Volume 14 No. 2: 58-68

April 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i02.p01

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Perubahan Mikroskopis Dermatitis Kompleks pada Anjing yang Diberikan Terapi Minyak Nimba

(CHANGES OF MICROSCOPIS DERMATITIS COMPLEX ON THE DOG PROVIDED OIL THERAPY NIMBA)

D.S.M. Odiec Yusma Purnawan1, I Nyoman Suartha2*, Ida Bagus Oka Winaya3

  • 1Praktisi Dokter Hewan Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali;

  • 2Departemen Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali;

  • 3Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali.

*Email: [email protected]

Abstrak

Dermatitis kompleks adalah peradangan pada kulit yang disebabkan oleh berbagai macam agen seperti jamur, ektoparasit, bakteri dan penyakit bawaan yang terjadi secara bersamaan sehingga tanda klinis yang ditunjukkan berupa gabungan klinis dari lesi primer dan lesi sekunder. Penelitian bertujuan untuk mengamati perubahan mirkoskopis kulit anjing penderita dermatitis kompleks pasca diberikan ekstrak minyak nimba secara topikal. Sampel terdiri dari tiga ekor anjing yang mengalami dermatitis kompleks sedang. Ketiga ekor anjing diolesi ekstrak herbal pada bagian eksternal kulit yang terdapat lesi. Ekstrak herbal diberikan secara topikal dua kali sehari, pagi dan sore. Pada hari ke-0, 7, dan 15 dilakukan biopsi pada ketiga sampel. Pengamatan histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop binokuler pembesaran 100X dan 400X. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan perubahan berupa hiperkeratosis, infiltrasi sel radang berupa basofil dan neutrofil, akanthosis, dan ulser. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian minyak ektrak nimba dapat mempercepat kesembuhan pada anjing yang menderita dermatitis kompleks.

Kata kunci: dermatitis kompleks; histopatologi; minyak ekstrak nimba

Abstract

Complex dermatitis is inflammation of the skin caused by various types of agents such as fungi, ectoparasites, bacteria and congenital diseases that occur simultaneously so that the clinical signs shown are in the form of clinical combination of primary lesions and secondary lesions. The aim of the study was to observe changes in the microscopic skin of dogs with complex dermatitis patients after topical extract of neem oil. The sample consisted of 3 dogs that had moderate complex dermatitis. The three dogs were smeared with herbal extracts to the external part of the skin with lesions. Herbal extracts are given topically 2 times a day, morning and evening. On days 0, 7 and 15 a biopsy was performed on all three samples. Histopathological observations were carried out using a 100X and 400X binocular microscope. Histopathological examination shows changes in the form of hyperkeratosis, inflammatory cell infiltration in the form of basophils and neutrophils, ththosis, and ulcers. The results showed that administration of neural extracts affected dogs suffering from complex dermatitis or the administration of neem extracts can accelerate recovery in dogs suffering from complex dermatitis.

Keywords: complex dermatitis; histopathology; neem extract oil

PENDAHULUAN

Anjing adalah mamalia yang telah mengalami domestikasi dari serigala abu-abu sejak 10.000 – 15.000 tahun yang lalu berdasarkan bukti genetik fosil dan tes DNA. Anjing telah berkembang menjadi ratusan ras dengan berbagai variasi. Anjing adalah hewan kesayangan yang banyak disukai dan dipelihara oleh banyak orang (Sardjana, 2012).

Penyakit kulit pada anjing sangat merugikan bagi pemiliknya maupun anjing itu sendiri. Kondisi kulit dan rambut seekor hewan dapat menjadi indikator dari status kesehatan hewan. Gangguan pada kulit juga dapat menurunkan nilai estetika pada hewan kesayangan. Akibatnya secara ekonomi nilai hewan menjadi turun dan hewan tersiksa karena penyakit yang dideritanya. Penyakit kulit biasanya tidak berakibat fatal, namun sangat mengganggu dan dapat menurunkan produktivitas hewan, sebagai penyakit kosmopolitan, sering dijumpai pada hewan yang dipelihara secara bersama-sama (Ahmad, 2005).

Kulit terdiri atas dua lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis merupakan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis, yang pada beberapa tempat terutama terdiri dari jaringan lemak (Kalangi, 2013). Fungsi spesifik kulit terutama tergantung sifat epidermis. Epitel pada epidermis ini merupakan pembungkus utuh seluruh permukaan tubuh dan ada kekhususan setempat bagi terbentuknya turunan kulit, yaitu rambut, kuku, dan kelenjar-kelenjar.

Dermatitis merupakan istilah untuk peradangan pada kulit, dengan tanda klinis yang tampak berupa kegatalan, kemerahan, bengkak dan terdapat cairan nanah. Penyebab dari dermatitis dapat dikarenakan oleh agen yang mampu mengiritasi kulit. Dermatitis kompleks disebabkan oleh

berbagai macam agen seperti jamur, ektoparasit, bakteri dan penyakit bawaan yang terjadi secara bersamaan sehingga tanda klinis yang di tunjukan berupa gabungan klinis dari lesi primer dan lesi sekunder (Widyastuti et al.,  2012).

Kerusakan kulit dapat menyerang lapisan dermis dan epidermis. Perubahan pada struktur kulit dapat dilihat dengan pemeriksaan histopatologi. Histopatologi terkait dengan temuan klinis biasanya mengarah kepada diagnosis definitif. Biopsi kulit dianjurkan pada lesi yang tidak biasa. Dermatitis kompleks dapat diobati dengan obat sintetik dan alternatif. Belakangan ini banyak obat alternatif yang dikembangkan untuk terapi pada dermatitis kompleks dan salah satunya adalah minyak daun nimba yang dapat digunakan untuk terapi dermatitis kompleks.

Tanaman nimba termasuk ke dalam anggota famili Meliacea. Tanaman nimba dapat tumbuh di tempat yang kering dan tandus. Tingi batang tanaman nimba dapat mencapai 20 m, kulit batang tebal, batang agak kasar. Pada daun nimba bahan aktif yang ada dari golongan non-isoprenoids, seperti sulfur. Selain bahan aktif sulfur pada daun nimba terdapat juga senyawa polifenolik seperti flavonoid dan tannin. Oleh karena itu daun mimba digunakan untuk menyembuhkan penyakit pada kulit hewan.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Objek penelitian ini adalah tiga ekor anjing, tiga ekor yang telah terinfeksi dermatitis kompleks, tiga ekor sebagai perlakuan. Pada pemberian minyak ekstrak mimba, minyak ektraks mimba di campur dengan minyak kelapa murni dengan perbandingan 10 cc minyak eksrtak daun mimba dan 50 cc minyak kelapa murni. Pemberian minyak dilakukan dua kali dalam satu hari dengan dosis 5 cc/perlakuan tiap anjing selama15 hari. Pemberian minyak dilakukan menyeluruh ke semua tubuh anjing.

Pembuatan Preparat Histologi

Sampel hasil biopsy pada kulit, direndam ke dalam NBF 10% dengan jumlah 15-20 x volume jaringan dalam suhu kamar selama 24 jam. Langkah selanjutnya jaringan dipotong dengan ukuran 1 x 1 x 1 cm, di masukan dalam cassette jaringan. Jaringan selesai difiksasi dengan formaldehida. Jaringan di pindahkan untuk di dehidrasi dengan menggunakan alcohol secara berturut-turut dengan konsentrasi alcohol masing-masing 70%, 80%, 90%, jaringan direndam pada masing-masing konsentrasi alcohol selama 2 jam. Langkah selanjutnya adalah clearing, yaitu proses yang dilakukan untuk mengeluarkan alcohol dari jaringan dengan merendamkannya dalam xylene selama 2x 15 menit. Jaringan siap dimasukan kedalam blok paraffin. Setelah itu dilakukan embedding atau impregnasi dan blocking. Organ di tanam pada blok yang telah disediakan kemudian disimpan dalam suhu -20o C selama 24 jam. Organ dipotong (cutting) dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 mikron. Proses selanjutnya organ diwarnai dengan pewarnaan Harris Hematoxilin-Eosin.

Pewarnaan Harris Hematoxilin-Eosin

Preparat diparafinisasi dalam xylol selama3x5 menit. Kemudian didehidrasi dalam larutan alkohol 100% sebanyak 2 kali dengan durasi masing-masing 5 menit, bilas dengan aquades selama 1 menit. Diinkubasi dalam larutan Harris Hematoxilin selama 15 menit. Preparat dicelupkan ke dalam aquades selama 1 menit, selanjutnya celup dalam campuran asam alcohol secara cepat 5-7 celup. Cek diferensiasi warna di bawah mikroskop, warna tidak boleh sampai pucat. Preparat dibilas dalam aquades selama 1 menit, dan dibilas kembali dengan aquades selama 15 menit. Lalu dicelup sebanyak 3-5 kali dalam larutan ammonium atau lithium karbonat hingga potongan berwarna biru cerah dan kemudian cuci dalam air mengalir selama 15 menit. Kemudian diinkubasi dalam eosin selama 2 menit.

Preparat didehidrasi dalam alcohol dengan konsentrasi 96%, 96%, 100%, dan 100%, masing-masing selama 3 menit, lalu diinkubasi dalam xylol selama 2x2 menit. Kemudian dilakukan proses mounting yaitu penutupan preparatd engan cover glass dimana permount digunakan sebagai perekat.

Pengambilan Data Penelitian

Selanjutnya preparathistologi diamati dari bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x per 5 lapang pandang yang berbeda dar itiap preparat. Variable yang diamati berupa kesembuhan kulit anjing dari peradangan, degenerasi, hyperplasia, nekrosis, ulser dan infestasi scabies dan demodek.

Analisis Data

Data hasil pemeriksaan mikroskopis dermatitis kompleks anjing yang diberikan terapi minyak nimba dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan pengamatan lesi secara makroskopis pada anjing penderita dermatitis kompleks dapat dibedakan adanya dua tipe lesi yaitu lesi primer meliputi eritema, scale, papula dan lesi sekunder meliputi krusta, likenifikasi, dan alopesia berat. Presentase lesi primer dan sekunder dapat disajikan pada Tabel 1.

Pada pemeriksaan mikroskopis pada sampel 1 hari ke–0 ditemukan debrisdebris sel epidermis yang sudah rusak, terjadi akantosis, ditemukan infiltrasi sel radang pada lapisan dermis, ditemukan potongan segmen Sarcoptes scabiei sp. pada lapisan dermis. Pada hari ke – 7 ketebalan lapisan epidermis berkurang, dan terjadi pengurangan jumlah infiltrasi sel radang. Pada hari ke-15 ketebalan lapisan epidermis berkurang, infiltrasi sel radang pada lapisan dermis sudah sangat berkurang.

Pemeriksaan mikroskopis sampel 2 pada hari ke- 0 ditemukan debris-debris sel

epidermis yang telah rusak, hiperkeratosis, akantosis, ditemukan infiltrasi sel radang dan ditemukan segmen Sarcoptes scabiei. Pada hari ke- 7 akantosis pada lapisan epidermis mulai berkurang, dan infiltrasi sel radang mulai berkurang. Dan pada hari ke- 15 akantosis pada lapisan epidermis mulai berkurang, tidak ditemukan kembali infiltasi sel radang, dan tidak ditemukan parasit. Pemeriksaan mikroskopis sampel 3 pada hari ke - 0 ditemukan kerusakan pada lapisan epidermis,     hiperkeratosis,

ditemukan parasit Demodex sp., akantosis, dan ditemukan banyak infiltrasi sel radang. Pada hari ke- 7 akantosis pada lapisan epidermis mulai berkurang, hiperkeratosis, infiltrasi sel radang mulai berkurang, segmen parasit mulai berkurang. Dan pada hari ke –  15 akantosis pada lapisan

epidermis berkurang, tidak ditemukannya infiltrasi sel radang dan segmen parasit

ditunjukan pda Tabel 3. Kejadian dermatitis kompleks dominan terjadi pada anjing ras lokal, umur muda (0-2 tahun), tipe rambut panjang dan kelamin jantan maupun betina.

Dermatitis kompleks merupakan peradangan kulit pada lapisan epidermis dan dermis sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, dengan kelainan klinis berupa floresensi polimorfik seperti eritema, edema, papula, vesikula, skuama, likenifikasi dan keluhan gatal (Djuanda, 2010). Dermatitis kompleks adalah dermatitis yang disebabkan oleh berbagai macam agen seperti jamur, ektoparasit, bakteri dan penyakit bawaan yang terjadi secara bersamaan sehingga tanda klinis yang ditunjukkan berupa gabungan klinis dari lesi primer dan lesi sekunder (Widyastuti et al., 2012; Tjahajati, 2013).

A


B


Gambar 1. A. Sampel 1. Anjing penderita dermatitis kompleks. Tanda klinis berupa eritema, alopesia, scale, likenifikasi dan papula. B. Sampel 2. Anjing penderita dermatitis kompleks.

Tanda klinis berupa alopesia, crusta, papula, likenifikasi dan ulser (Sumber: Dokumentasi pribadi).

Tabel 1. Tanda klinis dermatitis kompleks

Lesi

Presentase

(x/Jumlah sampel)

Primer

Eritrema Scale

Papula

100 % (4/4) 75% (3/4) 50 % (2/4)

Sekunder

Alopesia

Likenifikasi

Krusta

100% (4/4)

50% (2/4)

50% (2/4)

Tabel 2. Kejadian dermatitis kompleks pada empat ekor anjing

Variabel

Jumlah sampel

Presentase

*Kelompok umur

Jenis rambut

Jenis kelamin

Ras anjing

0-2 tahun (muda) 2,1- 10 tahun (tua) Rambut pendek Rambut panjang Jantan Betina Lokal Mix

3 1

3 1

2 2

3 1

75%

25%

75%

25%

50%

50%

75%

25%

*pengelompokan umur berdasarkan Ali et al., (2011)

Tabel 3. Gambaran histopatologi kulit anjing yang diterapi ekstrak mimba

Histopatologi

Hari ke-

0

7

15

Sampel 1

Tebal epidermis: 213,558 µm, Ditemukan debrisdebris sel epidermis yang sudah rusak, terjadi akantosis, ditemukan infiltrasi sel radang pada lapisan dermis, ditemukan potongan segmen Sarcoptes scabiei sp. di lapisan dermis.

Tebal epidermis: 116,685 µm, Ketebalan lapisan epidermis berkurang, dan terjadi pengurangan jumlah infiltrasi sel radang.

Tebal epidermis: 36,554 µm, Ketebalan lapisan epidermis berkurang, infiltrasi sel radang di lapisan dermis sudah sangat berkurang.

Sampel 2

Tebal epidermis: 201, 034 µm, Ditemukan debrisdebris sel epidermis yang telah rusak, hiperkeratosis, akantosis, ditemukan infiltrasi sel radang dan ditemukan segmen Sarcoptes scabiei.

Tebal epidermis: 67, 563µm, Akantosis pada lapisan epidermis mulai berkurang, dan infiltrasi sel radang mulai berkurang.

Tebal epidermis: 62,195µm, Akantosis pada lapisan epidermis mulai berkurang, tidak ditemukan kembali infiltasi sel radang, dan tidak ditemukan parasit.

Sampel 3

Tebal epidermis: 265,268 µm,        Ditemukan

kerusakan pada lapisan epidermis, hiperkeratosis, ditemukan       parasit

demodex sp., akantosis, dan ditemukan banyak infiltrasi sel radang

Tebal      epidermis:

156,706        µm,

Akantosis      pada

lapisan     epidermis

mulai     berkurang,

hiperkeratosis, infiltrasi sel radang mulai     berkurang,

segmen parasit mulai berkurang.

Tebal epidermis: 48 µm,     Ditemukan

hiperkeratosis, akantosis       pada

lapisan    epidermis

berkurang,     tidak

ditemukannya infiltrasi sel radang dan segmen parasit.

A


B


Gambar 2. A. Hasil Histopatologi Sampel kontrol positif (H.E. 100x). Menunjukkan ada infiltarsi sel-sel radang (A1) dan beberapa segmen parasit (A2). B. Hasil Histopatologi Sampel kontrol positif (H.E. 100x). Menunjukkan ada infiltarsi sel-sel radang neutrofil dan basofil (B3).

Gambar 3. A. Hasil Histopatologi Sampel 1 Hari ke-0 (H.E. 100x). Menunjukkan ada debris-debris sel (A1), ditemukan infiltasi sel radang (A2), terjadi akantosis pada epidermis (A3). B. Hasil Histopatologi Sampel 1 Hari ke-0 (H.E. 100x). Menunjukkan ada segmen parasit (B1).


Gambar 4. A. Hasil Histopatologi Sampel 1 Hari ke-7 (H.E. 100x). Ketebalan akantosis dari epidermis mulai berkurang (A1), stratum korneum sudah mulai terbentuk (A2), infiltrasi sel radang mengalami penurunan (A3), masih ditemukan segmen parasit (A4). B. Hasil Histopatologi Sampel 1 Hari ke-15 (H.E. 100x). Menunjukkan stratum korneum mulai terbentuk, ketebalan epidermis kembali ke ukuran normal (B1) dan infiltrasi sel radang yang sudah berkurang.




Gambar 5. A. Hasil Histopatologi Sampel 2 Hari ke-0 (H.E. 100x). Terjadi akantosis pada lapisan epidermis (A1) dan potongan segmen parasit (A2). B. Hasil Histopatologi Sampel 2 Hari ke-0 (H.E. 400x). Ditemukan infiltasi sel radang pada lapisan dermis (B).



Gambar 6. A. Hasil Histopatologi Sampel 2 Hari ke-7 (H.E. 100x). Ketebalan akantosis mulai berkurang (A1) dan infiltrasi sel radang mulai berkurang (A2). B. Hasil Histopatologi Sampel 1

Hari ke-15 (H.E. 100x). Ketebalan epidermis kembali ke ukuran normal (B1) dan infiltrasi sel radang sudah berkurang (B2).



A                                B

Gambar 7. A. Hasil Histopatologi Sampel 3 Hari ke-0 (H.E. 100x). Menunjukkan ada debris-debris jaringan (A1) dan beberapa segmen parasit (A2). B. Hasil Histopatologi Sampel 3 Hari ke-0 (H.E.

400x). Menunjukkan ada infiltrasi sel radang yang begitu banyak disertai pendarahan.



Gambar 8. A. Hasil Histopatologi Sampel 3 Hari ke-0 (H.E. 100x). Ditemukan adanya debrisdebris sel epidermis yang mengalami kerusakan (A1), Ditemukan adanya akantosis pada epidermis (A2). B. Hasil Histopatologi Sampel 3 Hari ke- 7 (H.E. 100x). Akantosis mulai berkurang (B1) dan infiltrasi sel radang yang mulai berkurang (B2).

Gambar 9. A. Hasil Histopatologi Sampel 3 Hari ke- 15 (H.E. 100x). Akantosis mulai berkurang serta ketebalan epidermis kembali normal (A1), infiltrasi sel radang mulai berkurang (A2) dan tidak ditemukan segmen parasit.

Gambar 10. Stratum korneum rapi dan rapat, tidak adanya infiltrasi sel radang, tidak ditemukannya segmen parasit, dan tidak adanya hiperplasia epidermal yakni akantosis maupun hiperkeratosis.


Pembahasan

Berdasarkan     hasil     gambaran

histopatologi anjing dermatitis (kontrol positif) (Gambar 1) ditandai adanya infiltrasi sel radang berupa sel basofil, netrofil, terjadinya hemorrhagi, dan adanya sejumlah segmen Demodex canis. Infeksi parasit menunjukkan tanda klinis krusta. Krusta terjadi karena lemahnya reaksi hipersensitivitas dalam menghadapi infestasi tungau. Infestasi tungau mengakibatkan meningkatnya pembelahan sel keratinosit pada stratum basal yang

mengakibatkan kulit menjadi pecah-pecah dan terbentuk fissura serta crusta yang tebal (Malik et al., 2006).

Anjing sampel 1 (Gambar 3) pada hari ke – 0 menunjukkan adanya akantosis dengan ketebalan 213,558µm pada lapisan epidermis, erosi pada stratum korneum, adanya infiltrasi sel radang neutrofil dan basofil, dan ada segmen Sarcoptes scabiei sp. di lapisan epidermis yang menyebabkan ulser pada epidermis. Infeksi kronis dari agen penyakit seperti Sarcoptes scabiei dapat menyebabkan hiperplasia epidermal

yakni hiperkeratosis, akantosis. Lesi dari temuan patologi anatomi yang diamati secara maksroskopis yaitu terdapat alopesia, likenifikasi, krusta, dan scale.

Sampel 2 (Gambar 5) menunjukkan adanya debrisdebris, terjadinya erosi pada strarum korneum, adanya akantosis dan adanya infiltrasi sel radang neutrofil dan basofil, serta adanya segmen Sarcoptes scabiei sp. pada epidermis. Lesi yang ditemukan pada sampel 2 dilihat secara makroskopis menunjukkan adanya alopesia, krusta, lichenifikasi, ulser dan scale. Sampel 3 (Gambar 7) menunjukkan kerusakan pada lapisan epidermis sampai ke dermis (ulser), terdapat parasit demodex sp. (menunjukkan potongan longitudinal) pada lapisan dermis, ketebalan epidermis 265,268 µm (akantosis), terdapat banyak infiltrasi sel radang neutrofil dan basofil serta tidak adanya stratum korneum atau terjadi erosi pada stratum korneum. Lesi yang ditemukan pada sampel 2 dilihat secara makroskopis menunjukkan adanya alopesia, krusta, lichenifikasi, ulser, nodul dan scale.

Proses penyembuhan luka merupakan rangkaian peristiwa kompleks yang dimulai dengan cedera/luka dan dapat berlangsung dalam waktu pendek sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun tergantung pada tipe luka dan organ atau jaringan yang luka (Regan dan Barbul, 1994). Seluruh proses yang dinamis, dapat dibagi menjadi tiga fase yakni fase inflamasi, fase proliferatif dan fase remodeling (Singer dan Clark, 1999).

Proses kesembuhan dalam penelitian secara mikroskopis dapat dilihat pada hari ke-7 hingga ke-15 dari masing-masing sampel. Hasil yang diamati pada hari ke- 15 sudah mendekati sampel kontrol negatif. Hal ini teramati dari mulai hilangnya infiltrasi sel radang, tidak ditemukannya segmen parasit Demodex sp. dan Sarcoptes spp., penebalan akantosis berkurang, dan terbentuknya stratum korneum. Akantosis bagian dari proses kesembuhan pada fase inflamasi. Secara mikroskopis akantosis terjadi akibat adanya proses inflamasi pada

perubahan kesembuhan dermatitis kompleks yang menyebabkan vasodilatasi dari kapiler-kapiler di daerah radang sehingga adanya rongga antar endotel. Selain munculnya sel radang, cairan plasma juga merembes dari saluran tersebut dan terakumulasi pada jaringan interstitium di daerah radang dan seringkali menyebabkan edema pada jaringan (Berata et al., 2015). Ditemukannya sel radang ini merupakan respon terhadap jaringan yang terkena agen penyakit dan merupakan bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh serta merupakan proses penting dari kesembuhan (Dealey, 1994). Secara makroskopis pada hari ke – 7 hingga hari ke -15 dari masing-masing sampel, hasil yang diamati lesi atau patologi anatomi yang meliputi alopesia, krusta, lichenifikasi, ulser, nodul dan scale mulai mengalami pengurangan dan pada hari ke- 15 bagian tubuh sampel yang mengalami dermatitis kompleks sudah mendekati bagian tubuh anjing sehat.

Sel radang yang berkurang merupakan respon dari pemberian minyak ekstrak daun mimba (Azadiractha indica), secara topikal. Salah satu yang berpengaruh adalah flavonoid. Flavonoid merupakan kandungan dari daun mimba senyawa kimia dan senyawa aktif yang berpengaruh dalam mempercepat penyembuhan luka (Biswas et al., 2002 dan Depkes RI, 2013). Flavonoid seperti quercetin dan rutin berfungsi sebagai antioksidan melawan radikal bebas seperti nitrite oxide. Flavonoid memberikan efek proteksi terhadap reperfusi pada jaringan yang rusak akibat iskemik. Selain itu, dapat memodulasi respon imun dan memiliki aktivitas antiinflamasi (Rai, 2007), hal inilah yang menyebabkan sel radang semakin berkurang jika dibandingkan dengan gambaran histopatologi hari ke-0 pada masing-masing sampel.

Pada hari ke-15 sampel ini menggambarkan perubahan kesembuhan lagi yang dapat teramati dari ketebalan epidermis dan stratum korneum yang sudah berkurang ketebalannya, dan tidak teramati adanya segmen parasit. pada jaringan.

Penebalan epidermis merupakan salah satu ciri dari proses kesembuhan, yaitu fase maturasi. Pada fase maturasi, awalnya akan terbentuk matriks ekstraseluler yang kaya akan fibronektin. Jaringan ini penting dalam hal proses migrasi dan pertumbuhan dari sel-sel epitel, serta sekaligus merupakan tempat dari deposisi kolagen oleh fibroblast. Lambat laun kolagen mendominasi dari isi matriks yang kemudian membentuk ikatan-ikatan fibril dan secara perlahan-lahan membentuk jaringan baru yang semakin tebal dan kuat sehingga menyebabkan epidermis menebal. Semakin menipisnya lapisan epidermis dan stratum korneum merupakan proses pebaikan atau kesembuhan. Menurut Monteiro-Riviere et al. (1990) tebal lapisan epidermis anjing sehat adalah 21,16µm ± 2,55µm. Dapat dikatakan bahwa semakin menipisnya lapisan epidermis dan stratum korneum merupakan proses kesembuhan sehingga ketebalan lapisan epidermis dan stratum korneum memiliki angka yang semakin kecil walaupun belum termasuk kedalam standar normal tebal lapisan epidermis dan stratum korneum menurut Monteiro-Riviere.

Faktor-faktor terjadinya dermatitis kompleks yang teramati adalah faktor lingkungan, nutrisi, stress, faktor genetik dan sistem imun. Pada sistem pemeliharaan yang diliarkan asupan nutrisi yang didapat anjing tidak sesuai, hal itu berakibat sistem imun mengalami penurunan sehingga agen sangat mudah menginfeksi (Gede et al., 1990). Perubahan histopatologi yang lambat setelah diberi perlakuan ekstrak herbal dapat terjadi akibat faktor-faktor tersebut. Semua sampel menunjukkan perubahan kesembuhan setelah perlakuan, contohnya sel radang yang berkurang, besar dipengaruhi oleh kandungan dari ekstrak minyak daun mimba tersebut. Salah satu yang berpengaruh yaitu kandungan flavonoid. Daun mimba mengandung flavonoid, berupa senyawa kimia dan senyawa aktif yang berpengaruh dalam kesembuhan luka (Biswas et al., 2002), berfungsi sebagai desinfektan dan

antiseptik (Takahasi et al., 2006) serta flavonoid memberikan efek proteksi terhadap reperfusi pada jaringan yang rusak akibat iskemik. Hal ini lah yang menyebabkan sel radang semakin berkurang. Ekstrak daun mimba juga dilaporkan sebagai antibakteri dan dapat mempercepat penyembuhan luka dalam penelitian Ramadhani (2017). Adanya kandungan alkaloid, tannin dan Asiaticoside dari ekstrak minyak daun mimba juga berfungsi sebagai antivirus, antiparasit, meningkatkan perbaikan dan penguatan sel-sel kulit, rambut, dan jaringan ikat, meningkatkan perkembangan pembuluh darah, meningkatkan daya kompak (tensile integrity) dermis, dan meningkatkan     proses     keratinisasi

(pembentukan      keratin)      melalui

perangsangan pada lapisan luar kulit.

Berdasarkan fungsi dari minyak daun mimba ini mampu menyembuhkan dermatitis kompleks dengan kandungan yang terdapat dalam tanaman mimba yaitu berupa nimbidin, gallic acid, cylic trisulphide, cyclic tetrasulphide yang berfungsi sebagai anti inflamasi, antipiretik, hipoglikemik, antigatrik-ulser, spermisidal, antibakterial, anti fungal (Biswas et al., 2002). Sehingga minyak daun nimba ini dapat digunakan untuk pengobatan dermatitis kompleks.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap gambaran histopatologi selama 15 hari terhadap anjing penderita dermatitis kompleks yang diberi terapi minyak ekstrak daun mimba (Azadiractha indica) secara topikal, dapat disimpulkan bahwa proses kesembuhan terjadi pada anjing yang menderita dermatitis kompleks.

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan untuk menggunakan minyak ekstrak daun mimba (Azadiractha indica)

secara topikal dalam pengobatan dermatitis kompleks.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kemenristekdikti melalui Rektor Unud atas bantuan dana penelitian, dari dana DIPA PNBP FKH Universitas Udayana TA-2018, melalui hibah Penelitian Unggulan Universitas, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan     Penelitian     Nomor:

0800/UN.14.2.9/LT/2018, tanggal 5 April 2018.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyati PN, Pribadi ES. 2014. Malassezia spp dan peranannya sebagai penyebab dermatitis pada hewan peliharaan. J. Vet. 15(4): 570-581.

Batra R, Boekhout T, Guého E, Cabañes FJ., Dawson TL, Gupta AK. 2012. 68http:// www.aseanbiodiversity.info/Abstract/ 51004752.pdf [20 Januari 2017).

Biswas, Kausik, Chattopadhyay I, Banerjee RK, Bandyopadhyay U. 2002. Biological activities and medicinal properties of Nimba (Azadirachta indica). Current Sci. 82(11): 1336-1345.

Budiana NS. 2007. Anjing. Cetakan kedua.

Penebar Swadaya, Jakarta. Pp. 84- 94.

Cafarchia C, Gallo S, Romito D, Capelli G, Chermette R, Gullot J, Otranto D. 2005. Frequency, body distribution and population size of Malassezia species in healthy dogs and in dogs with localized cutaneous lesions. J. Vet. Diagn. Invest. 17: 316-322.

Indarjulianto        S,        Yanuartono,

Purnamaningsih H, Wikansari P, Sakan GYI. 2014. Isolasi dan identifikasi Microsporum canis dari anjing penderita dermatofitosis di Yogyakarta. J. Vet. 15(2): 212-216.

Kardinan A. 2011. Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal dalam pengendalian hama tanaman menuju sistem       pertanian       organik.

Pengembangan Inovasi  Pertanian.

4(4): 262-278.

Kasza BD. 2004. Malassezia infections. Mikol. Lek. 11(4): 323-327.

Kumar PS, Mishra D, Ghosh G, Panda CS.

2010. Biological action and medicinal properties of various constituent of Azadirachta indica (Meliaceae)” an Overview. Annals Biol. Res. 1(3):24-34.

Kumar PS, Navaratnam V. 2013. Nimba (Azadirachta indica): Prehistory to contemporary medicinal uses to humankind. Asian Pac. J. Trop. Biomed. 3(7): 505-514.

Pankaj S, Lokeshwar T, Mukesh B, Vishnu B. 2011. Review on neem (Azadirachta indica):  Thousand problems one

solution. Int. Res. J. Pharm. 2(12): 97102.

Sampurna IP, Nindhia TS. 2015. Bahan Ajar Biostatistika. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana; Denpasar.

Suartha IN, Suarjana IGK, Sudimartini LM.

2015. Efektivitas Kombinasi Ekstrak Daun Nimba, Daun Pegagan, dan Daun Sirsak Untuk Penanggulangan Penyakit Radang Kulit Kompleks.

Laporan     Penelitian     Unggulan

Universitas Udayana, Denpasar.

Tjitrosoepomo  G. 2000.   Taksonomi

Tumbuhan. UGM Press. Yogyakarta. Pp. 477.

Widyastuti SK, Sutaridewi NM, Utama IH. 2012. Kelainan kulit anjing jalanan pada beberapa lokasi di Bali. Bul. Vet. Udayana. 4(2): 81-86.

Wiryana IKS, Damriyasa IM, Dharmawan NS, Arnawa KAA, Dianiyanti K, Harumna D. 2014. Kejadian dermatosis yang tinggi pada anjing jalanan di Bali. J. Vet. 15(2): 217-220.

68