EFFECTIVENESS OF ALBENDAZOLE AGAINST NEMATODES IN BALI CATTLE OF SUKA DHARMA FARMER’S GROUP AT BATURITI, TABANAN
on
Volume 14 No. 5: 470-478
Oktober 2022
DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i05.p05
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Efektivitas Albendazol terhadap Cacing Nematoda Sapi Bali di Kelompok Tani Suka Dharma, Baturiti, Tabanan
(EFFECTIVENESS OF ALBENDAZOLE AGAINST NEMATODES IN BALI CATTLE OF SUKA DHARMA FARMER’S GROUP AT BATURITI, TABANAN)
Raisis Farah Dzakiyyah Al-Aliyya1*, Ida Ayu Pasti Apsari2, Gusti Ayu Yuniati Kencana3
-
1Mahasiswa Program Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedoteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali;
-
2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedoteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali;
-
3Laboratorium Virologi Veteriner, Fakultas Kedoteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali.
*Email: raisiskiah@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas albendazol terhadap cacing nematoda pada sapi bali di Kelompok Tani Suka Dharma, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Sampel yang digunakan 16 ekor sapi bali yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan yang diterapi albendazol secara per-oral dengan dosis 7.5 mg/kg berat badan dan kelompok kontrol tanpa perlakuan. Feses diambil pada hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 pasca terapi albendazol. Sampel feses diperiksa menggunakan metode apung Wisconsin. Efektivitas albendazol dihitung dengan mengukur penurunan jumlah telur cacing tiap gram tinja setelah terapi albendazol. Data telur cacing per gram feses dianalisis dengan uji Wilcoxon dan Mann Whitney. Jumlah telur cacing nematoda pada sapi bali dari kelompok perlakuan mengalami penurunan sebanyak 91,55% pada hari ke-28 pasca pemberian albendazol. Analisis Egg per Gram dengan uji Wilcoxon ditemukan perbedaan nyata (P<0,05) antara jumlah telur cacing nematoda pada sapi bali sebelum dan sesudah terapi albendazol. Disimpulkan albendazol efektif bekerja terhadap infeksi cacing nematoda pada sapi bali di Kelompok Tani Suka Dharma, Baturiti, Tabanan.
Kata kunci: Albendazol; nematoda; sapi bali
Abstract
This study aims to determine the effectiveness of albendazole against nematodes in bali cattle of farmer group Suka Dharma in Baturiti, Tabanan. Samples consists of 16 bali cattles which were divided into two groups, namely the control group that was not given albendazole therapy and the treatment group which was given albendazole at a dosage of 7,5 mg/kg of cattle’s weight orally. Faeces sampling was carried out on days 0, 7, 14, 21, and 28 post albendazole treatment. Samples were examined using the Wisconsin floating method to provide number of nematode eggs per gram faeces. Faecal Egg Counts Reduction was calculated to evaluate albendazole efficacy. The data obtained were further analyzed by Wilcoxon statistical tests. FECR values indicate that nematode worm eggs in bali cattle from the treatment group decreased by 91.55% on the 28th day post albendazole administration. Analysis by Wilcoxon test showed significant differences (P<0.05) between the number of nematode worm eggs in bali cattle before albendazole treatment and post albendazole treatment. It can be concluded that albendazole is effective against nematode worm infection in bali cattle of the Farmers' Group Suka Dharma, Baturiti, Tabanan.
Keywords: Albendazole; bali cattle; nematodes
PENDAHULUAN
Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan sapi asli Indonesia yang berdarah murni karena merupakan hasil domestikasi (penjinakan) langsung dari banteng liar (Setiasih et al., 2011). Sapi bali banyak diminati oleh peternak karena merupakan tenaga kerja yang tangguh, di samping memiliki adaptasi yang bagus terhadap lingkungan dan reproduksi yang tinggi. Saat ini populasi sapi bali mencapai 3,5 juta ekor atau 25% dari total keseluruhan populasi sapi potong di Indonesia (Hendry dan Dewi, 2014). Sapi potong di Indonesia merupakan salah satu jenis ternak yang menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan daging setelah ayam (Hastang dan Asnawi, 2014). Menurut Hastang dan Asnawi (2014), kebutuhan daging sapi di Indonesia dipasok dari tiga sumber: yaitu peternakan rakyat, peternakan komersial dan impor. Usaha peternakan rakyat merupakan tumpuan utama, sehingga dibutuhkan usaha-usaha untuk
meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong.
Peranan peternakan rakyat sebagai penyedia daging sapi sangat besar. Kelompok Tani Suka Dharma merupakan organisasi non formal berupa kumpulan petani atau peternak berlokasi di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali. Kelompok tani ini beranggotakan 31 orang peternak dengan populasi ternak sapi bali sebanyak 60 ekor.
Infeksi cacing terutama jenis nematoda gastrointestinal pada sistem pencernaan merupakan salah satu penyakit yang umum menyerang ternak sapi sehingga menimbulkan masalah kesehatan, yang berdampak terjadinya penurunan produksi dan penurunan kualitas ternak (Zulfikar et al., 2017). Menurut Antara et al. (2017), prevalensi nematoda gastrointestinal bibit sapi bali di Nusa Penida sebesar 25%. Prevalensi Toxocara vitulorum pada sapi bali di wilayah Bali timur sebesar 39,4%
(Agustina et al., 2013). Infeksi nematoda dapat menyebabkan penurunan produksi ditandai dengan turunnya bobot badan, turunnya produksi susu, dan terhambatnya pertumbuhan. Penurunan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit terjadi terutama pada sapi muda (Supriyanto, 2017).
Pengendalian parasit pada ruminansia memiliki beberapa manfaat dalam kaitannya dengan produktivitas (Seo et al., 2015). Pengendalian parasit cacing dapat digunakan preparat anthelmintik seperti albendazol yang dapat mengurangi jumlah telur cacing dalam feses sampai 95% dan 71-87% berturut-turut pada hari ke 24 dan 64 pasca terapi (Astiti et al., 2011).
Albendazol merupakan salah satu anggota dari kelas kimia benzimidazole dengan senyawa metil karbamat, berspektrum luas dalam melawan nematoda gastrointestinal, trematoda, dan cestoda (Campbell, 1990). Albendazol merupakan jenis antelmintik modern yang bersifat vermisidal, larvasidal, dan ovisidal (Ardana et al., 2012). Albendazol mengakibatkan ketidakmampuan sel-sel interstitial cacing untuk mengabsorbsi makanan, sehingga cacing akan kehabisan glikogen dan tidak mampu lagi memproduksi ATP (Pramundari dan Wahyu, 2015). Albendazol juga menyebabkan terjadinya penghambatan produksi telur (Mehlhorn, 2008). Namun, penggunaan antelmintik dalam jangka panjang dapat menyebabkan efek resistensi (Ahmad dan Gholib, 2014).
Di antara berbagai golongan cacing, nematoda merupakan golongan cacing yang paling banyak menimbulkan kerugian ekonomi pada sapi bali (Junaidi et al., 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas albendazol dalam menurunkan intensitas telur cacing nematoda pada sapi bali pada kelompok Tani Suka Dharma. Hal ini mengingat albendazol merupakan salah satu jenis obat cacing yang umum digunakan peternak Indonesia di lapangan.
METODE PENELITIAN
Sampel
Pada penelitian ini digunakan 16 ekor sapi bali jantan dan betina dengan rentang usia 6 bulan hingga 2 tahun yang terinfeksi cacing nematoda. Feses segar diambil secukupnya, dan dimasukan kedalam kantong plastik. Feses kemudian ditambahkan larutan formalin 10% sampai terendam seluruhnya. Sampel segera dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.
Perlakuan Hewan Coba
Sapi yang positif terinfeksi cacing nematoda pada tahap skrinning dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol positif yang tidak diberikan terapi albendazol dan kelompok perlakuan diberikan terapi albendazol. Sediaan 2500 mg diberikan secara per-oral dengan dosis terapi 7,5 mg/kg berat badan (Constable et al., 2017). Sebelum diberikan obat cacing, dilakukan pendugaan berat badan sapi dengan pengukuran panjang badan dan lingkar dada sapi. Pengambilan sampel feses dilakukan pada hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 pasca terapi albendazol.
Pemeriksaan Sampel
Sampel diperiksa menggunakan metode apung Wisconsin, metode ini memberikan hasil kuantitatif yang digunakan untuk perhitungan jumlah telur per gram (Demelash et al., 2016). Pemeriksaan sampel diawali dengan menimbang feses sebanyak 1 gram, kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker, dan ditambahkan larutan gula Sheather sebanyak 15 ml. Suspensi feses diaduk hingga homogen lalu disaring, filtratnya ditampung dengan gelas beker steril. Filtrat hasil penyaringan dimasukkan ke dalam tabung steril untuk di sentrifuse dengan kecepatan 500 rpm selama 5 menit. Tabung kemudian dikeluarkan dari centrifuge dan diletakkan pada rak tabung reaksi. Larutan sheater ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam tabung sentrifuse yang berisi filtrat sampai membentuk meniscus pada permukaan tabung. Cover glass ditempatkan pada permukaan meniscus dan dibiarkan selama 5 menit.
Cover glass selanjutnya diambil dan diletakkan pada object glass. Telur nematoda dihitung dibawah mikroskop dengan pembesaran objektif 4 kali dan 10 kali. Parameter yang dihitung adalah intensitas telur cacing nematoda dalam satuan egg per gram feses (EPG).
Efektivitas albendazol dihitung dengan mengukur penurunan jumlah telur cacing nematoda dalam EPG (Faecal Egg Counts Reduction / FECR) pasca terapi albendazol. Penurunan jumlah telur cacing dapat dihitung dengan rumus Dobson et al., (2012) sebagai berikut:
FECR (%) = [1-(T2/T1)] X 100
Fecal Egg Count Reduction merupakan persentase pengurangan jumlah telur cacing pada tinja setelah terapi untuk mengevaluasi efektivitas dari produk. T1 mewakili rataan telur cacing per gram sebelum perlakuan dari kelompok yang diberi albendazol. T2 adalah rataan telur cacing per gram sesudah perlakuan dari kelompok yang diberi albendazol.
Analisis Data
Efektifitas albendazol dihitung berdasarkan kriteria: (1) sangat efektif, ketika mengurangi beban parasit >98%; (2) efektif, dengan pengurangan 90-98%; (3) cukup efektif, dengan pengurangan 8089%; dan (4) kurang aktif, dengan pengurangan <80% (Silva et al., 2018). Data hasil pemeriksaan dianalisis menggunakan uji statistik non-parametrik Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan rataan jumlah telur cacing nematoda sebelum dan sesudah diberikan albendazol pada kelompok perlakuan. Analisis data digunakan software Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 22. Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan sejak bulan Desember 2019 hingga Februari 2020.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan pengamatan mikroskopik ditemukan bahwa seluruh objek penelitian yaitu 16 ekor sapi bali teridentifikasi positif terinfeksi nematoda dari Ordo Strongylida.
Jenis telur tipe strongylid berbentuk oval, berdinding tipis, dan berisikan kluster sel yaitu morula (Zajac dan Conboy, 2012). Hasil pengamatan jumlah telur cacing dalam EPG pada kelompok sapi bali yang diberikan albendazol (perlakuan) dan kontrol positif selama penelitian disajikan dalam Gambar 1.
Efektivitas albendazol pada penelitian ini dinilai dengan perhitungan Faecal Egg Count Reduction yaitu persentase pengurangan jumlah telur cacing setelah diberikan anthelmintik. Teknik ini praktis digunakan pada semua spesies untuk menilai efektivitas anthelmintik (Zajac dan Conboy, 2012). Hasil perhitungan Faecal Egg Count Reduction setelah terapi albendazol disajikan dalam Tabel 1.
Sapi bali dari kelompok perlakuan memiliki rata-rata jumlah telur cacing nematoda sebanyak 22,25 EPG pada hari ke-0 sebelum diberikan albendazol. Pada hari ke-7 pasca terapi, jumlah telur cacing nematoda mengalami penurunan yang signifikan sebesar 98,29% dengan jumlah telur 0,375 EPG. Efektivitas albendazol kemudian mengalami penurunan menjadi 96,08% pada hari ke-14 setelah terapi, dengan terjadinya sedikit peningkatan jumlah telur cacing hingga 0,875 EPG dari minggu sebelumnya. Pada minggu ke-3, hari ke-21 setelah terapi, efektivitas albendazol kembali menurun menjadi 94,38% dengan jumlah telur 0,125 EPG. Jumlah telur cacing per gram pada akhir penelitian yakni pada hari ke-28 adalah 1,875 EPG dengan efektivitas albendazol sebesar 91,55%. Persentase Faecal Egg Count Reduction pada hari ke-14, 21, dan ke-28 berada pada rentang 90% hingga 98% sehingga albendazol dinyatakan efektif bekerja dalam menurunkan telur cacing nematoda. Hasil penelitian pengaruh pemberian albendazol disajikan dalam Tabel 2. dan Tabel 3.
Rataan jumlah telur cacing pada hari ke-0 sebesar 22,25 EPG mengalami penurunan signifikan (p<0,05) pada hari ke-7 menjadi 0,375 EPG. Pemberian
Volume 14 No. 5: 470-478 Oktober 2022 DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i05.p05 albendazol pada minggu pertama ini memiliki nilai Faecal Egg Count Reduction sebesar 98,29% menunjukkan albendazol bekerja sangat efektif dalam menurunkan jumlah telur cacing nematoda. Hasil ini mendekati penemuan sebelumnya oleh Theodoris et al., (1976), William et al., (1977)., Westcott et al. (1979), dan Soutello et al. (2007) dimana terjadi pengurangan jumlah telur nematoda lebih dari 98% pada hari ke-7 pasca terapi.
Pembahasan
Pengurangan jumlah telur nematoda secara signifikan terjadi akibat adanya mode aksi albendazol yang mengikat β-tubulin dengan afinitas tinggi dan menghambat dimerisasi dengan α-tubulin dalam pembentukan mikrotubulus pada sel nematoda (Puspitasari et al., 2015). Terhambatnya pembentukan mikrotubulus pada tingkat tegumental dan usus nematoda akan menyebabkan hilangnya transportasi vesikel sekretori dan penurunan pengambilan glukosa. Penghambatan
pengambilan glukosa menyebabkan
penurunan produksi adenosin trifosfat (ATP) yang merupakan energi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup cacing. Menurut Bowman (2014), obat golongan benzimidazole menghambat enzim fumarate reduktase yang memblokir fungsi mitokondria sehingga parasit kehilangan energi dan berakhir pada kematian. Albendazol bersifat ovisidal dengan mencegah pembentukan serat spindel yang diperlukan untuk pembelahan sel, sehingga menghambat produksi dan perkembangan telur serta telur yang telah ada tidak dapat menetas (Grayson et al., 2010).
Penurunan jumlah telur nematoda sebesar 98,29% pada hari ke-7 tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Supriyanto (2017), dimana efektivitas albendazol mencapai 100%. Pada penelitian ini, efektivitas tidak tercapai 100% disebabkan di antara delapan ekor sapi bali yang diberikan terapi albendazol, masih terdapat dua ekor sapi bali yang
memiliki sedikit telur per gram pada hari ke-7. Kemungkinan lain dikarenakan status infeksinya yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lainnya. Status infeksi mempengaruhi efektifitas dari anthelmintik. Sapi yang terinfeksi nematoda umumnya mengalami malnutrisi sehingga konsentrasi nikotinamid adenin dinukleotid fosfat (NADPH) dan adenosine trifosfat (ATP) pada hati berkurang dari nilai normal dan menyebabkan penurunan tingkat biotransformasi albendazol. Reaksi inflamasi dimediasi oleh parasit nematoda juga mengakibatkan perubahan permeabilitas mukosa dan pH abomasal atau usus, sehingga berdampak pada absorbsi dan distribusi molekul albendazol (Krizova et al., 2011).
Penurunan efektivitas albendazol kemudian terjadi pada hari ke-14, 21, dan ke-28 berturut turut menjadi 96,08%, 94,38, dan 91,55% dengan sedikit peningkatan jumlah telur cacing menjadi 0,875 EPG, 0,125 EPG, dan 1,875 EPG. Hasil ini didukung oleh penelitian Amin et al. (2005) dan Puspitasari et al. (2015), dimana albendazol menurunkan jumlah telur cacing nematoda terbesar pada hari ke-7 pasca terapi dibandingkan hari ke-14, ke-21, dan ke-28. Hal ini terjadi akibat mekanisme albendazol yang bekerja maksimal dalam rentang minggu pertama pasca terapi. Setelah molekul albendazol diserap melalui saluran cerna, obat akan memasuki peredaran darah. Dalam aliran darah, sejumlah fraksi dari obat mengikat protein plasma secara reversibel dan sisanya mengalami distribusi, metabolisme, dan eliminasi (Riviere dan Papich, 2018). Albendazol akan mencapai konsentrasi maksimal dalam kurun waktu ±20 jam (1 hari) setelah pemberian albendazol (Plumb, 2018). Waktu paruh rata-rata yang dimiliki oleh albendazol adalah 8-12 jam (Ryan et al., 2020). Besar kecilnya waktu paruh eliminasi sangat menentukan lama kerja obat (Mutschler, 1999). Obat dikatakan telah tereliminasi 99% dari sistem sirkulasi apabila telah mengalami tujuh waktu paruh (Dasgupta dan Krasowski, 2020). Dengan
paruh waktu selama 12 jam, bolus albendazol dengan sediaan 2500 mg akan tereliminasi 99% pada rentang minggu pertama yaitu hari ke-4 pasca terapi.
Penurunan efektivitas albendazol ini berbanding terbalik dengan penemuan Singh (2014) dan Islam et al., (2015) bahwa terjadi peningkatan efektivitas albendazol ditandai dengan penurunan jumlah telur nematoda berturut-turut selama satu bulan. Penurunan efektivitas albendazol dapat terjadi akibat adanya reinfeksi oleh nematoda setelah albendazol tereliminasi dari tubuh sapi pada minggu pertama. Nematoda dari Ordo Strongylid rata-rata memiliki masa pre-paten 16-21 hari (Hoberg et al., 2001). Golongan obat benzimidazole hampir tidak memiliki efek residual, sehingga tidak melindungi sapi dengan baik dari terjadinya reinfeksi (Kukovics, 2018). Reinfeksi ini juga dapat dipredisposisikan oleh kondisi lingkungan kandang yang dibiarkan lembab dan basah, dimana larva-3 infektif dari nematoda lebih mudah untuk melakukan migrasi dari feses ke rerumputan atau pakan sapi (Santos et al., 2012).
Efektivitas albendazol kembali dipertegas dengan membandingkan antara jumlah telur cacing nematoda kelompok sapi yang diberikan terapi albendazol dan kelompok sapi kontrol yang tidak diberikan terapi albendazol. Jumlah telur cacing nematoda pada sapi bali yang diterapi secara signifikan lebih rendah jika dibandingkan dengan sapi kontrol yang tidak diterapi albendazol. Berdasarkan analisis dengan uji Wilcoxon ditemukan perbedaan nyata (P<0,05) antara jumlah telur cacing nematoda pada sapi bali sebelum dan sesudah terapi albendazol. Sapi dari kelompok perlakuan yang diterapi albendazol mengalami penurunan jumlah telur nematoda sebesar 91,55% pada akhir penelitian yaitu hari ke-28 pasca terapi. Sebaliknya, sapi bali yang tidak diberikan terapi albendazol mengalami peningkatan jumlah telur nematoda berturut-turut dari hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28. Hal ini menunjukkan terapi albendazol
berpengaruh terhadap jumlah telur cacing nematoda pada sapi bali. Peningkatan jumlah telur nematoda secara konstan pada kelompok sapi kontrol positif dikarenakan ketika awal penelitian cacing-cacing nematoda tersebut masih muda sehingga produksi telur masih sedikit dan pada akhir penelitian dengan semakin bertambahnya umur kedewasaan cacing nematoda maka produksi telur semakin bertambah (Muhibullah, 2001).
Kenaikan jumlah telur nematoda pada sapi dari kelompok kontrol juga dapat disebabkan oleh curah hujan yang cukup tinggi pada penghujung tahun. Musim hujan atau kondisi lingkungan yang lembab dan basah merupakan media yang cocok untuk perkembangan telur cacing (Supriyanto, 2017). Hujan membantu degradasi feses dan penyebaran larva ke dalam lingkungan. Hujan membuat feses lembab dan lunak, memungkinkan larva yang terperangkap di dalamnya keluar dan bermigrasi ke rerumputan yang berdekatan dengan feses (Santos et al., 2012). Peternak dari Kelompok Tani Suka Dharma memberikan pakan pada sapi berupa hijauan atau rerumputan yang ditemukan di sekitar areal kandang. Faktor lain yang mempengaruhi penyebaran cacing nematoda adalah sanitasi dan kebersihan kandang (Purwaningsih et al., 2017).
Kotoran pada kandang sapi di Kelompok Tani Suka Dharma seringkali dibiarkan menumpuk di dalam kandang. Sehingga kemungkinan larva tiga untuk mengkontaminasi pakan atau minum sapi lebih besar terjadi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa albendazol bekerja efektif terhadap infeksi cacing nematoda pada sapi bali dari Kelompok Tani Suka Dharma dengan pengurangan jumlah telur cacing nematoda sebesar 91,55% pada hari ke-28 pasca terapi albendazol.
Saran
Pengobatan infeksi cacing nematoda dengan albendazol pada sapi bali sebaiknya diiringi dengan manajemen kandang yang baik dan perbaikan nutrisi sapi untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari pengabdian untuk masyarakat Udayana di Baturiti tahun 2019, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing karena telah melibatkan dalam kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina KK, Dharmayudha AAGO, Wirata IW. 2013. Prevalensi toxocara vitulorum pada induk dan anak sapi bali di wilayah bali timur. Bul. Vet. Udayana. 5(1): 1-6.
Ahmad RZ, Gholib D. 2014. Pemberian duddingtonia flagrans dan
saccharomyces cerevisiae
meningkatkan produksi susu dan menurunkan populasi cacing pada sapi. J. Vet. 15(2): 221-229.
Amin MR, Khalid SMA, Alam MO, Mostofa M, Paul BK, Shahiduzzaman M. 2005. Effects of helmex and peraclear against gastro-intestinal nematodiasis in sheep. J. Anim. Vet. Adc. 4(1): 58-62.
Antara PATK, Suwiti NK, Apsari IAP.
2017. Prevalensi nematoda
gastrointestinal bibit sapi bali di nusa penida. Bul. Vet. Udayana. 9(2): 195201.
Ardana IB, Bakta IM, Damriyasa IM. 2012. Peran ovisidal herbal serbuk biji pepaya matang dan albendazol terhadap daya berembrio telur cacing ascaris suum secara in vivo. J. Ked. Hewan. 6(1): 5155.
Astiti LGS, Panjaitan T, Wirajaswadi L.
2011. Uji efektivitas preparat anthelmintik pada sapi bali di lombok tengah. J Pengkajian Pengembangan Teknologi Pertanian. 14(2): 77-83.
Bowman DD. 2014. Georgi’s Parasitology for Veterinarians. 10th Ed. Elsevier.
Philadelphia.
Campbell, WC. 1990. Benzimidazoles: veterinary uses. Parasitol. Today. 6(4): 130–133.
Constable PD, Hinchcliff KW, Done SH, Grunberg W. 2017. Veterinary Medicine: A Textbook of the Diseases of Cattle, Horses, Sheep, Pigs, and Goats. Elsevier. Missouri.
Dasgupta A, Krasowski MD. 2020. Theurapeutic Drug Monitoring Data. Elsevier. Missouri.
Demelash K, Abebaw M, Negash A, Alene B, Zemene M, Tilahun M. 2016. A review on diagnostic techniques in veterinary heminthology. J. Nat. Sci. 14(7): 109-118.
Dobson RJ, Hosking BC, Jacobson CL, Cotter JL, Besier RB, Stein PA, Reid SA. 2012. Preserving new anthelmintics: a simple method for estimating faecal egg count reduction test (fecrt) confidence limits when efficacy and/or nematode aggregation is high. J. Vet. Parasitol. 186(1): 79–92.
Grayson ML, Crowe SM, McCarthy JS, Mills J, Mouton JW, Norrby SR, Paterson DL, Pfaller MA. 2010. Kucer’s the Use of Antibiotics. 6th Ed. CRC Press. Boca Raton.
Hastang, Asnawi A. 2014. Analisis keuntungan peternak sapi potong berbasis peternakan rakyat di kabupaten bone. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 1(1): 240-252.
Hendri Y, Dewi RA. 2014. Produksi dan analisis ekonomi sapi bali yang diberi pakan pelepah sawit di musim kemarau, sumatera barat. J. Pengkajian Pengembangan Teknol. Pertanian. 17(1): 81-87.
Hoberg E, Kocan A, Rickard L. 2001. Gastrointestinal Strongyles in Wild Ruminants. 2nd Ed. Iowa State
University Press. Iowa.
Islam MM, Islam MS, Howlader MMR, Nasrin LS. 2015. Comparative efficacy of albendazol, fenbendazole and
levamisole against gastrointestinal nematodiasis in cattle of Bangladesh. Int. J. Biol. Sci. 3(1): 23-25.
Junaidi M, Sambodo P, Nurhayati D. 2014. Prevalensi nematoda pada sapi bali di kabupaten manokwari prevalency of nematoda in bali cattle at manokwari regency. J. Sain Vet. 32(2): 168-176.
Křížová-Forstová V, Lamka J, Cvilink V, Hanušová V, Skálová L. 2011. Factors affecting pharmacokinetics of
benzimidazole anthelmintics in foodproducing animals: the consequences and potential risks. Res. Vet. Sci. 91(3): 333–341.
Kukovics S. 2018. Goat science. IntechOpen. London.
Mehlhorn H. 2008. Encyclopedia of Parasitology. 3rd Ed. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. New York.
Muhibullah. 2001. Efektivitas albendazol terhadap cacing nematoda pada ayam buras. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Mutschler E. 1999. Dinamika Obat: Buku Ajar Farmakologi Dan Toksikologi. Edisi Kelima. Penerbit ITB. Bandung.
Plumb DC. 2018. Veterinary Drug Handbook. Wiley-Blackwell. Hoboken.
Pramundari A, Wahyu H. 2015. Perbandingan efektivitas pemberian nitronixil dengan albendazol pada sapi potong penderita fasciolosis di wates kulonprogo. Bul. Lab Vet. 15(4): 33-37.
Purwaningsih, Noviyanti, Sambodo P.
2017. Infestasi cacing saluran pencernaan pada kambing kacang peranakan ettawa di kelurahan amban kecamatan manokwari barat kabupaten manokwari provinsi papua barat. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 5(1): 8-12.
Puspitasari S, Sulistiawati E, Basar M, Farajallah A. 2015. Efektivitas ivermektin dan albendazol dalam melawan oestertagia pada domba di bogor, indonesia. J. Ilmu Pertanian Indon. 20(3): 257-264.
Riviere JE, Papich MG. 2018. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 10th Ed. Wiley-Blackwell. Hoboken.
Ryan ET, Hill DR, Solomon T, Endy TP, Aronson N. 2020. Hunter's Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases. 10th Ed. Elsevier. Canda.
Santos MC, Silva BF, Amarante AFT. 2012. Environmental factors
influencing the transmission of haemonchus contortus. Vet. Parasitol. 188(3-4): 277–284.
Seó HLS, Filho LCPM, Honorato LA, Silva BF, Amarante AFT, Bricarello PA. 2015. The effect of gastrointestinal nematoda infection level on grazing distance from dung. Plos One. 10(6): 112.
Setiasih NLK, Suwiti NK, Suastika P. 2011. Studi histologi limpa sapi bali. Bul. Vet. Udayana. 3(1): 9-15.
Silva FF, Bezerra HMFF, Feitosa TF, Vilela VLR. 2018. Nematode resistance to five anthelmintic classes in naturally infected sheep herds in northeastern brazil. Rev. Bras. Parasitol. Vet. 27(4): 423-429.
Soutello RGV, Seno MCZ, Amarante AFT. 2007. Anthelmintic resistance in cattle nematodes in northwestern são paulo state, brazil. Vet. Parasitol. 148(3-4): 360–364.
Supriyanto. 2017. Pengaruh pemberian Albendazol terhadap helminthiasis sapi potong. J. Pengembangan Penyuluhan Pertanian. 14(25): 8-19.
Theodorides VJ, Nawalinski T, Murphy J, Freeman J. 1976. Efficacy of albendazol against against-intestinal nematodes of cattle. Am. J. Vet. Res. 37(12): 1517-1518.
Wescott RB, Farrell CJ, Gallina AM, Foreyt WJ. 1979. Efficacy of
albendazol for treatment of naturally acquired nematodes infections in cattle in washington. Am. J. Vet. Res. 40(3): 369-371.
Willams JC, Sheehan D, Fuselier RH. 1977. Effect of albendazol on gastro-intestinal parasites of cattle. Am. J. Vet. Res. 38(12): 2037-2038.
Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitology. 8th Ed. Wiley-Blackwell. West Sussex.
Zulfikar, Umar S, Farasyi TR, Tafsin M. 2017. Hubungan lingkungan dengan tingkat infestasi nematoda
gastrointestinal pada sapi di aceh. J. Serambi Eng. 2(3): 118-123.
Tabel 1. Hasil Perhitungan Faecal Egg Count Reduction Pasca Terapi Albendazol | |||||
Kelompok Perlakuan |
Hari Pengamatan | ||||
0 |
7 |
14 |
21 |
28 | |
x̄ ± SD |
22,25 ±17,98 |
0,38 ± 0,74 |
0,87 ± 2,10 |
1,25 ± 2,81 |
1,88 ± 2,69 |
FECR (%) |
98,29 |
96,08 |
94,38 |
91,55 | |
Indikasi |
Sangat Efektif |
Efektif |
Efektif |
Efektif |
Tabel 2. Rataan Jumlah Telur Cacing Nematoda pada Hari ke-0 dan Hari ke-7 Pasca Terapi
Albendazol | |
Waktu Pasca Pemberian Albendazol (hari) |
Rataan Jumlah Telur Cacing (EPG) |
Hari ke-0 |
22,25 |
Hari ke-7 |
0,38 |
Nilai Signifikansi |
0,012 |
Gambar 1. Rata-rata jumlah telur cacing nematoda pada feses sapi bali yang diberikan albendazol dan kontrol.
Tabel 3. Rataan Jumlah Telur Cacing Nematoda pada Hari ke-0 dan Hari ke-28 Pasca Terapi Albendazol
Waktu Pasca Pemberian Albendazol (hari) |
Rataan Jumlah Telur Cacing (EPG) |
Hari ke-0 |
22,25 |
Hari ke-28 |
1,88 |
Nilai Signifikansi |
0,012 |
478
Discussion and feedback