Volume 14 No. 6: 623-630

Desember 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i06.p04

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Gambaran Hitopatologi Usus Halus Ayam Kampung yang diberikan Jamu Daun Ashitaba dan Vaksin Avian Influenza

(DESCRIPTION OF SMALL INTESTINE HYSTOPATOLOGY OF KAMPUNG CHICKEN GIVEN HERBAL MADICINE ASHITABA AND AVIAN INFLUENZA VACCINE)

I Putu Sandika Arta Guna1*, I Wayan Sudira2, Ni Luh Eka Setiasih3

¹Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali;

  • 2Laboratorium Farmakologi dan Farmasi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali;

  • 3Laboratorium Histologi veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali;

*Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian jamu daun ashitaba (Angelica keiskei) yang di berikan secara oral terhadap gambaran histopatologi usus halus ayam kampung yang divaksinasi dengan Avian influenza. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor day old chicken ayam kampung, yang dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan. Perlakuan pertama yaitu (P0) tanpa diberikan jamu daun ashitaba namun diberikan aquadest, kelompok (P1) diberikan jamu daun ashitaba dengan konsentrasi dosis 50mg/ekor/hari, (P2) dengan dosis 100mg/ekor/hari, kelompok (P3) dengan dosis 200mg/ekor/hari, dan (P4) dengan dosis 400mg/ekor/hari. Perlakuan tersebut dilakukan setiap hari selama 14 hari dari hari ke 8 sampai hari ke 21 yang diberikan secara oral dengan cara mecampur air minum dan bubuk jamu daun ashitaba hingga volumenya 100 ml. Pada hari ke-21, semua kelompok ayam divaksinasi dengan vaksin Avian influenza. Hari ke-42, ayam kampung percobaan dinekropsi, kemudian usus halus diambil untuk melihat perubahan struktur histopatologi dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE). Variabel yang diperiksa meliputi degenerasi hidrofik, infiltrasi sel radang dan nekrosis. Data yang di peroleh dilakukan uji Kruskal-Wallis. Hasil uji statistika diperoleh hasil P-value degenerasi hidrofik (P = 1,000), infiltrasi sel radang (P = 0,833) dan lesi nekrosis (P = 0,983). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberian jamu daun ashitaba (A. keiskei) dengan rentang dosis 50mg/ekor/hari sampai dengan dosis 400mg/ekor/hari selama 14 hari tidak berpengaruh signifikan terhadap gambaran histopatologi usus halus ayam kampung yang dilihat dari degenerasi hidrofik, infiltrasi sel radang dan nekrosis.

Kata kunci: Avian influenza; ashitaba; ayam kampung; usus halus

Abstract

This study aims to determine the effect of giving Ashitaba leaf herbal medicine (Angelica keiskei) which was given orally against the histopathological features of the small intestine of native chickens vaccinated with Avian influenza. The sample used in this study were 25 heads day old chicken native chickens, which were divided into 5 treatment groups. The first treatment was (P0) without being given ashitaba leaf herbal medicine but given aquadest, group (P1) was given ashitaba leaf herbal with a concentration of 50mg / head / day, (P2) at a dose of 100mg / head / day, group (P3) with a dose of 200mg / head / day, and (P4) at a dose of 400mg / head / day. The treatment is carried out every day for 14 days from day 8 to day 21 which is given orally by mixing drinking water and ashitaba leaf herbal powder until the volume is 100. ml. On the 21st day, all groups of chickens were vaccinated with the vaccine Avian influenza. On the 42nd day, the experimental native chicken was necropsed, then the small intestine was taken to see changes in the histopathological structure with Hematoxylin-Eosin ( HE) staiuning. The variables examined included hydrophic degeneration, inflammatory cell infiltration

and necrosis. The data obtained was tested Kruskal-Wallis. Statistical test results obtained P-value hydrophic degeneration (P = 1,000), inflammatory cell infiltration (P = 0,833) and necrotic lesions (P = 0,983). The results of this study indicate that giving the ashitaba leaf herbal medicine (A. keiskei) with a dose range of 50 mg / head / day to a dose of 400 mg / head / day for 14 days had no significant effect on the histopathological picture of the small intestine of native chickens seen from hydrophic degeneration, inflammatory cell infiltration and necrosis.

Keywords: Avian influenza; ashitaba; kampung chicken; small intestine

PENDAHULUAN

Program pencegahan penyakit AI yang sering dilakukan adalah dengan vaksinasi. Tujuan pelaksanaan vaksinasi adalah untuk mengurangi jumlah hewan yang peka terhadap infeksi dan mengurangi sheding virus atau virus yang dikeluarkan dari hewan tertular sehingga mengurangi kontaminasi lingkungan (memutus mata rantai penyebaran virus AI). Dalam pelaksanaan vaksinasi, daerah yang divaksinasi harus dipastikan bukan daerah tertular, atau baru terjadi kejadian kasus aktif High Pathogenic Avian Influenza (HPAI), mengikuti acuan teknis penggunaan vaksin yang dikeluarkan oleh produsen vaksin yg tertulis dalam brosur, memastikan unggas yang akan divaksin berada pada flok dan lingkungan yang sehat, serta unggas dalam keadaan sehat (Swayne, 2005). Penggunaan vaksin AI (H5N1) di Indonesia cukup baik proteksinya dan dapat mengurangi kematian unggas akibat serangan AI pada peternakan unggas komersil atau peternakan pembibit. Vaksin yang digunakan untuk mencegah AI adalah vaksin inaktif (Sudarsiman, 2006). Untuk meningkatkan respon terhadap vaksin maka daya tahan tubuh juga harus ditingkatkan dengan bahan herbal sebagai imunomodulator, salah satunya adalah tanaman ashitaba.

Tanaman ashitaba merupakan salah satu tanaman herbal yang dulu dicari-cari oleh kaisar pertama Cina dari Dinasti Chin. Pada jaman kekaisaran Edo, Hachi Jo Island, ashitaba juga dikenal sebagai jamu umur panjang. Ashitaba mempunyai daya

hidup yang sangat kuat, maka jika daunnya dipetik keesokan harinya tunas baru akan muncul (Adinata et al., 2012). Bahan obat yang masuk secara oral akan mengalami absorbsi di saluran pencernaan termasuk juga usus halus.

Usus halus adalah tempat terminal untuk pencernaan makanan, absorpsi nutrisi dan sekresi endokrin. Usus halus merupakan bagian terpanjang dari traktus gastrointestinalis dan terbentang dari ostium pyloricumgaster sampai plica ileocaecale. Strukturnya berupa tabung dengan diameter yang menyempit dari permulaan sampai ujung akhir, yang terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum (Shackelford et al., 1999).

Lapisan-lapisan penyusun dinding usus halus mulai dari dalam ke luar lumen usus terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa (Shackelford et al., 1999) (Frappier, 2006). Tunika mukosa terdiri atas epitel, berbagai kelenjar dan jaringan penunjang. Epitel usus halus berbentuk epitel kolumnar selapis yang terdiri atas sel absortif, sel goblet, sel endokrin dan sel paneth. Lamina propria terdiri atas jaringan ikat reticular dan fibroplastik yang longgar dan kaya pembuluh darah, buluh khil (lacteal), saraf, maupun otot polos (Shackelford et al., 1999). Ada beberapa lesi yang sering teramati berupa degenerasi hidrofik, infiltrasi sel radang dan nekrosis.

Mengetahui belum ada penelitian yang melaporkan keterkaitan hal tersebut di atas sehingga peneliti ingin meneliti tentang gambaran histopatologi usus halus yang diberikan jamu daun ashitaba dan divaksin AI.

METODE PENELITIAN

Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan adalah Day Old Chicken (DOC) ayam Kampung Unggul Balitbangtan (KUB) sebanyak 25 ekor yang dibagi secara acak menjadi lima perlakuan sehingga terdiri atas lima ekor ayam disetiap perlakuan.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor DOC ayam Kampung (Gallus domesticus) sesuai Rumus Ferderer yaitu (t-1) (n-1) ≥ 15, dimana t adalah jumlah perlakuan dan n adalah banyaknya pengulangan tiap perlakuan, sehingga (5-1) (n-1) ≥ 15 maka didapat n yaitu 5.

Prosedur Penelitian

Pemberian jamu daun ashitaba pada ayam kampung yang terdiri dari 5 tingkat dosis yang berbeda yaitu kelompok kontrol (P0) tanpa diberikan jamu daun ashitaba namun diberikan air minum setiap harinya, kelompok (P1) diberikan jamu daun ashitaba dengan konsentrasi dosis 50mg/ekor/hari, kelompok (P2) diberikan jamu daun ashitaba dengan dosis 100mg/ekor/hari, kelompok (P3) diberikan jamu daun ashitaba dengan dosis 200mg/ekor/hari, dan kelompok (P4) diberikan jamu daun ashitaba dengan dosis 400mg/ekor/hari. Perlakuan tersebut dilakukan setiap hari selama 14 hari dan diberikan secara oral.

Pada minggu pertama dilakukan adaptasi dengan memberikan air minum ke ayam kampung untuk dapat beradaptasi ketika melakukan pemberian jamu daun ashitaba secara oral. Setelah dilakukan perlakuan awal dilanjutkan dengan memberikan jamu daun ashitaba pada hari ke 8 sampai hari ke 21 secara oral sesuai kelompok perlakuan. Pada hari ke-21 ayam kampung diinduksi dengan vaksin Avian influenza. Pada hari ke-42 dilakukan nekropsi dan dilakukan pengambilan organ usus halus untuk dibuat preparat histopatologi.

Variabel yang Diperiksa

Variabel yang diperiksa meliputi degenerasi hidrofik, infiltrasi sel radang dan nekrosis dimana masing-masing diperiksa pada 5 lapang pandang mikroskopik. Preparat histopatologi usus halus diperiksa tingkat patologisnya menggunakan skoring meliputu: skor 0 = tidak ada lesi, skor 1 = lesi bersifat fokal (setempat), skor 2 = lesi bersifat multifokal (di beberapa tempat) dan skor 3 = lesi bersifat difusa (merata).

Analisis Data

Untuk mengetahui perubahan gambaran histopatologi usus halus ayam kampung pada masing-masing dosis yang diberikan, maka data hasil pemeriksaan ditabulasi dan dianalisis menggunakan uji statistik non parametrik Kruskal-Wallis, jika ada perbedaan nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil pengamatan histopatologi usus halus ayam kampung diberikan jamu A. keiskei secara oral dengan dosis 50mg/ekor/hari, 100mg/ekor/hari, 200mg/ekor/hari, 400mg/ekor/hari selama 14 hari dari hari ke 8 hingga hari ke 21 dan divaksin Avian Influenza pada hari ke 21. Ayam kampung dinekropsi pada umur 42 hari dan organ usus halus ayam kampung diambil untuk pembuatan preparat histopatologi. Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada lima lapang pandang mikroskopik setiap sampel dengan pembesaran 400x. Perubahan histopatologi yang diamati meliputi degenerasi hidrofik infiltrasi sel radang, dan nekrosis. Gambaran histopatologi pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 1.

Hasil pemeriksaan histopatologi usus halus ayam kampung yang tidak diberikan perlakuan maupun yang diberikan perlakuan ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang dan nekrosis sedangkan untuk degenerasi hidrofik tidak ditemukan pada

semua sampel baik yang tidak diberikan perlakuan maupun yang diberikan jamu daun ashitaba dengan dosis 50mg/ekor/hari, 100mg/ekor/hari,        200mg/ekor/hari,

400mg/ekor/hari (Tabel 1).

Analisa statistik non parametrik Kruskal-Wallis (Tabel 2) diperoleh hasil bahwa pemberian jamu daun ashitaba dan divaksin AI tidak berpengaruh nyata terhadap lesi degenerasi hidrofik, infiltrasi sel radang dan lesi nekrosis dengan P>0,05 yang dapat dilihat pada Tabel. Hasil dari uji Kruskal-Wallis menyatakan variasi dosis jamu daun ashitaba tidak berpengaruh nyata terhadap gambaran histopatologi usus halus yang divaksinasi AI dengan P-value degenerasi hidrofik (P=1,00), infiltrasi sel radang (P=0,833) dan nekrosis (P=0,983). Berdasarkan hasil tersebut, maka uji lanjut dengan uji Mann-Whitney tidak dilakukan.

Pembahasan

Secara umum daun ashitaba berkhasiat sebagai antioksidan, membantu melindungi organ tubuh dari kerusakan oleh radikal bebas dan memperlambat proses penuaan, baik untuk indra penglihatan, menurunkan kolesterol dan tekanan darah, dapat mencegah kanker, mampu membersihkan darah, menstimulasi fungsi hati dalam menetralkan racun dan meningkatkan fungsi ginjal dalam membuang racun dari dalam darah secara efisien serta merangsang sekresi usus (Inamori et al., 1991) (Sigurdsson et al., 2005). Kandungan senyawa-senyawa yang terdapat dalam ashitaba yaitu β-karoten, vitamin B1, B2, B3, B5, B6, B12, biotin, asam folat dan vitamin C, serta mengandung beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, potasium, fosfor, seng dan tembaga (Baba et al., 2009). Selain nutrisi tersebut, ashitaba mengandung cairan pekat berwarna kuning pada batang dan daunnya yang disebut chalcone. Chalcone adalah cairan berwarna kuning cerah dan pekat pada ashitaba yang tidak terdapat pada tanaman sejenisnya (Shibata, 1994). Pada chalcone terdapat dua senyawa flavonoid yaitu xantoangeol dan 4 hidroxydericine.

Senyawa ini memiliki struktur molekul yang aktif dan merupakan antioksidan yang sangat potensial.

Secara farmakokinetik banyak bahan yang berpotensi toksik dapat masuk ke dalam tubuh melalui traktus gastrointestinal (usus). Toksisitas merupakan tingkat atau kemampuan suatu zat yang bersifat racun untuk menimbulkan kerusakan pada jaringan atau sel. Toksisitas dapat terjadi akibat dari suatu kandungan senyawa kimia berlebih yang masuk ke dalam tubuh salah satunya melaui usus halus. Usus halus memiliki epitel khusus yang mempunyai daerah permukaan yang luas. Struktur yang seperti vili pada mukosa dapat mengoptimalkan absorbsi, baik di bawah kendali aktif maupun pasif (Song et al., 2004). Absorbsi zat kimia di usus halus selalu jauh lebih cepat dibandingkan dengan epitel lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung (Fleisher et al.,1999; Carlos et al., 2011). Zat yang bersifat toksik dalam hal ini mungkin dapat mempengaruhi struktur pada usus halus sebagai organ absorbsi (Wiadnyana et al., 2015). Demikian pula dengan pemberian jamu daun ashitaba peroral akan mengalami proses absorbsi pada usus.

Kerusakan pada traktus gastrointestinal terjadi bila ada gangguan keseimbangan antara faktor pertahanan yang menjaga keutuhan mukosa dan faktor agresif yang merusak pertahanan mukosa (Wiadnyana et al., 2015). Kerusakan jaringan bisa terjadi akibat faktor agresif yang meningkat atau faktor defensif yang menurun (Sulekha et al., 2006). Kandungan zat kimia pada

tanaman herbal bisa menjadi faktor agresif jika dosisnya tinggi,     sehingga

menimbulkan efek samping berupa toksiksitas. Patogenesis yang sering timbul dari efek toksik tanaman herbal adalah terjadinya iritasi pada mukosa. Pada sel epitel usus halus terdapat sel Goblet atau sel mangkok yang menghasilkan mucus yang berfungsi untuk melindungi mukosa (Wiadnyana et al., 2015). Pada penelitian

ini dengan pemberian jamu daun ashitaba dengan dosis 50mg/ekor/hari hingga 400mg/ekor/hari dan divaksin Avian influenza tidak berpengaruh terhadap gambaran histopatologi pada usus halus.

Degenerasi hidrofik tidak tampak pada gambaran usus halus ayam kampung baik yang diberikan perlakuan maupun tidak diberikan perlakuan. Degenerasi hidrofik merupakan jejas reversibel sebagai respons terhadap cedera nonletal. Bahan toksik menyebabkan degenerasi hidrofik melalui peningkatan permeabilitas membran plasma. Degenerasi hidrofik ditandai dengan sitoplasma mengalami vakuolisasi dan vakuola nampak jernih karena sel menerima cairan lebih banyak dari normalnya dan terakumulasi dalam sitoplasma sel sehingga sel membengkak (Wiadnyana et al., 2015).

Pada pengamatan histopatologi ditemukan adanya infiltrasi sel radang pada sampel control dan sampel yang diberikan jamu daun ashitaba. Tanda terjadinya peradangan pada usus, diantaranya vili usus menjadi lebih panjang, dinding usus menebal, dan jumlah jaringan limfatik menjadi lebih banyak (Wiadnyana et al., 2015). Menurut Diba dan Rahman (2018), sel-sel radang terbentuk akibat adanya reaksi tubuh terhadap trauma pada jaringan. Peradangan berfungsi untuk menghancurkan, mengencerkan, atau membatasi agen yang merugikan, dan memicu terjadinya serangkaian proses yang mencoba untuk memulihkan dan mengganti jaringan yang rusak (Herdiani dan Putri, 2018). Peradangan dapat disebabkan oleh dua hal, yakni disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, protozoa cacing serta mikroorganisme lainnya dan non-mikroorganisme, seperti bahan kimia, suhu yang terlalu ekstrim, terjadinya trauma, insisi atau pembedahan, dan lainnya (Berata et al., 2018). Pada pengamatan histopatologi, terlihat infiltrasi sel radang bersifat difusa pada semua perlakuan lamina propria usus halus. Adanya peradangan pada kelompok perlakuan

menunjukkan bahwa kemungkinan karena faktor individu mencit. Perubahan ini juga mungkin akibat pengaruh zat-zat lain dalam pakan yang diberikan. Peradangan merupakan perubahan yang bersifat reversible. Proses peradangan yang berlebihan menyebabkan sel-sel yang terdapat pada mukosa usus mengalami nekrosis (Pranatha et al., 2018).

Dari hasil pengamatan histopatologi usus halus ayam kampung (Gallus domesticus), terlihat ayam kampung tanpa perlakuan (kontrol) dan diberikan jamu daun ashitaba dengan berbagai dosis mengalami nekrosis pada sel-sel mukosa usus yang kemungkinan diakibatkan oleh proses peradangan yang berlebihan (Pranatha et al., 2018). Nekrosis merupakan kematian sel atau jaringan saat individu masih hidup. Secara mikroskopik terjadi perubahan intinya yaitu hilangnya gambaran khromatin, inti keriput, tidak vasikuler, inti tampak lebih padat, warnanya gelap, robek, dan inti tidak lagi mengambil banyak warna karena itu tidak nyata/pucat (Himawan, 1992). Berdasarkan gambaran histopatologi, nekrosis terjadi pada bagian epitel dari tunika mukosa vili usus halus. Pada gambaran mikroskofik menunjukan bahwa sel epitel yang mengalami nekrosis tampak rusak dan pucat. Nekrosis dapat disebabkan oleh bermacam-macam agen dan dapat menyebabkan kematian sel. Beberapa hal yang diketahui dapat menyebabkan nekrosis seperti, racun kuat, gangguan metabolik, dan infeksi virus malignan, nekrosis juga dapat terjadi karena proses peradangan yang berlebihan (Pranatha et al., 2018).

Hasil Pengamatan histopatologi usus halus ayam kampung setelah diberikan jamu daun ashitaba memperlihatkan tidak adanya degenerasi hidrofik. Ayam kampung mengalami nekrosis pada baik yang diberikan jamu daun ashitaba maupun tidak diberikan jamu daun ashitaba. Terdapat infiltrasi sel radang yang bersifat difusa pada semua sampel ayam kampung yang diberikan jamu daun ashitaba dan

tanpa pemberian jamu daun ashitaba. Dari uji analisis Kruskal-Wallis diperoleh hasil P-value degenerasi hidrofik (P=1,000), infiltrasi sel radang (P=0,833) dan lesi nekrosis (P=0,983). Berdasarkan hasil tersebut, menunjukkan bahwa pemberian jamu daun ashitaba tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap gambaran histopatologi usus halus ayam kampung (Gallus domesticus) yang divaksinasi dengan Avian influenza.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian jamu daun Ashitaba (Angelica keiskei) dengan rentang dosis 50mg/hari/ekor sampai dengan dosis 400mg/hari/ekor selama 14 hari dan divaksin Avian influenza tidak berpengaruh terhadap gambaran histopatologi usus halus ayam kampung (Gallus domesticus) yang divaksinasi dengan Avian influenza.

Saran

Untuk mengetahui efek dari jamu daun ashitaba dan divaksin Avian influensa terhadap gambaran histopatologi usus halus ayam kampung perlu adanya penelitian sejenis dengan durasi penelitian yang lebih lama.

UCAPAN TERIMAKASIH

Dengan selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf Laboratorium Farmakologi dan Farmasi Veteriner, Laboratorium Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, serta semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini hingga selesai.

DAFTAR PUSTAKA

Adinata MO, Sudira IW, Berata IK. 2012. Efek ekstrak daun ashitaba (Angelica keiskei)      terhadap      gambaran

histopatologi ginjal mencit (Mus musculus) jantan. Bul. Vet. Udayana. 4(2): 55-62.

Baba K, Taniguchi M, Shibano M, Minami H. 2009. The components and line breeding of angelica keiskei koidzumi. J. Bunseki Kagaku. 58(12).

Berata IK, Winaya IBO, Adi AAAM, Adnyana IBW. 2018. Buku Ajar Patologi Veteriner Umum. Cetakan ke-4. Denpasar: Swasta Nulus. Pp: 55-56.

Carlos HP, Zavala JFA, Aguilar GAG. 2011. The role of dietary fiber in the bioaccessibility and bioavailability of fruit and vegetable antioxidants. J. Food Sci. 76(1): 6–15.

Diba DF, Rahman WE. 2018. Gambaran Histopatologi Hati, Lambung dan Usus Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Terinfestasi Cacing Endoparasit. J. Ilmu Perikanan. 7(2): 24-30.

Fleisher D, Lippert CL, Sheth N, Reppas C, Wlodyga J. 1999. Nutrient effects on intestinal drug absorption. J. Controlled Release. 11: 41-49.

Frappier BL. 2006. Digestive System. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology.     Oxford:     Blackwell

Publishing. Pp. 170-211.

Herdiani N, Putri BP. 2018. Gambaran Histopatologi Paru Tikus Wistar Setelah Diberi Paparan Asap Rokok. Med. Health Sci. J. 2(2): 7-14.

Himawan S. 1992. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta:UI Press.

Inamori Y. Baba K. Tsujibo H, Taniguchi M, Nakata K, Kozawa M. 1991. Antibacterial activity of two chalcones, xanthoangelol and 4- hydroxyderricin, isolated from the root of angelica keiskei koidzumi. Chem Pharm Bul, 39(6): 1604-1605.

Mahmud ATBA, Rudi A, Damiana RE, Irma IA. 2017. Profil darah, performans dan kualitas daging ayam persilangan kampung broiler 22 pada kepadatan kandang berbeda. J. Vet. 18(2): 247256.

Nurcholis, Hastuti D, Sutiono B. 2009. Tatalaksana pemeliharaan ayam ras petelur periode layer di populer farm Desa Kuncen Kecamatan Mijen Kota

Semarang. J. Ilmu-ilmu Pertanian. 5(2): 38-49.

Pranatha W D, Irhas R, Arhiono H N P, Widyasanti N W H, Kardena I M. 2018. Laporan kasus Newcastel Disease dan Avian Influenza pada ayam buras. Indon. Med. Vet. 7(5): 498-507.

Shackelford CC, Elwell MR. 1999. Small and Large Intestine, and Mesentar. Pathology of the Mouse Reference and Atlas. Vienna: Cache River Press. Pp. 81-115.

Song NN, Zhang SY, Liu CX. 2004. Overview of factors affecting oral drug absorption. Asian J. Drug Metab. Pharmacokin. 4(3): 167-176.

Sudarsiman. 2006. Pengaruh penggunaan vaksin H5N1 dan H5N2 virus Avian Influenza pada peternakan unggas. Balai Penelitian Veteriner. Bogor

Suhartati R, Virgianti D P. 2015. Daya hambat ekstrak etanol 70% daun ashitaba (Angelica Keiskei) terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang diisolasi dari luka diabetes. J. Kesehatan Bakti Tunas Husada. 14(1): 162.

Sulekha S, Madhavi J, Venkateshwari A, Yasmeen S, Pratibha N. 2006. Superoxide dismutase phenotypes in duodenal ulcers: A genetic marker? Indian J. Hum. Gen. 12(3).

Swayne D. 2005. Avian influenza, poultryvaccines: a review. A Pro Medmail post http://www.premedmail.org (Tgl. akses 3 Juni 2020)

Wiadnyana IMP, Budiasa K, Berata IK. 2015. Histopatologi usus halus mencit pasca pemberian ekstrak etanol daun ashitaba. Bul. Vet. Udayana. 7(1): 7379.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan perubahan histopatologi usus halus ayam kampung yang diberikan jamu daun ashitaba dan divaksin ai (data skoring).

Perlakuan

Degenerasi Hidrofik

Sel radang

Nekrosis

P0

0

3

1

P1

0

3

1

P2

0

3

1

P3

0

3

1

P4

0

3

1

Tabel 2. Hasil uji Kruskal-Wallis

Degenerasi Hidrofik       Sel Radang

Nekrosis

Chi-Square          0,000                1,461

df                     4                    4

Asymp. Sig.          1,000                0,833

0,397 4 0,983

Gambar 1. Gambaran histopatologi usus halus ayam kampung (HE, 400x). Infiltrasi sel radang (tanda panah hitam) dan nekrosis (lingkaran merah).

630