Profil Seks Rasio Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas l) Pada Penetasan Alami Dan Non-alami Di Pantai Sukamade Kabupaten Banyuwangi
on
Buletin Veteriner Udayana
ISSN : 2085-2495
Vol. 4 No.2: 47-53
Agustus 2012
Profil Seks Rasio Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas l) Pada Penetasan Alami Dan Non-alami Di Pantai Sukamade
Kabupaten Banyuwangi
(SEX RATIO PROFILE OF HATSHLINGGREEN TURTLE (CHELONIA MYDAS L) IN NATURAL AND NON-NATURAL HUTCHERY IN SUKAMADE
BEACH,BANYUWANGI)
Putu Suastika1 , I.B. Windia Adnyana 2 , Dwi Suprapti3 1Laboratorium Histologi
2Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana 3
3Mahasiswa FKH Universitas Udayana E-mail : suastikafkh@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seks rasio tukik penyu Hijau (Chelonia mydas L) yang dihasilkan dari penetasan alami dan non-alami di pantai Sukamade kabupaten Banyuwangi. Sampel yang dipakai adalah tukik berumur 1,5 bulan yang berasal dari 5 sarang penetasan telur. Jumlah sampel tukik adalah 40 ekor yang diambil secara acak, terdiri atas 20 ekor dari penetasan alami dan 20 ekor dari penetasan non-alami. Tukik diambil organ gonadnya untuk dibuat preparat histologi dengan pengecatan Harris-Haematoksilin eosin (H&E) untuk menentukan jenis kelamin. Hasil penelitian menujukkan bahwa seks rasio pada penetasan alami terdeteksi jantan = 0, betina = 8, dan tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya = 12. Untuk penetasan non-alami terdeteksi jantan = 13, betina = 0, dan tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya = 7. Dapat disimpulkan bahwa temperatur mempunyai peranan penting dalam penetuan jenis kelamin, sebagaimana rerata temperatur yang ditujukkan pada data logger untuk penetasan alami adalah 31,79 0C dan penetasan nonalami adalah 27,30 0C
Kata kunci : Seks rasio, Data logger, Organ gonad, Tukik penyu hijau
ABSTRACT
This research was carried out to determine the sex ratio of hatchling green turtles (Chelonia mydas L) generated from natural and non-natural hatching in Sukamade Beach, Banyuwangi. The hatchling samples were derived from 5 nest hatchling hatches. A total of 40 hatchlings of green turtles, which were 1.5 months in average of age were used in this research. The samples were divided into 2 groups, i.e.: Group 1 consisted of 20 hatchlings collected from natural hatchery, and group 2 contained 20 hatchlings collected from nonnatural hatchery. All hatchlings were sacrificed and this gonads were collected for histological examination using Harris-Haematoxilin Eosin (H&E) Method. The result showed that the sex ratio at natural hatchery was male = 0, female = 8, whereas for the other 12 hatchlings the gender could not be identified. However, the sex ratio of nonnatural hatchery was male = 13, females = 0, and the other 7 of hatchlings could not be determined. It can be concluded that the temperature might affect the gender of hatchlings, as the mean temperature data logger on natural hatching was 31.79 0C and non-natural hatching was 27.30 0C
Key words: sex ratio, data logger, gonads, hatchling green turtle
PENDAHULUAN
Perairan Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keberadaan spesies penyu. Menurut Cahyani (2003) dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia, enam diantaranya berada di perairan indonesia yaitu: penyu Hijau (Chelonia mydas), penyu Blimbing (Dermochelys coriacea), penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), penyu Sisik Semu (Lepidochelys olivacea), penyu Tempayan (Caretta-caretta), dan penyu Pipih (Natator depressa).
Penyu merupakan salah satu reptil terbesar yang hidup di laut dan mempunyai umur sampai ratusan tahun dengan dewasa kelamin berkisar antara 10 – 15 tahun. Penyu mempunyai siklus peneluran dapat mencapai 3 – 5 tahun antara siklus bertelur pertama dengan siklus bertelur berikutnya, dimana dalam satu siklus bertelur, penyu dapat bertelur 3 – 12 kali. (Pritchard, 1967., Miller, 1999). Saat ini, keberadaan populasi penyu makin menurun karena banyaknya predator alami, kerusakan habitat bertelur bahkan penyu digunakan untuk kepentingan sosialekonomi oleh masyarakat (Nuitja, 1997; Hidayat, 1999).
Chan (1993) mengadakan penelitian di pantai Trengganu Malaysia pada penetasan non alami dengan menggunakan media styrofoam. Hasil penetiannya, bahwa tukik D. coriacea semua berjenis kelamin betina. Peneliti lain juga meneliti tentang sex rasio di
pantai Suriname. Dari 27 sarang alami terdapat 15 sarang menetaskan tukik semuanya berjenis kelamin betina (Godfrey dkk., 1999). Daya tetas telur, lamanya masa = 13, females = 0, and the other 7 of hatchlings could not be determined. It can be concluded that the temperature might affect the gender of hatchlings, as the mean temperature data logger on natural hatching was 31.79 0C and non-natural hatching was 27.30 0C Key words: sex ratio, data logger, gonads, hatchling green turtle inkubasi, dan jenis kelamin tukik sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur dan kelembaban sarang telur (Godfrey, 1997., Pieau dan Richard, 1999).
Pantai Sukamade Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu pantai yang disenangi oleh penyu sebagai habitat bertelur yang ideal. Keberadaan pantai Sukamade saat in sudah berubah setelah dipakai sebagai sarana penunjang pariwisata. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya perubahan lokasi dan kondisi tempat bertelur serta perubahan temperatur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan seks rasio antara penetasan alami dan non-alami, sehingga dapat dipakai acuan untuk meningkatkan manajemen konservasi.
METODE PENELITIAN
Hewan Percobaan
Sampel diperoleh dari 5 sarang penetasan alami sebanyak 20 ekor dan 5 sarang penetasan non-alami sebanyak 20 ekor diambil secara acak.
Rancangan Penelitian
Sebanyak 4 ekor tukik diambil dari masing-masing sarang yang berasal dari penetasan alami dan non-alami. Kemudian tukik dipelihara selama 1,5 bulan sebelum diambil gonadnya. Untuk mengetahui rerata temperatur selama inkubasi (penetasan) masing-masing sarang ditanami alat data logger yang disetting secara automatis untuk setiap 4 jam. Organ gonad dibuat preparat histologi dengan pengecatan Harris-Haematoxilin Eosin (H&E) dengan memakai metoda Luna (1968).
Penentuan Jenis Kelamin (Seks) Secara Histologis
Pengamatan histologi gonad dilakukan di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40 kali dan 100 kali. Pengamatan difokuskan di daerah kortek
dari gonad. Penentuan jenis kelamin jantan berdasarkan adanya lapisan epithel squamous simplek di bagian tepi kortek dan di bagian medullanya terdapat germ cell (sel benih) yang tidak memiliki lumen (seminiferous cords), sedangkan penentu jenis kelamin betina berdasarkan ditemukannya epithel columner komplek di bagian tepi kortek dan di bagian medullanya terdapat medullary cord (Larios, 1999).
Analisis Data
Data yang diperoleh berupa gambaran histologi yang dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara kualitatif gambaran histologi gonad jantan tukik penyu Hijau umur 1,5 bulan, yaitu di bagian tepi kortek tersusun oleh lapisan tipis berupa epithel squamous simplek dan di bagian medullanya terdapat germ cell (sel benih) yang tidak memiliki lumen disebut seminiferous cords (Gambar 1 dan 2).


Gambar. 2. Gonad jantan (HE)
Gambar. 1. Gonad jantan (HE)
Keterangan: lapisan epithel squamous simplek (1), Germ cell yang tidak mempunyai lumen/ semini- ferous cord (2)
Gambaran histologi gonad betina tukik penyu Hijau umur 1,5 bulan yakni di bagian tepi kortek tersusun atas epithel kolumner komplek dan pada bagian medulla terdapat medullary cord yang dicirikan adanya kelompok sel dan jaringan ikat fibrosa (Gambar 3 dan 4)
Gambar. 3. Gonad betina (HE) Keterangan: lapisan epithel kolumner komplek (1), medullary cord (2), jaringan ikat fibrosa (3)
Selain itu juga didapatkan gambaran gonad yang tidak mengindikasikan jenis kelamin. Bagian kortek gonad didominasi oleh jaringan ikat fibrosa (Gambar 5).
Hasil penentuan jenis kelamin tukik umur 1,5 bulan berdasarkan gambaran histologi gonad bagian kortek ditampilkan pada Tabel 1.
Gambar. 5. Gonad yang tidak dapat ditentukan jenis kelamin (HE) Keterangan : jaringan ikat fibrous (1)
Temperatur sarang dicatat setiap 4 jam secara automatis pada alat data logger sampai telur menetas (Tabel 2) secara histologik pada daerah tepi bagian kortek gonad tukik yang berjenis kelamin jantan ditemukan lapisan tipis epithel squamus simplek, sedangkan secara histologik pada daerah tepi bagian kortek gonad tukik yang berjenis kelamin betina ditemukan lapisan tebal epithel kolumner komplek. Sesuai dengan pendapat Larios (1999), bahwa pada semua spesies tukik penyu laut tidak ada perbedaan morfologi eksternal yang menciri untuk menentukan jenis kelamin, namun untuk penyu yang telah memasuki usia dewasa baru dapat dibedakan jenis kelamin berdasarkan morfologi eksternal melalui ukuran panjang ekor. Apabila panjang ekor
Tabel 2. Temperatur sarang pada data logger
TEMPERATUR (C0) | ||
Penetasan non-alami |
Penetasan alami | |
Rerata 27,30 |
31,79 | |
SD |
1,04 |
0,70 |
Min |
25,50 |
29,52 |
Max |
30,24 |
33,24 |
N |
538 |
381 |
Tabel 1. Profil jenis kelamin tukik pada penetasan alami dan non-alami.
Sarang |
Penetasan alami |
Penetasan non-alami | ||||||
Jantan |
Betina |
UD |
Jumlah |
Jantan Betina |
UD |
Jumlah | ||
I |
0 |
4 |
0 |
4 |
2 |
0 |
2 |
4 |
II |
0 |
4 |
0 |
4 |
3 |
0 |
1 |
4 |
III |
0 |
0 |
4 |
4 |
3 |
0 |
1 |
4 |
IV |
0 |
0 |
4 |
4 |
3 |
0 |
1 |
4 |
V |
0 |
0 |
4 |
4 |
2 |
0 |
2 |
4 |
Total |
0 |
8 |
12 |
20 |
13 |
0 |
7 |
20 |
melebihi 30 cm berarti berjenis kelamin jantan, dan apabila kurang dari 30 cm atau panjangnya tidak melebihi ujung karapas, penyu tersebut berjenis kelamin betina (Wyneken, 2001). Penentuan jenis kelamin pada tukik dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu cara invasif (pembedahan) dan cara non-invasif (radioimmunoanalysis). Cara invasif dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu: 1) Cara in situ yaitu dengan langsung melihat gonad, cara ini dapat dilakukan untuk tukik telah berumur 5 bulan ke atas. 2) Cara in toto yaitu dengan pembelahan gonad, cara ini dapat dilakukan bila tukik
telah berumur 5 bulan ke atas. 3) Cara pemeriksaan histologi yaitu dengan melihat gambaran histologi gonad di bagian kortek. Untuk jenis kelamin betina terlihat pada bagian tepi kortek gonad tersusun dari epithel kolumner komplek dan pada bagian medulla terlihat adanya medullary cord, sedangkan untuk jenis kelamin jantan terlihat pada bagian tepi kortek terlihat lapisan tipis berupa epithel squamous simplek dan pada medulla dijumpai adanya tubulus seminiferi yang sedang berkembang disebut seminiferous cord (Larios, 1999., Allen, 2001., Wyneken, 2001). Pada pemeriksaan juga ditemukan gonad yang tidak dapat dipakai untuk menentukan jenis kelamin. Hal ini disebabkan gonad tukik belum berkembang dengan baik dan perkembangan gonad selain dipengaruhi oleh temperatur sarang juga bersifat individual.
Hasil Penelitian menunjukan adanya perbedaan profil seks rasio antara
penetasan alami dan penetasan non-alami. Menurut Ackerman (1997) bahwa temperatur povidal (temperatur yang dibutuhkan untuk membentuk jenis kelamin dengan rasio 1 : 1 ) adalah 28,26 0C. Apabila temperatur sarang berada di bahwah temperatur povidal akan mendukung terbentuknya jenis kelamin jantan dan ini dihasilakan pada penetasan non-alami (27,30 0C) yang semuanya berjenis kelamin jantan, atau sebaliknya apabila berada di atas temperatur povidal akan menghasilkan tukik jenis kelamin betina dan ini ditujukkan pada penetasan alami (31,79 0C) yang menghasilkan semua jenis kelamin betina.
Temperatur sarang sangat menentukan lamanya penetasan dan proses deferensiasi organ gonad tukik. Mekanisme fisiologis temperatur dalam mempengaruhi jenis kelamin tukik terjadi akibat adanya kerja ensim arometase pada organ gonad. Ensim arometase bekerja mengubah hormon androgen menjadi hormon estrogen. Semakin tinggi suhu, semakin banyak jumlah ensim arometase yang dihasilkan. Itu berarti produksi hormon estrogen juga meningkat. Peningkatan hormon estrogen akan membentuk tukik berjenis kelamin betina, begitu pula sebaliknya (Pieau dkk., 1999).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Profil jenis kelamin pada penetasan alami adalah jantan = 0, betina
= 8, dan tidak dapat ditentukan = 12. Penetasan non-alami adalah jantan = 13, betina = 0, dan tidak dapat ditentukan = 7. Rerata temperatur pada sarang alami adalah 31,79 0C dan non-alami adalah 27,30 0C.
Saran
Untuk pemeriksaan histologik organ gonad diperlukan umur tukik yang lebih dewasa, agar organ gonad telah berkembang sempurna.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada yayasan WWF Indonesia yang yang ikut membantu memberikan pinjaman fasilitas, buku literature. Kepala Taman Nasional Meru Betiri yang telah memberikan ijin melakukan penelitian di kawasan pantai Sukamade Kab. Banyuwangi
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, R.A.1977. The Nest Environment and the Embryonic Development of Sea Turtles. In: The Biology of Sea Turtles. P.L. Lutz and J.A. Music. CRS Press, Inc. USA.
Allen, D.N. 2001. Histological Methods for Monitoring Hatchling Sex Ratios in the Kemp,s Ridley Sea Turtle Conservation program. Univ. Of Alabama at Birmingham Mc Nair Chronicle Birmingham.
Cahyani, N.K.D. 2003. Perkembangan Embrio Penyu Sisik Pada Sarang Alami di Pantai Perancak Kab. Jembrana, Bali. Skripsi Fakultas Biologi UGM Yogya.
Chan, E.H. 1993. Incubation Temperatures and Sex Ratios in Malaysian Leatherback Turtle Dermochelys coriacea. Canada journal Zoology 31 : 831 – 834
Godfrey, M.H. 1997. Sex Ratios of Sea Turtle Hatchlings: Direct and Indirect Estimates. Desertasi, Dept. Of Zoology, Unversity of Toronto.
Godfrey, M.H., D‘Amato., M.A. Marcovaldi., and N. Mrosovsky. 1999. Pivotal Temperatur and Predectid Sex Ratios for Hatchling Hawsbill Turtles from Brazil Canada journal Zoology 77: 1465 – 1473.
Hidayat, R.P. 1999. Pengamatan Terhadap Populasi Penyu Hijau Serta Upaya Pengelolaannya di Pantai Sukamade, Kab. Banyuwangi. Karya Ilmiah,
Program Studi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya, Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta.
Larios, H.M. 1999. Determining Hatchling Sex. In: Research and Management Techniques for the Conservation of Sea Turtles. Publ No. 4. K.L Eckert. IUCN/SSC Marine Turtle.
Luna, L.G. 1968. Manual of Histologic Staining Methods of the Armed Forces Institute of Pathology. 3rd ed., Mc. Graw-Hill Book Company. USA.
Miller, J.D. 1997. Reproducttion in Sea Turtles. In: The Biology of Sea Turtles. P.L. Lutz and J.A. Musick. CRC Press, Inc. USA.
Nuitja, I.N.S. 1997. Konservasi dan Pengembangan Penyu di Indonesia. In: Proseding
Workshop Penelitian dan
Pengelolaan Penyu di Indonesia. Wetlands International/PHPA/ Environment Australia.
Pieau, C., M. Dorizzi and Richard-mercier. 1999. TemperatureDependent Sex Determination and Gonadal Differentiation in Reptiles. CMLS, Cell Molecular Life, Sci 55.
Prithard, P.C.H. 1967. Living Turtle of the Word. TFH Publications, Inc. Ltd. Hongkong.
Steel, R.G.D. dan Torie, J.H. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik (terjemahan Ir. Bambang Sunantri). Penerbit Gramedia. Jakarta.
Wyneken, J. 2001. The Anatomi of Sea Turtles. U.S. Departement of Commerce NOAA Technical Memorandum NMFS-SEFSC. Miami.
53
Discussion and feedback