Buletin Veteriner Udayana                                                              Volume 14 No. 6: 723-728

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                          Desember 2022

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet                             DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i06.p15

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal

Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Prevalensi dan Faktor Risiko Trichuris spp. pada Kambing yang Dipelihara di Kota Denpasar

(PREVALENCE AND RISK FACTORS OF TRICHURIS SPP. ON GOATS IN DENPASAR CITY)

Ketut Ayu Cudemani Putri1, Ida Ayu Pasti Apsari2*, Tjokorda Sari Nindhia3

  • 1Mahasiswa Program Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas

Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia 80234;

  • 2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia 80234;

  • 3Laboratorium Biostatistika Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia 80234;

*Email: [email protected]

Abstrak

Kambing termasuk hewan yang rentan terhadap penyakit parasiter, salah satunya adalah Trichuris spp. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko infeksi Trichuris spp. pada kambing yang dipelihara di kota Denpasar. Pada penelitian ini digunakan 100 sampel feses yang diambil di beberapa peternak di kota Denpasar, selanjutnya dilakukan pencatatan data seperti umur, jenis kelamin, jumlah kambing per kandang, breed, dan juga sistem perkandangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode apung dengan mengambil 3 gr feses lalu dihomogenkan dan disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Lakukan kembali setelah membuang supernatan. Setelah disentrifuge tambahkan garam jenuh dan diamkan selama 2-3 menit dan lakukan pemeriksaan dibawah mikroskop dan selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan analisis bivariat berupa uji chi-square. Hasil penelitian ini menemukan bahwa prevalensi Trichuris spp. sebesar 9% dan dipengaruhi oleh umur dan breed.

Kata kunci: faktor risiko; kambing; prevalensi; Trichuris spp.

Abstract

Goats are animals that are susceptible to parasitic diseases, one of which is Trichuris spp. The purpose of this study was to determine the prevalence and risk factors for the infections of Trichuris spp. on goats kept in Denpasar city. In this study, 100 feces samples were taken from several breeders in the city of Denpasar, then data were recorded such as age, sex, number of goats per cage, breed, and also the housing system. The method used in this study is the floating method by taking 3 grams of feces, the homogenized and centrifuged at 1500 rpm for 5 minutes. Do it again after disposing of the supernatant. After centrifuged add saturated salt and let stand for 2-3 minutes and do the examination under the microscope and then the data were analyzed using bivariate analysis in the form of chi-square test. The result of this study found that the prevalence of Trichuris spp. by 95 and influenced by age and breed.

Keywords: goats; prevalence; risk factors; Trichuris spp.

PENDAHULUAN

Kambing merupakan hewan yang banyak diternakkan oleh masyarakat. Hewan ini pun menghasilkan banyak produk seperti susu, daging, bulu, dan kulit.

Pemeliharaan kambing pun tidak sulit dikarenakan pemberian pakannya yang cukup beragam dengan berbagai jenis hijauan (Prabowo, 2010). Ternak kambing mempunyai adaptasi yang baik terhadap berbagai keadaan lingkungan sehingga

dapat diternakkan di berbagai daerah dan dapat berkembang biak sepanjang tahun (Rophi, 2015).

Indonesia merupakan kawasan yang memiliki iklim tropis sehingga kambing cocok untuk diternakkan di kawasan ini. Menurut Suyasa (2016), pulau Bali merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang telah memiliki riwayat perkembangan dalam kegiatan beternak kambing yang cukup baik. Salah satu daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan ternak kambing di Bali yaitu kota Denpasar. Kambing merupakan ternak yang cukup prouktif dan adaptif dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga pengembangannya pun mudah. Selain itu, pada manajemen pemeliharaan kambing dapat dilakukan pada lahan dan kandang yang tidak luas (Sabrani et al., 1982; Devendra dan Burns, 1993). Sehingga, kambing juga cocok untuk dikembang di area perkotaan yang tidak memiliki lahan yang luas.

Kebanyakan peternak di kota Denpasar menerapkan sistem pemelihataan semi intensif yang mempermudah kambing dalam mengekspresikan tingkah lakunya. Namun, kambing menjadi rentan terkena penyakit penyakit parasitik (Purwaningsih et al., 2017). Penyakit tersebut dapat memberikan dampak yang besar secara ekonomi dikarenakan berkurangnya performa dalam produksi dan reproduksi (Ayaz et al., 2013). Kebanyakan parasit menyerang bagian gastroinstestinal kambing yang seringkali diabaikan oleh peternak, Seperti parasit nematoda yang menyerang bagian gastroinstestinal kambing.

Trichuris spp. termasuk nematoda yang menyerang pada bagian sekum dan kolon pada kambing (Bulbul et al., 2020). Sehingga Trichuris spp. menyebabkan kambing mengalami diare dan jika kambing melami infeksi yang berat maka akan mengalami anemia berat, dehidrasi serta penyakit kuning yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan pada

parasit ini sebaiknya dilakukan untuk mencegah kerugian bagi peternak kedepannya. Selain itu, peternak di kota Denpasar juga masih menggunakan sistem pemeliharaan semi-intensif yang mana hal tersebut dapat mendukung faktor risiko terkena nya cacing Trichuris spp. Maka daripada itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan prevalensi dan faktor risiko Trichuris spp. Seperti umur, jenis kelamin dan breed kambing, jumlah hewan per kandang dan sistem pemeliharaan pada kambing.

Dengan mendapatkan data prevalensi Trichuris spp. dan juga hubungannya terhadap faktor risiko sebagai data dasar. Maka kedepannya angka infeksi Trichuris spp. diharapkan terus ditekan dan dikendalikan, hal ini dikarenakan kerugian yang ditimbulkan oleh infeksi tersebut sangat merugikan bagi peternak-peternak yang ada di kota Denpasar.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan sampel berupa fese;s kambing segar yang diambil pada beberapa peternakan di kota Denpasar sebanyak 100 sampel. Pengambilan sampel dilakukan setelah defekasi atau feses yang dikeluarkan tidak lebih dari waktu 3 jam lalu ditempatkan di pot plastik dan direndam menggunakan pengawet formalin 10%. Selanjutnya dilakukan pencatatan data yang terkait dengan umur, jenis kelamin, jumlah kambing per kandang, breed serta sistem perkandangan.

Metode Pemeriksaan Feses.

Sampel selanjutnya dibawa ke laboratorium parasitologi Universitas Udayana untuk dilakukan pemeriksaan sampel. Pemeriksaan sampel dilakukan dengan menggunakan metode apung. Menurut Zajac et al. (2012) langkah pertama yang dilakukan yaitu dengan mengambil sampel feses kira-kira 3 gram lalu dihomogenkan dengan air pada gelas beaker. Selanjutnya sampel disaring untuk memisahkan bongkahan-bongkahan yang

besar. Setelah disaring larutan tersebut dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge hingga mencapai volume kira-kira ¾ bagian dari volume tabung. Tabung tersebut disentrifuge dengan menggunakan sentrifugator dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Setelah larutan disentrifuse, cairan supernatan dibuang secara perlahan dan sisa endapan ditambahkan larutan garam jenuh hingga mencapai ¾ tabung sentrifuse. Lalu, larutan tersebut disentrifuse kembali dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit.

Proses selanjutnya tabung diambil dan diletakkan secara perlahan pada rak tabung reaksi dengan posisi tegak lurus dan tambahkan kembali larutan garam jenuh menggunakan pipet pasteur hingga permukaan tabung terlihat cembung tanpa menumpahkan cairan dalam tabung. Lalu larutan didiamkan terlebih dahulu selama kurang lebih 2-3 menit agar telur cacing Trichuris spp. dapat mengapung. Kemudian secara perlahan, letakkan cover glass pada permukaan tabung lalu secara perlahan ambil dan letakkan diatas objek glass yang selanjutnya diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10× dan 40×. Identifikasi telur dari cacing Trichuris spp. berdasarkan morfologi telur (Win et al., 2020).

Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dilaporkan secara deskriptif. Analisa data meliputi analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square pada tingkat kemaknaan 95 persen, dipergunakan untuk mengetahui hubungan antara umur, jenis kelamin, jumlah kambing per kandang, breed dan sistem perkandangan dengan prevalensi Trichuris spp.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap 100 sampel feses kambing yang dipelihara di kota Denpasar, didapatkan prevalensi infeksi Trichuris spp. sebesar 9%. Pada kategori umur kambing di

dapatkan hasil pada kambing yang berumur <1 tahun sebesar 2% dan umur >1 tahun 16% selanjutnya dilakukan analisis bivariat uji chi-square (X2) didapatkan nilai p sebesar 0,037. Prevalensi Trichuris spp. pada kambing jantan sebesar 10% yang lebih tinggi dibandingkan pada kambing betina sebesar 7,5% dengan nilai p sebesar 0,738. Selain itu, pada kambing yang dipelihara secara berkelompok dengan jumlah kambing 1-10 kambing memiliki prevalensi sebesar 19,3%, 11-20 ekor sebesar 3,9%, dan kambing yang dipelihara dengan jumlah >20 ekor sebesar 5,6% dengn nilai p sebesar 0,058. Berdasarkan breed kambing yang diambil tidak memiliki perbedaan yang sangat tinggi pada kambing etawa prevalensi nya sebesar 4,7%, dan kambing kacang sebesar 33,3 (5/15) dengan nilai p yang di dapat sebesar 0,003. Pada sistem perkandangan kambing ditemukan jika pada kandang panggung tidak ditemukannya infeksi pada kambing yang dipelihara di kandang tersebut sedangkan pada kandang tanah prevalensi infeksi Trichuris spp. sebesar 10,9% dengan nilai p yang didapat sebesar 0,357. Hasil tersebut disajikan secara ringkas pada tabel 1.

Pembahasan

Berdasarkan penelitian tersebut prevalensi infeksi Trichuris spp. cukup rendah di kota Denpasar. Namun, jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Winarso et al. (2015) sebesar 7,22%. Infeksi terjadi disebabkan oleh faktor penyebab yaitu antara hospes, agen, dan lingkungan yang mendukung perkembangan dari Trichuris spp. prevalensi yang rendah dikarenakan penelitian ini dilakukan pada musim kemarau dimana hal ini memungkinkan beberapa telur Trichuri spp. tidak mencapai masa infektif dikarenakan untuk mencapai masa infektif telur memerlukan suhu antara 25oC- 28oC dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu.

Pada umur kambing ditemukan jika prevalensi lebih banyak ditemukan pada kambing yang berumur >1 tahun

dibandingkan dengan kambing yang berumur <1 tahun dengan p-value sebesar 0,031 yang mengartikan jika hasil uji ini menandakan adanya perbedaan umur yang berpengaruh terhadap prevalensi Trichuris spp. Menurut Indradji et al. (2018) pada kambing dewasa mudah terinfeksi disebabkan kuantitatif pakan yang dimakan oleh kambing lebih tinggi dibandingkan kambing muda. Selain itu, adanya ketidakstabilan imunitas yang diakibatkan oleh kebuntingan, melahirkan dan laktasi yang dapat memperburuk kondisi tubuh. Paparan cacing pada kambing dewasa juga terjadi lebih lama yang menurut Levine (1990) jika infeksi alami pada hewan terjadi dengan cara memakan larva sedikit demi sedikit setiap hari selama satu periode yang panjang.

Prevalensi Trichuris spp. lebih banyak ditemukan pada kambing jantan dibandingkan dengan kambing betina. Namun berdasarkan nilai p-value sebesar 0,738 yang mengartikan tidak adanya hubungan antara faktor tersebut dengan jenis kelamin. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mpofu et al. (2020) dan Dappawar et al. (2018) yang mana jenis kelamin kambing tidak memberikan pengaruh berbeda pada prevalensi infeksi Trichuris spp. hal tersebut dapat disebabkan oleh penggembalaan kambing yang sama. Demikian juga pada cara pemeliharaannya antara kambing jantan dengan kambing betina pada tipe kandang yang sama.

Dari hasil yang didapat, Trichuris spp. ditemukan pada kambing yang dikandang secara berkelompok. Pada uji p-value ditemukan sebesar 0,058. Sehingga, tidak adanya hubungan antara faktor dengan prevalensi tersebut. Menurut Regassa et al. (2006) Semakin tinggi jumlah kambing yang dikandangkan secara berkelompok maka akan semakin tinggi risiko penularannya. Kambing yang sakit akan menularkan telur tersebut kepada kambing yang sehat, kambing muda, dan kambing yang mengalami kebuntingan atau sedang

dalam masa menyusui (Mulyono, 2004; Winarso, 2018)

Dari kedua breed kambing ditemukan jika prevalensi nya tidak ada perbedaan yang sangat jauh. Yang mana pada uji chisquare ditemukan jika p-value sebesar 0,003. Sehingga, adanya hubungan antara faktor dengan prevalensi infeksi Trichuris spp.   Berdasarkan pernyataan dari

Ratanapob et al. (2012) jika peternakan yang memelihara kambing pedaging dan kambing perah secara bersamaan akan menyebabkan 46 kali lebih berisiko dibandingkan dengan peternakan yang hanya memelihara kambing perah yang 8 kali beresiko terinfeksi. Hal tersebut dapat disebabkan kebersihan kandang yang lebih baik dibandingkan dengan kambing pedaging yang dimana rata-rata kambing pedaging diletakkan di kandang yang beralaskan tanah sehingga, kebersihannya menjadi tidak terjamin dan mudah terinfeksi.

Sistem perkandangan yang digunakan oleh peternak di kota Denpasar prevalensi infeksi lebih banyak ditemukan pada kandang yang beralaskan tanah. Setelah dilakukan uji chi-square ditemukan jika p-value sebesar 0,357 yang mengartikan jika tidak adanya hubungan. Infeksi Trichuris spp. pada kambing dapat disebabkan oleh pakan yang sama diberikan pada kambing di kedua jenis kandang. Jika kambing diberikan pakan yang mengandung protein yang tinggi maka kambing tersebut akan tahan terhadap infeksi parasit (Coop dan Holmes,1996). Penularan infeksi pada kambing yang beralaskan tanah dapat disebabkan karena pakan yang terjatuh didekat feses yang mengandung telur dari Trichuris spp. Selain itu, Trichuris spp. merupakan cacing yang penularannya melalui media tanah (Onggowaluyo, 2001)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Prevalensi infeksi cacing Trichuris spp. yang ditemukan pada kambing yang diternakkan di kota Denpasar yaitu

sebanyak 9%. Berdasarkan uji chi-square diketahui bahwa prevalensi Trichuris spp. dipengaruhi oleh umur dan breed kambing. Namun, tidak adanya hubungan antara faktor jenis kelamin, jumlah kambing per kandang, dan sistem perkandangan dengan prevalensi infeksi Trichuris spp. pada kambing yang diternakkan di kota Denpasar.

Saran

Peternak       sebaiknya       lebih

memperhatikan   kembali   kebersihan

kandang tersebut terutama pada kandang yang beralaskan tanah karena kambing lebih mudah terinfeksi pada tempat yang lembab. Pemberian obat cacing sangat perlu diperhatikan oleh peternak. Pemberian obat harus sesuai berdasarkan dengan dosis dan waktu pemberian sehingga menghindari adanya resistensi terhadap obat cacing.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, atas izin penggunaan fasilitas pada penelitian ini

DAFTAR PUSTAKA

Ayaz MM, Raza MA, Murtaza S,Akhtar S.

2013. Epidemiological survey of helminths of goats in southern Punjab, Pakistan. Trop. Biomed. 30(1): 62–71.

Bulbul K, Akand A, Hussain J, Parbin S, Hasin D. 2020. A brief understanding of trichuris ovis in ruminants. Int. J. Vet. Sci. Anim. Husb. 5(3): 72–74.

Coop RL, Holmes PS. 1996. Nutrition and parasite interaction. Int. J. Parasitol. 26: 951–962.

Dappawar MK, Khillare BS, Narladkar BW, Bhangale GN. 2018. Prevalence of gastrointestinal parasites in small ruminants in Udgir area of Marathwada. J. Entomol. Zool. Stud. 6(4): 672–676.

Devendra CM, Burns. 1983. Goat production     in     the     tropics.

Commonwealth Agricultural Bureaux,

UK. Pp. 183.

Indradji M, Yuwono E, Indrasanti D, Samsi M, Sufriyanto S, Herlan A, Herdiana B. 2018. Studi kasus tingkat infeksi cacing pada peternakan kambing Boer di kabupaten Banyumas. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 6(1): 93-96.

Levine ND. 1994. Buku pelajaran parasitologi veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Mpofu TJ, Nephawe KA, Mtileni B. 2020. Prevalence of gastrointestinal parasites in communal goats from different agro-ecological zones of South Africa. Vet. World. 13(1): 26–32.

Mulyono S. 2004. Teknik pembibitan kambing dan domba. Swadaya. Jakarta.

Novitasari D, Suprayogi TW, Legowo D, Rochmi SE. 2020. The incidence of gastrointestinal helminthiasis in etawa crossbred goat in etawa farm jombang. J. Appl. Vet. Sci. Technol. 1: 24-28.

Onggowaluyo JS. 2001. Parasitologi medic 1 (helmintologi) pendekatan aspek identifikasi, diagnosa, dan klinis. EGC. Jakarta.

Prabowo A. 2010. Budidaya ternak kambing. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatra Selatan. Palembang.

Purwaningsih P, Noviyanti N, Sambodo P. 2017. Infestasi cacing saluran pencernaan pada kambing kacang peranakan ettawa di Kelurahan Amban Kecamatan     Manokwari     Barat

Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 5(1): 8.

Ratanapob N, Arunvipas P, Kasemsuwan S, Phimpraphai W, Panneum S. 2012. Prevalence and risk factors for intestinal parasite infection in goats raised in Nakhon Pathom Province, Thailand. Trop. Anim. Health Prod. 44(4): 741– 745.

Regassa F, Sori T, Dhuguma R, Kiros Y. 2006. Epidemiology of gastrointestinal parasites of ruminants in Western Oromia, Ethiopia. Int. J. Appl. Res. Vet. Med. 4: 51–57.

Rophi AH. 2015. Identifikasi cacing parasit

dan prevalensinya pada ternak kambing di Kelurahan Koya Barat, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Provinsi Papua. Novae Guinea J. Biol. 6(2): 1-11.

Sabrani M, Sitorus P, Rangkuti M, Subandriyo IM, Soedjana TD, Semali A. 1982. Laporan survei baseline ternak kambing dan domba. Small Ruminant-Collaborative Support Program. BPT. Bogor.

Suyasa N, Ayu PI, Rohaeni SE. 2016. Potensi dan Keragaman karakter kambing kacang , peranakan ettawa (PE) dan gembrong di Bali. Proc. Sem. Nas. Inov. Teknol. Pertanian. 2016: 1359– 1366.

Win SY, Win M, Thwin EP, Htun LL, Hmoon MM, Chel HM, Thaw YN, Soe

NC, PhyoTT, Thein SS, Khaing Y, Than AA, Bawm S. 2020. Occurrence of gastrointestinal parasites in small ruminants in the central part of Myanmar. J. Parasitol. Res. 2020: 8826327.

Winarso A. 2018. Infeksi parasit gastrointestinal pada kambing di Kupang. ARSHI Vet. Letters. 2(2): 25.

Winarso A, Satrija F, Ridwan Y. 2015. Prevalensi trichurosis pada sapi potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. J. Kajian Vet. 3(2): 225-230.

Zajac AM, Conboy GA.2012. Veterinary clinical parasitology. 8th Ed. John Wiley & Sons, Inc. Unitd Kingdom.

Tabel 1. Hubungan antara faktor risiko dengan prevalensi infeksi Trichuris spp.

Faktor Risiko

Positif

Negatif

Prevalensi

P-value#

Umur

>1 tahun

8

42

16%

0,037*

<1 tahun

1

49

2%

Jenis Kelamin Jantan

6

54

10%

0,738

Betina

3

37

7,5%

Jumlah Kambing per Kandang 1-10 ekor

6

25

19,3%

0,058

11-20 ekor

2

49

3,9%

>20 ekor

1

17

5,6%

Breed Etawa

4

81

4,7%

0,003**

Kacang

5

10

33,3%

Sistem Perkandangan Beralaskan Tanah

9

73

10,9%

0,357

Panggung

0

18

0%

Keterangan: # signifikansi hasil uji, * signifikan, **sangat signifikan

728