Buletin Veteriner Udayana

ISSN : 2085-2495

Volume 5 No. 1 :41-47

Pebruari 2013

Pengaruh Pemberian Pegagan (Centella asiatica) Terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal Mencit yang Diinfeksi Salmonella typhi

(THE EFFECT OF PEGAGAN ON MICROSCOPIC DESCRIPTION OF THE KIDNEY IN MICE INFECTED SALMONELLA TYPHI)

Km Ariya Hendrayana 1), Ni Ketut Suwiti 2), I Made Kardena 3), I Nengah Kerta Besung4

1. Mahasiswa FKH, 2Lab Histologi, 3Lab Patologi, 4Lab Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

Email :[email protected]

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian pegagan (Centella asiatica) terhadap gambaran mikroskopis ginjal mencit yang telah diinfeksi Salmonella typhi. Penelitian menggunakan 24 ekor mencit jantan berumur 8 – 12 minggu, dengan berat badan 20 – 35 gram, dibagi menjadi empat perlakuan dengan enam kali ulangan, yaitu kelompok P0 dengan pemberian aquades steril, kelompok P1 dengan pemberian pegagan 125 mg/kg bb, kelompok P2 dengan pemberian pegagan 250 mg/kg bb, dan kelompok P3 dengan pemberian 500 mg/kg bb. Setelah 14 hari seluruh mencit diinfeksi dengan S. typhi. Pada hari ke 15 dilakukan nekropsi untuk pengambilan sampel berupa ginjal dan dibuat preparat histologi. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap gambaran mikroskopis yang meliputi perubahan : infiltrasi sel radang, perdarahan, degenerasi vakuola dan nekrosis. Metode pewarnaan menggunakan Haematoxylin dan Eosin (HE). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan P0 berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3. Demikian juga dengan derajat kerusakan ginjal tersebut. Semakin tinggi dosis pegagan yang diberikan semakin berpengaruh terhadap perbaikan struktur mikroskopis ginjal.

Kata kunci : Pegagan, Gambaran mikroskopis ginjal, Salmonella typhi.

ABSTRACT

A research has been conducted to investigate the effect of Pegagan (Centella asiatica) against histological kidney infected by Salmonella typhi. A total of 24 male mice aged 8-12 weeks were devided into fourth groups. P0 is a control were given with sterile distilled water, P1 with 125 mg/kg bw of pegagan, P2 was given of Centella asiatica 250 mg / kg bw, and groups of P3 with 500 mg / kg bw. After 14 days all the mice infected with S. typhi. On day 15 necropsy was performed for the sampling of kidney histology and made preparations. Further observations on a microscopic picture which includes changes in: infiltration of inflammatory cells, hemorrhage, degeneration and necrosis of the vacuole. Staining method using Haematoxylin and eosin (HE). The results showed significantly different treatment of P0 with P1, P2, and P3. Similarly, the degree of damage to the kidneys. The higher doses of pegagan given more influence on improvement of the microscopic structure of the kidney.

Keywords : Pegagan, microscopic description of kidney, Salmonella typhy.

PENDAHULUAN

Centella asiatica (C. asiatica) atau di Indonesia dikenal dengan nama pegagan telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional baik dalam bentuk segar, kering maupun yang sudah dalam bentuk ramuan (jamu). Secara konvensional, pegagan dipakai untuk melancarkan peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), penurun panas (antipiretika), menghentikan pendarahan (haemostatika), antispasma, antiinflamasi, hipotensi, insektisida, antialergi, dan stimulan. Kandungan saponin pada pegagan berfungsi menghambat produksi jaringan bekas luka yang berlebihan (menghambat terjadinya keloid). Pegagan juga bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah pada lengan dan kaki, untuk mencegah varises dan salah urat, meningkatkan daya ingat, mental, dan stamina tubuh serta menurunkan gejala stres dan depresi (Yu et al, 2006). Pegagan juga dimanfaatkan sebagai obat untuk mempercepat kesembuhan luka dan meningkatkan daya ingat. Pegagan mampu meningkatkan hiperplasia seluler dan meningkatkan sel kolagen pada jaringan luka (Sagrawat dan Khan, 2007).

Demikian banyak manfaat pegagan berfungsi menjaga proses fisiologis tubuh agar berjalan normal, sehingga terhindar dari berbagai kelainan metabolisme di dalam tubuh, baik yang ditimbulkan atau disebabkan oleh agen non infeksi maupun agen infeksi. Salah satu agen infeksius yang dapat menimbulkan perubahan pada tubuh atau organ tubuh hewan adalah .Salmonella typhi. S. typhi menyebabkan infeksi yang ditandai dengan enterokolitis akut dan berkembang menjadi septisemia atau hanya infeksi lokal. Biasanya, penyebab infeksi terlokalisir di jaringan tubuh tertentu, menyebabkan abses dan septic arthritis, kolesteitis, endokarditis, meningitis, perikarditis, pneumonia,

pyoderma dan nefritis.Nefritis adalah peradangan pada ginjal di daerah nefron yang disebabkan oleh adanya infeksi (Japaries, 1993).

Gangguan pada ginjal seperti infeksi ginjal atau masuknya bahan racun, polutan dan obat - obatan yang merusak ginjal dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan urin (Price dan Wilson, 1995).Untuk menghindari perubahan dan kelainan pada ginjal akibat agen infeksi tersebut di atas dapat dilakukan berbagai usaha, salah satunya memanfaatkan bahan alami.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pegagan (Centella asiatica) dalam mencegah perubahan gambaran mikroskopis ginjal mencit pasca infeksi Salmonella typhi.

BAHAN DAN METODE

Isolasi dan penyiapan antigen S. typhi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Pemeliharaan mencit dan pemberian pegagan dilaksanakan di Laboratorium CSAD (Central Study of Animal). Pengamatan histologi dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Sampel penelitian

Penelitian menggunakan sampel mencit jantan strain Balb/C yang berumur 8-12 minggu dengan berat badan sekitar 20-35 gram. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pegagan dalam bentuk ekstrak, S. typhi dalam bentuk suspensi, dan bahan-bahan kimia lainnya untuk proses pembuatan preparat seperti aquades, alkohol, formalin, xylol, paraffin cair, dan bahan untuk pewarnaan HE.

Metode penelitian

Sebanyak 24 ekor mencit umur 8 minggu diadaptasikan dengan lingkungan selama 2 minggu dan ditimbang berat badannya. Mencit ditempatkan pada 4 kelompok secara acak, masing-masing 6 ekor mencit pada kelompok I, II, III dan IV. Kelompok I sebagai kontrol hanya diberikan aquades steril sebanyak 1 ml/hari, kelompok II diberikan pegagan dosis 125 mg/kg BB/ml, kelompok III diberikan pegagan dosis 250 mg/kg BB/ml, dan kelompok IV diberi pegagan dosis 500 mg/kg BB/ml. Pemberian pegagan dilakukan setiap hari selama 14 hari. Pada hari ke 15 dilakukan infeksi kuman S. typhi sebanyak 105 sel per ml PBS per ekor secara intraperitoneal. Infeksi S. typhi ini didasarkan atas hasil uji lethal dose 50 (LD50).

Pembuatan preparat histologi

Tahap pembuatan sediaan histologi dilakukan sesuai metode Kiernan. Fiksasi jaringan dengan cara merendam dalam formalin buffer fosfat 10% selama 24 jam, kemudian diiris (trimming) agar dapat dimasukkan dalam kotak untuk diproses dalam tissue processor. Tahap berikutnya, jaringan tersebut dimasukkan ke dalam alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 96%, toluene 1 dan toluene 2 masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya jaringan dimasukkan ke dalam paraffin cair dengan suhu 56°C selama 2 jam sebanyak 2 kali. Jaringan kemudian diambil dengan pinset, dilanjutkan dengan pemblokan menggunakan parafin blok. Pemotongan (cutting) dilakukan dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 µm. Jaringan yang terpotong dikembangkan di atas air dalam waterbath, kemudian ditangkap dengan gelas objek. Kemudian dikeringkan dalam suhu kamar dan preparat siap diwarnai dengan Hematoxylin Eosin (HE).

Pewarnaan Hematoxylin Eosin

Tahapan pewarnaan HE metode Harris adalah sebagai berikut : preparat di atas gelas objek direndam dalam xylol I 5 menit, dilanjutkan xylol II, III masing-masing 5 menit. Kemudian preparat direndam dalam alkohol 100% I dan II masing-masing 5 menit, selanjutnya ke dalam aquades dan kemudian direndam dalam Harris Hematoxylin selama 15 menit. Celupkan ke dalam aquades dengan cara mengangkat dan menurunkannya. Preparat kemudian dicelupkan ke dalam acid alkohol 1% selama 7-10 celupan, direndam dalam aquades 15 menit, dan dalam eosin selama 2 menit. Selanjutnya preparat direndam dalam alkohol 96% I dan II masing-masing 3 menit, alkohol 100 % I dan II masing-masing 3 menit, dan dalam xylol IV dan V masing-masing 5 menit. Preparat dikeringkan dan dilakukan mounting dengan menggunakan entelan.

Data yang diambil berupa gambaran histologi ginjal, dari pengamatan 5 kali lapang pandang dengan mikroskop pembesaran 400x. Pengambilan dan pengamatan preparat dilakukan pada minggu ke-4 setelah infeksi S. typhi. Perubahan pada ginjal yang meliputi daerah glomerulus dan tubulus masing – masing diberikan skor 1 apabila kelainan ditemukan adanya infiltrasi sel radang, diberikan skor 2 apabila ditemukan adanya perdarahan, diberikan skor 3 apabila ditemukan degenerasi vakuola, dan diberikan skor 4 apabila adanya nekrosa (Purnomo, 1987). Sehingga total skor adalah 10 apabila semua perubahan pada saat pemeriksaan mikroskopis ditemukan.Data yang digunakan dalam pengamatan perubahan hitologi ginjal berupa skoring. Data dari skoring ginjal adalah data kuantitatif yg diuji dengan statistik non parametrik menggunakan uji Kuskal–Wallis, apabila hasil yang diperoleh signifikan maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil pemeriksaan gambaran mikroskopis ginjal mencit yang tidak diberikan pegagan (Centella asiatica) dan kemudian diinfeksi dengan Salmonella typhi setelah di nekropsi, dapat dilihat pada Gambar 1, dimana ditemukan perubahan : infiltrasi sel radang, perdarahan, degenerasi vakuola dan nekrosis.

Gambar 1. Gambaran mikroskopis ginjal mencit pada pemberian aquades steril (HE,400X) A. Infiltrasi sel radang , B. Perdarahan, C. degenerasi vakuola, D. nekrosis

Gambaran mikroskopis ginjal mencit pada pemberian dosis pegagan 125 mg/kg bb disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Gambaran mikroskopis ginjal mencit pada pemberian dosis

pegagan 125 mg/kg bb (HE,400x) A. Infiltrasi sel radang , B. Perdarahan,

C. Degenerasi vakuola, D. Nekrosis

Gambaran mikroskopis ginjal mencit pada pemberian dosis 250 mg/kg bb disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Gambaran mikroskopis ginjal mencit pada pemberian pegagan 250 mg/kg bb (HE, 400x) A. Infiltrasi sel radang, B. Perdarahan, C. degenerasi vakuola, D. Nekrosis

Gambaran mikroskopis ginjal mencit yang diberikan pegagan 500 mg/kg bb masih ditemukan adanya infiltrasi sel radang dan perdarahan, disajikan dibawah ini.

Gambar 4. Gambaran mikroskopis ginjal mencit pada pemberian pegagan 500 mg/kg bb (HE, 400x) A. Infiltrasi sel radang, B. Perdarahan.

Pengaruh pegagan terhadap gambaran mikroskopis ginjal setelah diinfeksi salmonella typhi yang diamati berdasarkan ada tidaknya infiltrasi sel radang, perdarahan, degenerasi vakuola, dan perdarahan. Dengan berbagai konsentrasi yaitu 0 mg/kg bb (kontrol), 125 mg/kg bb (P1), 250 mg/kg bb (P2), 500 mg/kg bb (P3) diperoleh data seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Kruskal –Wallis dengan berbagai dosis pegagan.

Perlakuan

N

Mean Rank

Skor diberikan aquades

6

21.50

dosis 125 mg/kg bb

6

10.25

250 mg/kg bb

6

14.75

500 kg/mg bb

6

3.50

24

Skor

Chi-Square

21.428

Df

3

Asymp. Sig.

0

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: perlakuan

Dari tabel diatas, menunjukkan jumlah skor terhadap 4 kelompok perlakuan memberikan nilai rerata yang berbeda. Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan Uji Kruskall-Wallis, diperoleh antara perlakuan kelompok P0, P1, P2, dan P3 memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).

Pembahasan

Gambaran mikroskopis mencit tidak diberikan pegagan terlihat ginjal mencit mengalami infiltrasi sel radang, perdarahan, degenerasi vakuola, dan nekrosis. Dari semua indikator yang ditunjukkan, infeksi Salmonella typhi pada mencit masih menyebabkan perubahan tersebut. Keadaan ini disebabkan ginjal adalah organ utama

yang memiliki sisi sensitif terhadap toksisitas karena peranannya unik terhadap filtrasi, metabolisme, dan ekskresi xenobiotik. Dalam keadaan normal, glomerulus akan memfiltrasi molekul-molekul protein yang berukuran besar sehingga tidak dapat dilalui. Akan tetapi, pada keadaan disfungsi gromerulus akibat bahan toksik, bahan-bahan asing akan lolos dengan mudah dan masuk ke tubuli dalam jumlah tidak normal. Hal ini akan menginduksi terjadinya kerusakan pada tubuli dalam bentuk degenerasi tubular, nekrosis, perdarahan, dan infiltrasi sel radang (Selly, 1999).

Kontrol (P0) apabila di bandingkan dengan perlakuan P1 diperoleh hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Hal ini berarti konsentrasi pegagan yang diberikan pada P0 (kontrol) dan P1 (125mg/kg bb) memberikan gambaran mikroskopis ginjal yang berbeda, walaupun masih ditemukan adanya infiltrasi sel radang, perdarahan, degenerasi vakuola, dan nekrosis, tetapi terjadi perbedaan derajat keparahan dari perdarahan dan infiltrasi sel radang yang terjadi antara P0 dan P1. Hal ini tidak terlepas dari salah satu fungsi pegagan yang berperan sebagai antihaemostatika (menghentikan perdarahan) (Yu et al., 2006). Demikian juga yang ditemukan pada perlakuan P2 dimana dosis pegagan yang diberikan 250 mg/kg bb, tetapi apabila diperhatikan ternyata derajat keparahan P0 lebih tinggi dari P1, namun apabila dibandingkan dengan P2 derajat keparahan pada P1 lebih rendah.

Keadaan yang sama ditemukan, apabila dibandingkan antara mencit yang tanpa diberikan pegagan (P0), dosis 125 mg/kg bb (P1), dosis 250 mg/kg bb (P2), dengan dosis 500 mg/kg bb (P3), dimana dosis pegagan yang diberikan 500 mg/kg bb berpengaruh terhadap gambaran mikroskopis ginjal mencit. Pada perlakuan P3 tidak ditemukan adanya degenerasi vakuola dan nekrosis. Hal ini membuktikan konsentrasi pegagan dosis

500 mg/kg bb memberikan perbaikan pada gambaran mikroskopis ginjal mencit. Ini disebabkan pegagan mengandung terpenoid khususnya triterpenoid merupakan kandungan utama pegagan, terdiri atas asiatikosida, sentelosida, madekasosida, brahmosida dan brahminosida (glikosida saponin), asam asiaticentoic, asam centellic, asam centoic dan asam madekasat.Asiatikosida memacu sintesis kolagen dan mucopolisakarida untuk memperbaiki jaringan yang luka sedangkan oksiasiatikosida dapat membunuh basilus tuberkolosis (Barnes et al., 2002; Fahmi, 2002).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlakuan terhadap mencit tanpa diberikan pegagan dengnan mencit yang diberikan dosis pegagan 125 mg/kg bb, 250 mg/kg bb dan 500 mg/kg bb memberikan hasil gambaran histologi yang berbeda nyata. Demikian juga dengan derajat kerusakan ginjal tersebut. Semakin tinggi dosis pegagan yang diberikan semakin berpengaruh terhadap perbaikan struktur mikroskopis ginjal. Dosis pegagan 500 mg/kg bb dapat memperbaiki gambaran mikroskopis ginjal mencit. yakni tidak ditemukan adanya degenerasi vakuola dan nekrosis.

Saran

Perlu adanya penelitian sejenis dengan menggunakan agen infeksi yang berbeda. Pada penelitian berikutnya diharapkan dapat menggunakan organ berbeda untuk melihat pengaruh pegagan (Centella asiatica) dalam mencegah perubahan gambaran mikroskopis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Bapak Dekan Fak. Kedokteran Hewan atas fasilitas yang diberikan. Ibu Prof. Dr. Drh. Ni

Ketut Suwiti, MKes sebagai pembimbing I, Bapak Drh. I Made Kardena, MVS sebagai pembimbing II dan Bapak Dr. Drh I Nengah Kerta Besung MSi, yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan memberikan bimbingan khususnya tentang bakteriologi.

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, J., Anderson, L.A., Phillipson, J.D. 2002. Herbal Medicines.Second Edition.Pharmaceutical Press. London. Pp 530.

De Lucia, R., Sertie J.A.A., Camargo E.A. dan Panizza   S.   1997.

Pharmacological and Toxicological Studies on Centella asiatica Extract. Dalam Abstrak Fitoterapia Journal .

Govindan G, Sambandan TG, Govindan M, Sinskey A, Vanessendelft J, Adenan I, and Rha CK. 2007. A Bioactive Polyacetylene Compound Isolated from Centella asiatica. Supporting information avialable on line at http://.thieme-conect.de/ejournals/toc/p-lantamedica. Revised April 9. 2007. Accepted april 13, 2007.

Januwati, M. dan Yusron, M. 2005. Budidaya tanaman pegagan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Sirkuler                    No.11.,

http://www.balittro.go.id.

Junqueira, L. C, J. Carneiro. 1980. Alih Bahasa Adji Dharma. EGC Buku Histologi Kedokteran.

Fahmi, R. 2002. Uji kandungan metabolit sekunder (Untuk survey di lapangan). Makalah dalam Workshop Peningkatan Sumber Daya Manusia, Kajian Kimia Organik Bahan Alam Hayati dan Pelestarian Hutan, 21-27 Juli 2002 di Padang.

Japaries, W. 1973. Penyakit Ginjal. Penerbit Arcam. Jakarta.

Purnomo. 1987. Symposium Patologi. Penerbit Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.

Price, S. A. dan Wilson, L. M. 1995.Patofisiologi.Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ahli Bahasa: dr. Peter Anugerah. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Sagrawat, H. and Khan M.Y. 2007. Immunomodulatory Plants: A

Phytopharmacological Review. Vol 1, Issue 2. Pp 83-89. http://www.phcogrev.com

Seely, J.C. Kidney.In : Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Referenceand Atlas. 1st ed. Cache River Press. P: 226.

Yu QL.; Duan HQ.; Takaishi Y and Gao WY.2006. A Novel Triterpene from Centalla    asiatica.    Molecules

2006,11,                661-665.

http://www.mdgi.org.

47