THE EFFECT OF VITAMIN E SUPPLEMENTATION TO THE SIDE EFFECT OF DEXAMETHASONE ON THE LUNG OF MALE WHITE RATS
on
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Volume 9 No. 2: 187-194
Agustus 2017
DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.2.187
Pengaruh Suplementasi Vitamin E terhadap Efek Samping Deksametason pada Paru-Paru Tikus Putih Jantan
(THE EFFECT OF VITAMIN E SUPPLEMENTATION TO THE SIDE EFFECT OF DEXAMETHASONE ON THE LUNG OF MALE WHITE RATS)
Bina Ichsantya1*, I Ketut Berata2, Samsuri3, I Made Merdana3
1Mahasiswa Program Profesi Kedokteran Hewan, 2Laboratorium Patologi Veteriner 3Laboratorium Famakologi dan Farmasi Veteriner Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali Telp. 0361-223791 Faks (0361) 223791
*E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi vitamin E sebagai antioksidan dalam mengurangi efek samping deksametason pada paru-paru. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih jantan yang dibagi dalam lima kelompok perlakuan, yaitu: kelompok kontrol negatif yang diberi pakan dan minum saja, kelompok kontrol positif yang diberi deksametason secara subkutan dengan dosis 0,13 mg/kg bb, kelompok P1 yang diberi deksametason secara subkutan dengan dosis 0,13 mg/kg bb dan vitamin E per oral dengan dosis 100 mg/kg bb, kelompok P2 yang diberi deksametason secara subkutan dengan dosis 0,13 mg/kg bb dan vitamin E per oral dengan dosis 150 mg/kg bb dan kelompok P3 yang diberi deksametason secara subkutan dengan dosis 0,13 mg/kg bb dan vitamin E per oral dengan dosis 200 mg/kg. Setelah diberikan perlakuan selama 14 hari, kemudian dilakukan nekropsi,. Organ paru-paru diambil untuk diproses menjadi sediaan histopatologi dengan metode pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE). Variabel yang diperiksa meliputi edema, perdarahan dan peradangan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan histopatologis pada jaringan paru yang berbeda nyata antara kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif, sedangkan perubahan kearah perbaikan pada jaringan paru tidak berbeda nyata pada seluruh kelompok P1, P2 dan P3. Simpulan dari penelitian ini adalah: pemberian deksametason dosis 0,13 mg/kg bb menyebabkan perubahan histopatologis pada jaringan paru tikus putih meliputi edema, perdarahan dan peradangan. Suplementasi vitamin E hingga dosis 200 mg/kg bb belum memberikan perbaikan yang signifikan pada jaringan paru tikus putih yang diberi deksametason.
Kata kunci: deksametason; histopatologi; paru-paru; vitamin E
ABSTRACT
Side effects of dexamethasone may occur in several organs, including the lungs. Lung damage due to dexamethasone can be reduced by antioxidants. This study aims to determine the effect of vitamin E as an antioxidant supplementation in reducing the side effects of dexamethasone on the lungs. This study used 25 male rats which divided into five groups, namely: the negative control group were given food and drink only, the positive control group were given dexamethasone subcutaneously at a dose of 0.13 mg/kg bw, group P1were given dexamethasone subcutaneously at a dose of 0.13 mg/kg bw and vitamin E orally at a dose of 100 mg/kg bw, group P2 were given dexamethasone subcutaneously at a dose of 0.13 mg/kg bw and vitamin E orally at a dose of 150 mg/kg bw and group P3 were given subcutaneously at a dose dexamethasone 0.13 mg/kg bw and vitamin E orally at a dose of 200 mg/kg bw respectively. After 14 days of treatment, then the rats were necropsy. The lungs were taken for histopathology preparations by Hematoxylin-Eosin (HE) staining method. The variables examined include edema, hemorrhage and inflammation. The results showed a histopathological changes in lung tissue were significantly different between the positive control group and negative control group, whereas the change towards improvement in lung tissue was not significantly different in all groups P1, P2 and P3. The conclusions of this study were the administrations of dexamethasone at dose of 0.13 mg/kg of body weight causing histopathological lesion in the lung tissue of white rats including edema, bleeding and inflammation. Supplementation of vitamin E up to dose of 200 mg/kg of body weight have not provided significant improvement healing in lung tissue of rats who were treated by dexamethasone.
Keywords: dexamethasone; lungs; histopathology; vitamin E.
PENDAHULUAN
Di dunia kedokteran, kortikosteroid mulai dikenal sekitar tahun 1950, dan preparat kortikosteroid terus berkembang hingga saat ini (Sativani, 2010). Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang identik dengan kortisol, yaitu hormon steroid alami yang disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal. Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul steroid memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid (Smoak, 2008). Dengan pemberian secara injeksi subkutan deksametason diabsorpsi oleh tubuh dengan pelan sehingga berdurasi panjang. Deksametason adalah obat golongan kortikosteroid sintetik yang waktu paruhnya tiga jam, serta mempunyai potensi anti-inflamasi yang sangat kuat. Deksametason termasuk ke dalam kelompok glukokortikoid (Olson, 2004).
Deksametason memiliki manfaat yang luas dan dapat digunakan untuk terapi berbagai macam penyakit, sehingga seringkali disebut sebagai “obat dewa”. Karena harganya yang murah serta mudah didapat, deksametason menjadi obat andalan untuk terapi inflamasi (Samsuri et al., 2011). Deksametason juga digunakan dalam terapi berbagai penyakit saluran nafas dan terbukti bermanfaat pada pengobatan asma, sesak napas, mengurangi resiko dan keparahan sindrom kesulitan bernafas (RDS) dan hemangioma trakea (Sethi dan Singhai, 2008). Disamping manfaatnya yang luas, deksametason mempunyai efek samping yang harus diwaspadai, terutama untuk penggunaan dalam jangka panjang. Efek samping penggunaan deksametason dapat terjadi pada beberapa organ. Pada studi sebelumnya, dilaporkan bahwa pemberian deksametason pada hewan coba tikus menyebabkan kerusakan pada pankreas (Ranta et al., 2006), hati (Sativani, 2010), ginjal (Ridho, 2010) dan lambung (Kusumaadhi, 2010).
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mencegah proses oksidasi akibat adanya radikal bebas, misalnya berupa efek samping pemberian deksametason yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Lingaiah et al., 2012). Salah satu contoh antioksidan adalah vitamin. Vitamin E merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak, yang berfungsi sebagai antioksidan (Brigelius-Flohe dan Traber, 1999). Pada hewan coba tikus, pemberian deksametason yang dikombinasikan dengan suplementasi vitamin E dapat mengurangi efek samping deksametason pada pankreas (Dharma, 2014) dan hati (Insani, 2014). Oleh karena itu, pemberian vitamin E sebagai antioksidan diharapkan dapat mengurangi efek samping deksametason yang berdampak merugikan pada paru-paru.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek samping pemberian deksametason terhadap jaringan paru tikus putih, serta pengaruh suplementasi vitamin E bersama dengan pemberian deksametason terhadap histopatologi jaringan paru tikus putih.
METODE PENELITIAN
Materi
Pada penelitian ini, materi yang digunakan adalah tikus putih jantan yang dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: kelompok kontrol negatif yang diberi pakan dan minum saja, kelompok kontrol positif yang diberi deksametason secara subkutan dengan dosis 0,13 mg/kg bb, kelompok P1 yang diberi deksametason secara subkutan dengan dosis 0,13 mg/kg bb dan vitamin E per oral dengan dosis 100 mg/kg bb, kelompok P2 yang diberi deksametason secara subkutan dengan dosis 0,13 mg/kg bb dan vitamin E per oral dengan dosis 150 mg/kg bbdan kelompok P3 yang diberi deksametason secara subkutan dengan dosis 0,13 mg/kg bb dan vitamin E per oral dengan dosis 200 mg/kg bb. Injeksi deksametason dan pemberian vitamin E dilakukan satu kali dalam sehari selama 14 hari.
Pembuatan Preparat
Pada pembuatan sediaan
histopatologi, lima kelompok tikus yang telah diberi perlakuan selama 14 hari dimatikan dengan cara dislokasi os cervicalis. Nekropsi dilakukan dengan membuka rongga dada. Organ paru diambil untuk diproses menjadi sediaan histopatologi. Sampel jaringan organ paru diambil dan dipotong dengan ukuran satuxsatuxsatu cm, lalu direndam dalam larutan neutral buffer formalin (NBF). Sampel tersebut selanjutnya diperkecil lagi dengan irisan tipis untuk disimpan dalam tissue cassate dan dilakukan fiksasi dalam larutan NBF. Setelah difiksasi, dilakukan proses dehidrasi dan clearing dengan satu sesi larutan yang terdiri dari : alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol absolut, toluene dan parafin, secara
Lesi Edema |
Lesi Perdarahan |
Lesi Peradangan |
0 = tidak ada edema |
0 = tidak ada perdarahan |
0 = tidak ada peradangan |
1 = ringan |
1 = ringan |
1 = ringan |
2 = sedang |
2 = sedang |
2 = sedang |
3 = parah |
3 = parah |
3 = parah |
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Data
Data hasil pemeriksaan mikroskopis
ditabulasi, kemudian
menggunakan program
dianalisis
SPSS 21.0
dengan uji statistik non parametrik Kurskal Wallis. Apabila terdapat perbedaan nyata (P≤0,05), maka dilanjutkan dengan uji Mann Withney (Steel dan Torrie, 1991).
bertahap dalam waktu satu hari. Kemudian sampel di embedding dan blocking dengan cara dituangi parafin cair kemudian didinginkan. Blok yang sudah dingin di sectioning menggunakan microtome dengan ketebalan ± 4-5 mikron. Proses terakhir adalah pewarnaan dengan metode Harris Hematoksilin-Eosin dan mounting media. Preparat histopatologi siap untuk diamati di bawah mikroskop dan dicatat perubahan mikroskopik yang ditemukan (Fadilah et al., 2015).
Variabel dan Skoring
Masing-masing preparat diamati pada lima lapang pandang mikroskopis, yaitu pada keempat sudut dan bagian tengah preparat dengan pembesaran 400x. Preparat diperiksa berdasarkan kategori dan skor sebagai berikut:
Hasil pemeriksaan mikroskopis jaringan paru tikus putih (Rattus norvegicus) tersaji pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3. Perubahan histopatologi diperiksa berdasarkan adanya lesi edema, perdarahan, dan peradangan.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Lesi Edema
Perlakuan |
Kategori tingkat patologi (n=25) | |||
Normal /tidak ada edema (0) |
Edema ringan/fokal (1) |
Edema sedang/multifocal (2) |
Edema berat/difusa (3) | |
Kontrol (-) |
5 |
- |
- |
- |
Kontrol (+) |
- |
- |
2 |
3 |
P1 |
- |
1 |
1 |
3 |
P2 |
- |
1 |
3 |
1 |
P3 |
- |
3 |
2 |
- |
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Lesi Perdarahan
Perlakuan |
Kategori tingkat patologi (n=25) | |||
Normal /tidak ada edema (0) |
Edema ringan/fokal (1) |
Edema sedang/multifocal (2) |
Edema berat/difusa (3) | |
Kontrol (-) |
- |
5 |
- |
- |
Kontrol (+) |
- |
2 |
- |
3 |
P1 |
- |
1 |
2 |
2 |
P2 |
2 |
- |
2 |
1 |
P3 |
2 |
- |
3 |
- |
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Lesi Peradangan | ||||
Perlakuan |
Kategori tingkat patologi (n=25) | |||
Normal /tidak |
Edema |
Edema |
Edema | |
ada edema (0) |
ringan/fokal (1) |
sedang/multifocal (2) |
berat/difusa (3) | |
Kontrol (-) |
- |
5 |
- |
- |
Kontrol (+) |
- |
- |
5 |
- |
P1 |
- |
- |
3 |
2 |
P2 |
- |
- |
2 |
3 |
P3 |
- |
- |
2 |
3 |
Hasil pemeriksaan mikroskopis jaringan paru berdasarkan tingkat kerusakan menunjukkan bahwa kelompok kontrol negatif (diberi pakan dan minum saja) memiliki tingkat kerusakan terendah dengan skor 0 untuk lesi edema, skor 1 untuk lesi perdarahan dan skor 1 untuk lesi peradangan. Sedangkan kelompok perlakuan yang memiliki tingkat kerusakan tertinggi adalah kelompok kontrol positif (deksametason 0,13 mg/kg), dengan skor 3 untuk lesi edema, skor 3 untuk perdarahan dan skor 2 untuk lesi peradangan. Pada kelompok P1 (deksametason 0,13 mg/kg dan vitamin E 100 mg/kg), perbaikan pada jaringan paru tampak belum optimal, sehingga diperoleh skor 3 untuk lesi edema, skor 3 untuk perdarahan dan skor 2 untuk lesi peradangan. Pemberian dosis vitamin E ditingkatkan pada kelompok P2 (deksametason 0,13 mg/kg dan vitamin E 150 mg/kg), hasilnya tampak lebih efektif untuk memperbaiki kerusakan jaringan paru, sehingga diperoleh skor 2 untuk lesi edema, skor 2 untuk perdarahan dan skor 3 untuk lesi peradangan. Pemberian dosis vitamin E ditingkatkan lagi pada kelompok P3 (deksametason 0,13 mg/kg dan vitamin E 200 mg/kg), tampak hasil yang lebih
baik dibanding kelompok P2. Gambaran struktur jaringan paru kelompok P3 menunjukkan perbaikan paling tinggi, sehingga diperoleh skor 1 untuk lesi edema, skor 2 untuk perdarahan dan skor 3 untuk lesi peradangan. Gambaran histopatologi jaringan paru tikus putih dapat dilihat pada Gambar 1-5.
Berdasarkan uji statistik rerata, kelompok perlakuan yang mengalami kerusakan paling berat adalah kelompok kontrol positif, dengan rerata edema 2,60 ± 0,548, rerata perdarahan 2,20 ± 1,095 dan rerata peradangan 2,00 ± 0. Sedangkan kelompok perlakuan yang mengalami kerusakan paling ringan adalah kelompok P3, dengan rerata edema 1,40 ± 0,548, rerata perdarahan 1,20 ± 1,095 dan rerata peradangan 2,60 ± 0,548.
Berdasarkan uji Kruskal-Wallis, perolehan nilai setiap perlakuan untuk edema adalah 0,002, yang menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05) antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan. Perolehan nilai setiap perlakuan untuk perdarahan adalah 0,208, yang menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata (P>0,05) antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan. Perolehan nilai
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet setiap perlakuan untuk peradangan adalah 0,003, yang menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05) antara
kelompok kontrol negatif dengan
kelompok perlakuan. Pada kategori edema dan peradangan terdapat perbedaan nyata (P<0,05) antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan, sehingga dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar dosis vitamin E yang diberikan.
Hasil uji Mann-Whitney untuk kategori edema antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05). Sedangkan antara kelompok kontrol positif dengan kelompok P1, P2 dan P3 menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05). Hasil uji Mann-Whitney untuk kategori peradangan antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05). Sedangkan antara kelompok kontrol positif dengan kelompok P1, P2 dan P3 menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05).
Gambar 2. Gambaran Histopatologi Paru-Paru Tikus Putihi > Rrrrtns norvegicus) pada Kelompok Kontrol Positif (HE J 400x). Terlihat adanya edema (A)1 perdarahan (B) dan
W⅛⅞M∣t⅞_________________J
Gatnbai 3 Gambaion HisTopatologi Pam-Paru Tikus Putih (RertusiKuTegicuj)PadaKelonipokPi (HE. 400x). Terlihai adany a edema I Aji perdarahan (B) danJieradangan (C).
Oatnbar I Gambaran Histopatologj Paru-Pani Tikus Putih lΛαr⅛jnonegκm)pada KejonipokKcntrol Negatif (HE. dθθxk Terhhat adanya perdarahan (B) dan peradangan (C);
Gambar4 Gambaran Histopatologi Pani-Paru Tikus Putih (Rattusnonvjgicus)PadaKeIompokPZ(HE. 400x) Terlihat adanya edema (A)j perdarahan (B) dan peradangan (C).
Gambar 5. GambaranHistoparoloei Paru-Paru Tikus Putih ∣wrwrtwwwwwwι ∙ ⅜r w.-.∙.∙.w^∙ f Λπrrus πo>aιgg)αts) pada KelompokP3 (HE, 400x). Terlihat adanya edema (A) dan perdarahan (B) dan peradangan (C).
Pada penelitian ini, perubahan histopatologi paru-paru tikus putih diperiksa berdasarkan adanya lesi edema, perdarahan dan peradangan. Pada pemeriksaan mikroskopis jaringan paru berdasarkan tingkat kerusakan, tampak bahwa kelompok kontrol negatif (diberi pakan dan minum saja) memiliki tingkat kerusakan terendah, yaitu adanya perdarahan dan peradangan dengan tingkat kerusakan ringan. Hal ini menunjukkan dalam keadaan normal, perdarahan dan peradangan masih tetap ada. Perdarahan dan peradangan tersebut dapat disebabkan oleh respon normal proses biokimia tubuh terhadap suatu radikal bebas. Radikal bebas jenis ini disebut endogenous free radical (Andriyanti, 2009). Sedangkan kelompok perlakuan yang memiliki tingkat kerusakan tertinggi adalah kelompok kontrol positif (deksametason 0,13 mg/kg). Pada pemeriksaan mikroskopis kelompok kontrol positif ditemukan edema, perdarahan dan peradangan. Gambaran edema paru berupa ditemukannya alveoli yang berisi cairan, yang ditandai dengan bertambah longgarnya septum alveolar. Peningkatan jumlah sel radang yang cukup besar pada septa alveoli menunjukkan adanya proses peradangan yang hebat pada struktur alveoli paru. Salah satu efek samping kortikosteroid adalah menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang
bisa mengakibatkan edema dan peradangan. Tampak juga terjadi perdarahan, yaitu adanya sel-sel darah merah di luar pembuluh darah. Perdarahan paru-paru mengacu pada sindrom klinis yang dihasilkan oleh cedera pada alveolar kapiler, arteriol dan venula yang menyebabkan akumulasi sel darah merah di ruang udara alveolar (Olson dan Schwarz, 2007).
Berdasarkan analisis statistik, pemberian deksametason dosis 0,13 mg/kg menyebabkan kerusakan yang nyata pada organ paru-paru. Hasil ini sesuai dengan pendapat Vasic et al. (2014) yang menyatakan bahwa glukokortikoid dapat menimbulkan gangguan patologis pada paru-paru.
Pada kelompok P1 (deksametason 0,13 mg/kg dan vitamin E 100 mg/kg), perbaikan pada jaringan paru tampak belum optimal. Pemberian dosis vitamin E ditingkatkan pada kelompok P2 (deksametason 0,13 mg/kg dan vitamin E 150 mg/kg), hasilnya tampak lebih efektif untuk memperbaiki kerusakan jaringan paru. Gambaran struktur jaringan paru kelompok P2 lebih baik dari gambaran kelompok P1. Pemberian dosis vitamin E ditingkatkan lagi pada kelompok P3 (deksametason 0,13 mg/kg dan vitamin E 200 mg/kg), tampak hasil yang lebih baik dibanding kelompok P2. Gambaran struktur jaringan paru kelompok P3 menunjukkan perbaikan paling tinggi. Perbaikan pada jaringan paru tersebut disebabkan oleh peran vitamin E sebagai antioksidan alami yang membantu melindungi struktur jaringan yang penting, terutama membran sel, dari kerusakan akibat adanya radikal bebas (Martha et al., 2013). Selain itu vitamin E turut melindungi asam lemak tak jenuh pada membran fosfolipid, serta melindungi membran sel darah merah yang kaya dengan asam lemak tak jenuh ganda dari kerusakan akibat reaksi peroksidasi (Bebas et al., 2016).
Berdasarkan analisis statistik, suplementasi vitamin E dosis 100, 150 dan
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet 200 mg/kg tidak memberikan perbaikan yang nyata pada kerusakan jaringan paru tikus putih akibat efek samping deksametason dosis 0,13 mg/kg. Hal tersebut dapat disebabkan oleh terjadinya stres oksidatif, yaitu keadaan dimana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas antioksidan untuk menetralkannya. Akibatnya intensitas proses oksidasi sel-sel tubuh normal menjadi semakin tinggi dan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak (Chandra et al., 2015). Mengenai dosis vitamin E yang efektif untuk mengurangi efek samping deksametason pada jaringan paru perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
SIMPULAN
Simpulan
Pemberian deksametason dosis 0,13 mg/kg menyebabkan perubahan
histopatologis pada jaringan paru tikus putih meliputi edema, perdarahan dan peradangan. Suplementasi vitamin E hingga dosis 200 mg/kg belum memberikan perbaikan yang signifikan pada jaringan paru tikus putih yang diberi deksametason.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut dengan dosis suplementasi vitamin E lebih dari 200 mg/kg untuk membuktikan adanya perbaikan pada jaringan paru yang mengalami kerusakan akibat efek samping deksametason 0,13 mg/kg.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada Balai Besar Veteriner Provinsi Bali dan Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyanti, R. 2009. Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bebas W, Buyona GL, Budiasa MK. 2016. Penambahan Vitamin E Pada Pengencer BTS® Terhadap Daya Hidup Dan Motilitas Spermatozoa Babi Landrace Pada Penyimpanan 15°C. Buletin Veteriner Udayana 8(1): 1-7.
Brigelius-Flohe R, Traber MG. 1999. Vitamin E: Function and
Metabolism. FASEB Journal, Vol. 13. Correspondence: German
Institute of Human Nutrition, Arthur Scheunert-Allee, Germany. Pp: 1145-1155.
Chandra K, Salman AS, Mohd A, Sweety R, Ali KN. 2015. Protection Against FCA Induced Oxidative Stress Induced DNA Damage as a Model of Arthritis and In vitro Anti-arthritic Potential of Costus speciosus Rhizome Extract. Int J
Pharmacognosy and Phytochemical Res 7(2): 383-389.
Dharma, IGBS. 2014. Pengaruh Pemberian Suplementasi Vitamin E terhadap Efek Samping Deksametason pada Pankreas Tikus Putih. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar.
Fadilah MF, Berata IK, Kardena IM. 2015. Studi Histopatologi Limpa Anjing Penderita Distemper Dikaitkan Dengan Sebaran Sel-Sel Radang Pada Otak Dan Paru. Buletin Veteriner Udayana Volume 7(2): 194-201.
Insani, A. 2014. Pengaruh Pemberian Suplementasi Vitamin E terhadap Efek Samping Deksametason pada Hati Tikus Putih. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar.
Kusumaadhi, ZM. 2010. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Pengaruh Pemberian Deksametason Dosis Bertingkat Per Oral 30 Hari terhadap Kerusakan Mukosa Lambung Tikus Wistar. Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Lingaiah, HB, Thamaraiselvan R, Periyasamy BR. 2012.
Dexamethasone Induced Alterations in Lipid Peroxidation, Antioxidants, Membrane Bound Atpase in Wistar Albino Rats. Int J Pharm Pharm Sci, Vol 4, Suppl 3. Department of Pharmacology and Environmental Toxicology, Dr. ALM Post Graduate Institute of Basic Medical Sciences, University of Madras, Taramani Campus, Chennai 600113, Tamil Nadu, India. Hal. 497-499.
Martha SA, Karwur FF, Rondonuwu FS. 2013. Mekanisme Kerja dan Fungsi Hayati Vitamin E pada Tumbuhan dan Mamalia. Seminar Nasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS.
Olson, J. 2004. Belajar Mudah Farmakologi. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi Ed 5. Gaya Baru; 2007. Jakarta.
Olson, AL, Schwarz MI. 2007. Diffuse Parenchymal Lung Disease. Prog Respir Res. Basel, Karger Vol 36. University of Colorado Health Sciences Center, Division of Pulmonary Sciences and Critical Care Medicine, Denver, Colo, USA. Pp: 250–263.
Ranta F, Avram D, Berchtolf S, Dufer M, Drews G, Lang F, Ullrich S. 2006. Original Article: Dexamethasone Induces Cell Death in InsulinSecreting Cells, an Effect Reversed by Exendin-4. USA. American Diabetes Association.
Ridho, MR. 2010. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Pengaruh Pemberian Deksametason Dosis Bertingkat Per Oral 30 Hari terhadap Kerusakan Tubulus Ginjal Tikus Wistar. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Samsuri, Rahardjo, Sudjarwo. 2011 . The Influences of Dexamethasone Sodium Phosphate to Insulin and Glucose Level in Young Male Rats Body (Rattus norvegicus). Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia.
Sativani, I. 2010. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Pengaruh Pemberian Deksametason Dosis Bertingkat Per Oral 30 Hari terhadap Kerusakan Sel Hepar Tikus Wistar. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Sethi GR, Singhai KK. 2008. Pulmonary Diseases and Corticosteroids. Indian J Pediatr 75(10): 1045-1056.
Smoak KA, Cidloski JA. 2008. Glucocorticoid Signaling in Health and Disease. The HypothalamusPituitary-Adrenal Axis. Pp: 33-53.
Steel, R.G.D, J.H. Torrie. 1991. Principles and Procedures of Statistic. A Biomedical Approach. Second
Edition. Tokyo: Mc. Grow Hill.
Vasic NR, Milenkovic BA, Pesut DP, Stevic RS dan Jovanovic DM. 2014. Drug Induced Lung Disease -Amiodarone in Focus. Clinical Center of Serbia, Belgrade, Serbia.
194
Discussion and feedback