CASE REPORT: ANCYLOSTOMIOSIS IN PERSIAN MIX LOCAL CAT
on
Volume 14 No. 2: 90-96
April 2022
DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i02.p04
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Laporan Kasus: Ankilostomiosis pada Kucing Lokal Mix Persia
(CASE REPORT: ANCYLOSTOMIOSIS IN PERSIAN MIX LOCAL CAT)
I Wayan Syartama Hadi Nugraha1*, Putu Ayu Sisyawati Putriningsih2, I Wayan Batan3 1Praktisi Dokter Hewan, Jl. Yudistira, Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali;
-
2Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jalan PB Sudirman, Denpasar-Bali;
-
3Laboratorium Diagnosa Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jalan PB Sudirman, Denpasar-Bali.
*Email: [email protected]
Abstrak
Ancylostoma sp. merupakan parasit umum menginfeksi kucing dan merupakan penyebab utama dari ankilostomiosis. Cacing Ancylostoma sp. masuk ke dalam kelas Nematoda. Kucing dapat terinfeksi melalui makanan yang mengandung telur maupun larva infektif. Seekor kucing local mix persia bernama Roger, berumur kurang lebih 7 tahun, dengan berat badan 3,5 kg, mengalami diare 3 sampai 4 kali dalam sehari dengan warna feses coklat kehitaman. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, kucing mengalami diare disertai mukosa anus kemerahan, pembengkakan pada limfoglandula mandibularis dexter, mukosa mata, hidung dan mulut pucat serta kucing mengalami dehidrasi. Adapun pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan feses dengan metode apung, McMaster dan hematologi rutin. Kucing Roger didiagnosa ankilostomiosis dengan derajat ringan. Terapi yang diberikan adalah pyrantel pamoat dengan dosis anjuran 6 sampai 25 mg/kg dan dosis yang diberikan adalah 20 mg/kg BB (0,5 tab). Kaolin pektin dengan dosis anjuran 1 sampai 2 mL/kg BB (4,5 mL/hari). Hematodin dengan dosis anjuran 0,5 sampai 2 mL/kg BB (diinjeksi 0,05mL) secara intramuskular. Livron Bplex 1 tablet per oral satu kali sehari selama 10 hari. Evaluasi kucing kasus 3 minggu pasca terapi didapatkan hasil kucing kasus sudah tidak mengalami diare, mukosa mulut, mata, telinga, vagina, sphincter ani berwarna merah muda, Capillary Refil Time (CRT) kurang dari 2 detik dan turgor kulit baik. Hasil pemeriksaan feses dengan metode natif negatif tidak ditemukan infestasi telur cacing.
Kata kunci: Ankilostomiosis; Ancylostoma sp.; diare; kucing
Abstract
Ancylostoma sp. is a common parasite that infects cats and is a major cause of ankylostomyosis. Ancylostoma sp. enter the nematoda class. Cats can be infected through foods containing eggs or infective larvae. A persian mix local cat named Roger, about 7 years old, weighs 3.5 kg, has diarrhea 3 to 4 times a day with blackish brown feces. Based on the results of a physical examination, the cat has diarrhea with a reddish anal mucosa, swelling in the mandibulary lymphogland dexter, eye mucosa, pale nose and mouth and dehydrated cats. The laboratory tests carried out were faecal examination with floating method, McMaster and routine hematology. Roger's cat was diagnosed with mild degrees of ancylostomiosis. Therapy given is pyrantel pamoat with a recommended dose of 6 to 25 mg/kg and the dose given is 20 mg/kg (0.5 tab). Kaolin pectin with recommended doses of 1 to 2 mL/kg (4.5 mL/day). Hematodine with a recommended dose of 0.5 to 2 mL/kg (injected 0.05 mL) intramuscular. Livron Bplex 1 tablet orally once a day for 10 days. Evaluation of cat cases 3 weeks post therapy found that cat cases had no diarrhea, mucosa of the mouth, eyes, ears, vagina, pink sphincter, Capillary Refil Time (CRT) of less than 2 seconds and good skin turgor. Stool examination results with negative native methods were not found for worm egg infestations.
Keywords: Ancylostomiosis; Ancylostoma sp.; diarrhea; cat
PENDAHULUAN
Kucing (Felis cattus) merupakan hewan karnivora yang dapat ditemui hampir di seluruh dunia karena kemampuan beradaptasinya yang sangat baik. Seiring perkembangan jaman, kucing yang pada jaman dahulu dikenal sebagai simbol religi, sekarang telah menjadi pengontrol populasi tikus dan juga salah satu hewan kesayangan (Serpell, 2002). Banyak penyakit yang dapat menginfeksi kucing mulai dari penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit. Beberapa jenis parasit yang sering ditemukan pada saluran pencernaan kucing seperti Ancylostomma sp, Toxocara sp, dan Strongyloides sp (Soulsby, 1982).
Ankilostomiosis murupakan penyakit akibat infeksi cacing Ancylostoma sp. (Monti et al.,1998). Gejala yang sangat khas dari penyakit ini adalah adanya anemia, seribu cacing dewasa dapat menghilangkan setidaknya satu cangkir darah dari tubuh kucing yang terinfeksi (Hotez dan Prritchard, 1995). Gejala klinis infeksi ankilostomiosis adalah diare berdarah. Cacing dewasa menghisap darah sebanyak 0,1-0,8 ml setiap hari. Kucing mulai kehilangan darah pada 10-25 hari pasca infeksi, tetapi paling banyak terjadi pada 10-15 hari pasca infeksi. Oleh karena itu kucing akan menderita anemia, hipoproteinemia, malabsorbsi usus serta penurunan kekebalan tubuh. Bahaya yang akan tumbuh pada kucing adalah badan yang kurus dan kadang disertai muntah. Hal yang lebih parah bisa terjadi apabila diikuti oleh infeksi sekunder (Kusumamihardja, 1992). Cacing kait yang umumnya pada kucing adalah Acylostomma tubaeforme. Cacing jantan panjangnya 9-11 mm dan berdiameter 300-350 mikron, cacing betina panjangnya 12-15 mm dan berdiameter 380-430 mikron. Telur berukuran 55-76 × 34-45 mikron.
Kucing yang mengalami diare bukanlah merupakan penyakit melainkan suatu gejala
yang mengiringi adanya penyakit maupun gangguan pada tubuh. Perubahan baik berupa peningkatan frekuensi defekasi, volume maupun konsistensi feses mulai dari yang lembek hingga cair serta dapat disertai dengan ada tidaknya perubahan warna feses merupakan gejala umum diare.
METODE PENELITIAN
Sampel kasus
Kucing local mix persia bernama Roger, berjenis kelamin jantan, usia kurang lebih 7 tahun, berat badan 3,5 kg. Pemilik kucing bernama Dimas yang beralamat di Jalan Pulau Moyo, Perumahan Jadi Pesona (Kucing ini merupakan kucing rescue).
Kucing ini ditemukan di depan rumah pada tanggal 23 Desember 2017 dan sudah ditemukan mengalami diare. Fesesnya encer berwarna coklat kehitaman. Dalam sehari mengalami diare 3 sampai 4 kali. Nafsu makan dan minum sangat baik. Sejak kucing ditemukan belum pernah diberi obat cacing dan belum pernah dilakukan vaksinasi.
Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pemeriksaan fisik diperoleh data kucing bernama Roger berupa suhu tubuhnya normal 38,3○C, Capillary Refill Time (CRT) kurang dari 2 detik, turgor kulit lebih dari 2 detik, frekuensi respirasi 25 kali per menit, frekuensi degup jantung 132 kali per menit, frekuensi pulsus 120 kali per menit. Pemeriksaan fisik kulit dan kuku tidak normal yaitu ditemukan adanya alopesia dan krusta pada kaki depan serta rambut kusam dan turgor kulit lambat. Terjadi pembengkakan pada linfoglandula mandibularis dexter. Sistem
muskuloskeletal, syaraf, sirkulasi, respirasi, urogenital normal. Pencernaan tidak normal karena kucing mengalami diare. Mukosa mulut, mata, dan hidung berwarna pucat dan terdapat lesi pada mukosa anus.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/43919-1.jpg)
Gambar 1. Kucing kasus (dokumentasi pribadi)
Pada kucing kasus (Gambar 1) teramati tubuh kucing yang kurus dengan rambut kusam serta terlihat sisa feses yang menempel pada rambut bagian ekor dan kaki belakang kanan. Adanya feses yang menempel tersebut mengindikasikan terjadinya diare.
Uji Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan feses dengan metode apung, McMaster dan hematologi rutin. Pemeriksaan feses dengan meted pengapungan dilakukan mengikuti publikasi Agustina et al. (2021). Pemeriksaan feses dengan meted pengapungan dilakukan mengikuti publikasi Agustina (2013).
HASIL DAN PEMBEHASAN
Hasil
Hasil pemeriksaan feses dengan metode apung yaitu positif ditemukan telur cacing Ancylostoma ssp. Morfologi telur cacing dapat diamati pada (Gambar 2A). Sementara hasil pemeriksaan feses kuantitatif dengan metode McMaster (Gambar 2B) diperoleh jumlah total telur cacing Ancylostoma sp. adalah 1.200 telur per gram feses EPG.
Pemeriksaan Hematologi Rutin
Pemeriksaan hematologi rutin terhadap sampel darah disajikan pada (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil pemeriksaan hematologi rutin kucing kasus
Parameter |
Hasil |
Nilai Normal |
Satuan |
Keterangan |
Leukosit |
27,9 |
5,5-19,5 |
109/L |
Tinggi |
Limfosit |
35,1 |
20-55 |
% |
Normal |
Eosinofil |
3,4 |
2-10 |
% |
Normal |
Eritrosit |
6,26 |
5-10 |
1012/L |
Normal |
Hemoglobin |
10,3 |
8-15 |
g/dL |
Normal |
Hematokrit |
34 |
24-45 |
% |
Normal |
MCV |
54,3 |
39-55 |
fL |
Normal |
MCH |
16,5 |
13,-17 |
pg |
Normal |
MCHC |
30,5 |
30-36 |
g/dL |
Normal |
Trombosit |
697 |
160-700 |
109/L |
Normal |
Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi rutin menunjukkan bahwa kucing Roger mengalami leukositosis.
Diagnosa
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium dapat disimpulkan bahwa kucing bernama Roger didiagnosa ankilostomiosis.
Prognosa
Prognosa dari kasus ini adalah fausta.
Terapi
Terapi yang diberikan pada kucing yang didiagnosa ankilostomiosis adalah terapi kausatif melalui pemberian pyrantel pamoat dengan dosis anjuran 6 sampai 25 mg/kg dan dosis yang diberikan adalah 20 mg/kg BB (0,5 tab) yang diulangi setiap 3 bulan sekali. Terapi simtomatis diberikan kaolin pectin dengan dosis anjuran 1 sampai 2 mL/kg BB (4,5 mL/hari) per oral. Terapi suportif melalui pemberian hematodin dengan dosis anjuran 0,5 sampai 2 mL/kg BB (diinjeksi 0,05mL) secara intramuskular. Livron Bplex 1 tablet per oral satu kali sehari selama 10 hari.
Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium kucing Roger didiagnosa menderita
ankilostomiosis dengan derajat ringan. Soulsby (1982) menyebutkan bahwa Ancylostoma dibagi menjadi empat spesies, yaitu Ancylostoma brazilliensi,
Ancylostoma caninum, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma tubaeforme. Pemeriksaan feses melalui metode apung ditemukan infeksi ankilostomiosis pada hewan kasus Roger, dilihat dari morfologi telur Ancylostoma spp. yang ditemukan pada feses (Gambar 2).
Berat ringannya infestasi cacing Ancylostoma spp. dapat didasarkan pada jumlah telur cacing yang ditemukan dalam feses hospes (Oktaviana et al., 2014). Jika
ditemukan telur kurang dari 5.000 telur per gram feses maka termasuk infestasi ringan. Bila ditemukan 5.000-25.000 telur per gram feses maka termasuk infestasi sedang, dan jika ditemukan lebih dari 25.000 telur per gram feses maka termasuk infestasi berat. Pada kasus ini ditemukan telur cacing Ancylostoma sp. melalui pemeriksaan kuantitatif feses dengan metode McMaster adalah sebanyak 2.400 telur per dua gram feses atau sama dengan 1.200 telur per gram feses, sehingga dapat disimpulkan bahwa hewan kasus Roger menderita ankilostomiosis dengan derajat ringan.
Penyakit yang ditimbulkan oleh infestasi cacing Ancylostoma sp. pada kucing sangat merugikan karena dalam jangka waktu lama kucing akan mengalami anemia dan lemah. Kucing yang terinfeksi akan menunjukkan gejala klinis berupa mukosa pucat, diare berdarah, edema, anemia, rambut kering dan kusam, pertumbuhan terhambat, serta dapat menyebabkan kematian. Gejala klinis ankilostomiosis yang ditimbulkan
bervariasi tergantung pada umur, status gizi, jumlah parasit, dan daya tahan tubuh hospes (Tjahajati, 2005).
Pada hewan kasus Roger gejala klinis yang tampak adalah diare berwarna coklat kehitaman dengan konsistensi seperti bubur dan berbau busuk. Warna feses coklat kehitaman terjadi karena adanya darah yang tercerna dalam feses akibat terjadinya perdarahan pada usus (Triakoso, 2006). Diare yang terjadi akibat infeksi cacing Ancylostoma spp. yang membuat luka pada mukosa epitel dan vili usus yang menyebabkan peradangan. Rasa nyeri pada peradangan akan mengakibatkan
rangsangan pada ujung-ujung saraf sensoris, yang selanjutnya akan menaikkan frekuensi dan intensitas gerakan peristaltik usus. Dengan meningkatnya peristaltik usus kesempatan penyerapan di dalam usus halus akan berkurang. (Wennogle et al., 2015).
![](https://jurnal.harianregional.com/media/43919-2.jpg)
Gambar 2. (A)Telur Ancylostoma sp. yang ditemukan dengan metode apung (B) metode McMaster.
Sel-sel selaput lendir usus banyak yang mengalami kematian dan kelenjar pencernaan lebih meningkatkan sekresi getah pencernaan. Jumlah air yang tidak terserap menjadi lebih banyak sehingga konsistensi feses menjadi lebih encer (Wennogle et al., 2015). Kehilangan cairan tubuh akibat diare akan menyebabkan terjadinya dehidrasi. Dehidrasi teramati dari hasil pemeriksaan fisik turgor kulit menurun, cermin hidung kering dan CRT lebih dari 2 detik, namun kucing tidak terengah-engah atau takikardia yang patologik sehingga dapat disimpulkan kucing mengalami dehidrasi dengan persentase dehidrasi 5% (Suartha, 2010). Sedangkan bau busuk pada feses terjadi akibat protein yang tidak dicerna dan dirombak akibat adanya infestasi cacing (Wennogle et al., 2015). Bau busuk pada feses juga dapat disebabkan oleh agen infeksi lainya seperti bakteri, virus dan protozoa yang tidak mencerna dan merombak protein (Lewis et al.,1992). Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi rutin (Tabel 1) menunjukkan bahwa hewan kasus Roger mengalami leukositosis. Leukositosis mengindikasikan adanya infeksi, inflamasi, nekrosis jaringan, atau neoplasia leukemik. Selain itu, trauma dan stres, dapat meningkatkan nilai leukosit. Pada keadaan infeksi, khususnya sepsis, nilai leukosit biasanya akan sangat tinggi. Fenomena ini disebut sebagai reaksi leukemoid dan akan membaik dengan cepat
apabila infeksi berhasil ditangani (Atmadja et al., 2016).
Terapi kausatif yang diberikan adalah Pyrantel pamoat dengan dosis anjuran 6-25 mg/kg BB. Dalam kasus ini dosis yang diberikan adalah 20 mg/kg BB (0,5 tab). Pyrantel pamoat mempunyai kemampuan untuk membunuh cacing yang hidup di usus posterior. Mekanisme kerja dari pyrantel pamoat yaitu dengan mendepolarisasi senyawa penghambat neuromuskuler. Hal ini akan menyebabkan spasmus dan pengerutan otot cacing, sehingga cacing mudah dikeluarkan oleh gerakan usus. Pyrantel pamoat sangat sedikit diserap usus sehingga tidak menimbulkan bahaya keracunan. Ekskresi sebagian besar bersama feses, dan kurang dari 15% diekskresikan bersama urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya (Keiser et al., 2013). Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala.
Untuk pengobatan simtomatik pada diare, diberikan kaolin pectin dengan dosis anjuran 1-2 mL/kg BB. Pada kasus dosis yang diberikan adalah 4,5 mL/ hari. Kaolin adalah suatu absorben yang menyerap toksin baik yang berupa gas atau bahan beracun lainnya yang merangsang dari saluran usus, selanjutnya membentuk lapisan pelindung pada dinding usus. Pektin sebagai bahan yang berfungsi untuk menghilangkan hasil pertumbuhan bakteri yang bersifat racun (Drug handbook).
Terapi suportif pemberian Hematodin dengan dosis anjuran 0,5-2 mL/kg BB. Pada kasus diinjeksi 0,05 mL secara intramuskular. Hematodin mengandung vitamin B12 (sianokobalamin) bersama asam folat sangat penting untuk metabolisme intrasel. Vitamin B12 dan asam folat dibutuhkan untuk sintesis eritrosit dan hemoglobin, sehingga defisiensi salah satu vitamin ini menimbulkan gangguan produksi dan maturasi eritrosit (Teresson et al., 2016). Untuk menambah nafsu makan dan memulihkan kondisi kucing melalui pemberian Livron Bplex 1 tablet per oral satu kali sehari selama 10 hari.
Evaluasi kucing kasus 3 minggu pasca terapi didapatkan hasil kucing kasus sudah tidak mengalami diare, mukosa mulut, mata, telinga, vagina, sphincter ani berwarna merah muda, CRT kurang dari 2 detik dan turgor kulit baik. Hasil pemeriksaan feses dengan metode natif negatif tidak ditemukan infestasi telur
cacing.
Gambar 3. Kucing kasus pasca terapi (dokumentasi pribadi).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kucing kasus bernama Roger didiagnosa ankilostomiosis dengan
prognosa fausta. Hasil observasi pasca terapi yaitu kucing kasus sudah sembuh dan pemeriksaan feses dengan metode natif tidak ditemukan infestasi telur cacing.
Saran
Kucing sebaiknya diberikan obat cacing secara berkala setiap tiga bulan sekali dan kebersihan lingkungan harus tetap dijaga.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan FKH Unud, dan semua pihak yang turut membantu dalam proses penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina KK. 2013. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali. Bul. Vet. Udayana. 5(2): 131–138.
Agustina KK, Anthara MS, Sibang NAAN, Wiguna WAR,
Apramada JK, Gunawan WNF, Oka IBM, Subrata M, Besung NK. Prevalence and distribution of soil-transmitted helminth infection in free-roaming dogs in Bali Province, Indonesia. Vet. World. 14(2): 446-451.
Atmadja SA, Kusuma R, Dinata F. 2016. Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan infeksi bakteri dan virus. CDK-241. 43(6): 457-461
Hotez P, Pritchard DI. 1995. Hookworm infection. Sci. American. 272: 42-48.
Keiser J, Tritten L, Silbereisen A, Speich B, Adelfio R, Vargas M. 2013. Activity of oxantel pamoate monotherapy and combination chemotherapy againts trichuris muris and hookworms. Revival of an old drug. PLOS Negl. Trop. Dis. 7(3): 1-8.
Lewis EE, Gaugler R, Harrison. 1992. Entomopathogenic nematode host finding: Response to host contact cues by cruise and ambush foragers. Parasitol. 105(02):309- 315.
Monti JR, Chilton NB, Bao–Zhen Q, Gasser RB. 1998. Spesific
amplification of Necator americanus or Ancylostoma duodenale DNA by PCR using makers in ITS-1 rDNA and it’s implications. Mol. Cell. Probes. 12: 7178.
Oktaviana PA, Dwinata M, Oka IBM. 2014. Prevalensi infeksi cacing Ancylostoma spp pada kucing lokal (Felis catus) di Kota Denpasar. Bul. Vet. Udayana. 6(2): 161-167.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated animals. 7th Ed. ELBS and Bailliere Tindall, London.
Suartha IN. 2010. Terapi cairan pada anjing dan kucing. Bul. Vet. Udayana. 2(2): 69-83.
Teresson L, Steiner JL, Spillmann T. 2016. Oral cobalamin supplementation in dogs with chronic enteropathies and
hypocobalaminemia. J. Vet. Intern. Med. 30(1): 101-107.
Tjahajati I, Purnamaningsih H, Mulyani GT, Yuriadi. 2005. Kasus
ankilostomiasis pada pasien anjing di klinik penyakit dalam, Rumah Sakit Hewan FKH-UGM selama Tahun 2005. J. Sain Vet. 24(1): 119-124.
Triakoso N, 2006. Penyakit Sistem Digesti. Bahan Ajar Ilmu Penyakit Dalam Veteriner II. Program Studi Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya.
Wennogle SA, Martin LER, Popelka FJO, Xu H, Philipe CJ, Lappin MR. 2015. Randomized trial to evaluate two dry therapeutic diets for shelter dogs with acute diarrhea. Int. J. Appl. Res. Vet. Med. 13(3): 199-206.
96
Discussion and feedback