Volume 13 No. 1: 99-104

Pebruari 2021

DOI: 10.24843/bulvet.2021.v13.i01.p15

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Peringkat 3, DJPRP Kementerian Ristekdikti No. 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018

Prevalensi Infestasi Caplak Boophilus sp. pada Sapi Bali di Kabupaten Badung

(PREVALENCE OF BOOPHILUS SP. TICKS INFESTATION ON BALI CATTLE IN BADUNG DISTRICT)

Chairannisa Rustam1*, I Made Dwinata2, Nyoman Adi Suratma2

1Mahasiswa Program Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali; 2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas

Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali;

*Email: [email protected]

Abstrak

Sapi bali merupakan plasma nutfah asli Indonesia yang mempunyai keunggulan tahan hidup pada lingkungan yang kurang memadai, namun sapi bali juga dapat terjangkit penyakit salah satunya ektoparasit yaitu caplak. Caplak sapi atau Boophilus sp. adalah ektoparasit pengisap darah sehingga menyebabkan anemia pada ternak tersebut. Selain mengisap darah, Boophilus sp. juga merupakan vektor berbagai penyakit parasit darah diantaranya penyakit Babesiosis (Babesia bovis dan B. bigemina) dan Anaplasmosis (Anaplasma marginale). Faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan caplak Boophilus sp. pada sapi yaitu umur, jenis kelamin, pemeliharaan, dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya prevalensi dan predileksi yang menginfestasi sapi bali di Kabupaten Badung, serta hubungan faktor jenis kelamin, umur, cara pemeliharaan dan lingkungan terhadap infestasi caplak Boophilus sp. Sampel penelitian diambil di Kabupaten Badung, ditentukan secara purposive dengan jumlah sampel 300 ekor sapi bali. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan Cross-sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infestasi caplak Boophilus sp. di Kabupaten Badung adalah 7,7 %. Predileksi ditemukan pada bagian kaki (40 %), ambing (25 %), abdomen (17 %), punggung (12 %), dan kepala (6 %). Faktor umur, cara pemeliharaan dan lingkungan sangat berpengaruh (P<0,05) terhadap infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali di Kabupaten Badung, namun jenis kelamin tidak berpengaruh (P>0,05).

Kata kunci: sapi bali; caplak; Boophilus sp.; prevalensi; predileksi.

Abstract

Bali cattle are native Indonesian germplasm that has the advantage of survival in an inadequate environment, but Bali cattle can also contract diseases; one of them is ectoparasites, namely ticks. Cow tick or Boophilus sp. is a blood-sucking ectoparasite that causes anemia in these animals. Besides sucking blood, Boophilus sp. also a vector of various blood parasitic diseases, including Babesiosis (Babesia bovis and B. bigemina) and Anaplasmosis (Anaplasma marginale). Factors that can influence ticks Boophilus sp. in cattle, namely age, sex, maintenance, and environment. The aim of this study was to determine the prevalence and predilection of infesting bali cattle in Badung Regency, as well as the relationship of sex, age, maintenance, and environmental factors to the infestation of Boophilus sp. The research sample was taken in Badung Regency, determined purposively with a sample of 300 Bali cattle. This study was an observational study with a cross-sectional design. The results showed that the prevalence of tick infestation Boophilus sp. in Badung Regency is 7.7%. Predilection was found in the legs (40%), udder (25%), abdomen (17%), back (12%), and head (6%). Age, maintenance, and environmental factors were very influential (P <0.05) on tick infestations of Boophilus sp. in Bali cattle in Badung Regency, but gender has no effect (P> 0.05).

Keywords: bali cattle; tick; Boophilus sp.; prevalence; predilection.

PENDAHULUAN

Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang termasuk dalam regional Provinsi Bali. Pendapatan sebagian masyarakat Kabupaten Badung berasal dari beternak sapi bali (Atmadja, 2006). Sapi bali merupakan plasma nutfah asli Indonesia, khususnya Bali yang merupakan aset unggulan daerah (SK Gubernur Bali No. 45 Tahun 2005, dikutip oleh Atmadja, 2006). Permintaan daging sapi untuk konsumsi oleh masyarakat dari hari ke hari menunjukkan peningkatan, sehingga menumbuhkan perkembangan pada usaha ternak sapi. Permasalahan usaha ternak sapi saat ini yang dirasakan salah satunya adalah penyakit ektoparasit. Salah satu contoh ektoparasit dari subfilum Chelicerata yang penting pada sapi adalah caplak (tick) terutama jenis Boophilus (Hendrix, 2006).

Caplak sapi adalah jenis caplak berkulit tebal yang dianggap sangat penting dalam dunia peternakan sapi karena telah mendatangkan kerugian yang cukup besar. Caplak dapat berperan sebagai agen penyebab penyakit pada hewan, memproduksi racun atau substan toksik, berperan sebagai inang antara untuk protozoa dan helminth, serta berperan sebagai vektor bagi bakteri, virus, Spirochaeta, Ricketsia, Chlamydia, dan agen penyakit lainnya (Hendrix, 2006). Caplak sapi atau Boophilus sp. adalah ektoparasit penghisap darah sehingga menyebabkan anemia pada ternak tersebut (Hadi et al., 2010). Selain menghisap darah, Boophilus sp. juga merupakan vektor berbagai penyakit parasit darah diantaranya penyakit Babesiosis (Babesia bovis dan B. bigemina) dan Anaplasmosis (Anaplasma marginale) (Jongejan dan Uilenberg, 2004).

Faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan caplak Boophilus sp. pada sapi adalah kondisi lingkungan, suhu dan kelembaban di sekitar kandang (Sulistyaningsih, 2016). Faktor umur pada sapi tua (>8 tahun) prevalensinya lebih

tinggi dibandingkan dengan sapi dewasa (>2 tahun – 8 tahun) dan sapi muda (<2 tahun), data ini didukung oleh penelitian Rony et al. (2010). Faktor jenis kelamin, umur, cara pemeliharaan dan lingkungan berhubungan dengan infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi (Kaur et al., 2015). Predileksi caplak Boophilus sp. yang menginfestasi sapi ditemukan pada bagian kepala, leher, punggung, abdomen, selangkangan, dan kaki (Patodo et al., 2018).

Prevalensi caplak pada sapi di Kabupaten Aceh Besar 47,6 % (Leliana dan Rizalsyah, 2015), Kota Banjarbaru 48 % (Sulistyaningsih, 2016), Kota Padang Panjang 57 % (Irsya et al., 2017), Kecamatan Mallusetasi Kabupaten Barru 90 % (Suparmin, 2015), dan Desa Tolok mencapai 100 % (Patodo et al., 2018).

Data mengenai prevalensi caplak Boophilus sp. pada sapi berdasarkan penelitian terdahulu cukup tinggi, sedangkan data pada sapi bali yang dipelihara di Bali khususnya Kabupaten Badung belum tersedia.

METODE PENELITIAN

Objek Penelitian

Sampel penelitian diambil secara purposive pada sapi bali di Kabupaten Badung yang terdiri dari wilayah lahan basah (Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi) dan kering (Kecamatan Kuta, Kuta Utara, Kuta Selatan). Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 300 sampel.

Pemeriksaan Sampel

Pemeriksaan caplak diawali dengan pembuatan preparat permanen dengan beberapa tahap (Soulsby, 1982). Pertama dilakukan pembersihan (clearing) caplak dengan merendam dalam larutan KOH 10% lalu dijemur di bawah sinar matahari sampai terlihat transparan. Selanjutnya pengeluaran cairan (dehidrasi) dengan cara merendam pada larutan alkohol 80% minimal 30 menit, dilanjutkan dengan perendaman pada larutan alkohol 95%

minimal selama 1 malam. Penempelan (fiksasi) dengan cara menempelkan caplak pada objek glas, serta mengatur posisi morfologinya (dilihat di bawah mikroskop kemudian diatur menggunakan spuit 1 ml). Pada tahap penjernihan, caplak yang telah terfiksasi ditetesi minyak kayu putih secukupnya dan dibiarkan minimal 15 menit. Selanjutnya tahap perlekatan, caplak dikeringkan menggunakan kertas pengering, kemudian tetesi entelan dan terakhir tutup dengan cover glas. Pemeriksaan dengan mikroskop untuk tujuan identifikasi adanya caplak pada sapi bali berdasarkan ciri morfologinya (Soulsby, 1982).

Analisis Data

Data hasil pemeriksaan dianalisis secara deskriptif dan untuk mengetahui hubungan antara wilayah lahan basah dan kering dengan prevalensi infestasi caplak diuji dengan uji Chi-square menggunakan program SPSS Versi 22.0 (Sampurna dan Nindhia, 2016).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil pemeriksaan terhadap 300 sampel sapi bali di Kabupaten Badung menunjukkan bahwa sebanyak 23 sampel (7,7 %) positif terinfestasi caplak Boophilus sp. Angka prevalensi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Leliana dan Rizalsyah (2015) sebesar 47,6 % di Kabupaten Aceh Besar, penelitian Sulistyaningsih (2016) sebesar 48 % di Kota Banjarbaru, penelitian Irsya et al. (2017) sebesar 57 % di Kota Padang Panjang, penelitian Suparmin (2015) sebesar 90 % di Kecamatan Mallusetasi Kabupaten Barru, dan penelitian Patodo (2018) yang mencapai 100 % di Desa Tolok. Perbedaan prevalensi yang terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan jenis kelamin, umur, kondisi fisiologis dan imunitas hewan, pencemaran oleh parasit, sistem pemeliharaan, sanitasi kandang, kepadatan populasi, distribusi geografis serta kondisi wilayah

(Matsubayashi et al., 2009; Putignani dan Menichella, 2010).

Pembahasan

Predileksi dari infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali di Kabupaten Badung terdapat pada hampir seluruh bagian tubuh. Infestasi caplak tertinggi pada bagian kaki sebesar 40 % dan terendah pada bagian kepala sebesar 6 %. Tingginya infestasi caplak pada bagian kaki dikarenakan bagian ini merupakan bagian yang sulit dijangkau oleh sapi bali. Caplak ditemukan bersembunyi di bagian dalam kaki belakang. Menurut penelitian Patodo et al. (2018), infestasi caplak pada bagian tubuh tertinggi yaitu selangkangan karena bagian ini merupakan tempat yang lembab serta tempat berlindungnya caplak dari inangnya.

Hubungan faktor jenis kelamin, umur, cara pemeliharaan dan lingkungan terhadap infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali di Kabupaten Badung sangat erat. Penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin betina lebih tinggi prevalensinya dibandingkan dengan jenis kelamin jantan. Penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Kaur et al. (2015). Tingginya kadar prolaktin dan hormon progesteron membuat ternak betina lebih rentan terhadap infestasi parasit. Sapi betina sering mengalami stres bila dibandingkan dengan sapi jantan. Proses bunting, melahirkan dan laktasi umumnya menyebabkan stres pada sapi betina. Adanya faktor stres ini menimbulkan perubahan hormonal pada sapi tersebut dan ketidak seimbangan imunitas sapi (Kaur et al., 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali di Kabupaten Badung. Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Dehuri et al. (2017). Hal ini disebabkan karena sapi bali jantan dan betina ditempatkan pada satu tempat yang sama, sehingga perpindahan caplak dari ternak yang terinfestasi ke ternak sehat sangat mudah.

Tabel 1. Prevalensi Caplak Boophilus sp. Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Cara Pemeliharaan dan Lingkungan

Variabel

Sex

Jumlah Sampel

Positif

Negatif

Prevalensi (%)

P

Jenis Kelamin

Jantan

102

7

95

6,9

0,707

Betina

198

16

182

8,1

Muda

105

3

102

2,9

Umur

Dewasa

184

15

169

8,2

0,00

Tua

11

5

6

45,5

Cara Pemeliharaan

Kandang

200

0

200

0

0,00

Ikat

100

23

77

23

Wilayah

Basah

200

0

200

0

0,00

Kering

100

23

77

23


Sapi tua dengan rentang umur >8 tahun paling tinggi prevalensinya jika dibandingkan dengan sapi muda (<2 tahun) dan sapi dewasa (>2-8 tahun). Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rony et al. (2010) yang menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi berada pada sapi tua dengan rentang umur >8 tahun. Kekebalan bawaan dan ketahanan pada sapi dewasa bertanggung jawab atas kerentanan ternak tersebut lebih kecil terinfestasi caplak dibandingkan dengan sapi tua (Rony et al., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Kaur et al. (2015), diamati bahwa sapi muda sangat rentan terhadap infestasi caplak. Tingkat infestasi caplak pada sapi muda dengan rentang umur <1 tahun tercatat 77,71%. Dilaporkan juga bahwa umur inang memiliki efek yang signifikan terhadap infestasi caplak dan serangan ektoparasit lainnya. Sistem imun sapi muda yang kurang berkembang menjadi penyebab atas tingginya tingkat infestasi caplak pada ternak tersebut (Mamun et al., 2010). Namun penelitian oleh Wasihun dan Doda (2013), Feseha (1997), serta Tessema dan Gashaw (2010) melaporkan bahwa infestasi caplak lebih tinggi pada sapi dewasa.

Cara pemeliharaan sangat berpengaruh terhadap infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali di Kabupaten Badung. Ternak yang diikat lebih tinggi

prevalensinya dibandingkan dengan ternak yang dikandangkan (Kaur et al., 2015). Berdasarkan penelitian, hal ini disebabkan karena ternak diikat di padang penggembalaan yang beralaskan rumput, sehingga perpindahan caplak sangat mudah. Ternak yang dikandangkan lebih bagus cara pemeliharaannya, seperti lebih sering dimandikan dan diberi obat anti ektoparasit. Faktor lain tidak terlepas dari manajemen pemeliharaan yang dilakukan peternak dan peran dari Dinas Peternakan.

Perbedaan prevalensi juga dapat terjadi karena adanya perbedaan kondisi wilayah yang diteliti. Prevalensi infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali berdasarkan kondisi lahan yaitu: sapi bali yang dipelihara di wilayah lahan basah sebesar 0 % dan pada sapi bali yang dipelihara di wilayah lahan kering sebesar 23 %. Hasil dari analisis statistik didapatkan perbedaan yang sangat signifikan (P<0,05) antara prevalensi infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali dengan kondisi lahan basah dan kering. Daerah tropis yang memiliki kelembaban tinggi dan sinar matahari yang kurang mampu menembus pepohonan, merupakan faktor serasi bagi perkembangan larva termasuk caplak. Namun, pada penelitian ini didapatkan prevalensi infestasi caplak di wilayah lahan kering seperti Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan lebih tinggi dibandingkan dengan

wilayah lahan basah. Hal ini disebabkan karena pada umumnya topografi wilayah seperti padang rumput yang luas, sangat cocok bagi perkembangan parasit seperti caplak (Patodo et al., 2018). Menurut informasi dari peternak di wilayah lahan basah (Kecamatan Petang, Abiansemal, dan Mengwi), pada musim hujan masih ditemukan adanya caplak. Penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September yang merupakan musim kemarau, sehingga tidak ditemukan caplak di wilayah tersebut.

Berdasarkan hasil di lapangan, manajemen pemeliharaan sapi bali di wilayah lahan basah dan kering umumnya secara sistem semi intensif. Pakan yang diberikan hanya berupa hijauan yang diambil dari sekitar lahan penggembalaan dan diletakkan di tanah tanpa menggunakan tempat pakan atau alas. Sapi bali yang dilepas di lahan penggembalaan memakan langsung rumput yang ada disekitarnya. Sapi bali yang dipelihara jarang dimandikan, dengan intensitas mandi satu kali dalam seminggu, dua kali dalam sebulan, bahkan ada beberapa peternak yang tidak pernah memandikan ternaknya. Penyemprotan obat anti ektoparasit dilakukan dalam beberapa intensitas, tidak pernah (dalam kurun waktu satu tahun) sebanyak 52,3 %, jarang (satu bulan sekali) sebanyak 41,3 %, dan sering (dalam satu bulan lebih dari tiga kali) sebanyak 6,3 %. Beberapa kondisi ini memudahkan sapi bali terinfestasi ektoparasit khususnya caplak Boophilus sp.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, prevalensi infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali di Kabupaten Badung didapatkan sebesar 7,7 %. Predileksi caplak Boophilus sp. yang menginfestasi sapi bali ditemukan pada bagian kaki, ambing, abdomen, punggung, dan kepala. Faktor umur, cara pemeliharaan, dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali,

sedangkan faktor jenis kelamin tidak berpengaruh.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak dari infestasi caplak Boophilus sp. pada sapi bali, serta penelitian mengenai penyakit protozoa darah sehingga ditemukan informasi lengkap tentang dampak dari infestasi caplak tersebut.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana atas fasilitas yang diberikan untuk menyeleaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja IKG. 2006. Potensi dan Dinamika Populasi Sapi Bali di Bali. Disampaikan dalam Seminar Sehari:   Prospek

Pengembangan Agribisnis Sapi Bali di Bali. Denpasar: Universitas Udayana.

Dehuri M, Mitra RP, Bijayendranath M, Ananta H, Trilochan M, Adhikari S.

2017. Ixodid ticks infesting cattle and associated risk factors in coastal districts of Odisha. J. Entomol. Zool. Stud. 5(4): 129-132.

Feseha B. 1997. Species composition and distribution of ixodid ticks in Eastern Harerghiea, Ethiopia. Agr. Sci. 16: 3751.

Hadi, Upik K, Susi S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan,      Identifikasi,      dan

Pengendaliannya. Bogor: PT. Penerbit IPB Press, Kampus IPB Taman Kencana Bogor.

Hendrix C, Robinson E. 2006. Diagnostic Parasitology      for      Veterinary

Technicians 3th Ed. Mosby Inc. an affiliate Elsevier Inc.

Irsya, Resti P, Mairawita, Henny H. 2017.

Jenis-jenis parasit pada sapi perah di Kota Padang Panjang Sumatera Barat. J. Metamorfosa. 4(2): 189-195.

Jongejan F, Uilenberg G. 2004. The global importance of ticks. supplement. J. Parasitol. 129: 3-14.

Kabir MHB, Mondal MMH, Eliyas M, Manan MA, Hashem MA, Debnath, NC,      Miazi OF, Mohiuddin C,

Kashem, MA, Islam MR., Elah MF. 2011. An epidemiological survey on investigation of tick infestation in cattle at Chittagong district, Bangladesh. Afr. J. Microbiol. Res. 5(4): 346-352.

Kaur D, Kamal J, Suman M. 2015. Studies on prevalence of ixodid ticks infesting cattle and their control by plant extracts. IOSR J. Pharm. Biol. Sci. 10(6): Ver III.

Leliana dan Rizalsyah T. 2015. Infestasi caplak ixodidae pada sapi lokal aceh di balai pembibitan ternak unggul dan hijauan pakan ternak (bptu-hpt) indrapuri kabupaten Aceh Besar. Jesbio. 4(2).

Mamun MA, Begum N, Shahadat HM, Mondal MH. 2010. Ectoparasites of buffaloes (Balbulus balbulis) in Kurigram district of Bangadesh. J. Bangladesh Agril. Univ. 8(1): 61-66.

Matsubayashi M, Kita T, Narushima T, Kimata I, Tani H, Sasai K, Baba E. 2009. Coprological survey of parasitic in pigs and cattle in slaughterhouse in Osaka, Japan. J. Vet. Med. Sci. 71(8): 1079-1083.

Patodo, Gabriel B, MJ Nangoy, GJV Assa, A Lomboan. 2018. Infestasi caplak pada sapi di Desa Tolok Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa. Zootec. 38(2): 306-313.

Putignani L, Menichella D. 2010. Global distribution, public health and clinical impact of the protozoan pathogen

Cryptosporodium. Interdisciplinary Perspective on Infect.     Dis.

2010(753512).

Rony SA, Mondal MMH, Begum N, Islam MA, Affroze S. 2010. Epidemiology of ectoparasitic infestations in cattle at Bhawal Forest area, Gazipur. Bangl. J. Vet. Med. 8(1): 27-33.

Sampurna IP,  Nindhia TS.    2016.

Biostatistika untuk Kedokteran Hewan. Fakultas     Kedokteran     Hewan,

Universitas Udayana.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7 th. Ed. William and Wilkin, Bailliere Tindall, London.

Sulistyaningsih S. 2016. Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong di Kota Banjarbaru. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan.

Suparmin Y. 2015. Deteksi dan Identifikasi Faktor     Penyebab     Timbulnya

InfestasiCaplak Boophilus sp. pada Sapi Bali di Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru.  Skripsi.  Fakultas

Kedokteran Hewan.

Tessema T, Gashaw A. 2010. Prevalence of ticks on local and crossbreed cattle in and around Asela Town, South East, Ethiopia, Amber Animal Health Department, East Gojam, Ethiopia. Vet. J. 14(2):79-89.

Wasihun P, Doda D. 2013. Study on prevalence and identification of ticks in Humbo district, Southern Nations, Nationalities, and people’s region (SNNPR), Ethiopia. J. Vet. Med. Anim. Health. 5(3): 73-80.

104