Buletin Veteriner Udayana                                                              Volume 14 No. 2: 129-147

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                                  April 2022

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet                             DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i02.p10

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Penentuan Kualitas Telur Ayam F1 dan F2 Anakan Biak Selektif Broiler Cobb 500 x Pelung

(EGG QUALITY DETERMINATION OF F1 AND F2 CHICKEN SELECTED CROSSBRED OF BROILER COBB 500 x PELUNG)

I Wayan Swarautama Mahardhika1*, Hendry T.S.S.G. Saragih2, Slamet Widiyanto3 Budi Setiadi Daryono1*

  • 1Gama Ayam Research Team, Laboratory of Genetics and Breeding 2Gama Ayam Research Team, Laboratory of Animal Development 3Gama Ayam Research Team, Laboratory of Animal Physiology Faculty of Magister Biology, Universitas Gadjah Mada,

Jl. Teknika Selatan, Senolowo, Sinduadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

Telp. (0274) 580839;

Abstrak

Kualitas telur dapat menentukan fertilitas dan efisiensi reproduktif ayam. Pemuliabiakan selektif ayam hibrida Kambro diduga mempengaruhi kualitas telur. Studi ini bertujuan untuk menentukan pengaruh pemuliabiakan selektif terhadap kualitas telur dua generasi ayam hibrida F1 Kambro (F1K)-biak silang dan F2 Kambro (F2K)-biak dalam. Nilai koefisien (F) dan laju biak-dalam (Fx) ayam F2K dihitung. Rekam data telur ayam dianalisis berdasarkan produktivitas, fenotipe, berat, indeks, dan parameter kualitas eksterior telur. Parameter kualitas eksterior telur dianalisis dengan formula matematis. Produktivitas telur dalam hen day production (HDP) ayam F1K dan F2K selama 270 hari secara berurutan yaitu 24% dan 16,5%. Heterosis pada F2K sebesar -31,25% menunjukkan terdapatnya tekanan biak-dalam terhadap produktivitas telur. Fenotipe telur ayam F2K terbagi empat yaitu lightbrown, cream, brown, dan white. Rerata berat telur (EW) ayam F1K dan F2K secara berurutan yaitu 53,34 ± 2,34-gram dan 54,92 ± 9,25-gram, maka tergolong ke dalam kategori small egg. Indeks bentuk telur ayam F1K dan F2K secara berurutan didominasi oleh sharp egg dan round egg. Parameter kualitas eksterior telur ayam F1K dan F2K berdasarkan GMD dapat digunakan sebagai variabel prediktor, sementara Sp (r = 1, p<0,001) tidak menggambarkan pengaruh pergeseran kurva regresi. Nilai Fx dan F ayam F2K secara berurutan yaitu 4,925% dan 25% tepat pada batas ambang toleransi biak-dalam inbred line. Tekanan biak-dalam berhubungan dengan depresi produktivitas dan karakter telur antara ayam F1K dan F2K. Pemilihan indukan pada pemuliabiakan selektif wajib memperhatikan faktor tekanan biak-dalam, nilai koefisien, lajunya, dan kualitas telur. Penerapan seleksi genomik berpeluang dalam meminimalisir pengaruh dan lonjakan nilai Fx dan F.

Kata kunci: indeks bentuk telur; biak-dalam; biak-silang; ayam hibrida

Abstract

Egg quality can determine the fertility and reproductive efficiency of chickens. Selective breeding of Kambro chickens might have influenced the egg quality. This study aims to determine the influence of a selective breeding program on the egg quality of two Kambro chicken generations, F1 Kambro (F2K)-crossbred and F2 Kambro (F2K)-inbred. Inbreeding coefficient (F) and rate of inbreeding (Fx) of F2K chickens were calculated. The egg collection record was analyzed based on its productivity, phenotype, weight, index, and exterior egg quality parameters. Exterior egg quality parameters were analyzed with mathematical formulae. Egg productivity in Hen Day Production (HDP) of F1K and F2K chickens for 270-days, respectively, was 24% and 16.5%. The heterosis value of F2K chicken was -31.25% indicating an inbreeding depression in egg productivity. The egg phenotype of F2K was classified into light-brown, cream, brown, and white. The mean egg weight (EW) of F 1K and F2K,

respectively, was 53.34 ± 2.34-grams and 54.92 ± 9.25-grams, thus were classified as small eggs. The eggshape index of F1K and F2K, respectively, were dominated by sharp eggs and round eggs. Exterior egg quality parameters of F1K and F2K based on GMD could be used as a predictor variable, meanwhile Sp (r = 1, p<0.001) could not be used to describe the disposition of the regression curve. The Fx and F values of F2K, respectively, were 4.925% and 25% close to the tolerance level of inbred-line inbreeding depression. Inbreeding depression was correlated with productivity and egg characteristics depression between F1K and F2K. Parental selection in a selective breeding program must be based on several factors, including inbreeding depression, inbreeding coefficient, inbreeding rate, and egg quality. The implementation of genomic selection may provide a solution to minimalize the effect and fluctuations of Fx and F.

Keywords: eggshape index; inbreeding; crossbreeding; hybrid chickens

PENDAHULUAN

Potensi strategis pemanfaatan keanekaragaman plasma nutfah ayam lokal asli Indonesia (Suprijatna, 2010; Daryono et al., 2010) dapat menjadi pilar fondasi kuat terwujudnya revolusi industri berbasiskan biodiversitas. Pemanfaatan nilai ekonomi sumberdaya genetik secara berkelanjutan sesuai pedoman konservasi nilainya potensial, penting, dan strategis bagi kedaulatan pangan negara (Hidayat, 2012; Aedah et al., 2016; Setiadi, 2016). Ketimpangan ketersediaan sumberdaya genetik menimbulkan adanya ketergantungan dan pola distribusi atas pemenuhannya. Ketimpangan ketersediaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik menjadi cikal bakal tumbuhnya industri peternakan ayam pedaging dan petelur dalam berbagai skala.

Pertumbuhan pesat tahunan industri ayam lokal asli Indonesia ditandai peningkatan minat dan keterlibatan komunitas peternak unggas. Beberapa kendala pengembangan industri ayam lokal asli Indonesia antara lain bibit unggul lokal terbatas (Hidayat, 2012; Anggitasari et al., 2016), rendahnya produktivitas ayam (Hidayat, 2012; Ningsih dan Prabowo, 2017), peningkatan preferensi masyarakat (Aedah et al., 2016; Ferlito dan Respatiadi, 2018; Sami dan Fitriani, 2019), ketersediaan pakan lokal berkualitas minim (Hidayat, 2012; Muntasiah et al., 2019), daya saing produk perunggasan rendah (Aedah et al., 2016; Ningsih dan Prabowo, 2017), mayoritas tradisional/industri kerakyatan (Hidayat, 2012), dan rendahnya

efisiensi manajemen pemeliharaan (Tabun et al., 2010; Darwati et al., 2015; Evaris et al., 2019).

Peningkatan produktivitas ayam lokal asli Indonesia dapat ditempuh dengan mengnyinergikan dan memperbaiki tiga komponen yaitu mutu genetik bibit, pakan, dan manajemen pemeliharaan (Nataamijaya, 2010; Hidayat, 2012; Darwati et al., 2015). Pemuliabiakan selektif galur ayam dapat meningkatkan produktivitas, nilai ekonomi, dan performa fenotipe tertentu (traits) melalui modifikasi susunan genetik sesuai dengan preferensi dan kebutuhan manusia (Das et al., 2008; Cheng, 2010; Tabun, 2010; Oldenbroek dan van der Waaij, 2014; Mariandayani et al., 2017; Sudrajat dan Isyanto, 2018; Muntasiah et al., 2019).

Berdasarkan fungsi dan potensi pemanfaatannya, sebanyak 34 plasma nutfah ayam lokal asli Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai petelur, pedaging, ornamental, dwiguna, dan petarung (Nataamijaya, 2010; Hidayat dan Asmarasari, 2015; Henuk dan Bakti, 2018). Sebanyak 11 galur ayam lokal asli Indonesia tergolong sebagai ayam pedaging dan petelur potensial, salah satunya ayam Pelung (Daryono et al., 2010; Henuk dan Bakti, 2018; Mahardhika dan Daryono, 2019). Pembagian sistem manajemen pemeliharaan ayam lokal asli Indonesia terbagi menjadi intensif, semi-intensif, dan tradisional dengan korelasi signifikannya terhadap produktivitas dan performa reproduksi (Hidayat dan Asmarasari, 2015).

Gama Ayam Research Team telah mengadakan pemuliabiakan silang antara ayam lokal asli Indonesia/ Kampung yaitu Pelung dan ayam pedaging komersial yaitu Broiler Cobb 500 (Saragih dan Daryono, 2010; Perdamaian et al., 2017; Tanjung et al., 2019). Pemuliabiakan silang (crossbreeding) menghasilkan hibrida F1 Kampung-Broiler (Kambro) (Mahardhika dan Daryono, 2019), dilanjutkan dengan biak-dalam (inbreeding-inbred line) menghasilkan hibrida F2 (Maulidi et al., 2020). Fokus seleksi menitikberatkan pada capaian bobot tubuh dan performa reproduksi. Performa reproduksi menentukan kelangsungan dari program pemuliabiakan selektif yang bergantung terhadap jumlah hibrida tiap periode tetasan yang dapat dihasilkan. Data terkait produktivitas telur, kualitas eksterior telur, dan indeks bentuk telur sifatnya penting dalam upaya menjamin persentase tetasan dan mutu tetasan.

Program pemuliabiakan selektif bergantung terhadap rekam analisis detail terkait karakteristik fenotipe dan capaian tiap generasi hibrida. Deskripsi terkait produktivitas telur, berat telur, indeks bentuk telur, dan parameter kualitas eksterior telur ayam dihitung secara kuantitatif. Tinjauan tentang kualitas telur dari dua generasi ayam hibrida F1 Kambro dan F2 Kambro bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari pemuliabiakan selektif. Kualitas telur merupakan aspek kuantitatif yang penting dalam kegiatan pemuliabiakan selektif sebagai penentu fertilitas telur (Makanjuola et al., 2021).

METODE PENELITIAN

Pemeliharaan Ayam F1 dan F2 Kambro

Penelitian berlangsung di Pusat Inovasi Agro Teknologi (PIAT) Universitas Gadjah Mada (UGM). Penetasan dan rekam tetasan telur bermitra dengan Penetasan Unggas HTN Sugeng Jeroni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ayam hibrida F1 Kambro hasil biak-silang (crossbreeding) antara betina Broiler Cobb 500 dan jantan Pelung diseleksi. Individu jantan

berdasarkan capaian bobot tubuh dan individu betina berdasarkan performa reproduksi. Ayam F1 Kambro dibiak-dalam (inbreeding) secara inbred line antara individu jantan F1 Kambro menghasilkan ayam hibrida inbred F2 Kambro. Rasio ayam tiap kandang semi-intensif (2 x 2 x 3 m) seekor jantan dan dua betina masing-masing berumur setahun. Kondisi temperatur kandang berkisar 15°C dan 25°C dengan masa pencahayaan 12 jam/ hari. Pemberian diet pakan BR-1 (PT. Japfa Comfeed, Indonesia) dengan kandungan protein kasar 22% (3050 Kcal ME/kg) bagi day-old-chicks (DOC) ayam F1 dan F2 Kambro dilakukan selama 4 minggu. DOC tetasan F1 dan F2 Kambro dipelihara secara intensif dalam kandang bambu terinsulasi (1 x 1 x 0,3 m) dengan sumber panas berupa lampu pijar. Pemberian suplemen berupa VitaChick® dan VitaStress® dilakukan hingga ayam siap dipindahkan ke kandang pembesaran semi-intensif (2 x 2 x 2 m) pada umur 7 minggu. Ayam dewasa (6 bulan) F1 dan F2 Kambro diberikan diet pakan standar AD-II (PT. Japfa Comfeed, Indonesia) dengan kandungan protein kasar 15% secara ad libitum disertai dengan pemberian suplemen larut air minum Egg Stimulant® dan Tetrachlor®.

Koefisien dan Laju Biak-Dalam, Produktivitas dan Kualitas Eksterior Telur Ayam

Produktivitas telur ayam F1 Kambro dan F2 Kambro diukur dengan rekam data koleksi telur per hari dalam periode 270 hari. Berat telur (EW: Egg Weight) ayam F1 Kambro (F1K) dan ayam F2 Kambro (F2K), didata dengan penimbangan menggunakan timbangan digital KrisChef© (akurasi 0,01 gram). Pengukuran morfometri telur diukur menggunakan sigmat/ jangka sorong Vernier Caliper 0-150 mm TRICLE BRAND® (akurasi 0,05 mm). Pengukuran nilai koefisien dan laju biak-dalam, indeks bentuk telur, dan parameter kualitas eksterior telur menggunakan beberapa formula matematis sebagai berikut:

Luas permukaan telur (ESA). Duman et al. (2016)

3,9782 x EW 0,7056

EW = Berat telur (gram)

Volume hipotetikal (HV). Zhou et al.

(2009)

(0,6057-0,0018B) x LB2

B = Luas permukaan telur (cm2); L =

Panjang telur (cm)

Rerata diameter geometrik (GMD).

Ikegwu et al. (2016)

(LW2)1/3

L = Panjang telur (cm); W = Lebar telur (cm)

Sphericity (Sp). Ikegwu et al. (2016)

(GMD/L) x 100

GMD = Rerata diameter geometrik (cm);

L = Panjang telur (cm)

Indeks bentuk telur (EI). Özbey dan

Esen (2007) dan Duman et al. (2016)

(W/L) x 100

W = Lebar telur (cm); L = Panjang telur (cm)

Nilai koefisien biak-dalam (F). Telalbasic et al. (2007)

Σ[(12N+1) (1 + FCA)]

N = Banyaknya garis dalam alur; FCA = Koefisien moyang bersama

Laju biak-dalam  (Fx).  Sawitri dan

Takandjandji (2012)

1 /8 Nm + 1 /8 Nf

Nm = Jumlah pejantan dan calon pejantan; Nf = Jumlah betina yang dapat dikawinkan

Analisis Data

Analisis data dengan one-way ANOVA dan independent sample t-test IBM SPSS Statistics 23. Analisis rekam observasi visual fenotipe tiap telur ayam hasil koleksi harian. Penentuan nilai tiap parameter kualitas eksterior telur dilanjutkan dengan korelasi Pearson dan regresi linear telur ayam F1 dan F2 Kambro. Penentuan nilai koefisien dan laju biak-dalam generasi ayam F2 Kambro.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tabel 1. Indeks bentuk telur (EI) ayam F1K dan F2K

Indeks bentuk telur (EI) ayam F1K (n = 4)

Indeks bentuk

N (96)

Min (cm)

Maks (cm)

Rerata (cm)

SEM

Sd

Sharp egg

51

60,45

71,99

70,19

0,249

±1,784

Standard egg

40

72,09

75,91

73,45

0,159

±1,007

Round egg

5

76,07

78,89

77,62

0,595

±1,329

Indeks bentuk telur (EI) ayam F2K (n = 4)

Indeks bentuk

N (66)

Min (cm)

Maks (cm)

Rerata (cm)

SEM

Sd

Sharp egg

8

69,60

71,72

70,94

0,278

±0,785

Standard egg

15

72,06

75,74

73,96

0,338

±1,309

Round egg

43

76,20

81,87

78,65

0,227

±1,487

Keterangan: EI: Eggshape Index; F1K: F1 Kambro; F2K: F2 Kambro; SEM: Standard error of the mean; Sd: Standar deviasi.

Tabel 2. Pengaruh indeks bentuk telur (EI) terhadap parameter kualitas eksterior telur ayam

F1K dan F2K

Parameter kualitas eksterior telur

Indeks bentuk telur ayam F1K

Sharp

Standard

Round

SEM

Sd

p

EW (gram)

53,65a

53,06b

52,8a

0,239

2,34

(± 1,958)

(± 2,731)

(± 2,588)

ns

ESA (cm2)

66,07a

65,52b

65,33a

0,208

2,04

(± 1,703)

(± 2,385)

(± 2,25)

ns

HV (cm3)

57,723a

56,27a

60,976a

0,547

5,36

(± 5,103)

(± 4,475)

(± 11,508)

ns

GMD (cm)

4,575a

4,54a

4,652a

0,015

0,15

(± 0,151)

(± 0,124)

(± 0,303)

ns

Sp (cm3)

78,86a

81,28a

84,32a

0,193

1,89

(± 1,356)

(± 0,742)

(± 0,96)

***

t-test telur ayam F1K

Standard-Sharp

Round-

Standard

Round- Sharp

p

t

df

t

df

t

df

10,321***

89

8,421***

43

9,024***

54

***

Parameter kualitas

Indeks bentuk telur ayam F2K

eksterior telur

Sharp

Standard

Round

SEM

Sd

p

EW (gram)

59,25a

53,73a

54,535a

1,12

9,254

(± 14,77)

(± 8,713)

(± 8,163)

ns

ESA (cm2)

70,486a

66a

66,705a

0,957

7,771

(± 12,33)

(± 7,308)

(± 6,896)

ns

HV (cm3)

67,74a

63,65a

57,13b

1,27

10,29

*

(± 12,59)

(± 13,84)

(± 7,013)

GMD (cm)

4,82a

4,71a

4,56b

0,031

0,252

*

(± 0,294)

(± 0,331)

(± 0,182)

Sp (cm3)

79,42a

81,65a

85,08a

0,29

2,34

(± 0,586)

(± 0,965)

(± 1,073)

ns

t-test telur ayam F2K

Standard-Sharp

Round-

Standard

Round- Sharp

p

t

df

t

df

t

df

5,931***

21

10,846***

56

14,224***

49

***

Keterangan: EW: Berat telur (gram); ESA: Luas permukaan telur (cm2); HV: Volume hipotetikal (cm3); GMD: Rerata diameter geometrik (cm); Sp: Sphericity; ns: non-significant; *: p<0,05; **: p<0,01; ***: p<0,001. Sd: Standar Deviasi terletak dibawah Mean; SEM: Standard error of the mean. Rerata dengan huruf berbeda dalam satu baris berbeda secara signifkan berdasarkan Fisher’s LSD dan Tukey HSD (p<0,05).

Tabel 3. Pengaruh indeks bentuk telur (EI) terhadap parameter kualitas eksterior telur ayam

F1K dan F2K

Parameter kualitas eksterior telur

Sharp

Standard

Round

Indeks bentuk telur

EW (gram)

0,105

-0,274

0,545

-0,116 ns

ESA (cm2)

0,106

-0,277

0,545

-0,117 ns

HV (cm3)

0,433**

-0,167

0,633

0,164 ns

GMD (cm)

0,477**

-0,158

0,661

0,180 ns

Sp (cm3)

1**

1**

1**

1 **

Parameter kualitas eksterior telur

Sharp

Standard

Round

Indeks bentuk telur

EW (gram)

0,012

0,413

0,025

-0,054 ns

ESA (cm2)

0,004

0,418

0,022

-0,049 ns

HV (cm3)

-0,050

-0,243

0,030

-0,374 **

GMD (cm)

-0,061

-0,226

0,034

-0,363 **

Sp (cm3)

1**

1**

1**

1**

Keterangan: EW: Berat telur (gram); ESA: Luas permukaan telur (cm2); HV: Volume hipotetikal (cm3); GMD: Rerata diameter geometrik (cm); Sp: Sphericity; ns: non-significant; *: p<0,05; **: p<0,01; ***: p<0,001.

Gambar 1. Berat telur, indeks bentuk telur, dan parameter kualitas eksterior telur ayam F1K dan F2K. Keterangan: F1K: F1 Kambro; F2K: F2 Kambro; EW: Berat telur (gram); Egg DvT: Panjang telur (cm); Egg DhT: Lebar telur (cm); Egg Surface Area: Luas permukaan telur (cm2); SphericityT; HypoVolumeT: Volume hipotetikal (cm3); Geometric Mean DiameterT: Rerata diameter geometrik (cm); dan Eggshape IndexT: Indeks bentuk telur.

Gambar 2. Regresi kuadratik dan kubik parameter GMD terhadap EW ayam F1K dan F2K.

Keterangan: GMD: rerata diameter geometrik; F1K: F1 Kambro; F2K: F2 Kambro.

Gambar 3. Fenotipe telur ayam F1K dan F2K. Keterangan: F1K: F1 Kambro; F2K: F2 Kambro.

Gambar 4. Diagram pemuliabiakan selektif Gama Ayam Research Team. Keterangan: A: Pelung Blirik Hitam; B: Broiler Cobb 500; C: Jantan F1 Kambro; D: Betina F1 Kambro; E: generasi F2 Kambro.

Pembahasan

Produktivitas Telur Ayam Parental dan Hibrida F1 - F2 Kambro

Berdasarkan rekam penetasan telur, laju koleksi dan penetasan telur Broiler Cobb 500 sebanyak 10 hingga 20 butir per minggu selama kurun waktu enam bulan (Desember 2016 s/d Mei 2017). Tingkat produksi telur per minggu sangat rendah sekitar 20 hingga 22 telur pada puncak siklus bertelur ayam Broiler Cobb 500. Daya tetas telur ayam betina Broiler Cobb 500 (umur 6 bulan) hanya mencapai 25%/periode tetasan. Faktor yang mempengaruhi fluktuasi produksi telur Broiler Cobb 500 antara lain asupan nutrisi, tingkat stress, tingkat fertilitas sperma, dan fertilitas telur. Broiler petelur produktif pada umur 23 minggu atau kurang lebih 6 bulan.

Fluktuasi produktivitas telur betina Broiler Cobb 500 dalam penelitian ini dapat dipengaruhi oleh faktor genetik yaitu sifat alel homozigotik pada final stock yang digunakan. Hameed et al. (2016) mengungkapkan bahwa berat telur dan daya tetas telur dapat dipengaruhi oleh peningkatan umur betina, penurunan daya tetas telur mencapai 15% pada betina Broiler umur 30 minggu ke atas dengan berat telur kurang dari 60 gram. Faktor utama fluktuasi produksi telur dapat diakibatkan oleh pola diet secara ad libitum. Pola diet ad libitum dapat menurunkan produksi telur, daya tetas menjadi rendah, dan tingkat mortalitas tinggi. Restriksi diet pakan disarankan untuk membatasi pertambahan bobot tubuh, memaksimalkan produksi telur, dan fertilitas betina Broiler Cobb 500.

Pendataan telur berlangsung selama 270 hari dengan menggunakan masing-masing empat ekor betina pada grup F1 Kambro (F1K) dan F2 Kambro (F2K). Produktivitas telur dapat diukur dengan menggunakan Hen Day Production (HDP) yaitu persentase jumlah produksi telur harian per jumlah betina. Produktivitas telur 4 ekor ayam betina F2K mencapai 66

butir telur (HDP = 16,5%) sementara 4 ekor ayam betina F1K mencapai 96 butir telur (HDP = 24%). Nilai heterosis merupakan lawan dari tekanan biak-dalam yaitu nilai peningkatan performa suatu karakter hibrida terhadap indukannya (Oldenbroek dan van der Waaij, 2014). Heterosis pada F2K sebesar -31,25% sehingga terdapat tekanan biak-dalam mengakibatkan penurunan produktivitas telur dalam kondisi kandang dan pemeliharaan semi-intensif identik antara grup F1K dan F2K.

Produksi telur pada ayam petelur F1 dan F2 Kambro dimulai pada umur 24 minggu. Produksi tersebut dapat digambarkan ke dalam suatu kurva. Secara matematis, kurva produksi ini dapat dibagi ke dalam 3 tahap, yaitu : awal produksi - puncak (peningkatan kemiringan), puncak produksi, dan puncak-akhir produksi (penurunan kemiringan). Pada permulaan produksi telur, persentase produksi HDP sekitar 5%. Persentase tersebut meningkat pesat pada minggu ke-8 saat ayam berumur 31-32 minggu, produksi telur mencapai puncaknya dengan persentase HDP lebih dari 80%. Produksi telah mencapai puncaknya apabila selama 5 hari berturut-turut produksi telur tidak meningkat. Setelah mencapai puncaknya, persentase HDP menurun secara konstan dengan laju penurunan sebesar 1% per minggu.

Produktivitas telur ayam F1 dan F2 Kambro secara berurutan mencapai 16,5% dan 24% unggul terhadap generasi parentalnya Broiler Cobb 500 sebesar pada minggu ke-24. Persentase HDP ayam parent stock Broiler Cobb 500 umur 24 minggu hanya mencapai 1,45% jauh lebih rendah dibandingkan standar Cobb-Vantress yaitu 5%. Masa puncak produksi parent stock Broiler Cobb 500 adalah minggu ke-31 sebesar 83,61%. Dengan memperhitungkan adanya pewarisan alel asosiatif terhadap produktivitas telur maka diduga ayam Kambro memiliki puncak masa bertelur yang sama dengan tetuanya Broiler Cobb 500.

Produktivitas telur ayam Kambro secara deskriptif lebih rendah dibandingkan

ayam lokal asli yaitu Pelung, Kampung dan Lurik. Darwati (2000) melaporkan bahwa produktivitas telur ayam Pelung mencapai 20,36% - 43,37% dengan rataan 31,28 ± 6,34%, sementara ayam Kampung mencapai 26,05 - 47,90% dengan rataan 33,8   ±   7,49%. Depison (2009)

mengungkapkan bahwa produktivitas telur ayam Lurik mencapai 200 - 250 butir telur/365 hari sementara hibrida silangan Pelung x Lurik dapat mencapai 39,57%. Produktivitas telur ayam F1 dan F2 Kambro secara deskriptif lebih rendah dibandingkan produktivitas ayam hibrida F1 Kamper (Kampung-Layer Lohmann BrownClassic) yang mencapai 140,37 butir telur/300 hari, Pelung mencapai 56,40 butir telur/300 hari dan Layer Lohmann BrownClassic mencapai 195,07 butir/300 hari (Ernanto, 2017). Produktivitas telur ayam Layer Lohmann LSL-Classic pada masa puncak bertelur dapat mencapai 94 - 96% (Lohmann Tierzucht, 2019). Secara deskriptif, faktor manajemen pemeliharaan tidak berkorelasi signifikan terhadap produktivitas telur sementara terdapat korelasi signifikan antara umur dewasa kelamin dan tekanan biak-dalam. Berdasarkan data tersebut diperlukan adanya analisis molekuler guna menentukan alel asosiatif terhadap produktivitas telur.

Gen reseptor leptin (LEPR) atau ob-r pada ayam terletak pada kromosom nomor 8 QTL terdiri atas 20 ekson (Wang et al., 2006; Adachi et al., 2012). Ditemukan korelasi positif antara pembentukan folikel ovarium dengan persentase tingkat leptin dan reseptor leptin pada jaringan folikular melalui steroidogenesis. Ekspresi mRNA LEPR tertinggi ditemukan pada lapisan theca folikel kuning (F3- F1) ovarium ayam betina Broiler, dimana administrasi eksternal mempengaruhi periode bertelur dengan (a) penundaan penghentian peneluran, (b) penipisan folikel kuning, (c) pengubahan steroidogenesis, dan (d) penghilangan apoptosis pada F3-F1 folikel kuning ovarium (Paczoska-Eliasiewicz et al., 2003; Bamidele et al., 2012). Seroussi

et al. (2016) mendeteksi pola ekspresi gen leptin (LEP) dan gen reseptor leptin (LEPR) pada beberapa jaringan ayam diantaranya embrio, ovarium, hipotalamus, serebrum, dan kelenjar adrenal, namun tidak terdeteksi pada jaringan hati, otot dada, dan paru-paru. Seroussi et al.   (2017)

mengungkapkan bahwa berdasarkan perbandingan pemetaan genomik dan karakteristik sekuen, gen leptin ayam terlokalisasi pada ujung distal 1p kromosom ayam (G. g. gallus).

Fenotipe, Berat, Indeks, dan Parameter Kualitas Eksterior Telur Hibrida F1-F2 Kambro

Pengukuran parameter morfometrik telur ayam yaitu berat telur, indeks bentuk telur, dan beberapa parameter kualitas eksterior telur berhubungan dengan grading, performa reproduktif, dan perkembangan embrio ayam (Kabir et al., 2012; Duman et al., 2016). Dalam beberapa studi parameter kualitas eksterior telur berpengaruh signifikan dalam kegiatan komersial seperti distribusi telur, kegiatan penetasan day-old-chicks (DOC), dan ketertarikan konsumen (Abanikannda dan Leigh, 2012; Ikegwu et al., 2016). Parameter kualitas eksterior telur sendiri ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia ayam petelur, genotipe, nutrisi, sistem pemeliharaan, dan waktu oviposisi (Duman et al., 2016).

Telur dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berdasarkan indeks bentuk telur (EI: Eggshape Index) yaitu sharp egg (EI<72), standard egg (EI = 72-76), dan round egg (EI>76) (Duman et al., 2016). Pada Tabel 1 ditunjukkan indeks bentuk telur ayam F2K (n = 66) yaitu sharp egg (70,941 ± 0,278 cm), standard egg (73,96 ± 0,338 cm), dan round egg (78,654 ± 0,227 cm). Rerata EI populasi ayam F1K (n = 96) yaitu sharp egg (70,19 ± 0,249 cm),

standard egg (73,45 ± 0,159 cm), dan round egg (77,62 ± 0,595 cm). Secara deskriptif ditemukan bahwa 53,125% telur ayam F1K (n = 96) tergolong sharp egg,

sementara 65,15% telur F2K (n = 66) tergolong round egg.

Pembagian grade telur dibagi menjadi tiga yaitu AA (perfect/standard egg), A/B (nearly perfect/sharp egg) dan AB (round egg) (Duman et al., 2016; Ikegwu et al., 2016). Bentuk telur terdiri atas biconical (kedua ujungnya runcing), elliptical (elips), oval (bentuk terbaik), dan spherical (hampir bulat). Bentuk telur dipengaruhi oleh faktor genetik dan tidak ditemukan korelasi antara sistem pemeliharaan dan suhu terhadap bentuk telur.

Pada Gambar 1 ditunjukkan perbandingan beberapa parameter kualitas eksterior telur ayam F1K dan F2K. Berdasarkan parameter kualitas eksterior telur maka ayam F2K unggul dibandingkan ayam F1K. Pada parameter Egg DvT ayam F2K memiliki rerata 5,54 cm lebih rendah dibandingkan ayam F1K dengan rerata 5,7 cm. Berdasarkan hal ini maka bentuk telur pada ayam F2K mendekati round egg dan F1K mendekati standard egg. Dalam rangka menguji fenomena tersebut maka dilakukan analisis independent sample t-test pada telur ayam F1K dan F2K (Tabel 2).

Analisis independent sample t-test pengaruh EI terhadap parameter kualitas eksterior telur ayam F1K dan F2K (Tabel 2). Pada ayam F1K round egg unggul secara signifikan terhadap standard egg (t (43) = 8,421, p<0,001). Pada ayam F2K round egg unggul secara signifikan terhadap standard egg (t (56) = 10,846, p<0,001). Berdasarkan hasil uji t-test pada bentuk telur F1K dan F2K maka disimpulkan bahwa bentuk telur grup ayam F1K dan F2K didominasi oleh round egg. Generasi parental ayam Broiler Cobb 500 memiliki nilai EI 69,79 ± 1,95 cm (sharp egg) dan Pelung Blirik Hitam memiliki nilai EI 78,10 ± 7,11 cm (round egg) (Kabir et al., 2012). Nilai EI ayam Layer ISA-Brown dan ISA-White yaitu 79,90 ± 2,83 cm (round egg) dan 72,08 ± 2,7 cm (standard egg) (Kabir et al., 2012). Berdasarkan hasil perbandingan maka dapat diasumsikan bahwa sharp egg dan round egg pada ayam F1K dan F2K dipengaruhi oleh pewarisan alel tetuanya

dan dapat menunjukkan terjadinya segregasi alel pada populasi hibrida tersebut.

Nilai EI sendiri memiliki pengaruh yang signifikan pada beberapa parameter kualitas eksterior telur ayam. Nilai EI pada ayam F1K berpengaruh terhadap sphericity telur (p<0,001) dan pada ayam F2K berpengaruh terhadap HV (p<0,05) dan GMD (p<0,05) (Tabel 2). Parameter ESA, HV, GMD, dan Sp merupakan parameter yang digunakan dalam beberapa studi untuk memprediksi bobot tetas DOC, daya tetas telur (hatchability), kualitas cangkang telur, parameter kualitas interior telur, fungsi reproduksi, klasifikasi, dan seleksi persilangan (Narushin, 2005; Havlíček et al., 2008; Duman et al., 2016; Ikegwu et al., 2016). Metode berbasiskan citra pengukuran morfometrik telur ayam bertujuan meningkatkan efisiensi dalam menyeleksi telur ayam berdasarkan kualitas eksterior, kategorisasi, dan grading (Havlíček et al., 2008; Waranusast et al., 2017. Metode ini dianggap sukses menentukan dimensi telur dengan tingkat galat sebesar 3,1% dan akurasi hingga 80,4% dalam menyeleksi 425 telur menggunakan data foto telur (Waranusast et al., 2017).

Berdasarkan parameter Sp (p<0,001), HV (round egg; 57,13 ± 7,013, p<0,05) dan GMD (round egg; 4,56 ± 0,182, p<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa bentuk telur F1K dan F2K tergolong round egg (EI>76), sehingga mengacu pada Ikegwu et al. (2016) maka kualitasnya tergolong dalam kategori AB. Berdasarkan parameter EW, ESA, dan EI maka tidak terdapat pengaruh (ns; p>0,05) signifikan antara bentuk telur terhadap berat telur dan luas permukaan telur. Dapat disimpulkan bahwa telur ayam F1K memiliki bobot dan luas permukaan seragam pada ketiga kategori bentuk telur, hal yang sama turut berlaku pada telur ayam F2K.

Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa parameter kualitas telur eksterior pada masing-masing kategori telur. Telur ayam F1K dan F2K ditunjukkan bahwa telur

kategori sharp egg memiliki rasio ukuran tertinggi terhadap standard egg dan round egg. Berdasarkan parameter Sp maka telur F2K cenderung lebih spherical dengan nilai HV pada F2K lebih tinggi dibandingkan F1K pada kategori telur sharp egg dan standard egg. Dalam Duman et al. (2016) ditemukan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan antara EI dan EW pada tiap kategori telur.

Berdasarkan rerata EW ayam F1K (53,34 ± 2,34 gram) dan F2K (54,92 ± 9,25 gram) maka tergolong ke dalam kategori small egg (Waranusast et al., 2017). Dalam Belitz et al. (2009) dikemukakan bahwa rerata berat telur ayam adalah 58 gram dengan tiga komponen yaitu kuning telur, putih telur, dan cangkang. Parameter EW ayam Broiler Cobb 500 dapat mencapai 56,20 ± 1,62 gram dan Pelung dapat mencapai 20,20 ± 4,76 gram (Kabir et al., 2012). Dari segi bobot tetas ayam F2K mencapai 36 ± 3,74 gram dan bobot tetas ayam F1K 35,18 ± 3,45 gram unggul terhadap ayam lokal asli Pelung yaitu 35,12 gram (Depison, 2009). Dalam Kabir et al. (2012) dijelaskan bahwa berat telur berhubungan dengan parameter kualitas interior telur yaitu tinggi albumin dan kuning telur. Dalam Sekeroğlu et al. (2000) dijelaskan bahwa EI dapat digunakan sebagai penentu panjang albumin, lebar kuning telur, tinggi kuning telur, dan warna kuning telur. Berdasarkan hal tersebut maka korelasi antara parameter kualitas eksterior telur dan EI dapat diselidiki (Tabel 3).

Berdasarkan Tabel 3 ayam F1K memiliki korelasi signifikan (p<0,001) terhadap Sp dan ayam F2K memiliki korelasi negatif signifikan (p<0,001) terhadap HV, GMD, dan korelasi positif signifikan (p<0,001) terhadap Sp. Pada ayam F1K terdapat korelasi positif signifikan antara sharp egg terhadap HV (0,433, p<0,01) dan GMD (0,477, p<0,01). Parameter EW dan ESA tidak berkorelasi terhadap EI (ns; p>0,05) pada ayam F1K dan F2K. Berdasarkan data tersebut maka perlu dilakukan uji parameter kualitas

Volume 14 No. 2: 129-147 April 2022 DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i02.p10 interior dalam menentukan kualitas telur ayam sebab tidak terdapat korelasi signifikan antara EW terhadap EI. Duman et al.  (2016) disimpulkan bahwa EI

berkorelasi signifikan terhadap EW namun tidak berkorelasi terhadap indeks kuning telur.

Berdasarkan nilai korelasi (rGMD = -0,363, p<0,001) maka parameter GMD dapat digunakan sebagai variabel prediktor dalam menentukan EW pada ayam Kambro. Parameter Sp memiliki korelasi, r =  1,  p<0,001 sehingga tidak dapat

menggambarkan efek pergeseran kurva regresi. Parameter HV memiliki nilai korelasi lebih kecil terhadap parameter GMD (rHv = -0,374, p<0,001). Regresi linear parameter GMD terhadap EW F1K dan F2K ditunjukkan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil regresi linear GMD terhadap EW F1K maka metode regresi dengan r tertinggi yaitu quadratic dengan capaian r = 0,051 dan persamaan y = -0,75 + 0,19*x ± 1,63E-3*x^2. Berdasarkan hasil regresi linear GMD terhadap F2K maka metode regresi dengan r tertinggi yaitu cubic dengan capaian r = 0,287 dan

persamaan y = -0,67 +0,21*x+ ± 2,55E-3*x^2+1,04E5*x^3.

Pada ayam F2K (Gambar 3) ditemukan adanya empat tipe warna yaitu light-brown, cream, brown, dan white. Berdasarkan hasil observasi maka dapat disimpulkan bahwa terjadi segregasi dalam pewarisan alel sehingga berpengaruh terhadap warna cangkang telur. Dalam Lukanov et al. (2015) ditemukan bahwa yang mempengaruhi warna cangkang telur ayam domestik dan    wild-type    adalah

protoporphyrin IX, biliverdin IX, dan biliverdin zinc chelate. Ayam petelur medium memiliki kerabang atau cangkang berwarna cokelat dan tipe ringan berwarna putih. Dalam hal ini maka ayam Kambro tergolong ke dalam ayam tipe petelur ringan. Dalam kegiatan seleksi selanjutnya dapat dipilih generasi parental F2K dengan tipe warna cokelat untuk dapat meningkatkan produksi filial F3 Kambro.

Nilai Koefisien Biak-Dalam (F) dan Laju Biak-Dalam (Fx) Ayam F2 Kambro

Biak-dalam dapat mengakibatkan penurunan kesehatan hibrida dan kemampuan reproduktif sehingga dapat digolongkan ke dalam efek negatif dalam persilangan. Biak-dalam dapat menyebabkan penurunan persentase sperma normal dan peningkatan abnormalitas sperma (Oldenbroek dan van der Waaij, 2014). Perkawinan antara parental sekerabat dapat meningkatkan tingkat homozigositas alel pada filial akibat perkawinan tidak acak (Eldik et al., 2006). Peningkatan homozigositas alel dapat mengakibatkan penurunan variasi genetik populasi hibrida. Variasi genetik merupakan tingkat perbedaan genetik antara individu satu spesies, antar generasi atau di dalam suatu generasi tertentu (Oldenbroek dan van der Waaij, 2014).

Tingkat biak-dalam ditentukan dengan koefisien biak-dalam populasi ayam F2K. Nilai koefisien biak-dalam menentukan probabilitas ayam F2K mewarisi alel generasi sebelumnya. Nilai koefisien biak-dalam memiliki nilai antara 0 (not inbred) hingga 1 (fully inbred). Peningkatan nilai koefisien biak-dalam (F) menentukan tingkat heterozigositas alel dalam populasi dan dapat mengakibatkan fenomena tekanan biak-dalam (Konig et al., 2010; Shad et al., 2013; Wakchaure dan Ganguly, 2015; Nietlisbach et al., 2017).

Dalam persilangan ayam F2K terdapat distribusi alel dari ayam jantan Pelung Blirik Hitam dan ayam Broiler Cobb 500. Diagram pemuliabiakan selektif ayam jantan dan betina F1K dalam menghasilkan ayam F2K secara skematis pada Gambar 4. Berdasarkan diagram pemuliabiakan selektif maka nilai Fx F2K yaitu 4,925 % dan nilai laju F sebesar 25%. Berdasarkan nilai Fx ayam F2K menunjukkan bahwa lokus heterozigot pada menjadi semakin homozigot. Nilai ambang toleransi atau F maksimal sebesar 25%, dalam hal ini F2K berada tepat pada ambang toleransi.

Nilai F dapat mengalami peningkatan apabila individu dalam generasi F2K

disilangkan dengan kerabatnya berdasarkan nilai Fx sebesar 4,925%. Sawitri dan Takandjandji (2012) nilai ambang toleransi atau Fx maksimal sebesar 2% sehingga resiko terjadinya tekanan biak-dalam F2K sekerabat dapat menghasilkan F3K dengan depresi karakter fenotipe. Nietlisbach et al. (2017) mengungkapkan bahwa tekanan biak-dalam merupakan depresi nilai vitalitas (fitness) yang disebabkan oleh peningkatan probabilitas identical-bydescent (IBD). IBD merupakan probabilitas dua lokus alel homolog diwariskan dari generasi indukan kepada individu generasi selanjutnya (inbred) (Nietlisbach et al., 2017). Peningkatan homozigositas berasosiasi dengan fitness disebabkan peningkatan ekspresi sebagian atau seluruh alel resesif atau alel homozigot yang diwariskan mengekspresikan karakter fenotipe inferior dibandingkan alel heterozigot (Halverson et al., 2006; Nietlisbach et al., 2017). Dalam Wakchaure dan Ganguly (2015) diketahui bahwa biak-dalam berpengaruh terhadap beberapa performa fenotipe diantaranya penurunan produktivitas reproduktif, peningkatan mortalitas, penurunan laju pertumbuhan, dan penurunan imunitas hibrida.

Dari segi produktivitas telur maka dapat disimpulkan bahwa ayam F2K mengalami tekanan biak-dalam. Dari segi berat dan indeks bentuk telur, telur ayam F2K baik kategori sharp, standard, dan round mengungguli telur ayam F1K. Rerata indeks bentuk telur (EI) pada populasi ayam F2K yaitu sharp (70,941 ± 0,278 cm), standard (73,96 ± 0,338 cm), dan round (78,654 ± 0,227 cm). Rerata EI populasi ayam F1K yaitu sharp (70,19 ± 0,249 cm), standard (73,45 ± 0,159 cm), dan round (77,62 ± 0,595 cm). Dari segi rerata berat telur ayam F1K pada kategori sharp (53,65 ± 1,958 gram), standard (53,06 ± 2,731 gram), dan round (52,8 ± 2,588 gram), sedangkan ayam F2K pada kategori sharp (59,25 ± 14,77 gram), standard (53,73 ± 8,713 gram), dan round (54,535 ± 8,163 gram). Berdasarkan ukuran telur dan berat telur antara F1K dan F2K maka dapat

disimpulkan bahwa tekanan biak-dalam bersifat searah dan acak. Hal ini dapat disebabkan oleh pewarisan beberapa alel homozigot inferior terhadap pertumbuhan bobot tubuh dan produktivitas telur namun bersifat superior dalam penentuan kualitas telur ayam F2K.

Beberapa penelitian menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara peningkatan F terhadap penurunan capaian bobot tubuh dan produktivitas telur ayam (Sewalem et al., 1999; Szwaczkowski et al., 2003; Nwagu et al., 2007; Yerturk et al., 2008). Shad et al. (2013) dilaporkan bahwa tidak terdapat korelasi antara peningkatan F (0,002%) terhadap penurunan bobot tubuh dan produktivitas telur dengan faktor utama yaitu rendahnya individu inbred dalam populasi ayam lokal asli Iran. Konig et al. (2010) dilaporkan bahwa laju biak-dalam dalam populasi White Leghorn sebesar 0,95% yang mengancam struktur produksi ayam tersebut sehingga membutuhkan program seleksi yang spesifik.

Biak-dalam berdampak negatif namun vital dalam pengembangan suatu galur atau strain khususnya pada ayam. Dalam pengembangan suatu galur ayam biak-dalam bertujuan mengeliminasi abnormalitas, alel letal, dan beberapa karakter yang secara komersial inferior (Wakchaure dan Ganguly, 2015). Perubahan frekuensi genetik dalam populasi hibrida ayam dapat difokuskan terhadap beberapa alel superior dengan meningkatkan relasi genetik hibrida. Wakchaure dan Ganguly (2015) mengungkapkan beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam mengatasi pengaruh negatif persilangan biak-dalam diantaranya (1) persilangan antar individu segalur non sekerabat, (2) peningkatan jumlah pejantan dan penggunaan jantan baru, (3) ukuran populasi efektif untuk menekan laju biak-dalam, (4) konservasi plasma nutfah hewan dan biak-silang, dan (5) diagram pemuliabiakan selektif yang detail dan akurat.

Penggunaan seleksi genomik dengan penanda gen dan mikrosatelit dapat menekan peningkatan Fx dan F (Nietlisbach et al., 2017). Dalam Wolc et al. (2015) dilaporkan bahwa nilai Fx dan F pada metode seleksi genomik 16 galur ayam Layer lebih rendah dibandingkan metode seleksi konvensional.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Produktivitas telur dalam hen day production (HDP) ayam F1K dan F2K selama 270 hari secara berurutan yaitu 24% dan 16,5%. Heterosis pada F2K sebesar -31,25% menunjukkan terdapatnya tekanan biak-dalam terhadap produktivitas telur. Fenotipe telur F2K terbagi empat yaitu light-brown, cream, brown, dan white. Rerata berat telur (EW) ayam F1K dan F2K secara berurutan yaitu 53,34 ± 2,34-gram dan 54,92 ± 9,25-gram, maka tergolong ke dalam kategori small egg. Indeks bentuk telur ayam F1K dan F2K secara berurutan didominasi secara berurutan oleh sharp egg dan round egg. Parameter kualitas eksterior telur ayam F1K dan F2K berdasarkan GMD dapat digunakan sebagai variabel prediktor, sementara Sp (r =  1, p<0,001) tidak

menggambarkan pengaruh pergeseran kurva regresi. Nilai Fx dan F ayam F2K secara berurutan yaitu 4,925% dan 25% tergolong tepat pada batas ambang toleransi biak-dalam inbred line. Tekanan biak-dalam berpengaruh terhadap depresi produktivitas dan karakter telur antara ayam F1K dan F2K.

Saran

Pemilihan indukan pada pemuliabiakan selektif wajib memperhatikan faktor tekanan biak-dalam, nilai koefisien, lajunya, dan kualitas telur. Opsi sederhana untuk meminimalisir tekanan biak-dalam yaitu dengan biak-silang menggunakan galur ayam bukan kerabat (outbreeding). Beberapa opsi alternatif lain yaitu outcrossing, upgrading, crossbreeding, crossing dua bangsa, crisscrossing, rotational crossing, line crossing, dan

extreme crossing. Penggunaan seleksi genomik juga memungkinkan untuk menekan peningkatan Fx dan F. Pembentukan breed ayam membutuhkan dukungan biaya, fasilitas memadai, adaptif pada lingkungannya, dan kontinuitas program,

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Kemenristekdikti dalam mendukung terlaksananya penelitian ini. Terima kasih kepada Pusat Inovasi Agro Teknologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Fakultas Biologi UGM, dan Penetasan Unggas HTN Sugeng Jeroni DIY.

DAFTAR PUSTAKA

Abanikannda OTF, Leigh AO. 2012. Chicken age and egg morphometric measures on eggshell thickness. Archiva Zootechnica 15(1):  61-68.

http://www.ibna.ro/arhiva/AZ%2015-1/AZ%2015-

1_06%20Abanikannda.pdf

Adachi H., Murase D, Atomura S, Ohkubo T. 2012. Detection of leptin activity in living cells expressing chicken leptin receptor and STAT3. J Poult Sci 49: 4650. https://doi.org/10.2141/jpsa.011085

Aedah S, Djoefrie MHB, Suprayitno G.

2016. Factors that affecting competitiveness of poultry industry Kampong chicken (case study PT Dwi and Rachmat Farm, Bogor). Manajemen IKM 11(2):  173-182.

http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnal mpi/

Anggitasari S, Sjofjan O, Djunaidi IH.

2016. Effect of some kinds of commercial feed on quantitative and qualitative production performance of broiler chicken. Buletin Peternakan 40(3):                       187-196.

https://doi.org/10.21059/buletinpet ernak.v40i3.11622

Bamidele O, As Pvan, Elferink MG. 2012.

Molecular characterization of the leptin

receptor gene as a candidate gene in the pulmonary hypertension syndrome in broiler chickens. Pak J Biol Sci 15(24): 1187-1190.

https://doi.org/10.3923/pjbs.2012.1187 .119

Belitz HD, Grosch W, Schieberle P. 2009. Eggs. Food Chemistry p: 546-561. https://doi.org/10.1007/978-3-540-69934-7_12

Cheng HW. 2010. Breeding of tomorrow’s chickens to improve well-being. Poult Sci           89:           805-813.

https://doi.org/10.3382/ps.2009-00361

Darwati S. 2000. Produktivitas ayam Kampung, Pelung dan resiprokalnya. Med Pet 23(2): 32-35.

http://journal.ipb.ac.id/index.php/medi apeternakan/article/view/11822

Darwati S, Sumantri C, Pratiwanggana AT. 2015. Production performance between F1 commercial meat type x Kampung chicken and Kampung chicken x commercial meat type at 0-12 weeks. J Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan        3(2):        72-78.

https://journal.ipb.ac.id/index.php/ipth p/article/view/11858

Daryono BS, Roosdianto I, Saragih HTSSG. 2010. Pewarisan karakter fenotip ayam hasil persilangan ayam Pelung dengan ayam Cemani. J Veteriner (11)     4:     257-263.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/jvet/art icle/view/3460

Das SC, Chowdhury SD, Khatun MA, Nishibori M, Isobe N, Yoshimura Y. 2008. Poultry production profile and expected future projection in Bangladesh. World’s Poult Sci Assoc 64(1):                         99-118.

https://doi.org/10.1017/S00439339070 01754

Depison D. 2009. Karakteristik kuantitatif dan kualitatif hasil persilangan beberapa ayam lokal. J Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 12(1):    7-13.

https://doi.org/10.22437/jiiip.v0i0.484

Duman M, Şekeroğlu A, Yıldırım A, Eleroğlu H, Camcı Ö. 2016. Relation

between egg shape index and egg quality characteristics. Europ Poult Sci 80:                                    1-9.

https://doi.org/10.1399/eps.2016.117

Eldik Pvan, van der Waaij EH, Ducro B, Kooper AW, Stout TAE, Colenbrander B. 2006. Possible negative effects of inbreeding on semen quality in Shetland Pony stallions. Theriogenology 65: 1159-1170.

https://doi.org/10.1016/j.theriogenolog y.2005.08.001

Ernanto AR. 2017. Asosiasi polimorfisme gen PRL dan IGF-1 terhadap produktivitas telur ayam (Gallus gallus domesticus Linnaeus, 1758) F1 hasil persilangan ayam Pelung dan Layer. Thesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Evaris EF, Franco LS, Castro CS. 2019. Slow-growing male chickens fit poultry production systems with outdoor access. World’s Poult Sci Assoc 75: 429-444.

https://doi.org/10.1017/S00439339190 00400

Ferlito C, Respatiadi H. 2018. Reformasi kebijakan pada industri unggas di Indonesia. Center for Indonesia Policy Studies.

https://doi.org/10.35497/271879

Halverson MA, Skelly DK, Caccone A. 2006. Inbreeding linked to amphibian survival in the wild but not in the laboratory. Journal of Heredity 97(5): 499-507.

https://doi.org/10.1093/jhered/esl019

Hameed T, Mustafa MZ, Taj MK, Asadullah, Bajwa MA, Bukhar FA, Kiani MMT, Ahmed A. 2016. Hatchability and fertility in broiler breeder stock. JCBPS 6(2): 266-274.

Havlíček M, Nedomová Š, Simeonovová J, Severa L, Křivánek I. 2008. On the evaluation of chicken egg shape variability. Acta univ agric et silvic Mendel Brun 56(5):    69–74.

https://doi.org/10.11118/ACTAUN200 856050069

Henuk YL, Bakti D. 2018. Benefits of promoting native chickens for sustainable rural poultry development in Indonesia. TALENTA Conference Series:   Agricultural & Natural

Resources (ANR). Medan. North Sumatra. 18-19 August. 2016. 1(2): 6976.

https://doi.org/10.32734/anr.v1i1.98

Hidayat C. 2012. Pengembangan produksi ayam lokal berbasis bahan pakan lokal. Wartazoa        22(2):        85-98.

http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v2 2i2.853

Hidayat C, Asmarasari SA. 2015. Native chicken production in Indonesia: a review. J Peternakan Indonesia 17(1): 1-11.

https://doi.org/10.25077/jpi.17.1.1-11.2015

Ikegwu TM, Balogu VT, Balogu DO, Kolo SI,  Babatunde J. 2016. Physical

properties of hen’s egg. Journal of Foods Natural and Life Sciences 1: 1623.

Kabir MdA, Islam MS, Dutta RK. 2012. Egg morphometric analyses in chickens and some selected birds. Univ j zool Rajshahi Univ (31):    85-87.

https://doi.org/10.3329/ujzru.v31i0.154 39

König S, Tsehay F, Sitzenstock F, von Borstel UU, Schmutz M, Preisinger R, Simianer H. 2010. Evaluation of inbreeding in laying hens by applying optimum genetic contribution and gene flow theory. Poultry Science 89: 658667.

https://doi.org/10.3382/ps.2009-00543

Lohmann Tierzucht. 2019. Management guide layers. Germany. p: 1-40.

Lukanov H, Genchev A, Pavlov A. 2015. Colour traits of chicken eggs with different eggshell pigmentation. Trakia Journal of Sciences 2:  149-158.

https://doi.org/10.15547/tjs.2015.02.00 7

Mahardhika IWS, Daryono BS. 2019.

Phenotypic performance of Kambro crossbreeds of female broiler Cobb

500 and male Pelung Blirik Hitam. Buletin Veteriner Udayana 11(2): 188202.

https://doi.org/10.24843/bulvet.2019.v 11.i02.p12

Makanjuola BO, Olori VE, Mrode RA. 2021. Modelling genetic components of hatch of fertile in broiler breeders. Poultry                      Science.

https://doi.org/10.1016/j.psj.2021.1010 62

Mariandayani HN, Darwati S, Sutanto E and Sinaga E. 2017. Peningkatan produktivitas ayam lokal melalui persilangan tiga rumpun ayam lokal pada generasi kedua. Prosiding Seminar Nasional Biologi 2017: Pendidikan Biologi untuk Masa Depan Bumi. Aceh (Indonesia):    Jurusan Pendidikan

Biologi, Universitas Syiah Kuala. p. 139-146.

Maulidi IS, Puspita UE, Mahardhika IWS, Daryono BS. 2020. The inheritance of phenotype character of feather color and growth of hybrid chicken (Gallus gallus gallus, Linnaeus 1758) derived from crossing of F1 ♀ Kamper and ♂ Kambro. AIP Conf Proc. 2260: 060010. https://doi.org/10.1063/5.0017639

Muntasiah D, Tantalo S, Nova K, Sutrisna R. 2019. The effect of giving rations with different of herbs dosages on the external quality of crossbred chicken eggs. Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan         3(1):         1-6.

https://doi.org/10.23960/jrip.2019.3.1. 1-6

Narushin VG. 2005. Egg geometry calculation using the measurements of length and breadth. Poultry Science 84: 482–484.

https://doi.org/10.1093/ps/84.3.482

Nataamijaya AG. 2010. Pengembangan potensi ayam lokal untuk menunjang peningkatan kesejahteraan petani. Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 131138.

http://dx.doi.org/10.21082/jp3.v29n4.2 010.p131-138

Nietlisbach P, Keller LF, Camenish G, Guillaume F, Arcesee P, Reid JM, Postma E. 2017. Pedigree-based inbreeding coefficient explains more variation in fitness than heterozygosity at 160 microsatellites in a wild bird population. Proc R Soc B 284: 20162763.

https://doi.org/10.1098/rspb.2016.2763

Ningsih R, Prabowo DW. 2017. The level of market integration of chicken broiler at main production center: case study East Java and West Java. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan 11(2): 247-270. https://doi.org/10.30908/bilp.v11i2.231

Nwagu BI, Olorunju SAS, Oni OO, Eduvie LO, Adeyinka IA, Sekoni AA, Abeke FO. 2007. In-Breeding effect on performance of Rhode Island chickens selected for part-period egg production. International Journal of Poultry Science          6(1):          13-17.

https://doi.org/10.3923/ijps.2007.13.17

Oldenbroek K, van der Waaij L. 2014. Textbook animal breeding: animal breeding and genetics for B.Sc. students. Centre for Genetic Resources (Netherlands): The Netherlands and Animal Breeding and Genomics Centre. https://library.wur.nl/WebQuery/wurpu bs/524548

Özbey O, Esen F. 2007. The effects of different breeding systems on egg productivity and egg quality characteristics of Rock Partridges. Poultry Science 86:    782-785.

https://doi.org/10.1093/ps/86.4.782

Paczoska-Eliasiewicz HE, Gertler A, Proszkowiec M, Proudman J, Hrabia A, Sechman A, Mika M, Jacek T, Cassy S, Raver N, Rząsa J. 2003. Attenuation by leptin of the effects of fasting on ovarian function in hens  (Gallus

domesticus). Reproduction 126: 739751.

https://doi.org/10.1530/rep.0.1260739

Perdamaian ABI, Trijoko, Daryono BS. 2017. Growth and plumage color uniformity of backcross (BC2) chicken resulted from genetics selection

of Pelung chicken and broiler crossed. J Veteriner 18(4):    557-564.

https://doi.org/10.19087/jveteriner.

2017.18.4.557

Sami A, Fitriani. 2019. Feed efficiency and addition of KUB chicken bodies that given   phytobiotics with various

concentrations. Jurnal Galung Tropika 8(2):                          147-155.

http://dx.doi.org/10.31850/jgt.v8i2.501

Saragih HTSSG, Daryono BS. 2010. Histological study on the pancreatic β -cell number of indigenous chicks in first crossbred (F1). J Indonesian Trop Anim Agric 35(3): 201-205.

Sawitri R, Takandjandji M. 2012. Inbreeding pada populasi Banteng (Bos javanicus, d’Alton 1832) di Kebun Binatang Surabaya. Buletin Plasma Nutfah         18(2):         84-94.

http://dx.doi.org/10.21082/blpn.v18n2. 2012.p84-94

Sekeroğlu A, Kayaalp GT, Sarica M. 2000: The regression and correlation analysis on egg parameters in Denizli poultry. Journal of Agricultural Faculty, Cukurova University 15: 69-74.

Seroussi E, Cinnamon Y, Yosefi S, Genin O, Smith JG, Rafati N, Friedman-Einat M. 2016. Identification of the long-sought leptin in chicken and duck: expression pattern of the highly GC-rich avian leptin fits an autocrine/paracrine rather than endocrine  function. Endocrinology

157(2):                      737-751.

https://doi.org/10.1210/en.2015-1634

Seroussi E, Pitel F, Leroux S, Morisson M, Bornelöv S, Miyara S, Yosefi S, Cogburn LA, Burt DW, Andersson L, Friedman-Einat M. 2017. Correction: Mapping of leptin and its syntenic genes to chicken chromosome 1p. BMC Genetics           18(1):           1-8.

https://doi.org/10.1186/s12863-017-0587-2

Setiadi B. 2016. Strategy to fulfill the requirements for concession and release of new animal breed or strain. Wartazoa

26(3):                       133-142.

http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v2 6i3.1395

Sewalem A, Johansson K, Wilhelmson M, Lippers K. 1999. Inbreeding and inbreeding depression on reproduction and production traits of White leghorn lines selected for egg production traits. J Dairy Sci 40:    203-208.

https://doi.org/10.1080/000716699876 01

Shad AGK, Zalani AM, Nasr J. 2013. Estimation of genetic parameters, inbreeding trend and its effects on production and reproduction traits of native fowls in fars province. Pakistan Journal of Biological Sciences 16(12): 598-600.

https://doi.org/10.3923/pjbs.2013.598. 600

Sudrajat, Isyanto AY. 2018. Keragaan peternakan ayam sentul di Kabupaten Ciamis. Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis 4(2): 237-253.

http://dx.doi.org/10.25157/ma.v4i2.143 8

Suprijatna E. 2010. Strategy of local chicken development base on local resources and environment. Seminar Nasional Unggas Lokal ke IV, 7 Oktober 2010. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. p: 55-88

Szwaczkowski T, Cywa-Benko K, Stanislaw W. 2003. A note on inbreeding effects on productive and reproductive traits in laying hens. Animal Science Papers and Reports 21: 121-129.

Tabun Ach, Ndoen B, Liunokas D. 2010. Evaluasi sifat produksi telur dan berat telur ayam lokal Nusa Tenggara Timur. PARTNER 17(1): 33-36

Tanjung A, Saragih HTSSG, Trijoko, Soenarwan HP, Widiyanto S, Mahardhika IWS, Daryono BS. 2019. Short communication: Polymorphism of myostatin gene and its association with body weight traits in a hybrid of GAMA chicken (Gallus gallus

domesticus, Linn. 1758). Biodiversitas 20(11):                    3207-3212.

https://doi.org/10.13057/biodiv/d20111 3

Telalbasic R, Baban M, Rahmanovic A. 2007. Inbreeding. Biotechnology in Animal Husbandry 23(5-6): 113-130. https://doi.org/10.2298/BAH0702113T

Wakchaure R, Ganguly S. 2015. Inbreeding, its effects and applications in animal genetics and breeding: a review. International Journal of Emerging Technology and Advanced Engineering. 5(9): 73-76.

Wang Y, Li H, Zhang Y, Gu Z, Li Z, Wang Q. 2006. Analysis on association of a SNP in the chicken OBR gene with growth and body composition traits. Asian-Aust J Anim Sci 19(12): 1706– 1710.

https://doi.org/10.5713/ajas.2006.1706

Waranusast R, Intayod P, Makhod D. 2017. Egg size classification on android mobile devices using image processing and machine learning. Department of Electrical and Computer Engineering Faculty of Engineering,  Naresuan

University,   Phitsanulok,   Thailand.

https://doi.org/10.1109/ICT-ISPC.2016.7519263

Wolc A, Zhao HH, Arango J, Settar P, Fulton JE, O’Sullivan NP, Preisinger R, Stricker C, Habier D, Fernando RL, Garrick DJ, Lamont SJ, Dekker JCM. 2015. Response and inbreeding from a genomic selection experiment in layer chickens. Genomic Selection Evolution. 47:                                   59.

https://doi.org/10.1186/s12711-015-0133-5

Yerturk M, Avci M, Bozkaya F. 2008. Effects of closed breeding on some reproductive performance of a small Japanese quail flock in Sanliurfa. J Anim Vet Adv 7: 963-967.

Zhou P, Zheng W, Zhao C, Shen C, Sun G. 2009. Egg volume and surface area calculations based on machine vision. in IFIP International Federation for Information Processing, Volume 295, Computer     and     Computing

Technologies in Agriculture II, Volume 3, eds. D. Li, Z. Chunjiang, (Boston: Springer).       pp:       1647-1653.

https://doi.org/10.1007/978-1-4419-0213-915

147