CASE REPORT: CANINE PARVOVIRUS INFECTION IN LOCAL DOG
on
Volume 14 No. 1: 43-49
Pebruari 2022
DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i01.p07
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Laporan Kasus: Infeksi Canine Parvovirus pada Anjing Lokal
(CASE REPORT: CANINE PARVOVIRUS INFECTION IN LOCAL DOG)
I Made Agus Miyasa Jaya1*, Putu Ayu Sisyawati Putriningsih2, I Gede Soma2
-
1Bali Animal Welfare Association, Lodtunduh, Gianyar Bali;
-
2Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Fakutas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. Sudirman, Denpasar, Bali.
*Email: [email protected]
Abstrak
Canine Parvovirus (CPV) adalah penyakit infeksi virus yang menyebabkan kematian tertinggi pada bangsa anjing, terutama pada anak anjing. Terdapat dua jenis Canine Parvovirus yaitu tipe myocarditis dan enteritis. ajing diperiksa pada hari jumat, 12 Oktober 2018 bernama Sam, Anjing Lokal, jenis kelamin jantan, umur 3 bulan, berat badan 2,1 kg. Anjing berwarna coklat, putih hitam. Pemilik anjing bernama Bapak Bagus yang beralamat di jalan Piranha II Sesetan Denpasar Selatan, Bali. Anjing mengalami muntah, diare, tidak nafsu makan dan minum serta terlihat lemas. Anjing belum divaksinasi tetapi Induk anjing sudah divaksinasi lengkap dan rutin. Hasil pemeriksaan fisik yaitu suhu tubuh 39,8oC, frekuensi detak jantung 172 kali/menit, frekuensi pulsus 160 kali/menit, frekuensi nafas 32 kali/menit, Capillary Reffil Time (CRT) > 2 detik, dan mukosa mulut tampak pucat. Dari pemeriksaaan laboratorium berupa pemeriksaan feses negatif dan pemeriksaan darah lengkap menunjukkan anjing mengalami anemia mikrositik hiperkromik, leukositosis, neutropenia, limfositosis, dan Eosinopenia serta dari uji rapid test (Tes Kit Parvovirus) menunjukkan hasil positif. Penanganan yang diberikan berupa terapi dengan pemberian cairan elektrolit ringer’s lactated. Untuk pencegahan dari infeksi sekunder diberikan antibiotik dengan spektrum luas yaitu amoxicillin 20%. Penanganan untuk muntah dan diare diberikan Metoclopramide HCl serta kaolin pektin.
Kata kunci: anjing; canine parvovirus; enteritis; myocarditis
Abstract
Canine parvovirus (CPV) is an infectious viral disease that causes the highest mortality in dogs, especially puppies. There are two types of canine parvovirus, which are types of myocarditis and enteritis. ajing was examined on Friday, October 12, 2018 under the name of Sam, local dog, male, age 3 months, weight 2.1 kg. The dog is brown, black and white. The owner of the dog, Bapak Bagus, has his address at Piranha II Sesetan, in southern Denpasar, Bali. Dogs have vomiting, diarrhea, have no appetite, drink and look weak. The dogs were not vaccinated but the parent dog was completely and systematically vaccinated. The results of the physical examination were as follows: body temperature 39.8 ° C, heart rate 172 times/minute, pulse rate 160 times/minute, respiratory rate 32 times/minute, upper Capillary Refilling Time (TRC) at 2 seconds, and pale oral mucosa. Laboratory tests in the form of negative fecal examinations and complete blood tests revealed hyperchromic microcytic anemia, leukocytosis, neutropenia, lymphocytosis and eosinopenia, as well as a rapid test (Parvovirus Kit Test). The treatment administered is in the form of a Lactate Ringer electrolyte fluid therapy. For the prevention of secondary infections, a broad-spectrum antibiotic was administered, amoxicillin 20%. The treatment for vomiting and diarrhea is administered metoclopramide HCl and kaolin pectin.
Keywords: Canine parvovirus; dog; enteritis; myocarditis
PENDAHULUAN
Anjing merupakan salah satu jenis hewan kesayangan yang dikenal memiliki hubungan baik dengan manusia. Di Bali umumnya masyarakat memelihara anjing sebagai hewan kesayangan maupun sebagai penjaga rumah. Banyaknya populasi anjing di Bali menyebabkan mudah terjadinya penularan penyakit dari satu ke anjing lainnya. Salah satu penyakit yang dapat menyerang anjing yaitu Canine Parvovirus yaitu penyakit infeksi virus yang fatal dan menular yang menyebabkan kematian tertinggi pada bangsa anjing, terutama menyerang anak anjing yang berumur di bawah enam bulan (Prittie, 2004). Kejadian Canine Parvovirus setiap tahunya banyak ditemukan. Umur anjing di bawah 2 bulan dan anjing yang tidak divaksinasi beresiko lebih tinggi terinfeksi parvo (Suartha et al., 2011).
Menurut Winaya et al. (2014), menyatakan bahwa replikasi virus hanya terjadi pada sel yang aktif membelah seperti epitel intestinal dan sel miokardium. Infeksi Canine Parvovirus pada anjing terdiri dari dua tipe gejala klinis yaitu tipe miokarditis dan enteritis (Foster dan Smith, 2007). Infeksi Canine Parvovirus tipe miokarditis terjadi pada anak anjing umur di bawah 2 bulan karena sel yang sedang membelah umumnya terdapat pada hewan yang muda (Winaya et al., 2014). Sel miosit pada anjing berumur 3-4 minggu sedang aktif berkembang sehingga apabila pada umur tersebut anak anjing terinfeksi Canine Parvovirus, umumnya menyerang jantung dan berakibat kematian yang disebabkan oleh miokarditis (Winaya et al., 2014).
Infeksi Canine Parvovirus tipe enteritis lebih sering ditemukan dibandingkan dengan tipe miokarditis. Infeksi lebih sering terjadi pada anak anjing berumur di atas dua bulan (Goddard dan Leisewitz, 2010). Infeksi Canine Parvovirus tipe enteritis terjadi pada umur yang lebih tua terutama diatas 6 minggu karena pembelahan sel miosit menurun dan pembelahan sel mitotik kripta usus
meningkat,sehingga akibat infeksi ini adalah diare dan muntah lebih banyak terlihat dibanding gangguan jantung (Decaro et al., 2007). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Winaya et al. (2014) yang menyatakan bahwa parvo yang terjadi di Kota Denpasar sebagian besar menyerang anjing yang berusia muda dengan gejala klinis berupa muntah, diare yang bercampur darah, demam, tidak nafsu makan, lemas, dan diare mulai dari feses berwarna kekuningan, abu-abu dengan bau yang khas hingga berdarah berwarna kehitaman.
Transmisi penularan Canine
Parvovirus dapat terjadi melalui kontak langsung dengan anjing yang terinfeksi virus, atau makanan yang telah terkontaminasi virus. Canine Parvovirus dapat diekresikan melalui feses, air seni, air liur dan kemungkinan melalui muntah. Protein dari merupakan struktural utama yang menyusun 90% kapsid Canine Parvovirus sangat stabil pada pH 3 hingga 9 dan pada suhu 60°C selama 60 menit. Karena virus ini tidak beramplop maka virus ini relatif tahan terhadap pelarut lemak (Cavalli et al., 2008).
METODE PENELITIAN
Rekam Medik
Anjing yang diperiksa pada hari Jumat, 12 Oktober 2018 bernama Sam, anjing lokal, jenis kelamin jantan, umur 3 bulan, berat badan 2,1 kg. Anjing berwarna coklat putih hitam. Pemilik anjing ini bernama Bapak Bagus yang beralamatkan di Jln. Piranha II Sesetan Denpasar Selatan, Bali.
Anamnesa
Berdasarkan anamnesa yang telah dilakukan, anjing milik bapak Bagus berumur 3 bulan. Dipelihara dengan dilepasliarkan. Kotoran anjing dibersihkan setiap hari oleh pemiliknya. Anjing belum divaksinasi dan hanya diberikan obat cacing. Anjing menunjukkan tanda klinis sejak tiga hari yang lalu berupa muntah berwarna kecoklatan dan diare yang
bercampur darah kurang lebih 3 kali sehari. Anjing tidak nafsu makan dan minum serta terlihat lemas. Anjing pernah dibawa ke rumah sakit hewan dan diberikan terapi cairan serta observasi selama satu hari. Induk Sam sudah divaksinasi lengkap dan rutin. Pakan yang diberikan yaitu pakan jadi yang dicampur nasi. Di lingkungan tidak jauh dari tempat tinggalnya pernah terdapat anjing yang mati dengan tanda klinis yang serupa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada anjing Sam antara lain suhu tubuh 39,8oC, frekuensi detak jantung 172 kali/menit, frekuensi pulsus 160 kali/menit, frekuensi nafas 32 kali/menit, Capillary Reffill Time (CRT) > 2 detik, turgor kulit lambat dan mukosa mulut teramati kering
serta tampak pucat. Turgor yang lambat, mukosa kering serta pucat, dan tekanan pulsus yang tidak begitu terasa dapat mengindikasikan tingkat dehidrasi sebesar 7%.
Gejala dan Tanda Klinis
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, didapat gejala-gejala yang terlihat pada anjing kasus yaitu: muntah, diare berdarah, tidak nafsu makan dan minum, malas bergerak daripada biyasanya dan cenderung lemas.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan berupa pemeriksaan feses anjing dengan pemeriksaan natif. Setelah dilakukan pemeriksaan tidak ditemukan telur cacing dalam feses.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/43866-1.jpg)
Gambar 1. (A) Anjing terlihat lemas, (B) muntah, (C) diare berdarah
Pemeriksaan Hematologi
Table 1. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap pada Anjing (Sam)
No. |
Haematologi Rutin |
Hasil |
Nilai Rujukan* |
Satuan |
1. |
Hemoglobin |
9.0↓ |
12-18 |
g% |
2. |
Eritrosit |
3.14↓ |
5-8,5 |
×106/µl |
3. |
Hematokrit/PCV |
17.5↓ |
37-55 |
% |
4. |
MCV |
55,6↓ |
60-77 |
Fl |
5. |
MCH |
28.6↑ |
14-25 |
Pg |
6. |
MCHC |
51.4↑ |
32-36 |
g/dl |
7. |
Trombosit |
447 |
160-625 |
X109/L |
8. |
Leukosit |
42.8↑ |
6-17 |
×103/µl |
9. |
Neutrofil |
45↓ |
60-77 |
% |
10. |
Limfosit |
45↑ |
10-30 |
% |
11. |
Monosit |
10 |
3-10 |
% |
12. |
Eosinofil |
0↓ |
2-10 |
% |
13. |
Basofil |
- |
Jarang ditemukan |
% |
Hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan bahwa anjing bernama Sam mengalami anemia mikrositik hiperkromik, leukositosis, neutropenia, limfositosis, dan eosinopenia. Mean Corpuscular
Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) mengalami kenaikan sedangkan
hemoglobin mengalami penurunan, ini kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi pasien yang mengalami dehidrasi yang menyebabnkan darah menjadi pekat dan capsula terlihat menumpuk.
Pemeriksaan Canine Parvo Virus
Pemeriksaan dilakukan dengan menggambil sampel dari swab anus menunjukkan hasil positif anjing terkena infeksi Parvovirus, dengan munculnya dua garis warna “T” dan “C” pada membran.
r
Gambar 2. Hasil Test Kit Canine Parvovirus menunjukkan hasil positif yang terlihat dari munculnya tanda garis pada kontrol (C) dan test (T).
Diagnosis
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan test kit CPV, dan pemeriksaan darah lengkap, anjing Sam didiagnosa parvo.
Prognosis
Prognosa untuk anjing Sam adalah dubius ini dikarenakan anjing kemungkinan bisa sembuh karena mendapat penanganan yang dini serta terapi yang tepat dan riwayat vaksinasi induk yang telah divaksinasi lengkap yang dapat membantu pasien bertahan dan sembuh dari parvo.
Tidak menutup kemungkinan juga anjing mengalami kematian, ini dikarenakan daya tahan tubuh yang lemah serta kondisi anjing yang semakin drop dan tidak dapat menyerap terapi yang diberikan dengan optimal.
Penanganan
Penyakit yang disebabkan oleh virus pengobatannya hanya bersifat simptomatis dan suportif karena belum ada penanganan secara spesifik untuk menghilangkan virusnya seperti obat antiviral. Penanganan suportif dilakukan untuk membantu menjaga kondisi umum anjing. Terapi dengan pemberian cairan elektrolit berupa ringer’s lactated. Transfer factor diberikan ½ tab/hari selama 6 hari. Untuk pencegahan dari infeksi sekunder diberikan antibiotik dengan spektrum luas yaitu amoxicillin 20% injeksi secara intravena dengan dosis 5-25 mg/kg diberikan 0,2 mL dua kali sehari selama 5 hari. Penanganan untuk muntah dan diare diberikan Metoclopramide HCl injeksi intravena dengan dosis 0,5-1 mg/kg maka diberikan 0,4 mL dua kali sehari selama anjing mengalami muntah, serta Kaolin Pektin sirup dengan dosis 1-2 mL/kg dan diberikan 1 mL melalui oral tiga kali sehari selama 7 hari.
Pembahasan
Parvo adalah infeksi virus yang disebabkan oleh Canine Parvovirus genus Protoparvovirus dalam family
Parvoviridae. Virus memiliki spherical capsid dan merupakan virus tidak beramplop dengan diameter 25 nm. Genom virus terdiri dari linear dan single stranded (SS) molekul DNA (Torre et al., 2018). Pada siklus hidup CPV, anjing merupakan salah satu hospes definitif. Sampai saat parvo ditularkan secara alami melalui kontak langsung dengan anjing terinfeksi atau melalui makanan yang telah terkontaminasi virus. Virus dapat dieksresikan melalui feses, air seni, air liur dan kemungkinan melalui muntah. Anjing dapat terinfeksi melalui transmisi rute
fecal-oral, yaitu 2 hari setelah termakan, virus berplikasi di dalam orofaring dan jaringan limfoid di sekitarnya. Viremia kemudian terjadi pada hari ketiga hingga hari kelima pasca infeksi. Canine Parvivirus menyerang sel-sel yang aktif membelah. Sel-sel yang terpengaruh pada anak anjing yakni jaringan limfoid, epitel usus, sumsum tulang dan jantung. Miokarditis hanya terjadi jika fetus terpengaruh selama periode proliferasi sel miokardium (pertama di dalam rahim dan selesai dalam 2 minggu pertama kehidupan). Bentuk infeksi CPV seperti ini jarang terjadi karena kekebalan dan perlindungan antibodi yang dimiliki induk (Prittie, 2004).
Kasus infeksi CPV lebih banyak terjadi pada hewan muda. Anjing berumur 3–4 minggu, sel miosit pada jantung sedang aktif berkembang sehingga apabila pada umur tersebut anak anjing terinfeksi virus CPV, umumnya menyerang jantung berakibat kematian mendadak yang disebabkan oleh miokarditis. Sedangkan apabila infeksi CPV terjadi pada umur yang lebih tua, derajat pembelahan sel miosit mulai menurun tetapi derajat pembelahan sel mitotik pada kripta usus meningkat, terutama pada umur lebih dari 6 minggu. Infeksi epitel usus pertama kali terlihat 4 hari setelah inokulasi dan virus pada faeses dapat ditemukan, sehingga akibat infeksi ini diare dan muntah lebih banyak terlihat dibanding gangguan jantung dan tipe ini sering disebut tipe enteritis (Decaro et al., 2007). Canine Parvovirus menyerang sel-sel epitel usus yang mengakibatkan pemendekan vili-vili usus. Reruntuhan – reruntuhan sel yang mati akan bercampur darah akan dikeluarkan bersama feses sehingga menghasilkan bau yang khas atau busuk (Sendow, 2003). Anjing kehilangan banyak cairan dan protein akibat kerusakan sel epitel saluran pencernaan. Hal ini memicu terjadinya dehidrasi dan shock hypovolemic (Prittie, 2004). Kerusakan sel epitel usus halus meningkatkan risiko translokasi bakteri ke pembuluh darah sehingga terjadi septikemia. Septikemia
dan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian anjing yang terinfeksi CPV.
Sam mengalami muntah dan diare berdarah, menjadi malas bergerak dari pada biasanya juga tidak nafsu makan maupun minum. Menurut Legendre (2005) bahwa gejala yang paling awal terlihat pada infeksi CPV adalah depresi, menurunnya nafsu makan dan demam, lalu diikuti dengan muntah dan diare bercampur darah pada satuatau dua hari kemudian. Untuk diagnosis CPV, didasarkan pada riwayat dan hasil pemeriksaan fisik, seperti mukosa yang tampak pucat dan limfonodus popliteal sedikit teraba dan kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan test kit CPV yang menunjukkan hasil positif. Secara teori anak anjing dari induk yang telah divaksinasi lengkap dapat bertahan 1,5-3 bulan dari infeksi parvo, tetapi pada studi kasus ini anjing terinfeksi parvo. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan anjing pada kasus ini terinfeksi yaitu kondisi fisik anjing yang lemah serta sistem imun yang menurun sehingga virus mudah masuk, vaksin yang digunakan pada induk anjing berbeda dengan strain CPV yang ada di lingkungan tersebut, dan lingkungan yang terkontaminasi virus serta cuara peralihan dapat menjadi pemicu anjing terinfeksi parvo (Suartha et al., 2011).
Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan terjadinya anemia mikrositik hiperkromik. Anemia didefinisikan sebagai terjadinya penurunan dari total sel darah merah, hemoglobin atau volume padat sel darah merah (hematokrit) dari nilai normal (Bijanti et al., 2010). Anemia yang terjadi diduga diakibatkan oleh terjadinya perdarahan. Selain itu ditemukan juga leukositosis, yang biasanya merupakan indikasi dari suatu infeksi, perdarahan dan trauma (Dharmawan, 2002), ditemukan juga adanya limfositosis yang umumnya terjadi sebagai akibat dari adanya infeksi virus. Limfosit berperan dalam pertahanan humoral dengan membentuk antibodi, memproduksi enzim lipase dan protease, menyimpan dan mentransportasikan nukleo-protein untuk keperluan sel pada
daerah yang mengalami peradangan. Infeksi CPV dapat mengakibatkan terjadinya deplesi pada sumsum tulang sehingga menyebabkan terjadinya neutropenia Neutropenia disebabkan oleh penurunan jumlah neutrofil yang terjadi karena penggunaan neutrofil dalam jaringan ketika proses fagositosis (Bijanti et al., 2010), sedangkan eusinopenia diakibatkan oleh peradangan akut (Bijanti et al., 2010). Pada pemeriksaan feses secara makroskopis menunjukkan konsistensi feses yang encer bercampur darah dan berbau anyir atau busuk, sedangkan pada pemeriksaan mikroskopis tidak ditemukan adanya telur cacing.
Hewan kasus diterapi dengan pengobatan supportif seperti pemberian terapi cairan. Kehilangan cairan dan protein menyebabkan dehidrasi dan hypovolemic shock, sehingga terapi yang bisa diberikan berupa cairan elektrolit ringer’s lactated. Terapi cairan untuk dehidrasi sebanyak 140 mL/hari dilihat dari tingkat dehidrasi 7%, untuk terapi on going losses diperkirakan persekali muntah 15 mL dan sekali diare 5 mL sehingga mendapat 60 mL/hari, dan untuk maintenance dibutuhkan sebanyak 100 mL/hari sesuai berat badan anjing. Jadi total terapi cairan perhari sebnyak 300 mL/hari dan kondisi anjing akan terus dikontrol untuk pemberian terapi cairan selanjutnya.
Transfer factor dengan dosis obat diberikan ½ tab/hari untuk meningkatkan sistem imun dari anjing tersebut dan diberikan selama 6 hari. Hewan kasus diberikan metoklopramid HCl secara intravena dengan dosis 0,5-1 mg/kg maka diberikan 0,4 mL dua kali sehari. Metoklopramid diberikan untuk anjing yang mengalami muntah kronis, dengan tujuan untuk mengurangi kehilangan cairan pada pasien dan menciptakan rasa nyaman. Mekanisme yang pasti dari sifat antiemetik/antimuntah metoklopramida belum jelas, tetapi mempengaruhi secara langsung CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone) medula yaitu dengan menghambat
reseptor dopamin pada CTZ.
Metoklopramida meningkatkan ambang rangsang CTZ dan menurunkan sensitivitas saraf visceral yang membawa impuls saraf aferen dari gastrointestinal ke pusat muntah pada formatio reticularis lateralis.
Melihat dari berat badan anjing kasus 2,1 kg dengan dosis 1-2 mL/kg dan intensitas muntah, anjing diberikan 1 mL dan dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali sehari dengan waktu tujuh hari pemberian. Antibiotik diberikan untuk mengeliminasi infeksi sekunder akibat bakteri dan untuk menghindari terjadinya septisemia. Untuk pencegahan dari infeksi sekunder maka diberikan antibiotik dengan spektrum luas yaitu amoxicillin 20%. Obat diberikan secara intravena dengan dosis 5-25 mg/kg anjing diberikan 0,2 mL dan dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali sehari dengan waktu lima hari pemberian. Penanganan untuk muntah dan diare diberikan Metoclopramide HCl secara intravena dengan dosis 0,5-1 mg/kg maka diberikan 0,4 mL dua kali sehari selama anjing mengalami muntah. Sebagai absorban terhadap endotoksin serta perlindungan mukosa usus, maka hewan kasus diberikan obat Kaolin Pektin dengan dosis 1-2 mL/kg, anjing diberikan 1 mL per oral dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali sehari dengan waktu tujuh hari pemberian.
Evalusi kesembuhan pada hewan kasus terlihat dari hari pertama hingga ke tiga adanya perkembangan berupa penurunan tingkat dehidrasi dan anjing tidak mengalami muntah.hari keempat nafsu makan sudah kembali. Pada hari kelima sampai ketujuh anjing sudah mulai normal, terlihat dari kondisi fisik yang sudah meningkat serta nafsu makan dan minum sudah normal.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan anamnesa, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan, anjing lokal bernama Sam didiagnosa parvo.
Saran
Karena tidak ada obat yang spesifik terhadap virus disarankan untuk vaksinasi lengkap dan memperhatikan kebersihan lingkungan untuk mencegah infeksi CPV.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan FKH Unud, dan semua pihak yang turut membantu dalam proses penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Battilani M, Scagliarini A, Tisato E, Turilli C, Jacoboni I, Casadio R, Prosperi S. 2001. Analysis of canine parvovirus sequences from wolves and dogs isolated in Italy. J. Gen. Virol. 82(Pt 7): 1555-1560
Bijanti R, Yuliani MGA, Wahyuni RS, Utomo BR. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.
Decaro N, Desario C, Addie DD, Martella V, Vieira MJ, Elia G, Zicola A, Davis TG, Thiry’s C, Truyen U, Buonavoglia G. 2007. Molecular Epidemiology of Canine Parvovirus. University of Leipzig, Gemany.
Dharmawan NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner; Hematologi Klinik. Universitas Udayana Press. Denpasar.
Foster S. 2007. Parvovirus: Serious diarrhea in puppies and dogs. Pet Education.
Goddard A, Leisewitz AL. 2010. Canine parvovirus. Vet. Clin. North. Am. Small Anim. Pract. 40(6): 1041-1053.
Prittie J. 2004. Canine parvoviral enteritis: A review of diagnosis, management and prevention. J. Vet. Emerg. Crit. Care. 14(3): 167-176.
Sendow I, Syafriati T. 2004.
Seroepidemiologi Infeksi Canine Parvovirus pada Anjing. JITV. 9(3): 181-190.
Suartha IK, Mustikawati D, Erawan IGMK, Widyastuti SK. 2011. Prevalensi
penyakit parvo pada anjing di
Denpasar. J. Vet. 12(3): 235-240.
Torre DDL, Mafla E, Puga B, Erazo L, Ferreira CA, Ferreira AP, 2018. Molecular characterization of canine parvovirus variants (CPV-2a, CPV-2b, CPV-2c) based on the VP2 gene in affected domestic dogs in Ecuador. Vet. World. 11(4): 480-487.
Winaya IBO, Berata IK, Adi AAAM, Kardena IM. 2014. Aspek patologis infeksi parvovirus pada anak anjing di Kota Denpasar. J. Kedokteran Hewan. 8(2): 85-89.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/43866-3.jpg)
![](https://jurnal.harianregional.com/media/43866-4.jpg)
Gambar 2. Kondisi fisik anjing sudah mulai membaik serta nafsu makan dan minum sudah meningkat.
49
Discussion and feedback