THE DIFFERENTIAL AGRANULOSIT OF BALI CATTLE BASED ON ORGANIC MAINTENANCE
on
Volume 14 No. 1: 1-8
Pebruari 2022
DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i01.p01
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Diferensial Sel Darah Putih Agranulosit pada Sapi Bali dengan Pemeliharaan Berbasis Organik
(THE DIFFERENTIAL AGRANULOSIT OF BALI CATTLE WITH ORGANIC BASED MAINTENANCE)
Ni Kadek Rahayu Swari1*, Ni Ketut Suwiti2
-
1Mahasiswa Program Studi Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali;
-
2Laboratorium Histologi Veteriner, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali.
*Email: [email protected]
Abstrak
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui diferensial sel limfosit dan monosit sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik. Sistem pemeliharaan berbasis organik adalah manajemen pemberian pakan berupa leguminosa dan rumput yang berasal dari lingkungan dan tidak menggunakan pestisida atau zat kimia lain dalam pertumbuhannya. Perawatan kesehatan dilakukan dengan pemberian obat - obatan herbal yang berasal dari lingkungan. Sampel dari 10 ekor sapi bali diambil melalui vena jugularis dan dibuat preparat ulas darah serta diwarnai dengan Harris Hematoxsilin-Eosin. Pengambilan data dilakukan dengan menghitung sel limfosit dan monosit dengan metode cross-sectional yang diperiksa menggunakan mikroskop binokuler pembesaran 100X. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan rerata persentase limfosit yang diperoleh adalah 55,2% dan monosit adalah 7,8%. Nilai tersebut masih dalam nilai normal limfosit dan monosit sapi.
Kata kunci: Agranulosit; limfosit; monosit; organik; sapi bali.
Abstract
Research has been done to find out the differential of cells lymphocyte and monocytes of bali cattle with organic based maintenance. An organic based maintenance system is the management of feeding in the form of leguminous and grass derived from the environment and does not use pesticides or other chemicals in its growth. Health care is done by giving herbal medicines from the environment. Samples from 10 bali cattle were taken through a jugular vein and were made of blood vessel preparations and stained with Harris Hematoxsilin-Eosin. The data were collected by calculating lymphocyte and monocyte cells by cross-sectional method which was examined using binoculars 100X magnification microscope. The results showed, the average percentage of lymphocytes obtained was 55.2% and monocytes were 7.8%. The value is still in the normal value of lymphocytes and monocytes in cattle.
Keywords: Agranulocyte; Bali cattle; lymphocytes; monocytes; organic.
PENDAHULUAN
Sapi bali merupakan sumber daya genetik asli Indonesia sebagai ternak kerja dan ternak potong, keberadaannya sangat penting bagi masyarakat di Bali (Utama et al., 2013; Besung et al., 2019). Selain itu, sapi bali menjadi sumber pendapatan, digunakan dalam rangkaian upacara adat, sarana transportasi, hiburan dan objek pariwisata (Pujiastari et al., 2015). Keunggulan sapi bali mempunyai performans dengan adaptasi yang baik terhadap pengaruh lingkungan panas dan toleran terhadap lingkungan dingin serta sangat efisien dalam penggunaan pakan dengan kualitas rendah (Siswanto et al., 2013; Berata et al., 2021). Pakan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi bali. Keberhasilan produksi ternak dalam usaha ternak sapi bali sebagai sapi potong tidak bisa dipisahkan dengan peranan pakan. Jenis pakan hijauan sangat penting karena merupakan pakan utama ternak ruminansia. Hijauan dapat diberikan sebanyak 70% dari total pakan pada ternak ruminansia (Nitis et al., 1992).
Sistem pemeliharaan sapi bali berbasis organik dilakukan dengan manajemen pemberian pakan dengan perawatan kesehatan. Pemberian pakan hijauan pada pemeliharaan berbasis organik seperti rumput, berasal dari perkebunan organik yang bebas dari penambahan pestisida/bahan kimia lainnya pada partumbuhan. Manajemen perawatan kesehatan dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan sapi agar terhindar dari masalah kesehatan selama masa pertumbuhan. Perawatan kesehatan menggunakan obat herbal yang diperoleh dari lingkungan. Keadaan tersebut mungkin mengakibatkan gangguan sistem pertahanan tubuh. Indikatornya dengan melihat diferesial sel darah. Pengamatan diferensial sel darah, salah satunya adalah sel darah putih agranulosit yakni limfosit dan monosit dilakukan untuk mengetahui status kesehatan sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik. Presentase
tersebut akan dibandingkan dengan keadaan normal sel darah putih agranulosit pada sapi yaitu limfosit 45-75% dan monosit 2-7% (Andung et al., 2018). Oleh karena itu, hasil dari pengamatan diferensial sel darah putih agranulosit ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam pengembangan peternakan berbasis organik yang lebih baik ke depannya.
METODE PENELITIAN
Obhek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel berupa preparat ulas darah sapi bali. Sampel darah sapi bali diambil dari 10 ekor sapi dengan pemeliharaan berbasis organik pada peternakan milik I Wayan Kantra, Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Pengambilan data dilakukan dengan menghitung sel limfosit dan monosit yang diperiksa menggunakan mikroskop binokuler pembesaran 100X dengan metode cross-sectional (Andung et al., 2018). Metode ini dilakukan dengan menghitung dari tepi bidang preparat menuju ke tepi yang berlawanan dan dilanjutkan dengan cara yang sama hingga mencapai perhitungan 100 sel leukosit.
Pembuatan Apusan Darah
Sampel didapatkan melalui pengambilan darah sapi bali melalui vena jugularis menggunakan venoject. Sampel darah tersebut kemudian dibuat apusan darah. Pembuatan sampel apusan darah dan fiksasi menggunakan methanol absolute langsung di lahan tempat pemeliharaan sapi. Apusan darah dibuat dengan menggunakan metode slide. Darah diteteskan ke salah satu ujung objek gelas. Objek gelas sebagai penghapus diletakkan dekat tetesan darah membentuk sudut 30 -45 derajat. Selanjutnya, gelas penghapus digeser ke arah tetesan darah sehingga darah akan tersebar ke seluruh permukaan
gelas penghapus. Gelas penghapus digeser berlawanan dengan arah geseran sebelumnya, sehingga akan didapatkan apusan darah yang tipis dan merata. Hapusan darah dikeringkan dan selanjutnya untuk proses fiksasi, hapusan darah dimasukkan ke coplin jar yang telah diisi dengan methanol absolute selama 3 menit (Putra et al., 2016).
Pewarnaan Harris Hematoxsilin-Eosin
Pewarnaan apusan darah dilakukan menggunakan pewarnaan Harris Hematoxsilin-Eosin (Suwiti et al., 2010). Apusan darah yang telah difiksasi direndam dalam xylol I, II dan III dengan waktu masing – masing sekitar 5 menit. Selanjutnya direndam dalam alkohol absolut I dan II dengan waktu masing – masing 5 menit, kemudian di rendam aquades selama 1 menit. Langkah selanjutnya rendam ke dalam Harris Hematoxsilin selama 15 menit, kemudian direndam dalam aquades selama 1 menit dan 15 menit. Setelah itu, rendam dalam eosin selama 2 menit, kemudian rendam dalam alkohol 96% I dan II masing – masing selama 3 menit. Selanjutnya rendam ke dalam alkohol absolut III dan IV masing – masing dengan waktu 3 menit dan kemudian dibilas dengan xylol I dan II masing – masing selama 5 menit. Langkah
selanjutnya adalah perekatan dengan menggunakan kanada balsam yang mengandung entellan sebagai perekat (mounting).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil dari perhitungan persentase sel darah putih agranulosit yakni limfosit dan monosit sapi bali yang dipelihara berbasis organik pada peternakan Bapak I Wayan Kantra, di Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Jumlah limfosit dan monosit yang diamati dihitung per 100 sel leukosit, disajikan pada Tabel 1.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan rerata persentase limfosit pada sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik yakni sebesar 55,2% dan monosit sebesar 7,8%. Tabel 1 menunjukkan persentase limfosit tertinggi terlihat pada sampel no. 6 yaitu mencapai 71% dan menunjukkan persentase limfosit terendah terlihat pada sampel no. 3 dan no. 9 dengan nilai 40%. Sedangkan, persentase monosit menunjukkan persentase tertinggi pada sampel no. 7 dengan nilai mecapai 19% dan persentase terendah terlihat pada sampel 1 dengan nilai 4%.
Tabel 1. Fluktuasi nilai sel darah putih agranulosit per individu pada sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik.
Persentase Sel Darah Putih Agranulosit
Sampel |
Limfosit (%) |
Monosit (%) |
1 |
51 |
4 |
2 |
50 |
7 |
3 |
40 |
7 |
4 |
70 |
7 |
5 |
64 |
5 |
6 |
71 |
5 |
7 |
53 |
19 |
8 |
61 |
5 |
9 |
40 |
9 |
10 |
52 |
10 |
Total |
552 |
78 |
Rerata Persentase |
55.2 |
7.8 |
Standar Deviasi |
±11.0634 |
±4.3665 |

Gambar 1. Histologi limfosit pada sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik (HE, 100X)

Gambar 2. Histologi monosit pada sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik (HE, 100X)

■ Limfosit
■ Monosit
Gambar 3. Nilai Limfosit dan Monosit pada sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik.
Gambar 3 menunjukkan nilai limfosit tertinggi terjadi pada sampel no. 6 yaitu 71% serta terendah pada sampel no. 3 dan no. 9 yakni 40%. Sedangkan nilai monosit terlihat jelas mengalami peningkatan pada sampel no. 7 yakni mencapai 19%. Terlihat pada gambar nilai monosit relatif lebih stabil dibandingkan dengan nilai limfosit yang relatif berubah.
Pembahasan
Rerata nilai limfosit sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik yaitu 55,2% (Tabel 1). Nilai ini menunjukkan masih dalam rerata persentase normal limfosit
pada sapi yaitu 45-75% (Andung et al., 2018). Fluktuasi nilai limfosit tersebut disebabkan beberapa hewan mempunyai sifat individual dengan karakteristik yang berbeda dalam memberikan reaksi terhadap suatu rangsangan yang dibentuk oleh lingkungan, sehingga mengakibatkan perubahan jumlah sel darah putih (Sonjaya, 2012). Rendahnya nilai limfosit karena pengaruh sifat individual tersebut dapat dilihat pada nilai limfosit sapi no 3 dan no 9.
Dibandingkan dengan nilai limfosit pada breed lain yaitu pada kerbau lumpur
yaitu sekitar 54,2% dan pada kerbau sungai sekitar 56,7%. Demikian juga yang ditemukan pada kambing, nilai limfositnya sekitar 35% - 80% (Rosita et al., 2015). Persentase limfosit dapat dipengaruhi oleh pakan yang diberikan saat pemeliharaan dan lokasi pemeliharaan. Sapi bali di Nusa Penida mempunyai persentase limfosit 69% (Andung et al., 2018), sedangkan sapi bali dengan suplementasi mineral menunjukkan persentase limfosit 68,85% (Rahayu et al., 2017). Nilai limfosit sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik lebih rendah, hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya mineral yang terdapat dalam pakan.
Gambar 3 menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan nilai limfosit pada beberapa sampel. Hal tersebut membuktikan faktor individu berpengaruh terhadap persentase limfosit. Dilihat dari fungsinya dalam tubuh, limfosit digunakan sebagai indikator respon imun dan dapat memacu kerja sistem imun dalam mempertahanan kesehatan tubuh hewan. Menurut Frandson (1992), peningkatan limfosit (limfositosis) terjadi jika antigen masuk ke dalam tubuh, sehingga tubuh harus memproduksi antibodi. Peningkatan jumlah limfosit dapat terjadi pada kondisi fisiologis maupun patologis.
Penyebab limfositosis fisiologis antara lain exercise (latihan), stres fisik maupun emosi, excitement (pada kucing), dan kondisi takut (Jain 1993). Limfositosis fisiologis sering terjadi terutama pada hewan muda dan bersifat sementara. Peningkatan persentase limfosit pada sampel penelitian ini kemungkinan karena terjadi kondisi limfositosis fisiologis karena stres. Kondisi lain yang kemungkinan dapat terjadi adalah limfositosis patologis akibat adanya stimulasi antigenik (misalnya peradangan kronis). Limfositosis patologis merupakan gambaran umum penyakit inflamasi yang bersifat kronis yang biasanya disertai pula dengan neutrofilia dan monositosis (Stockham & Scott 2008). Namun pada sampel penelitian ini tidak menunjukkan adanya limfositosis patologis
karena sampel sapi bali dalam keadaan sehat pada pemeriksaan sebelum pengambilan sampel.
Gambar 3 juga menunjukkan adanya penurunan nilai limfosit pada sampel. Penurunan sel limfosit atau limfositopenia tersebut dapat terjadi karena faktor stres, trauma, dan suhu lingkungan. Penurunan limfosit dapat terjadi pada hewan jika terjadi imunosupresi atau kerusakan pada jaringan limfoid akibat faktor tertentu atau hewan dalam keadaan tercekam (stres). Penyebab paling umum terjadinya penurunan jumlah limfosit (limfopenia) pada ruminansia adalah kortikosteroid yang diinduksi oleh keadaan stress (Weiss & Wadrop 2010). Pada kondisi stres, kadar kortisol dalam darah meningkat. Kortisol dapat menyebabkan limfopenia dengan cara mengurangi pembentukan limfosit. Kortisol juga berpengaruh terhadap berkurangnya limfosit dalam sirkulasi karena terjadi redistribusi limfosit ke sumsum tulang dan bagian lain.
Penurunan persentase limfosit pada sampel juga dapat disebabkan oleh kurangnya mineral Zn yang ada pada nutrisi/pakan yang diberikan, sehingga akan menyebabkan terjadinya defisiensi mineral Zn. Kondisi ini dapat terjadi karena terganggunya perkembangan sel - sel limfosit, penurunan proliferasi, peningkatan apoptosis dan atrofi timus (Putra et al., 2016). Selain itu, defisiensi mineral Zn juga dapat menyebabkan penurunan fungsi sel T dan B, produksi sitokin menurun serta penurunan kemampuan sel T untuk berdiferensiasi dan berproliferasi (Widhyari, 2012). Hal tersebut akan mengganggu fungsi normal limfosit B sebagai penghasil antibodi dan limfosit T sebagai kekebalan berperantara sel.
Mineral lain yang juga berpengaruh pada persentase limfosit adalah Fe. Sedangkan diketahui bahwa sapi bali yang dipelihara berbasis organik tidak diberikan tambahan mineral. Kadar Fe dalam tubuh ternak sebesar 20 – 80 ppm (Williamson & Payne, 1993) dan kadar Fe yang terkandung
dalam rumput biasanya 100 – 200 ppm sedangkan dalam leguminosa 200 – 300 ppm. Faktor yang mempengaruhi kadar mineral Fe dalam tubuh ternak adalah pakan yang di konsumsi dan interaksi antar mineral. Darmono (2007) menyatakan bahwa hadirnya mineral lain yang berinteraksi dengan mineral esensial juga mengakibatkan berkurangnya mineral esensial. Proliferasi limfosit sangat didukung oleh keberadaan zat besi (Fe) dalam tubuh. Jika terjadi defisiensi zat besi, maka akan terjadi penurunan jumlah total limfosit. Besi memiliki peran penting dalam sistem imunitas, terutama dalam hal proliferasi dan aktifasi host imun seperti sel T, B, sel natural killer, interaksi antara cell-mediated immunitas dan sitokin.
Tabel 1 menunjukkan rerata persentase monosit pada sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik yaitu 7,8% dan persentase tersebut berada diatas nilai normal monosit pada sapi yaitu 2-7% (Andung et al., 2018). Hal ini disebabkan karena monosit berperan dalam pertahanan tubuh. Monosit merupakan garis pertahanan kedua terhadap infeksi, sedangkan penurunan monosit dibawah kisaran normal dapat disebabkan oleh ternak yang mengalami stres (Harahap, 2014). Keadaan ini membuktikan sistem imun sapi bali lebih bagus karena monosit memiliki peran sebagai prekursor untuk makrofag sehingga sel ini mampu mencerna dan membaca antigen (Andung et al., 2018). Peningkatan monosit atau monositosis dapat disebabkan oleh peradangan yang kronis atau pembentukan granuloma (Kerr, 2002). Monositosis bisa terjadi sebagai respon terhadap peradangan.
Penurunan nilai monosit sebagai respon peradangan sangat memungkinkan, karena sapi bali yang dipelihara berbasis organik tidak diberikan zat atau obat-obatan kimia. Beberapa faktor sebagai kausa monositosis diantaranya yaitu semua proses yang merangsang keadaan netrofilia, glukokortikoid, respons imun, dan infeksi kronis. Sedangkan penurunan monosit atau
Volume 14 No. 1: 1-8 Pebruari 2022 DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i01.p01 monositopenia pada penelitian ini dianggap tidak mengandung arti yang penting.
Ketersediaan mineral Zn yang cukup pada pakan sangat berpengaruh pada persentase monosit dalam darah. Defisiensi mineral Zn dapat menyebabkan kegagalan fungsi monosit dan menurunnya aktivitas fagositosis oleh sel neutrofil. Defisiensi Zn dapat menyebabkan rendahnya sistem imunitas pada ternak sehingga menjadi sangat mudah terserang berbagai penyakit. Kandungan Zn sekitar 40 – 60 mg/kgBK dalam pakan agar mampu mempertahankan sistem kebal tubuh tetap optimal. Ternak ruminansia seperti sapi potong dan sapi perah yang diberi hijauan pakan ternak mengandung Zn sebanyak 18 - 23 mg/kg mengalami defisiensi Zn. Umumnya pakan mengandung Zn dengan kadar rendah sekitar 20 – 35 mg/kg bahan kering,
sedangkan kebutuhan Zn pada sapi perah 40 ppm, sapi potong pada masa pertumbuhan dan finishing 20 - 30 ppm, domba 35 - 50 ppm. Oleh karena itu, untuk meningkatkan respon kekebalan tubuh disarankan memberikan suplementasi Zn di dalam pakan (Widhyari, 2012).
Peningkatan persentase limfosit dan monosit dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah kondisi atau kualitas pakan (Sonjaya, 2012). Pakan yang diberikan umumnya dilakukan proses pemotongan dan pelayuan sehingga meningkatkan luas permukaan pakan serta akan mengeluarkan getah yang terkandung didalamnya. Getah yang keluar dari hijauan tersebut dapat digolongkan menjadi antigen atau benda asing bagi tubuh hewan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pada limfosit dan monosit. Peningkatan dan penurunan nilai leukosit dalam darah merupakan mekanisme respon tubuh terhadap patogen yang menyerang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian sel darah putih agranulosit pada sapi bali dengan
pemeliharaan berbasis organik, diperoleh rerata limfosit adalah 55,2% (40% - 71%) dan monosit adalah 7,8% (4% - 19%).
Saran
Saran yang diberikan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sapi bali dengan pemeliharaan berbasis organik, yaitu perlunya dilakukan penelitian dan kajian lebih lanjut mengenai pengaruh umur pada sistem pemeliharaan sapi bali berbasis organic, pengaruh jenis kelamin pada sistem pemeliharaan sapi bali berbasis organic, serta mengkaji komposisi pakan yang diberikan pada sistem pemeliharaan sapi bali berbasis organik. Sehingga mampu mengembangkan sistem
pemeliharaan berbasis organik menjadi lebih baik dan dapat menjadi alternatif pemeliharaan sapi bali yang diminati oleh peternak di Bali.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan FKH Unud, dan semua pihak yang turut membantu dalam proses penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Andung Franky Lunggi HR, NK Suwiti, AAS Kendran. 2018. Agranulosit Bibit Sapi Bali pada Berbagai Umur di Nusa Penida. Bul. Vet. Udayana. 10(1): 7680.
Berata IK, Susari NNW, Sudira IW, Agustina KK. 2021. Level of lead contamination in the blood of Bali cattle associated with their age and geographical location. Biodiversitas. 22(1): 23-29
Besung INK, Watiniasih NL, Mahardika GNK, Agustina KK, Suwiti NK. 2019. Mineral levels of Bali cattle (Bos javanicus) from different types of land in Bali, Nusa Penida, and Sumbawa Islands (Indonesia). Biodiversitas.
20(10): 2931-2936.
Darmono. 2007. Penyakit defiseinsi mineral pada ternak ruminansia dan
upaya pencegahanya. J. Litbang Pertanian. 26(3): 104 – 108.
Egbe-nwiyi TN, Nwaosu SC, Salami HA. 2000. Haematological values of appararently healthy sheep and goats as influenced by age and sex. Af. J. Biomed. Res. 3: 109-115.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.
Harahap RA. 2014. Profil Darah Ayam Broiler Periode Finisher Yang Diberi Pakan Plus Formula Herbal. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea &
Febiger.
Kerr MG. 2002. Veterinary Laboratory Medicine: Clinical Biochemistry and Haematology. Oxford: Blackwell
Science.
Nitis IM, K Lana, IB Sudana dan N Sutji. 1992. Pengaruh Klasifikasi wilayah terhadap komposisi botani hijauan yang diberikan pada kambing di Bali di waktu musim kemarau. Pros. Seminar Penelitian Peternakan, Bogor.
Pujiastari NNT, P Suastika, NK Suwiti. 2015. Kadar Mineral Kalsium Dan Besi Pada Sapi Bali Yang Dipelihara Di Lahan Persawahan. Bul. Vet. Udayana. 7(1): 66-72.
Putra IP Cahyadi, NK Suwiti, IBK Ardana. 2016. Suplementasi Mineral Pada Pakan Sapi Bali Terhadap Diferensial Leukosit Di Empat Tipe Lahan. Bul. Vet. Udayana. 8(1): 8-16.
Rahayu Ni Luh Sri Sundari, NK Suwiti, P Suastika. 2016. Struktur Histologi Dan Histomorfometri Granulosit Pada Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral. Bul. Vet. Udayana. 8(2): 151-158.
Rosita E, IG Permana, T Toharmat, Despal. 2015. Kondisi Fisiologis, Profil Darah dan Status Mineral pada Induk dan Anak Kambing Peranakan Etawah (Pe). Bul. Makanan Ternak. 102(1): 9 – 18.
Siswanto M, NW Patmawati, NN Trinayani, IN Wandia, IK Puja. 2013. Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada
Peternakan Intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan. J. Ilmu Kesehatan Hewan. 1(1): 11-15.
Sonjaya H. 2012. Dasar Fisiologi Ternak. Bogor: IPB Press.
Sulong A, Hilmi M, Jainudeen MR. 1980. Haemotology of the Malaysian swamp buffalo (Bubalus bubalis). Pertanika. 3(2): 66-70.
Suwiti NK. 2010. Deteksi Histologik Kesembuhan Luka Pada Kulit Pasca Pemberian Daun Mengkudu (Morinda Citrofilia Linn). Bul. Vet. Udayana. 2(1): 1-9.
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Oxford: Blackwell
Publishing.
Utama IH, AAS Kendran, SK Widyastuti, P Virgania, SM Sene, WD Kusuma, BY Arisandi. 2013. Hitung Diferensial dan Kelainan-Kelainan Sel Darah Sapi Bali. J. Vet. 14(4): 462-466.
Weiss D and Wardrop KJ. 2010. Schalm's Veterinary Hematology. 6th Ed, Wiley-Blackwell, Philadelphia, PA, USA.
Widhyari SD. 2012. Peran dan dampak defisiensi zinc (zn) terhadap sistem tanggap kebal. Wartazoa. 22(3): 141148.
Williamson G and WJA. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis Edisi ke–4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (diterjemahkan oleh: S. G. N. D. Darmadja).
8
Discussion and feedback