,0±8,8 |
50,6±4,0 |
28-47 |
P>0.05 |
H Euthanasia | ||||
WBC |
21,7±3,2 |
16,4±4,4 |
11- 22 |
P>0.05 |
RBC |
21,3±28,0 |
4,9±0,8 |
5-8 |
P>0.05 |
HB |
9,3±0,5 |
8,9±1,3 |
10-16 |
P>0.05 |
PCV |
29,0±1,7 |
29,6±3,5 |
32-50 |
P>0.05 |
Monosit |
13,0±5,0 |
8,3±2,8 |
2-10 |
P>0.05 |
Eusinofil |
0,0±0,0 |
0,6±0,5 |
0-11 |
P>0.05 |
Basofil |
0,0±0,0 |
0,0±0,0 |
0-2 |
P>0.05 |
Lymposit |
32,6±22,0 |
35,6±18,2 |
39-62 |
P>0.05 |
Neutrofil |
54,3±22,1 |
55,3±20,0 |
28-47 |
P>0.05 |
*Nilai normal berdasarkan (Schalm et al., 1975); ** Nilai P pada uji T student test.
Pada 14 hari setelah infeksi terjadi peningkatan sel darah merah pada intranasal dan anemia pada intravena. Hal ini sependapat dengan Santika et al. (2009) yang menyatakan bahwa peningkatan kadar eritrosit dan hematokrit pasca inokulasi menunjukkan peningkatan sel-sel eritrosit dimana peningkatan faktor-faktor seluler darah ini selanjutnya akan menjadi efektor bagi peningkatan respon pertahanan spesifik (antibodi) yang lebih cepat dalam kuantitas yang memadai untuk meredakan
infeksi bakteri. Pertahanan seluler mempunyai fungsi utama fagositosis. Fagosit, sel NK, sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun nonspesifik seluler. Neutrofil merupakan sel pertama yang dikerahkan ke tempat infeksi yang akan menelan dan membunuh mikroorganisme secara intraseluler. Basofil dan sel mast mengeluarkan histamin dan heparin yang juga terlibat dalam manifestasi reaksi alergi. Makrofag selain berfungsi untuk memfagositosis juga
membunuh mikroorganisme. Sel NK dapat membunuh virus dan sel-sel tumor. Namun pada H3 Inokulasi dan H euthanasia, nilai gambaran darah WBC mengacu pada nilai normal. Hal ini dikarenakan S. suis memiliki Capsular Polysaccharide (CPS) bersifat antifagositik (Gottschalk dan Segura, 2000) yang mampu menghindari respon imun sehingga pada pemeriksaan sampel darah nilai WBC akan tampak normal.
Hipohaemoglobinemia dan penurunan PCV tampak pada intranasal dan intravena. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan dalam melawan infeksi bakteri S. suis. Menurut Hedrick et al. (2000) bahwa berkurangnya persentase kadar PCV disebabkan oleh banyaknya infeksi Streptococcus sp. mampu menghemolisis darah dengan cara menghasilkan toksin hemolisin yaitu berupa enzim ekstraseluler. Hemolisin merupakan enzim yang mampu melisiskan sel darah merah dan membebaskan hemoglobinnya, sehingga eritrosit akan lisis (Hardi, 2011; Sheehan et al., 2009).
Pada perlakuan intranasal terjadi monositosis, hal ini disebabkan akibat infeksi bakteri S. suis. Infeksi S. suis yang masuk ke dalam tubuh akan merangsang sel darah putih untuk memproduksi monosit lebih banyak. Menurut Destriana (2011) fungsi monosit adalah sebagai agen makrofag yang memfagosit benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Affandi dan Tang (2002) menyatakan bahwa pada saat terjadi infeksi oleh benda asing, maka monosit akan bergerak cepat meninggalkan pembuluh darah menuju daerah yang terinfeksi untuk melakukan fagositosis. Monosit memiliki kemampuan menembus dinding pembuluh kapiler, kemudian masuk ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi makrofag.
Pemeriksaan profil darah pada saat hari euthanasia, menunjukkan peningkatan jumlah limfosit di dalam darah. Hal ini diakibatkan karena monosit bermigrasi ke daerah peradangan pada berbagai organ dan
berdiferensiasi menjadi makrofag untuk melakukan proses fagositosis (Destriana, 2011). Hal ini juga dibuktikan dari pemerikasaan histopatologi, dimana ditemukan infiltrasi sel-sel radang atau sel polimorfonuklear pada organ yang terinfeksi seperti otak, trakea, lambung, paru-paru, hati, dan ginjal.
Penelitian ini dapat menginformasikan bahwa rute alamiah (intranasal) mengalami tingkat keparahan yang lebih tinggi dibandingkan rute intravena. Penelitian ini juga memberikan informasi bahwa uji tantang bakteri S. suis berhasil dilakukan dan dapat membuktikan hukum Postulat Koch.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pada hari ke-3 pasca inokulasi, jumlah eusinofil berbeda nyata pada kedua perlakuan, sementara profil darah yang lain tidak berbeda nyata. Semua indikator darah pada kedua perlakuan tidak berbeda nyata sebelum hewan coba dieuthanasi pada hari ke-14.
Saran
Saran berdasarkan penelitian ini adalah dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah ulangan yang lebih banyak. Vaksin S. suis perlu segera dikembangkan untuk mengurangi ancaman kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi bagi peternak.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada: Rektor Universitas Udayana, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sesuai dengan kontrak Penelitian Nomer B/22-27/UN14.4A/PT.01.05/2021 tanggal 18 Maret 2021
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Universitas Riau Press. Riau. 217.
Boschert K, Flecknell PA, Fosse RT, Framstad T, Ganter M, Sjostrand U, Stevens J, Thurmon J. 1996. Ketamine and its use in the Pig. Lab. Anim. 30: 209-219.
Destriana Y. 2011. Uji efektivitas lidah buaya (Aloe vera) melalui pakan komersil sebagai imunostimulan pada benih lele dumbo (Clarias gariepinus) terhadap infeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Program Studi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. Bandung. Pp. 78.
Gottschalk M, Segura M, Xu J. 2007. Streptococcus suis infections in humans: the Chinese experience and the situation in North America. Anim Health Res Rev. 8: 29–45.
Gottschalk M, Segura M. 2000. The pathogenesis of meningitis caused by Streptococcus suis: the unresolved questions. Vet. Microbiol. 76: 259-272.
Gottschalk M, Xu J, Lecours MP, Grenier D, Fittipaldi N, Segura M. 2010. Streptococcus suis infections in humans: what is the prognosis for western countries? (Part II). Clin. Microbiol. Newslett. 32: 97–102.
Halbur P, Thanawongnuwech R, Brown G, Kinyon J, Roth J, Thacker E, Thacker B. 2000. Efficacy of antimicrobial treatments and vaccination regimens for control of porcie reproductive and respiratory syndrome virus and Streptococcus suis coinfection of nursery pigs. J. Clin. Microbiol. 38(3): 1156-1160.
Hardi EH. 2011. Kandidat vaksin potensial Streptococcus agalactiae untuk pencegahan penyakit streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pp. 162.
Hedrick RP, Gilad O, Yun SC, Spangerberg, JV, Marty GD, Nordhausen RW, Kebus MJ, Bercovier H, Eldar A. 2000. A herpes virus associated with mass mortality of juvenile and adult koi, a stain of common carp. American fisheries society. J. Aquatic Anim. Health. 12: 44-57.
Kim D, Han K, Oh Y, Kim CH, Kang I, Lee J, Gottschalk M, Chae C. 2010. Distribution of capsular serotypes and virulence markers of Streptococcus suis isolated from pigs with polyserositis in Korea. Can. J. Vet. Res. 74: 314-316.
Salasia SIO, Haryanto BD, Suarjana IGK, Purwanto A, Haryadi M. 2002. Potensi Zoonotik Streptococcus equi subsp. zooepidemicus: Karakterisasi isolat
asal manusia, kera dan babi di Bali. J. Sain Vet. 20(1): 48-52.
Salasia SIO, Nugroho W, Ruff N. 2011. Streptococcus suis infection of pigs in Papua. Humboldt Kolleg-ICONS 2011. Malang.
Samsuri, Utama IH. 2001. Kepekaan Streptococcus equi Subsp.
Zooepidemicus terhadap antimikroba kanamisin, streptomisn, cetriakson dan danofloksasin. J. Vet. 2(4): 111-115.
Santika, A, Ciptoroso, Zainun, Z, Sumarjo, Suroso. 2009. Peningkatan daya tahan tubuh ikan mas terhadap infeksi koi herpes virus (khv) melalui teknik vaksinasi (uji lapang). Laporan Tinjauan Hasil BBPBAT. Sukabumi. Pp. 134-148.
Sapulete IM. 2015. Kajian terhadap kadar imunoglobulin A (IgA) serum yang diinduksi olahraga pada pagi hari. J. e-Biomedik (eBm). 3(2): 562-565.
Sheehan B, Labrie L, Lee YS, Wong FS, Chan J, Wendover N, Grisez L. 2009. Streptococcosis in tilapia, vaccination effective against, main strep species. Glob. Aquaculture Alliance. Pp. 72-74.
Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Ed. 2. Diterjemahkan oleh Partodirejo, M dan Hardjosworo, S.
Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. Pp. 497.
Tribun Bali. 2017. Breaking news: Dua warga badung bali positif meningitis suis, Terkena Dari Hidangan Babi!. Tribun Bali.htm. Tanggal Akses 11 Januari 2019
Wertheim HF, Nghia HD, Taylor W, Schultsz C. 2009. Streptococcus suis: an emerging human pathogen. Clin. Infect. Dis. 48: 617–625.
Wisselink HJ, Smith HE, Stockhofe-Zurwieden N, Peperkamp K, Vecht U. 2000. Distribution of capsular types and production of muramidase released protein (MRP) and extracellular factor (EF) of Streptococcus suis strains isolated from diseased pigs in seven European countries. Vet. Microbiol. 74: 237-248.
286
Discussion and feedback