Buletin Veteriner Udayana

ISSN : 2085-2495

Volume 5 No. 1 :49-56

Pebruari 2013

Kajian Ekstrak Daun Kedondong (Spondias dulcis G.Forst.) Diberikan Secara Oral Pada Tikus Putih Ditinjau Dari Histopatologi Ginjal

(STUDY OF KEDONDONG’S LEAF EXTRACT (SPONDIAS DULCIS G.FORST.) PROVIDED ORAL IN WHITE RATS REVISED FROM KIDNEY

HISTOPATHOLOGY)

I Putu Suparman 1) I Wayan Sudira, 2), I Ketut Berata3)

1) Mahasiswa FKH Unud, 2) Laboratorium Farmakologi, 3) Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tanaman kedondong sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat alternatif untuk mengobati berbagai macam penyakit. Sedangkan penelitian tentang toksisitas daun kedondong pada ginjal belum pernah dilakukan. Dalam penelitian ini tikus putih (Rattus norvegicus) dibagi secara acak menjadi lima kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 5 tikus putih. Kelompok A sebagai kontrol (placebo) yang diberi aquades peroral; kelompok B diberikan ekstrak daun kedondong 100 mg/kg bb (0,2 ml/ekor); kelompok C diberikan ekstrak daun kedondong 200 mg/kg bb (0,4 ml/ekor); kelompok D diberikan ekstrak daun kedondong 300 mg/kg bb (0,6 ml/ekor); kelompok E diberikan ekstrak daun kedondong 400 mg/kg bb (0,8 ml/ekor). Pemberian ekstrak daun kedondong dilakukan secara oral menggunakan sonde khusus yang dimasukkan langsung ke lambung dan dilakukan selama 14 hari. Nekropsi untuk pengambilan organ ginjal dilakukan pada hari ke 15. Jaringan ginjal selanjutnya diproses untuk pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Pemeriksaan histopatologi pada ginjal tikus putih yang diberikan ekstrak daun kedondong tidak ditemukan adanya peradangan, degenerasi melemak dan nekrosis pada kontrol (placebo). Sedangkan ditemukan adanya nekrosis pada pemberian dengan dosis 100 mg/kg bb (0,2 ml), 200 mg/kg bb (0,4 ml), 300 mg/kg bb (0,6 ml), 400 mg/kg bb (0,8 ml). Pada pemeriksaan yang didasarkan adanya infiltrasi sel-sel radang ditemukan adanya peradangan pada dosis 400 mg/kg bb (0,8 ml). Hasil ini menunjukkan pemberian ekstrak daun kedondong (Spondias dulcis G.Forst) dengan rentang dosis 100 mg/kg bb sampai dengan dosis 400 mg/kg bb selama 14 hari, menyebabkan gangguan histopatologi pada organ ginjal tikus putih (Rattus novegicus).

Kata kunci : ekstrak daun kedondong, tikus putih, histopatologi, ginjal

ABSTRACT

Kedondong plant often used by the community as an alternative medicine to treat various diseases. While research on the toxicity kedondong’s leaf to the kidney has not been done. In this study white rat (Rattus norvegicus) were divided randomly into five groups, each group totaled 5 white rats. A group as a control (placebo) who were given distilled water orally; group B given kedondong’s leaf extract 100 mg / kg bb (0.2 ml / head); group C given kedondong’s leaf extract 200 mg / kg bb (0.4 ml / head ); group D given kedondong’s leaf extract 300 mg / kg bb (0.6 ml / head); group

E given kedondong’s leaf extract 400 mg / kg bb (0.8 ml / head). Kedondong’s leaf extract is administered orally using a special sonde inserted directly into the gastric and performed for 14 days. Necropsy for kidney retrieval performed on day 15. Kidney tissue is further processed to manufacture preparations histopathology with staining Hematoxylin Eosin (HE).Histopathological examination of the kidneys of white rats given kedondong’s leaf extract, there were no inflammation, degeneration and necrosis in the control (placebo). While the presence of necrosis found in the administration at a dose of 100 mg / kg bw (0.2 ml), 200 mg / kg bw (0.4 ml), 300 mg / kg bw (0.6 ml), 400 mg / kg bw (0.8 ml). On examination based infiltration of inflammatory cells found inflammation at a dose of 400 mg / kg bw (0.8 ml).These results indicate kedondong’s leaf extract (Spondias dulcis G.Forst) with a dose range of 100 mg / kg bw up to a dose of 400 mg / kg bw for 14 days, causing disruption histopathology in the kidneys of white rats (Rattus norvegicus).

Key words: kedondong’s leaf extract, white rats, histopathology, kidney

PENDAHULUAN

Pengobatan tradisional di Indonesia sudah digunakan sejak dahulu, dan telah diterapkan meluas secara turun-temurun. Umumnya obat tradisional digunakan untuk pencegahan, pengobatan, dan menambah daya tahan tubuh. Banyak sekali tanaman berkhasiat, ada yang berupa bumbu dapur, tanaman hias, tanaman sayur dan tanaman buah. Selain itu ada pula yang berupa tanaman liar tumbuh di sembarang tempat tanpa ada yang memperhatikan dan memanfaatkannya. Sejak dahulu nenek moyang telah memanfaatkan tanaman untuk mengobati berbagai penyakit. Namun ketika obat kimia ditemukan bahan obat alami tersebut mulai tersisih. Padahal bahan alami mengandung berbagai kelebihan yaitu mudah diperoleh, harga murah, bahkan umumnya gratis karena bisa ditanam sendiri dan efek sampingnya lebih ringan dari obat kimia (Nurhuda, dkk., 1995).

Salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai obat adalah tanaman kedondong (Spondias dulcis G.Forst). Tanaman ini diyakini masyarakat memiliki banyak khasiat pada bagian buah juga daunnya. Khasiat dari kedondong diantaranya mengobati borok, kulit perih, luka bakar, disentri dan batuk. Hal tersebut disebabkan tanaman

kedondong mengandung senyawa-senyawa flavonoid, saponin, dan tanin yang berkhasiat untuk antihistamin, antioksidan, antivirus, antibakteri, anti inflamasi sampai anti kanker (Harmanto, 2002). Tanaman kedondong mengandung berbagai senyawa kimia dengan sifat yang berbeda-beda sehingga terdapat kemungkinan interaksi dari senyawa-senyawa tersebut dalam tubuh. Sisa-sisa metabolisme maupun kandungan senyawa lain yang belum diketahui bentuk dan sifatnyadapat mempengaruhi struktur ginjal sebagai organ ekskresi yang mengalami kontak dengan senyawa-senyawa tersebut.

Secara farmakokinetik, zat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Ginjal merupakan organ ekskresi utama yang sangat penting untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh, termasuk zat-zat toksik yang tidak sengaja masuk ke dalam tubuh. Pemberian senyawa-senyawa yang bersifat toksik ataupun senyawa-senyawa yang bersifat iritatif dapat menimbulkan perubahan-perubahan degeneratif seperti degenerasi melemak sampai nekrosis (Katzung,2001; Guyton,1997). Ginjal juga sangat berperan dalam mempertahankan homeostasis tubuh dengan menghasilkan urin serta sebagai

tempat untuk pembentukan renin dan eritropoetin (Junqueria dan Carniero,1997).

Oleh karena ginjal berperan dalam proses ekskresi suatu obat, maka apabila terjadi gangguan fungsi ginjal, akan mengakibatkan perubahan pada farmakodinamika obat yang disebabkan karena perubahan kadar obat di dalam darah, terutama obat yang sebagian besar diekskresi melalui ginjal (Yoshitani,2002).

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek terhadap perubahan struktur histopatologi yang terjadi pada ginjal karena pemberian ekstrak daun kedondong (Spondias dulcis G.Forst.) pada tikus putih.

METODE PENELITIAN

Penyiapan Ekstrak Daun Kedondong

Daun kedondong dikeringkan selama 2 minggu dimana proses pengeringannya tidak langsung terkena sinar matahari. Kemudian daun yang sudah kering diblander sampai berbentuk serbuk kering. Daun kedondong yang telah berbentuk serbuk direndam dengan etanol 90% dengan volume tiga kali lipat dari volume serbuk daun kedondong selama 3 hari, kemudian dilakukan penyaringan untuk mendapatkan cairan dari hasil perendaman, selanjutnya ampasnya direndam kembali dengan etanol 90% selama 3 hari dengan perbandingan yang sama dan disaring kembali. Hasil penyaringan diuapkan dengan evaporator untuk mendapatkan ekstrak daun kedondong. Ekstrak yang didapat berbentuk cair dan selanjutnya disimpan pada suhu -20ºC sebelum dipakai.

Perlakuan Hewan Percobaan

Pada penelitian ini digunakan tikus putih (jenis Sprague Dawley, betina, umur 3-4 bulan) sebanyak 25 ekor dibagi

secara acak menjadi lima kelompok dimana masing-masing kelompok berjumlah 5 ekor.Dipelihara dalam kandang, diberi jenis pakan dan minum yang sama selama 2 minggu secara teratur satu kali sehari. Pada keadaan ini diperoleh berat badan tikus sekitar 150200 gram. Masing-masing kelompok diberikan perlakuan ekstrak daun kedondong secara oral dengan dosis bertingkat. Kelompok A digunakan sebagai kontrol yang tidak diberikan ekstrak daun kedondong tapi aquades; kelompok B diberikan ekstrak daun kedondong dengan dosis 100 mg/kg bb (0,2 ml); kelompok C diberikan ekstrak daun kedondong dosis 200 mg/kg bb (0,4 ml); kelompok D diberikan ekstrak daun kedondong dosis 300 mg/kg bb (0,6 ml); dan kelompok E diberikan ekstrak daun kedondong dosis 400 mg/kg bb (0,8 ml).

Setiap harinya tikus diberi ekstrak daun kedondong secara oral menurut kelompok perlakuan selama 14 hari. Pada hari ke -15 tikus dieutanasia dengan menggunakan ether. Selanjutnya dilakukan nekropsi dimana dilakukan pengambilan organ ginjal untuk dibuat preparat histopatologi menggunakan metode Kiernan.

Variabel Pemeriksaan Preparat Histopatologi

Preparat histopatologi diperiksa di bawah mikroskop masing-masing pada 5 lapang pandang mikroskopik. Perubahan yang diamati seperti adanya infiltrasi sel radang, degenerasi melemak, dan nekrosis. Kerusakan pada ginjal yang diamati kemudian diskoring sebagai berikut:

Skoring untuk infiltrasi sel radang

0 = sel radang tidak ada

  • 1    = sel radang setempat (fokal)

  • 2    = sel radang merata (difusa) Skoring untuk degenerasi melemak 0 = degenerasi melemak tidak ada 1 = degenerasi melemak setempat (fokal)

  • 2    = degenerasi melemak merata (difusa)

Skoring untuk nekrosis

0 = nekrosis tidak ada

  • 1    = nekrosis setempat (fokal)

  • 2    = nekrosis merata (difusa)

3

Analisis Data

Data hasil pemeriksaan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan histopatologi pada ginjal tikus putih yang diberikan ekstrak daun kedondong, tidak ditemukan adanya degenerasi melemak dan nekrosis baik pada kontrol (placebo) maupun

pemberian dengan dosis 100 mg/kg bb (0,2 ml), 200 mg/kg bb (0,4 ml), 300 mg/kg bb (0,6 ml), 400 mg/kg bb (0,8 ml) (data terlampir). Pada pemeriksaan yang didasarkan adanya infiltrasi sel-sel radang, tidak ditemukannya adanya peradangan baik kontrol (placebo) maupun pemberian dosis 100 mg/kg bb (0,2 ml), 200 mg/kg bb (0,4 ml), 300 mg/kg bb (0,6 ml) tetapididapatkan hasil peradangan ringan dosis 400 mg/kg bb (0,8 ml) pada 1 ekor dari 5 ekor perlakuan pada tikus putih.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Ginjal Tikus Putih

Perlakuan

Ulangan

Perubahan

Nekrosis

Infiltrasi Sel-sel Radang

Degenerasi Melemak

1

0

0

0

A

2

0

0

0

(Placebo)

3

0

0

0

4

0

0

0

5

0

0

0

B

1

1

0

0

Diberi ekstrak

2

0

0

0

daun kedondong

3

0

0

0

100 mg/kg bb

4

0

0

0

5

0

0

0

C

1

1

0

0

Diberi ekstrak

2

0

0

0

daun kedondong

3

0

0

0

200 mg/kg bb

4

0

0

0

5

0

0

0

D

1

1

0

0

Diberi ekstrak

2

0

0

0

daun kedondong

3

0

0

0

300 mg/kg bb

4

0

0

0

5

0

0

0

E

Diberi ekstrak daun kedondong 400 mg/kg bb

1

2

3

4

5

2

0

0

0

0

1 0 0 0 0

0

0

0

0

0

Keterangan: Skor 0=tidak ada lesi 1=lesi ringan 2=lesi berat


Gambar 1. Histopatologi ginjal pada tikus putih yang dipakai kontrol (placebo) tidak ditemukan adanya nekrosis, degenerasi melemak dan peradangan (HE, 400x)

Keterangan: a. tubulus

Gambar 2. Histopatologi ginjal pada tikus putih yang diberi ekstrak daun kedondong 100 mg/kg bb (HE, 400x)

Keterangan: a. glomerulus

b. nekrosis tubular akut (NTA)

Gambar 3. Histopatologi ginjal pada tikus putih yang diberi ekstrak daun kedondong 200 mg/kg bb (HE, 400x)

Keterangan: a. tubulus b. nekrosis tubular akut

(NTA)

Gambar 4. Histopatologi ginjal pada tikus putih yang diberi ekstrak daun kedondong 300 mg/kg bb (HE, 400x)

Keterangan: a. tubulus

  • b. nekrosis tubular akut (NTA) c. perdarahan

Gambar 5. Histopatologi ginjal pada tikus putih yang diberi ekstrak daun kedondong 400 mg/kg bb (HE, 400x)

Keterangan: a.infiltrasi sel radang

  • b.    glomerulus

  • c.    nekrosis tubular akut (NTA)

  • d.    tubulus

Secara umum struktur jaringan ginjal yang diberikan ekstrak daun kedondong mengalami nekrosis. Adanya nekrosis pada semua kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun kedondong (Spondias dulcis G.Forst) dari dosis terkecil 100 mg/kg bb sampai dosis terbesar 400 mg/kg bb mempunyai efek terhadap ginjal (mengalami toksik) jika diberikan secara oral. Sebagaimana diketahui ginjal merupakan organ ekskresi utama yang sangat penting untuk mengeluarkan sisa-

sisa metabolisme tubuh termasuk zat-zat toksik yang masuk kedalam tubuh (Katzung,2001; Guyton,1997).

Ginjal merupakan organ yang beratnya kurang dari 1% dari berat badan, meskipun demikian, ginjal menerima sekitar 20% aliran darah jantung. Aliran darah ginjal tersebut didistribusikan ke korteks ginjal melalui cabang-cabang arteri ke glomerulus yang melekat pada tubulus. Fungsi glomerulus sebagai penyaring dan tubulus sebagai tempat mengkoleksi bahan buangan dan kelebihan air. Oleh karena itu tubuli dan jaringan interstitium korteks ginjal lebih mudah terkena toksin yang bersirkulasi dibandingkan dengan jaringan-jaringan lainnya (Arif, 2003).

Indikator adanya gangguan pada ginjal dapat diketahui dengan mengamati adanya gangguan glomerulus yang berasal dari pembengkakan maupun penambahan sel-sel endotel dan epitel (Churg & Sobin, 1982; Spargo et al, 1980). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Kincaid-Smith & Whitworth (1987) yang menyatakan bahwa penghitungan jumlah glomerulus dan diameter glomerular ginjal dapat digunakan untuk menentukan adanya gangguan pada ginjal. Meskipun demikian standar ketebalan dan potongan yang melalui inti atau vascular pole glomerulus normal sering memberikan rentang jumlah sel-sel serupa dengan yang menderita gangguan ginjal. Oleh sebab itu untuk menentukan adanya gangguan pada ginjal diperlukan gambaran selular dari kortek ginjal yang dikombinasikan dengan penghitungan glomerulus dan diameter glomerular ginjal.

Ekstrak daun kedondong memiliki kandungan flavonoid, saponin, dan tanin. Flavonoid merupakan kandungan yang memiliki fungsi sebagai antioksidan sehingga mampu mencegah sekaligus mengatasi serangan kanker. Mekanisme kerja flavonoid dalam mengatasi kanker dengan mengaktifkan enzim-enzim untuk menghilangkan senyawa mutagen dan

karsinogen, serta merangsang sekresi di usus. Flavonoid merupakan salah satu dari banyak senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan yang biasa ditemukan pada bagian akar, kulit dan daun serta biji tumbuhan. Senyawa flavonoid mengandung cincin aromatik yang tersusun dari 15 atom karbon (Markham,1988).

Proses ekskresi obat dapat menyebabkan kerusakan tubulus berupa Nekrosis Tubular Akut (NTA) yang bersifat reversibel dan apabila tidak ditangani secara baik dapat berlanjut menjadi NTA yang bersifat irreversibel. Nekrosis Tubular Akut yang bersifat reversibel terjadi karena sel-sel epitel tubulus proksimal mempunyai kemampuan daya regenerasi yang baik. Secara morfologi ditandai dengan dekstruksi sel epitel tubulus proksimal namun membrana basalis tubuli masih baik (Wijaya & Miranti,2005).

Ditinjau dari pengamatan histopatologi pemberian ekstrak daun kedondong dosis 100 mg/kg bb - 400 mg/kg bb tidak sampai menimbulkan degenerasi melemak. Degenerasi melemak ditandai dengan adanya vakuola yang besarnya bervariasi dan pada kasus berat mendesak nukleus ke tepi. Lemak dalam sitoplasma sel dapat mendesak inti sel ke pinggir yang tampak pada pemeriksaan mikroskopis.

Infiltrasi sel radang tidak ditemukan pada pemberian dosis 100 mg/kg bb-300 mg/kg bb tetapi ditemukan infiltrasi sel radang ringan pada pemberian dosis 400 mg/kg bb pada 1 ekor sampel dari 5 ekor sampel. Inflamasi atau reaksi peradangan merupakan mekanisme penting yang diperlukan tubuh untuk mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan juga memperbaiki struktur serta gangguan fungsi jaringan yang ditimbulkan bahaya tersebut (Baratawijaya,2002).

Nekrosis ditemukan pada pemberian dosis 100 mg/kg bb-400

mg/kg bb. Masuknya suatu substansi toksik ke dalam tubuh dalam waktu yang lama akan menyebabkan nekrosis tubulus ginjal. Nekrosis diawali dengan perubahan morfologi inti sel yaitu piknosis. Tahap berikutnya inti pecah (karioreksis) dan inti menghilang (kariolisis). Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di dalam sel antara lain kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria dan aparatus golgi sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan trigliserida sehingga tertimbun dalam sitoplasma sel. Pada ginjal, piknosis paling banyak terjadi pada tubulus proksimalis karena di tubulus inilah terjadi proses reabsorbsi sehingga peluang terjadinya kerusakan akibat dari toksikan paling tinggi (Robbins, 1992).

Adanya perubahan yang menunjukkan adanya nekrosis, hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun kedondong secara oral menimbulkan perubahan histopatologi pada jaringan ginjal tikus putih. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut untuk mendukung penggunaan daun kedondong sebagai obat herbal pada hewan maupun manusia.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian ekstrak daun kedondong (Spondias dulcis G.Forst) dengan rentang dosis 100 mg/kg bb sampai dengan dosis 400 mg/kg bb selama 14 hari menyebabkan gangguan histopatologi pada organ ginjal tikus putih (Rattus norvegicus).

Saran

Untuk mengetahui efek ekstrak daun kedondong terhadap perubahan struktur histopatologi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan dosis lebih dari 400 mg/kg bb dengan lama waktu pemberian lebih dari 14 hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.Dr. Drh. I Made Damriyasa,MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Prof. Dr. Drh. I Ketut Berata, M.Si dan Drh. I Wayan Sudira, M.Si yang telah bersedia membimbing penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Soeksmanto. 2003. Pengaruh Fraksi Aktif Tumbuhan Aglaia angustifolia terhadap Ginjal Mencit (Mus     musculus).

Cibinong: Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Hal 49-52.

Baratawidjaya, K.G. 2002. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI.

Churg, J. & Sobin, L.H. 1982. Renal Disease: Classification and Alas of Glomerular Disease. Tokyo: Igaku-Shoin Ltd.

Guyton A.C., Hall J.E. 1997. Ginjal dan cairan tubuh. In: Setiawan I, editor. Buku ajar fisiologi kedokteran. 9th ed. Jakarta: EGC; p. 375-437.

Harmanto, N. 2002. Sehat dengan

Ramuan Tradisional. Cetakan keempat. Tangerang: PT.

Agromedia Pustaka.

Junquera, L.C & Carneiro, J. 1997.

Histologi Dasar. Edisi 8. Alih Bahasa Jan Tambayong. Jakarta: EGC.

Katzung, B.G. 2001. Farmakologi dasar dan klinik. Vol 1. Jakarta: Salemba Medika.

Kincaid-Smith, P. & Whitworth, J.A.

1987. The Kidney: A Clinico-Pathological Study. Oxford: Blackwell Scientific Publications.

Markham K.R. 1988. Cara

Mengidentifikasi Flavonoid.

Diterjemahkan oleh Padma

Winata K. Bandung: Penerbit ITB. Hal 1-6; 15-17.

Nurhuda, Soeradi O, Suhana M, dan Sodikin M. 1995. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Pare Terhadap Jumlah dan Motilitas Spermatozoa Tikus Jantan. Jurnal Kedokteran YARSI, Vol 3 dan 2.

Robbins, S.L dan Kumar V. 1992. Buku ajar patologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran .p.1-27.

Spargo, B. H., Seymour, A.E. & Ordonez, N. G. 1980. Renal Biopsy Pathology With Diagnostic and Therapeutic

Implications. New York: John Wiley & Sons.

Wijaya I dan Miranti I.P. 2005. Patologi ginjal & saluran kemih. Ed 3. Semarang: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Yoshitani T., Yagi H., Inotsume N., and Yasuhara M., 2002, Effect experimental renal failure on the pharmacokinetics of losartan in rats, Biol. Pharm. Bull., 25(8) : 1077-1083

56