Buletin Veteriner Udayana

ISSN : 2085-2495

Vol. 4 No.2: 55-62

Agustus 2012

Efek Ekstrak Daun Ashitaba (Angelica keiskei) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit (Mus musculus) Jantan

(THE EFFECT OF THE ASHITABA (ANGELICA KEISKEI) LEAVES EXTRACT AGAINST HISTOPATHOLOGICAL KIDNEY

FEATURE OF MALE MICE)

Made Oka Adinata1), I Wayan Sudira2), I Ketut Berata3)

1) Mahasiswa FKH Unud, 2)Lab farmakologi, 3) Lab. Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanol daun Ashitaba (Angelica keiskei) yang diberikan secara oral dengan dosis bervariasi terhadap gambaran histopatologi ginjal mencit. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 25 ekor mencit (Musmusculus) jantan dengan rata-rata berat badan 25-30 gram dan dibagi menjadi lima grup perlakuan. Perlakuan pertama tidak diberikan ekstrak etanol daun Ashitaba atau sebagai kontrol. Perlakuan kedua sampai keempat masing-masing diberikan dosis 125 mg/kg berat badan (bb); 250 mg/kg bb; 500 mg/kg bb; dan 1.000 mg/kg bb. Perlakuan diberikan secara oral setiap hari dalam waktu 21 hari. Pada hari ke 22, semua mencit dinekropsi dan ginjal diambil untuk selanjutnya dibuat preparat histopatologi dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Perubahan histopatologi diperiksa berdasarkan adanya degenerasi melemak, peradangan dan nekrosis. Hasil dari pemberian ekstrak etanol daun Ashitaba (Angelica keiskei) dengan dosis 125 mg/kg bb, dua ekor mencit mengalami degenerasi melemak dan infiltrasi sel radang dan satu mencit mengalami nekrosis. Pemberian dosis 250 mg/kg bb, tiga ekor mencit mengalami degenerasi melemak dan infiltrasi sel radang dan satu ekor mencit mengalami nekrosis. Pemberian dosis 500 mg/kg bb, tiga ekor mencit mengalami degenerasi melemak dan infiltrasi sel radang dan satu ekor mencit mengalami nekrosis. Pemberian dosis 1000 mg/kg bb, tampak adanya infiltrasi sel-sel radang, degenerasi melemak dan nekrosis pada semua mencit yang digunakan. Simpulan penelitian adalah pemberian ekstrak etanol daun Ashitaba pada dosis 1000 mg/kg bb dapat menimbulkan gangguan gambaran struktur histopatologi ginjal mencit (Mus musculus) jantan.

Kata kunci :Ashitaba, ginjal, mencit

ABSTRACT

This research carried out the effect of Ashitaba’s (Angelica keiskei) leaves ethanol extract to mouse’s (Mus musculus) kidney histopathological feature. The research used 25 mice with average weight 25-30 grams respectively, and its divided into five group of treatments. The first treatment is not given Ashitaba’s leaves ethanol extract or as a control. Second group treatment until the fourth were administred dose of oral 125 mg / kg body weight (bw); 250 mg / kg bw ; 500 mg / kg bw; and 1,000 mg / kg bw daily as long as 21 days. The days 22, all of mice were necropsied and kidneys were took for to made histopathological preparation by hematoxylin eosin (HE) staining. The examination of the histopathological change were based on the present fat degeneration, inflammation and necrosis feature. The

results of the research are Ashitaba’s leaves ethanol extract with dose of 125 mg/kg/bw, two mice have light fat degeneration and infiltration of inflammatory cells and one mouse affected necrosis. The group with dose of 250 mg/kg/bw, three mice affected light fat degeneration and infiltration of inflammatory cells and one mouse affected necrosis. The group with dose of 500 mg/kg/bw, three mice affected light fat degeneration and infiltration of inflammatory cells and one of mouse affected necrosis. Thr group with dose of 1000 mg/kg/bw, appeared infiltration of inflammatory cells, light fat degeneration and necrosis in almost all mice. Conclusion of the research is Ashitaba’s leaves ethanol extract at a dose 1000 mg/kg/bw cause histopathological damaged in the kidney of mice (Mus musculus).

Key words: Ashitaba, kidney, mouse

PENDAHULUAN

Manusia dalam kehidupannya sangat tergantung dengan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya. Manfaat tanaman di sekitar manusia sebenarnya belum sepenuhnya digali atau dikembangkan untuk kesehatan manusia. Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatannya. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat serta pengalaman secara turun temurun (data empiris), telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak Pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang Dalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tanaman sebagai bahan bakunya (Sukandar, 2006).

Pada dasarnya sangat banyak jenis tanaman di alam yang dapat dimanfaatkan atau telah dimanfaatkan oleh masyarakat, baik sebagai bahan makanan maupun

sebagai bahan obatobatan. Tanaman Ashitaba (Angelica keiskei) adalah salah satu tanaman obat asli Jepang yang dikenal sebagai “Harta Karun” dan “Raja Sayur Mayur”. Menurut sejarah orang Jepang, Ashitaba merupakan tanaman yang bermanfaat untuk panjang umur yang dulu dicari-cari oleh kaisar pertama Cina dari Dinasti Chin. Pada masa jaman Edo, Ashitaba juga dikenal sebagai jamu-jamuan “Umur Panjang”. Karena daya hidupnya yang kuat, bila dipetik daunnya hari ini maka daun muda yang baru akan bertunas esok harinya

(tomorrow’s leaf). Ashitaba juga dikenal dengan sebutan “Daun Malaikat” karena kemampuannya menyembuhkan berbagai penyakit (Nagata, et al., 2007).

Kemampuan penyembuhan dari tanaman Ashitaba tidak lepas dari kandungan senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya yaitu β-karoten, vitamin B1, B2, B3, B5, B6, B12, biotin, asam folat dan vitamin C, dan juga mengandung beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, potasium, fosfor, seng dan tembaga. Selain nutrisi tersebut, Ashitaba mengandung cairan pekat

berwarna kuning pada batang dan daunnya yang disebut chalcone. Chalcone adalah cairan berwarna kuning cerah dan pekat pada Ashitaba yang tidak terdapat pada tanaman sejenisnya. Menurut hasil penelitian Kimie Baba dari Osaka University of Pharmacy Jepang (2009), pada chalcone terdapat dua senyawa flavonoid yaitu xantoangeol dan 4-hidrooxyricine. Senyawa inilah yang membedakan Ashitaba dengan tanaman sejenisnya. Senyawa ini memiliki struktur molekul yang aktif dan merupakan antioksidan yang sangat potensial melebihi teh hijau dan kedelai. Senyawa chalcone ini mampu membersihkan darah, menstimulasi fungsi hati dalam menetralkan racun dan meningkatkan fungsi ginjal dalam membuang racun dari dalam darah secara efisien (Inamori, et al., 1991).

Secara farmakokinetik, obat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Ginjal merupakan organ filtrasi dan eksresi utama yang sangat penting untuk menyaring dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh, termasuk zat-zat toksik yang masuk ke dalam tubuh (Guyton dan Hall, 1997).

Ashitaba (Angelica keiskei) mengandung berbagai senyawa kimia dengan sifat yang berbeda-beda. Ada kemungkinan, senyawa tersebut berinteraksi secara berbeda-beda di dalam tubuh. Sisa-sisa metabolismenya, maupun kandungan senyawa lain yang belum

diketahui bentuk dan sifatnya, dapat mempengaruhi struktur histologi dan fungsi ginjal sebagai organ filtrasi yang mengalami kontak dengan senyawa-senyawa tersebut. Kerusakan ginjal karena zat toksik dapat diidentifikasi berdasarkan perubahan struktur histologi, yaitu nekrosis tubular akut (NTA) yang secara morfologi ditandai dengan destruksi epitel tubulus proksimal. Sel epitel tubulus proksimal ini peka terhadap anoksia dan mudah hancur karena keracunan akibat kontak dengan bahan-bahan yang diekskresikan melalui ginjal. Pada NTA nefrotoksik terlihat gambaran korteks ginjal pucat, ginjal membesar dan edema, kongesti piramid, vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus dan terbanyak di tubulus proksimal. Pada gambaran mikroskopis tampak degenerasi tubulus proksimal berupa edema epitel tubulus dengan lumen yang mengandung debris, tetapi membrana basalis tetap utuh (Guyton dan Hall, 1997).

Perubahan struktur histologis ginjal ini tentu dipengaruhi oleh jumlah senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Efek toksik sangat mungkin muncul apabila pemberiannya dengan dosis yang berlebihan.

METODE PENELITIAN Persiapan dan Perlakuan

Sebanyak 25 ekor mencit jantan dibagi menjadi 5 kelompok yang setiap kelompoknya terdapat 5 ekor mencit. Kelompok A digunakan sebagai kontrol

yang tidak diberikan ekstrak Ashitaba tapi aquades; kelompok B diberikan ekstrak Ashitaba dengan dosis 125 mg/kg berat badan (bb) ; kelompok C dosis 250 mg/kg bb ; kelompok D dosis 500 mg/kg bb ; dan kelompok E dosis 1000 mg/kg bb. Perlakuan tersebut dilakukan setiap hari dan diberikan secara oral, selama 21 hari.

Daun Ashitaba yang akan digunakan sebelumnya dirajang menjadi bentuk yang lebih kecil lalu diblender hingga bentuknya lebih kecil lagi. Setelah kering daun Ashitaba yang telah berbentuk serbuk direndam dengan etanol 96% selama satu hari, kemudian dilakukan penyaringan untuk mendapatkan cairan dari hasil perendaman. Hasil penyaringan diuapkan dengan rotary evaporator untuk mendapatkan ekstrak Ashitaba. Ekstrak yang telah didapat selanjutnya disimpan pada suhu -20ºC sebelum digunakan.

Pembuatan Preparat

Perlakuan sesuai kelompoknya dilakukan selama 21 hari. Pada hari ke 22 semua mencit dinekropsi, kemudian ginjal diambil untuk selanjutnya dibuat preparat histopatologi. Pembuatan preparat hsitopatologi dibuat sesuai prosedur Kiernan (1990) dan pewarnaan dengan metode Harris hematoksilin eosin (HE).

Pemeriksaan Preparat Histopatologi

Preparat histopatologi diperiksa di bawah mikroskop masing-masing pada 5 lapang pandang mikroskopik. Perubahan yang diamati seperti adanya infiltrasi sel

radang, degenerasi melemak, dan nekrosis. Perubahan pada ginjal yang diamati kemudian diskoring. Skoring untuk infiltrasi sel radang : 0= sel radang tidak ada; 1= sel radang setempat (fokal); 2= sel radang multifokal; 3= sel radang merata (difusa). Skoring untuk degenerasi melemak : 0= degenerasi melemak tidak ada; 1= degenerasi melemak setempat (fokal); 2= degenerasi melemak multifokal; 3= degenerasi melemak merata (difusa). Skoring untuk nekrosis: 0= nekrosis tidak ada; 1= nekrosis setempat (fokal); 2= nekrosis multifokal; 3= nekrosis merata (difusa)

Analisis data

Data hasil pemeriksaan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan dengan statistik non parametrik Kruskal Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney menggunakan SPSS 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil pemeriksaan histopatologi ginjal mencit yang diberikan ekstrak etanol daun Ashitaba, tidak ditemukannya adanya infiltrasi sel-sel radang, nekrosis dan degenerasi melemak pada placebo. Pada perlakuan kelompok B, kelompok C, kelompok D dan kelompok E ditemukan infiltrasi sel-sel radang, degenerasi melemak dan nekrosis pada beberapa sampel, seperti terlihat pada Gambar 1. Data hasil pemeriksaan histopatologi ginjal mencit percobaan tampak seperti tercantum dalam Tabel 1.


Gambar 1. Histopatologi ginjal mencit sesuai kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol tampak ginjal normal, sedangkan pada kelompok B, C, D, E tampak adanya peradangan yang menyertai nekrosis

Tabel 1. Data hasil pemeriksaan histopatologi (dalam scoring)

Perlakuan

Ulangan

Degenerasi melemak

Sel Radang

Nekrosis

A

1

0

0

0

(placebo)

2

0

0

0

3

0

0

0

4

0

0

0

5

0

0

0

B

1

1

1

0

Diberikan ekstrak

2

0

0

1

etanol daun Ashitaba

3

1

0

0

(125 mg/kg bb)

4

0

1

0

5

0

0

0

C

1

1

0

1

Diberikan ekstrak

2

1

1

1

etanol daun Ashitaba

3

0

1

0

(250 mg/kg bb)

4

1

1

0

5

0

0

0

D

1

1

1

1

Diberikan ekstrak

2

1

0

1

etanol daun Ashitaba

3

1

1

0

(500 mg/kg bb)

4

0

1

0

5

0

0

1

E

1

1

1

1

Diberikan ekstrak

2

1

1

0

etanol daun Ashitaba

3

1

0

1

(1000 mg/kg bb)

4

1

1

2

5

1

1

1

Hasil analisis statistik non parametrik Kruskal-Wallis menyatakan pemberian ekstrak etanol daun Ashitaba berpengaruh sangat nyata terhadap lesi degenerasi melemak (P<0,05). Sedangkan pemberian ekstrak etanol daun Ashitaba tidak berpengaruh terhadap lesi infiltrasi sel radang dan lesi nekrosis (P > 0,05). Hasil dari uji Kruscal Wallis menyatakan

adanya pengaruh pemberian ekstrak etanol daun Ashitaba, maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil dari uji Mann Whitney menyatakan pemberian ekstrak etranol daun Ashitaba berpengaruh sangat nyata (P< 0,01) terhadap perubahan histopatologi ginjal mencit.

Pembahasan

Fungsi utama dari ginjal adalah sebagai organ eliminasi penting bagi tubuh. Meskipun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan ginjal terhadap efek toksik, tingginya aliran curah jantung dan peningkatan konsentrasi produk ekskresi karena adanya reabsorpsi air dari cairan tubuler merupakan faktor terpenting. Akibatnya, beberapa obat atau zat kimia yang beredar dalam sirkulasi sistemik akan dibawa ke ginjal dalam kadar yang cukup tinggi. Sebagai akibatnya akan terjadi proses perubahan struktur dari ginjal itu sendiri, terutama di tubulus ginjal karena disinilah terjadi proses reabsorpsi dan eksresi dari zat-zat toksik tersebut. Zat kimia yang terlalu banyak berada di dalam ginjal akan mengakibatkan kerusakan sel, seperti infiltrasi sel radang, degenerasi melemak, piknosis dan kongesti (Guyton dan Hall, 1997).

Nekrosis merupakan kematian sel jaringan akibat jejas saat individu masih hidup. Secara mikroskopik terjadi perubahan intinya yaitu hilangnya gambaran khromatin, inti menjadi keriput, tidak vasikuler lagi, inti tampak lebih padat, warnanya gelap (piknosis), inti terbagi atas fragmen-fragmen, robek (karioreksis), inti tidak lagi mengambil warna banyak karena itu pucat/tidak nyata (kariolisis) (Himawan, 1992).

Nekrosis dapat disebabkan oleh bermacam-macam agen etiologi dan dapat menyebabkan kematian dalam

beberapa hari. Agen penyebabnya yaitu racun kuat (misal fosfor, jamur beracun, dan lainnya), gangguan metabolik (biasanya pada metabolisme protein), infeksi virus yang menyebabkan bentuk fluminan atau maligna virus ( Thomas, 1988).

Hasil penelitian dan pengamatan histopatologi ginjal mencit (Mus muskulus) setelah diberikan ekstrak etanol daun Ashitaba selama 21 hari memperlihatkan adanya nekrosis pada semua dosis yang diberikan. Satu ekor mencit mengalami nekrosis setelah diberikan dosis 125 mg/kg bb (0,03 ml). Dua ekor mencit mengalami nekrosis setelah diberikan dosis 250 mg/kg bb (0,06 ml). Tiga ekor mencit mengalami nekrosis setelah diberikan dosis 500 mg/kg bb (0,12 ml). Empat ekor mencit mengalami nekrosis dan salah satu dari mencit tersebut mengalami nekrosis multifokal setelah diberikan dosis 1.000 mg/kg bb (0,24 ml). Oleh karena itu pemberian dosis 1.000 mg/kg bb (0,24 ml) tidak aman untuk diberikan.

Degenerasi melemak tampak pada gambaran histopatologi ginjal mencit (Mus muculus) dua ekor mencit pada pemberian dosis 125 mg/kg bb (0,03 ml). Tiga ekor mencit pada pemberian dosis 500 mg/kg bb (0,12 ml) dan 250 mg/kg bb (0,06 ml). Sedangkan pada pemberian dosis 1.000 mg/kg bb (0,24 ml) semua mencit mengalami degenerasi melemak. Degenerasi melemak (fatty degeneration) merupakan akumulasi lemak dalam

sitoplasma sel. Biasanya terjadi dalam sel-sel parenkimatosa, misalnya sel hepar, tubulus ginjal, myocard dan lain-lain. Pada pewarnaan hematoksilin eosin (HE), lemak yang hilang akibat proses dehidrasi dengan alkohol akan terbentuk vacuolavacuola sehingga sering disebut degenerasi vacuola. Lemak dalam sitoplasma sel dapat mendesak inti sel ke pinggir yang tampak pada pemeriksaan mikroskopik. Penyebabnya antara lain : gangguan hepatosit (diet, toksik) sehingga tidak terbentuk lipoprotein (Himawan, 1992).

Infiltrasi sel radang ditemukan pada dosis pemberian 125 mg/kg bb (0,03 ml) pada dua ekor dari lima ekor sampel mencit. Pada dosis pemberian 250 mg/kg bb (0,06 ml) dan 500 mg/kg bb (0,12 ml) ditemukan tiga ekor mencit yang mengalami infiltrasi sel radang. Sedangkan pada pemberian dosis 1.000 mg/kg bb (0,24 ml), semua mencit dari lima ekor sampel ditemukan adanya infiltrasi sel radang. Anderson (1995) mengatakan bahwa pada saat sel mati berubah secara kimiawi, jaringan hidup yang bersebelahan memberikan respon terhadap perubahan itu dan menimbulkan reaksi peradangan. Peradangan sel merupakan reaksi vaskuler yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan interstisial pada dearah cedera atau nekrosis.

Inflamasi atau reaksi peradangan merupakan mekanisme penting yang

diperlukan tubuh untuk mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan, juga memperbaiki struktur serta gangguan fungsi jaringan yang ditimbulkan dari bahaya tersebut. Inflamasi ditandai dengan perpindahan cairan protein plasma dan leukosit dari sirkulasi darah menuju ke jaringan sebagai respon terhadap bahaya. Inflamasi dapat dicirikan dengan kemerahan, panas, bengkak, sakit dan gangguan dari fungsi tubuh. Secara histopatologi peradangan ditandai dengan adanya infiltrasi sel-sel radang (Baratawidjaja, 2002).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Pemberian ekstrak etanol daun Ashitaba (Angelica keiskei) dengan dosis 1000 mg/kg bb (0,24 ml) selama 21 hari dapat menimbulkan gangguan gambaran histopatologi ginjal mencit (Mus musculus) jantan.

Saran

Perlu adanya penelitian sejenis dengan durasi penelitian yang lebih lama dan dosis yang lebih tinggi. Selain itu, perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui komponen Ashitaba (Angelica keiskei) yang paling berperan terhadap kerusakan ginjal sekaligus mekanismenya. Pada penelitian berikutnya diharapkan dapat melakukan tehnik pengambilan dan pengolahan jaringan yang baik serta menghitung preparat sebanyak mungkin agar dapat

mewakili kerusakan ginjal itu sendiri dan dapat meminimalkan kesalahan dalam menginterpretasikan data.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P.S. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Alih Bahasa Peter Anugerah. Jakarta : CV. EGC Penerbit Buku Kedokteran

Baba K, Taniguchi M, Shibano M, Minami H, 2009. “The Components and Line Breeding of Angelica keiskei   koidzumi”,

Bunseki Kagaku, , December, Vol.58 No.12.

Baratawidjaja. 2002. Imunologi Dasar. Fakultas kedokteran Univ. Indonesia., Jakarta

Guyton dan Hall. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran. Setiawan I, editor. Ed. 9. Jakarta: EGC;.

Harrison. W. G. 2000. Pengantar Patologi Umum. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Thomson, R. G. (1997). General Veterinary Pathology. Second Edition. W. B. S a u n d e r s Company. Philadelphia.

Himawan, S. 1992. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta:UI Press. Inamori Y, Baba K, Tsujibo H, Taniguchi M, Nakata K, Kozawa M, 1991. “Antibacterial activity of two Chalcones, xanthoangelol and 4-hydroxyderricin, isolated from the root of Angelica Keiskei koidzumi”, Chemical and Pharmacy Bulletin, Osaka University of Pharmaceutical Sciences, Japan, Jun;39(6):1604-5..

Kiernan J A 2001. Histological and Histochemical Methods. 3rd Ed. Toronto.Arnold Pub. Pp. 330-35

Nagata J, Morino T, Saito M. 2007. “Effects of dietary Angelica keiskei on serum and liver lipid profi les, and body fat accumulations in rats”, Journal of Nutrition Scientific Vitaminology, National Institute of Health and Nutrition, Tokyo..

Sukandar, E.Y. 2006. “Tren dan Paradigma Dunia Farmasi. Industri-         KlinikTeknologi

Kesehatan”. http://itb.ac.id/focus/ focus_file/orasiilmiah-dies-45.pdf

Thomson, R. G.1992. General Veterinary Pathology. Second Edition. W. B. Saunders Company. Philadelphia.

Thomson, R. G.1988. Systemical Veterinary Pathology. Fifth Edition. W. B. Saunders Company. Philadelphia.

62