Pengaruh Pemberian Pegagan (Centella asiatica) terhadap Gambaran Mikroskopis Limpa Mencit yang Diinfeksi Salmonella typhi
on
Buletin Veteriner Udayana
ISSN : 2085-2495
Volume 5 No. 1 : 15-21
Pebruari 2013
Pengaruh Pemberian Pegagan (Centella asiatica) terhadap Gambaran Mikroskopis Limpa Mencit yang Diinfeksi Salmonella typhi
(THE EFFECT OF CENTELLA ASIATICA TO MICROSCOPIC STRUCTURE OF THE SPLEEN OF MICE AFTER INFECTED SALMONELLA TYPHI)
I Gede Oka Budiawan1, Ni Ketut Suwiti2, I Putu Suastika2, I Nengah Kerta Besung3
1. Mahasiswa FKH, 2Lab Histologi, 3Lab Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak pegagan terhadap gambaran histologis limpa mencit yang diinfeksi Salmonella typhi. Mencit sebanyak 24 ekor dibagi empat kelompok, yakni kelompok I (P0) sebagai kontrol diberikan aquades steril, kelompok II (P1) diberikan pegagan dengan dosis 125 mg/kg bb, kelompok III (P2) diberikan pegagan 250 mg/kg bb, dan kelompok IV (P3) diberikan pegagan 500 mg/kg bb. Setiap perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Pegagan di berikan setiap hari selama 14 hari. Setelah 14 hari seluruh mencit diinfeksi S.typhi. Pada hari ke-15 dilakukan nekropsi untuk pengambilan sampel berupa limpa dan dibuat preparat histologi. Pengamatan preparat dilakukan di Laboratorium Histologi, meliputi persentase nekrosis. Metote pewarnaan menggunakan Haematoxylin Eosin (HE). Data yang diperoleh dianalisis dengan Uji Kruskal-Wallis. Hasil analisis menunjukan gambaran mikroskopis limpa mencit yang diberikan pegagan dosis 500 mg/kg bb berbeda nyata (P<0,05) dengan limpa mencit yang diberikan pegagan dosis 125 mg/kg bb, 250 mg/kg bb dan mencit yang tidak diberikan pegagan.
Kata kunci : Pegagan, Salmonella typhi, limpa
ABSTRACT
A research has been conducted to investigate the effect of Pegagan (Centella asiatica) against histological kidney infected by Salmonella typhi. A total of 24 male mice aged 8-12 weeks were devided into fourth groups. P0 is a control were given with sterile distilled water, P1 with 125 mg/kg bw of pegagan, P2 was given of Centella asiatica 250 mg / kg bw, and groups of P3 with 500 mg / kg bw. After 14 days all the mice infected with S. typhi. The day 15 all of mice were necropsied and spleen were took for to a made histological preparations by Haematoxylin Eosin (HE). The examination of the histological change were based on the percentage of necrosis. Data were analyzed with the Kruskal-Wallis test. The analysis shows a microscopic picture of spleen of mice given a dose of Centella asiatica 500 mg / kg bw significantly different (P <0.05) of the spleen of mice given Centella asiatica doses 125, 250 mg / kg bw and mice are not given Centella asiatica.
Keywords : Centella asiatica, Salmonella typhi, spleen
PENDAHULUAN
Salmonela thypi yakni agen bakteri yang menyebabkan Salmonellosis, penyakitnya ditandai dengan enterokolitis akut, sakit perut, diare, mual, dan terkadang muntah. Infeksi dapat berkembang menjadi septisemia, atau hanya infeksi lokal. Penyebab infeksi terkadang terlokalisir di jaringan tubuh tertentu, menyebabkan abses dan septic arthritis serta peradangan pada organ saluran pencernaan, hati, limpa, jantung, otak, dan organ lainnya.
Beberapa hewan yang dapat terjangkit Salmonellosis diantaranya unggas, babi, sapi, kerbau, anjing, kucing, tikus dan binatang peliharaan seperti iguana, tortois dan kura-kura. Hewan yang terinfeksi S. typhi dapat berperan sebagai reservoar penyakit tanpa menunjukan gejala klinis. Hewan ini merupakan sumber infeksi yang suatu saat bisa menularkan ke hewan lain ataupun ke manusia. Pada kasus ini, bakteri berada pada tubuh hewan dalam jangka waktu yang lama, bahkan selama hidupnya terinfeksi kuman Salmonella (Santander, et al, 2003 ).
Penanganan Salmonellosis biasanya dititik beratkan pada pemberian antibiotika seperti ampisilin, kotrimoksasol, kloramfenikol, ceftriaxone, dan fluorokuinolon (ciprofloksasin, ofloksasin, pefloksasin, dan fleroksasin). Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan terhadap S. typhi, sedangkan seftriaksonmasi dalam tahap uji klinis dengan hasil penelitian pendahuluan memberikan efektivitas yang memuaskan (Musnelina, et al, 2004).
Selama ini penggunaan antibiotika untuk menangani demam tifoid mengalami hambatan. Hambatan utama adalah terbatasnya antibiotika yang efektip terhadap kuman ini. Hanya beberapa jenis antibiotika yang efektif
dipakai menanggapi infeksi diantaranya kloramfenikol, flourokuinolon dan kotrimoksasol. Hambatan yang lain adalah sering terjadi resistensi kuman terhadap antibiotika yang diberikan. Penggunaan antibiotika yang tidak terkontrol akan dapat menimbulkan resistensi kuman. Kuman yang awalnya sensitif terhadap antibiotika lama kelamaan akan bersifat resisten terhadap antibiotika tersebut.
Berkaitan dengan resistensi tersebut, maka di masa mendatang perlu diupayakan alternatif pengobatan untuk Salmonellosis yang lebih alami, mudah, murah dan efektif maka, diupayakan dengan pemberian tanaman obat yang berkasiat sebagai Imunostimulator. Beberapa bahan nabati atau yang lebih dikenal dengan bahan herbal yang dapat meningkatkan respon imun diantaranya : pegagan, kapulaga, buah merah, mahkota dewa, dan kunyit (Januwati dan Yusron, 2005).
Pegagan (Centella asiatica.) telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional baik dalam bentuk bahan segar, kering maupun yang sudah dalam bentuk ramuan (jamu). Pegagan mengandung berbagai bahan aktif dan yang terpenting adalah triterpenoid saponin. Triterpenoid saponin meliputi asiaticoside, centelloside, madecassoside, dan asam asiatik. Komponen lainnya adalah minyak volatin, flafonoid, tannin, fytosterol, asam amino, dan karbohidrat. Kandungan kurkumin pada pegagan dimanfaatkan sebagai antinfeksi dan kandungan flavonoid dimanfaatkan sebagai antioksidan (Mamtha, et al, 2004), dan komposisi bioktif poliasetil berguna meningkatkan apoptosis sebesar 63% dan meningkatkan produksi nitrit oksid sebanyak 70±2% (Govindan et al, 2007).
Pegagan juga dimanfaatkan sebagai obat untuk mempercepat kesembuhan luka dan meningkatkan daya ingat. Pegagan mampu meningkatkan
hyperplasia seluler dan meningkatkan sel kolagen pada jaringan luka. Sampai saat ini pemanfaatan pegagan sebagai bahan imunostimulator masih dikembangkan dan terus diteliti. Demikian juga dengan pegagan dalam peranannya mencegah kelainan ataupun kerusakan organ penyusun tubuh yang diakibatkan oleh infeksi Salmonellosis.
Gangguan oleh agen infeksi bakteri Salmonella dimungkinkan dapat menimbulkan perubahan pada organ, salah satu organ tersebut adalah limpa mengingat limpa berfungsi sebagai salah satu organ pertahanan tubuh. Demikian banyak peranan pegagan dalam sistem fisiologis tubuh, namun belum ada yang meneliti sejauh mana pegagan mampu memperbaiki organ tubuh terutama limpa dalam usaha mempertahankan akibat infeksi Salmonella typhi.
METODE PENELITIAN
Materi penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan sampel mencit jantan strain Balb/C yang berumur 8-12 minggu dengan berat badan antara 20-35 gram. Sampel diambil secara acak dan dihitung berdasarkan rumus : (p-1) (n–1) ≥ 15 (Sampurna, 2007), sehingga total mencit yang digunakan untuk penelitian berjumlah 24 ekor.
Metode penelitian
Sebanyak 24 ekor mencit umur 8 minggu diadaptasikan dengan lingkungan selama 2 minggu dan ditimbang berat badannya. Mencit ditempatkan pada 4 kelompok secara acak, masing-masing 6 ekor mencit pada kelompok I, II, III dan IV. Kelompok I sebagai kontrol hanya diberikan aquades steril sebanyak 1 ml/hari, kelompok II diberikan pegagan dosis 125 mg/kg BB/ml, kelompok III diberikan pegagan dosis 250 mg/kg BB/ml, dan kelompok IV diberi pegagan dosis 500 mg/kg BB/ml. Pemberian pegagan dilakukan setiap hari selama 14
hari. Pada hari ke 15 dilakukan infeksi kuman S. typhi sebanyak 105 sel per ml PBS per ekor secara intraperitoneal. Infeksi S. typhi ini didasarkan atas hasil uji lethal dose 50 (LD50).
Pembuatan preparat histologi
Tahap pembuatan sediaan histologi dilakukan sesuai metode Kiernan. Fiksasi jaringan dengan cara merendam dalam formalin buffer fosfat 10% selama 24 jam, kemudian diiris (trimming) agar dapat dimasukkan dalam kotak untuk diproses dalam tissue processor. Tahap berikutnya, jaringan tersebut dimasukkan ke dalam alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 96%, toluene 1 dan toluene 2 masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya jaringan dimasukkan ke dalam paraffin cair dengan suhu 56°C selama 2 jam sebanyak 2 kali. Jaringan kemudian diambil dengan pinset, dilanjutkan dengan pemblokan menggunakan parafin blok. Pemotongan (cutting) dilakukan dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 µm. Jaringan yang terpotong dikembangkan di atas air dalam waterbath, kemudian ditangkap dengan gelas objek. Kemudian dikeringkan dalam suhu kamar dan preparat siap diwarnai dengan Hematoxylin Eosin (HE).
Pewarnaan Hematoxylin Eosin
Tahapan pewarnaan HE dilakukan mengikuti metode Harris, sebagai berikut : preparat di atas gelas objek direndam dalam xylol I 5 menit, dilanjutkan xylol II, III masing-masing 5 menit. Kemudian preparat direndam dalam alkohol 100% I dan II masing-masing 5 menit, selanjutnya ke dalam aquades dan kemudian direndam dalam Harris Hematoxylin selama 15 menit. Dicelupkan ke dalam aquades dengan cara mengangkat dan menurunkannya. Preparat kemudian dicelupkan ke dalam acid alkohol 1% selama 7-10 celupan, direndam dalam aquades 15 menit, dan
dalam eosin selama 2 menit. Selanjutnya preparat direndam dalam alkohol 96% I dan II masing-masing 3 menit, alkohol 100 % I dan II masing-masing 3 menit, dan dalam xylol IV dan V masing-masing 5 menit. Preparat dikeringkan dan dilakukan mounting dengan menggunakan entelan. Preparat diperiksa di bawah mikroskop untuk pemeriksaan terhadap perubahan histologi.
Pemeriksaan histologi
Data yang diambil merupakan gambaran histologi limpa, hasil pengamatan 5 kali lapang pandang dengan mikroskop pembesaran 400x. Pengambilan dan pembuatan preparat dilakukan pada hari ke-28 setelah infeksi S. typhi, dan pengamatan dilakukan dengan cara skoring, diberikan skor 0 jika 95% sel limpa normal (inti sel jelas, sitoplasma penuh) dan kepadatan sel sel limposit mencapai 95%, diberikan skor 1 jika ditemukan nekrosis sel limfosit sekitar 25% atau 1/3 lapang pandang, diberikan skor 2 jika jumlah nekrosis sel limfosit kurang dari atau sama dengan 50%, diberikan skor 3 jika sel nekrosis limfosit lebih dari 50% (Sunarno, 2007). Data yang diperoleh dari pengamatan struktur histologi limpa setelah infeksi S. typhi dianalisis secara deskriptif kuantitatif berdasarkan perubahannya. Jenis data yang di peroleh adalah non-paramentrik dan di uji dengan uji Kruskal Wallis, jika hasilnya signifikan di lanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gambaran mikroskopis limpa mencit kelompok perlakuan P0 (diberikan aquades), P1 (diberikan pegagan dosis 125 mg/kg bb), dan P2 (diberikan pegagan dosis 250 mg/kg bb) menunjukan hasil yang berbeda dengan gambaran mikroskopis limpa mencit dengan dosis pegagan 500 mg/kg bb (P3). Kelompok P0, P1 dan P2 masih
banyak sel nekrosis yang ditemukan dibandingkan dengan kelompok P3, pada kelompok P3 sel limpa normal lebih mendominasi daripada sel yg mengalami nekrosis. Prosentase sel yg mengalami nekrosis berbeda-beda pada setiap perlakuan. Terlihat prosentase nekrosis paling parah terjadi pada perlakuan P0 dan semakin kecil jumlah prosentase nekrosis pada perlakuan P1,P2 dan P3.
Hasil pemeriksaan yang diperoleh dari pengamatan mikroskopis limpa terdapat pada Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4.
Gambar 1.Gambaran mikroskopis limpa mencit tanpa diberikan pegagan ( HE, 400x)
Keterangan : A. Sel yang mengalami nekrosis
Gambar 2. Gambaran mikroskopis limpa dengan dosis pegagan 125 mg/kg bb (HE, 400x)
Keterangan : A. Sel yang mengalami nekrosis
Gambar 3. Gambaran mikroskopis limpa
dengan dosis pegagan 250 mg/kg bb (HE, 400x) Keterangan : A. Sel yang mengalami
nekrosis
Gambar 4. Gambaran mikroskopis limpa dengan dosis pegagan 500 mg/kg bb (HE, 400x)
Keterangan : A.Sel yang mengalami nekrosis.
Pengaruh pegagan dengan berbagai dosis terhadap gambaran mikroskopis limpa mencit pasca infeksi S. typhi yang diamati berdasarkan skoring di analisis dengan mengunakan Uji Kruskal-Wallis yang ditunjukan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kruskal-Wallis Test dengan berbagai dosis pegagan
Ranks
Perlakuan |
N |
Mean Rank | |
Skor |
Dosis 0 mg/kg bb |
6 |
17.00 |
Dosis 125 mg/kg bb |
6 |
15.08 | |
Dosis 250 mg/kg bb |
6 |
13.17 | |
Dosis 500 mg/kg bb |
6 |
4.75 | |
Total |
24 |
Dari tabel di atas menunjukan bahwa jumlah skor terhadap 4 kelompok perlakuan memberikan nilai rerata yang berbeda. Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan Uji Kruskal-Wallis, diperoleh hasil yang berbeda nyata (P<0,05) antara perlakuan tanpa diberikan pegagan (P0), pegagan dosis 125 mg/kg bb (P1), pegagan dosis 250 mg/kg bb (P2) dan pegagan dosis 500 mg/kg bb (P3).
Pembahasan
Limpa merupakan organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk melalui darah (Junqueira dan Carneiro 1982). Infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah ini dapat mengarah terhadap terjadinya sepsis sampai dengan nekrosis (Smith. 2006). Dari hasil pengamatan menunjukan bahwa prosentase nekrosis dari sel limpa semakin sedikit jika diberikan ekstrak pegagan dibandingkan dengan kelompok mencit yang tidak diberikan pegagan.
Pada penelitian ini menunjukan bahwa tingkat nekrosis dari sel limpa pada perlakuan P0 (tanpa pegagan) dan P1 (pegagan dosis 125 mg/kg bb) tidak memberikan gambaran mikroskopis yang berbeda (P>0,05), demikian juga perubahan yang ditemukan pada perlakuan P2 (pegagan dosis 250 mg/kg bb) tidak berbeda nyata (P>0,05). Keadaan yang berbeda ditemukan pada perlakuan P3 (pegagan dosis 500 mg/kg bb) dimana hasil uji analisis menunjukan perbedaan nyata (P<0,05).
Prosentase nekrosis pada pemberian pegagan dengan dosis 500 mg/kg bb sangat rendah, hal ini disebabkan karena kandungan triterfenoid safonin dapat menghambat pertanaman bakteri enterik, seperti Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter aerogenes, dan Salmonella typhi (Syahnida,1993) oleh karena itu prosentase nekrosis dari infeksi bakteri salmonella dapat dihambat pada tingkat dosis tertentu dalam hal ini terjadi
pengurangan atau penghambatan terjadinya nekrosis pada pemberian dosis 500 mg/kg bb. Hal ini kembali didukung oleh Nijveldt et al., (2001) bahwa flavonoid mampu mencegah aktivitas radikal bebas yang memperlambat proses inflamasi melalui berbagai mekanisme, antara lain dengan menstabilkan komponen dari radikal bebas.
Penting untuk diketahui, pemberian oral ekstrak pegagan pada tikus dengan dosis di atas 675 mg/kg bb akan menunjukan efek toksisitas (De Lucia et al 1997), hal ini sejalan dengan penelitian ini yang menunjukan hasil maksimal pada pemberian pegagan dengan dosis 500 mg/kg bb.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak pegagan pada dosis 500 mg/kg bb, mampu mencegah kerusakan terhadap gambaran histologi limpa mencit yang diinfeksi Salmonella typhi .
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah pemberian pegagan mampu mengobati kerusakan pada organ limpa pasca infeksi bakteri S.typhi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Bapak Dekan Fak. Kedokteran Hewan atas fasilitas yang diberikan. Ibu Prof. Dr. Drh. Ni Ketut Suwiti, MKes sebagai pembimbing I, Bapak Drh. Putu Suastika MKes sebagai pembimbing II dan Bapak Dr. Drh I Nengah Kerta Besung MSi, yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan memberikan bimbingan khususnya tentang bakteriologi.
DAFTAR PUSTAKA
De Lucia, R., Sertie J.A.A., Camargo E.A. dan Panizza S. 1997. Pharmacological and Toxicological Studies on Centella asiatica Extract. Dalam Abstrak Fitoterapia Journal .
Govindan G, Sambandan TG, Govindan M, Sinskey A, Vanessendelft J, Adenan I, and Rha CK. 2007. A Bioactive Polyacetylene Compound Isolated from
Centella asiatica. Supporting information avialable on line at http://.thieme-conect.de/ejournals/toc/p-lantamedica. Revised April 9. 2007. Accepted april 13, 2007.
Januwati, M. dan Yusron, M. 2005. Budidaya tanaman pegagan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Sirkuler No.11., http://www.balittro.go.id.
Junqueira, L. C, J. Carneiro. 1980. Alih Bahasa Adji Dharma. EGC Buku Histologi Kedokteran.
Mamtha B, Kavitha K, Srinivasan KK, Shivananda PG, 2004. An in vitro study of the effect of Centela aciatica [Indian pennywort] on enteric pathogen. Indian J Pharmacol. Februari 2004. Vol 36. Issue 1; 41-44
Muselina L, dkk. Pola pemberian antibiotik pengobatan demam tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tahun 20012002. Jurnal Makalah Kesehatan. 2004; 8(1).
Nijveldt, R. J., E. van Nood, D.E.C. van Hoorn, P.G. Boelens, K. van Norren, P.A.M. van Leeuwen. 2001. Flavonoids: a review of probable mechanisms of action and potential applications. American Journal of Clinical and Nutrition 74: 418-425.
Sampurna, P. 2007. Metodelogi Ilmiah Rancangan Percobaan. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Santander J, Espizona JC, Campano MS, Robeson J. 2003. Infection of Caenorhabditis elegans by Salmonella typhi Ty2. Short Communication. Pontificia Universidad Catolica de Palparaiso. Electronic Journal of Biotecnologi ISSN: 0717-3458 Vol.6 No.2, Issue of August 15, 2003. :148-152.
http://www.ejbiotechnology.info /content/vol6/issue2/full/5
Seely, J.C. Kidney.In : Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Referenceand Atlas. 1st ed. Cache River Press. P: 226.
Smith DS. 2006. Sepsis. http://www. medlineplus.gov/htm. [29 Mei 2008].
Sunarno, 2007. Efek Phyllanthus Niruri L pada Prosentase Neutrofil, Koloni Bakteri Limpa, dan Histopatologi Hepar mencit Balp/C yang Diinfeksi Salmonella typhi.
Syahnida.1993. Daya hambat perasan daun Centella asiatica (L.) Urban terhadap beberapa kuman enterik.
Yu QL.; Duan HQ.; Takaishi Y and Gao WY.2006. A Novel Triterpene from Centalla asiatica. Molecules 2006,11, 661-665.
21
Discussion and feedback