Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Volume 9 No.2: 164-170

Agustus 2017

DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.2.164

Respon Imun Primer Ayam Petelur Pasca Vaksinasi Egg Drop Syndrome

(PRIMARY IMUNE RESPON OF LAYER POST VACCINATED WITH THE EGG DROPS SYNDOME VACCINE)

Gusti Ayu Yuniati Kencana1, I Nyoman Suartha2, I Putu Wira Adi Wibawa3

1Laboratorium Virologi Veteriner, 2Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner, 3Praktisi Dokter Hewan di Denpasar

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali.

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon imun primer ayam petelur pasca vaksinasi Egg drop syndrome. Sampel penelitian adalah ayam petelur jenis Isa Brown yang dipelihara di Desa Tiga, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Sebanyak 25 ekor ayam petelur umur 14 minggu divaksin dengan vaksin EDS inaktif polivalen (mengandung antigen virus Newcastle disease, infectious bronchitis dan egg drop syndrome). Vaksinasi dilakukan secara intramuskuler pada otot dada. Pemeriksaan titer antibodi EDS dengan uji serologi Hambatan Hemaglutinasi (HI). Titer antibodi egg drop syndrome diperiksa sebanyak empat kali yaitu satu kali sebelum vaksinasi dan tiga kali pasca vaksinasi. Rataan titer antibodi setiap minggu dianalisis menggunakan sidik ragam dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil, dan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan titer antibodi yang signifikan setiap minggunya pada ayam petelur pasca divaksinasi EDS. Titer antibodi satu minggu pasca vaksinasi sebesar 22,6 HI unit, pada dua minggu pasca vaksinasi sebesar 25,04 HI unit, dan tiga minggu pasca vaksinasi sebesar 26,4 HI unit.

Kata kunci: vaksinasi; Egg drop syndrome; respon primer; titer; ayam petelur

ABSTRACT

This study was conducted to determine the primary immune response post vaccination using EDS inactivated vaccine polyvalent. The sample used was a commercial layer farm in the village of Tiga, regency of Bangli, Bali. A total of 25 layer which were14 weeks old vaccinated using EDS-76 inactivated vaccine containing polyvalent Newcastle disease antigen virus, infectious bronchitis and egg drop syndrome by intramuscularly injection. Examination of EDS antibody titer using serologic test by Hemagglutination Inhibition (HI) test. Egg drops syndrome antibody titer checked four times, once before vaccination, and every week for three weeks post-vaccination to see the immune responses. The average antibody titer then analyzed using an univariate of variance test followed by a test of Least Significant Difference, Duncan test and regression analysis. The result showed an increase antibody of EDS was significantly every week post vaccination. The average antibody titers of EDS are 22,6 HI unit at one weeks post vaccination, about 25,04 HI unit at two weeks post vaccination and 26,4 HI unit at three weeks post vaccination.

Keywords: vaccination; Egg drop syndrome; primary immune responses; titre; layer

PENDAHULUAN

Ayam petelur banyak dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia baik sebagai peternakan industri maupun peternakan rakyat. Perkembangan penduduk yang pesat serta diikuti dengan peningkatan kebutuhan akan telur mendorong peternak untuk terus membudidayakan ayam petelur. Data

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 menunjukkan terjadi peningkatan populasi ternak ayam petelur setiap tahunnya dari total 69.366 ekor pada tahun 2000 hingga mencapai 153.657 ekor pada tahun 2014. Penyakit EDS dapat menyebabkan penurunan produksi telur yang dapat mencapai 40% (Suresh et al., 2013) serta berlangsung selama 4 sampai 10 minggu

yang mengakibatkan kerugian ekonomi cukup tinggi pada peternakan unggas.

Pada saat ini ayam petelur yang banyak dibudidayakan umumnya adalah breed unggul yang memiliki tingkat produksi telur tinggi. Pada fase bertelur (layer, mulai umur 22 minggu) ayam petelur mampu memproduksi telur secara optimal sedangkan pada fase afkir produksi telur telah menurun. Manajemen pemeliharaan dan manajemen kesehatan yang baik mutlak diperlukan untuk optimalisasi produksi ayam petelur. Berbagai gangguan kesehatan pada ayam petelur dapat mengakibatkan penurunan produksi telur. Salah satu penyakit yang dapat mengakibatkan penurunan produksi pada ayam petelur adalah penyakit eggdrop syndrome (EDS) (Kencana, 2012).

Egg drop syndrome adalah penyakit unggas yang disebabkan oleh Adenovirus dari familia Adenoviridae. Virus EDS termasuk ke dalam group III Avian Adenovirus (Dhinakar et al., 2001). Pada infeksi virus EDS bereplikasi di dalam inti sel oleh karena itu transkripsinya analog dengan sel (Rantam, 2005). Penyakit EDS pertama kali dilaporkan tahun 1976 sehingga disebut juga dengan egg-drop syndrome-76 (EDS-76) (Kencana,2012). Penyakit EDS tersebar luas diseluruh dunia dan dapat menyerang berbagai spesies unggas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bartha et al., (1981), menunjukkan adanya antibodi terhadap EDS pada serum unggas liar yang diambil sebelum tahun 1975. Antibodi terhadap EDS pernah ditemukan pada ayam broiler yang tidak menunjukkan gejala klinis (Meulemans,1979). Jingliang (2011) melaporkan bahwa egg drop syndrome yang terjadi pada bebek di China juga disebabkan oleh Barley Yellow Dwarf (BYD) virus yang merupakan genus dari Flavivirus.

Penyakit EDS menyerang ayam petelur umur 25-32 minggu dengan gejala klinis yang menonjol berupa penurunan produksi telur yang bervariasi mulai 5% sampai 50% yang berlangsung selama 6-7

minggu (Murtidjo, 1992). Abnormalitas telur juga tampak yang ditandai dengan kerabang telur lunak, terjadi perubahan warna telur menjadi lebih pucat, lembek atau kasar sehingga telur berubah bentuk dengan ukuran yang tidak seragam atau ukurannya menjadi lebih kecil. Gejala klinis EDS bentuk ringan adalah hilangnya warna atau pigmen cangkang telur terutama ditemukan pada telur yang berwarna coklat diikuti dengan menipisnya cangkang telur (Tabbu, 2000). Penularan penyakit EDS terjadi secara horizontal yakni melalui kontak langsung antara ayam yang terinfeksi EDS dengan ayam yang sehat. Virus EDS menular lewat droplet dan feses ayam terinfeksi (Kencana, 2012). Pada keadaan tertentu penularan EDS dapat pula terjadi secara horizontal melalui telur tetas yang terinfeksi (Smyth dan Adair, 1987). Apabila ketika masih embrio atau ayam yang terinfeksi sebelum mencapai dewasa kelamin, maka virus EDS akan bersifat laten, virus EDS ditemukan sampai ayam mencapai dewasa kelamin (McFerran dan Smyth, 2000). Berbeda halnya dengan ayam, infeksi EDS pada angsa menyebabkan trakeitis dan bronchitis (Ivanics et al.,2001). Dewasa ini penyakit EDS masih juga dijumpai pada ayam petelur di Indonesia. Enam isolat lapang EDS telah berhasil dikarakterisasi dari sampel ayam yang dicurigai kena EDS, berasal dari Bogor, Medan dan Surabaya (Kencana et al., 2017).

Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit EDS. Salah satu cara untuk mencegah penyakit EDS adalah dengan melakukan vaksinasi ayam sebelum masa bertelur (umur 14-16 minggu) dengan menggunakan vaksin inaktif (Kencana, 2012). Vaksinasi bertujuan untuk membentuk antibodi spesifik terhadap virus EDS. Intensitas dari respon imun humoral dapat ditunjukan oleh peningkatan titer antibodi (Radji, 2010). Vaksin inaktif kovensional EDS pertama kali dikembangkan pada tahun 1977 (Baxendale et al., 1980). Produksi vaksin

EDS umumnya menggunakan telur bebek berembrio, karena virus EDS tumbuh dengan baik pada telur bebek berembrio sedangkan pada telur ayam berembrio virus EDS tidak mau tumbuh (Gutter et al., 2008).

Kasus EDS terkadang dapat ditemukan juga pada ayam petelur yang telah divaksinasi ditandai dengan gejala penurunan produksi telur. Hal ini kemungkinan karena vaksin yang digunakan tidak bagus. Pada umumnya vaksinasi EDS dilakukan pada ayam petelur sebelum masa berproduksi yakni pada umur 14-16 minggu tanpa diikuti dengan vaksinasi ulangan atau booster. Dengan demikian, titer antibodi yang terbentuk merupakan respon imun primer yang sangat menentukan tingkat kekebalan ayam petelur terhadap penyakit EDS. Respon imun primer akan merangsang terbentuknya sel memori yang berperan dalam reaksi imunitas ketika tubuh kembali terpapar oleh antigen yang sama atau sering disebut dengan respon imun sekunder (Day dan Schultz, 2014). Titer antibodi EDS dapat diperiksa dengan uji Hemaglutinasi dan uji Hambatan Hemaglutinasi (HA/HI). Rasool et al (2005) menyatakan bahwa virus EDS hanya mengaglutinasi sel darah merah unggas tetapi tidak mengagglutinasi sel darah merah mamalia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon imun ayam petelur pasca vaksinasi EDS inaktif polivalen dengan uji serologi HI.

METODE PENELITIAN

Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum ayam petelur pasca vaksinasi EDS yang diambil dari peternakan ayam petelur komersil di Desa Tiga, Kabupaten Bangli. Total populasi ayam adalah sebanyak 3000 ekor, strain Isa Brown, sebanyak 25 ekor diambil secara acak untuk sampel penelitian. Vaksin yang digunakan adalah vaksin EDS-76 inaktif polivalen komersil

produksi PT Sanbio yang mengandung antigen virus Newcastle disease (ND), infectious bronchitis (IB) dan egg drop syndrome (EDS).   Untuk kontrol positif

virus EDS 76 diperoleh dari PT Sanbio Laboratories, Bogor.

Perlakuan

Sebanyak 25 ekor ayam petelur umur 14 minggu divaksin dengan menggunakan vaksin EDS inaktif polivalen. Vaksinasi ayam petelur dilakukan secara intramuskuler dengan cara menyuntikkan vaksin sebanyak 0,3 ml/ekor pada otot dada. Titer virus EDS yang terkandung dalam vaksin adalah ≥ 107.0EID50.

Pengambilan Sampel

Pemeriksaan serum dilakukan guna mengetahui titer antibodi ayam sebagai indikasi terjadinya respon imun ayam pasca divaksinasi. Pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak empat kali yaitu satu minggu sebelum vaksinasi EDS (minggu ke-0) dan diulang setiap minggu sebanyak tiga kali pasca vaksinasi (minggu ke-1, 2, 3 pasca vaksinasi). Pengambilan darah dilakukan pada vena sayap (vena brachialis) dengan menggunakan spuit 3 ml, dengan ukuran jarum 23 Gauge. Kulit dipermukaan vena brachialis didesinfeksi dengan kapas beralkohol 70% untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri. Disisakan ruang kosong pada spuit untuk memungkinkan serum terpisah dari darah. Darah dalam spuit ditempatkan pada posisi datar dan didiamkan dalam suhu ruangan selama 30 menit-1 jam sampai serum keluar. Serum yang telah terbentuk selanjutnya dipisahkan lalu ditampung dengan tabung mikro dan disimpan pada freezer suhu -20°C.

Uji hemaglutinasi/HA

Uji Hemaglutinasi (HA) dilakukan untuk mengetahui adanya virus yang mampu menghemagutinasi sel darah merah 1%. Sifat virus yang demikian dimiliki pula oleh virus EDS sehingga uji HA diguankan untuk mendeteksi virus

EDS. Uji EDS yang digunakan pada penelitian ini merupakan adaptasi dari prosedur baku OIE tahun 2009 untuk mendeteksi Avian Influenza dengan menggunakan mikrotiter plat U. Sebanyak 0,025 ml PBS ditambahkan pada setiap sumuran plat mikrotiter menggunakan mikropipet. Cara kerjanya adalah sebagai berikut: Sebanyak 0,025 ml suspensi virus EDS ditambahkan pada sumuran pertama. Pengenceran seri berkelipatan dua dilakukan mulai dari sumuran ke-1 sampai sumuran ke-11 lalu dari sumuran ke-11 suspensi dibuang sebanyak 0,025 ml. Selanjutnya sebanyak 0,025 ml PBS ditambahkan mulai sumuran plat mikro ke 1 sampai ke 11. Sebanyak 0,05 ml eritosit 1% ditambahkan ke dalam setiap sumuran plat mikro lalu diayak menggunakan pengayak mikro (mikroshaker) selama30 detik. Plat mikro dibiarkan selama 1 jam pada suhu ruangan dan diamati setiap 15 menit. Reaksi positif ditandai dengan adanya endapan sel darah merah berupa butiran berpasir pada dasar sumuran plat mikro. Pembacaan titer HA dilakukan dengan memiringkan plat mikro≥ 45° dan penentuan titer HA dibaca dari pengenceran antigen tertinggi yang masih dapat menghemaglutinasi eritrosit secara sempurna. Titer antigen EDS yang diperoleh selanjutnya diencerkan menjadi 4 unit HA untuk digunakan pada uji HI.

Uji Hambatan Hemaglutinasi/HI

Uji HI yang digunakan untuk mengkonfirmasi antibodi EDS merupakan adaptasi dari prosedur baku dari OIE tahun 2009 terhadap Avian Influenza dengan teknik mikrotiter plat U. Serum yang akan diuji HI diencerkan secara berseri kelipatan 2 (dua) yaitu 2, 4, 8, 16, 32, 64 sampai pengenceran 2048. Untuk menghilangkan faktor penghambat yang terkandung pada serum, dilakukan inaktivasi serum dengan pemanasan pada suhu 56˚C selama 30 menit. Masing-masing sumuran ke-1sampai sumuran ke-12 pada plat mikro diisi dengan PBS sebanyak 0,025 ml. Pada sumuran ke-1

dan sumuran ke-2 ditambahkan serum yang akan diuji kemudian dilakukan pengenceran berseri kelipatan dua yang dimulai dari sumuran ke-2 sampai sumuran ke-10 pada plat mikro. Selanjunya ditambahkan masing-masing 0,025 ml suspensi antigen EDS 4 HA unit ke dalam sumuran ke1 sampai sumuran ke-11, sedangkan pada sumuran ke-12 hanya ditambahkan dengan 0,025 ml PBS. Sumuran ke-1 digunakan sebagai kontrol positif, sumuran ke-11 sebagai kontrol negatif sedangkan sumuran ke 12 sebagai kontrol sel darah merah. Plat mikro selanjutnya diayak dengan menggunakan microshaker selama 30 detik kemudian didiamkan pada suhu ruangan selama 30 menit. Setelah 30 menit, ditambahkan ke dalam setiap sumuran masing-masing 0,05 ml suspensi sel darah merah 0,5% dan diayak kembali selama 30 detik. Plat mikro selanjutnya diinkubasikan pada suhu ruangan selama 1 jam sambil diamati setiap 15 menit. Titer antibodi EDS dinyatakan dengan kelipatan 2 atau (2n ) yang dihitung mulai dari sumuran ke-1.

Analisis Data

Data titer antibodi yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT), dan uji regresi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS (statistical package for the social sciences).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan titer antibodi terhadap penyakit egg drop syndrome-76 pada ayam petelur di Desa Tiga, Kabupaten Bangli, Bali dimuat pada Gambar 1. Rata-rata titer antibodi EDS yang terbentuk setiap minggunya dinyatakan dalam satuan HI unit log 2. Hasil pemeriksaan titer antibodi EDS ayam petelur pada minggu ke-0 (sebelum vaksinasi), rata-ratanya adalah 0 HI log 2. Pada minggu ke-1 pascavaksinasi EDS rata-rata titer antibodinya adalah 2,60 HI unit log 2. Pada minggu ke-2

pascavaksinasi rata-rata titer antibodi EDS adalah 5,04 HI unit log 2. Pada minggu ke-3 pascavaksinasi rata-rata titer antibodi terhadap EDS adalah 6,04 HI unit log 2.

Gambar 1. Grafik peningkatan titer antibodi EDS

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu pengambilan sampel berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap rata-rata titer antibodi EDS ayam petelur yang terbentuk pascavaksinasi pada pengambilan darah setiap minggunya. Hasil uji beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan terjadi peningkatan titer antibodi EDS yang sangat nyata ( P<0,01) sejak minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-3.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa garis regresi dari persamaan Y= 3,185P – 0,383P2 sangat nyata. Hal ini dapat dilihat dari nilai R yaitu 0,981 (mendekati 1) yang berarti pengamatan titer antibodi EDS setiap minggu memiliki hubungan erat terhadap peningkatan titer antibodi EDS pascavaksinasi. Nilai Y dalam persamaan di atas merupakan rata-rata titer antibodi EDS, sedangkan P merupakan variabel regresi yang menyatakan waktu (minggu) sebelum dan setelah vaksinasi.

Hasil uji HI terhadap EDS ayam petelur yang diambil pada minggu-ke1 pascavaksinasi menunjukkan titer antibodi EDS yang rendah. Titer antibodi yang rendah pada minggu pertama disebabkan oleh penggunaan adjuvan pada vaksin EDS inaktif yang digunakan untuk

vaksinasi. Oil adjuvant berfungsi untuk melepaskan vaksin EDS secara perlahan-lahan sehingga peningkatan titer antibodi juga terjadi secara perlahan. Vaksin inaktif akan menjadi lebih baik dengan ditambahkan    adjuvan/iscom    yang

berfungsi sebagai depot antigen. Adjuvan pada vaksin inaktif memiliki fungsi untuk melindungi antigen dari perusakan yang disebabkan oleh respon imun. Adanya adjuvan dalam vaksin inaktif membuat vaksin membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memicu pembentukan antibodi, namun respon kekebalan yang terbentuk juga akan bertahan lebih lama didalam tubuh ayam (Tabbu, 2000).

Hasil pemeriksaan titer antibodi pada minggu ke-2 menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata titer antibodi EDS yang signifikan. Vaksin EDS inaktif dinyatakan protektif apabila dalam tiga atau empat minggu titer antibodi terhadap EDS yang terbentuk minimal atau lebih dari 1:16 HI Unit (atau 4 HI log 2 ) (ACFAF, 2012). Pada minggu ke-2 pemberaian vaksin inaktif polivalen EDS yang digunakan telah mampu merangsang terbentuknya titer antibodi protektif terhadap penyakit EDS pada ayam petelur dengan rata-rata titer 5,04 HI unit log2. Hal ini menunjukkan bahwa antigen yang terkandung dalam vaksin EDS inaktif polivalen telah mampu merangsang diferensiasi sel limfositt B menjadi sel plasma yang selanjutnya menjadi antibodi dengan jumlah yang memadai dan berperan untuk melindungi ayam dari kasus penyakit EDS di lapangan.

Sampai minggu ke-3, titer antibodi EDS masih mengalami peningkatan meskipun tidak sebesar peningkatan antibodi pada minggu ke 2. Hal ini menunjukkan mulai minggu ke-3 laju peningkatan antibodi mulai menurun yang diakibatkan oleh degradasi antigen yang lebih intensif dalam tubuh ayam.

Secara umum penggunaan vaksin EDS-76 inaktif polivalen yang diaplikasikan secara intramuskuler pada

ayam petelur umur 14 minggu berpengaruh sangat nyata pada respon imun primer terhadap EDS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibodi EDS dapat terdeteksi sejak minggu ke-1 walaupun titternya masih rendah. Titer antibodi EDS secara serologi bersifat protektif yang tercapai pada minggu ke-2 pascavaksinasi dengan rataan     titer

antibodi 5,4 HI unit log 2 (atau 25,4 HI unit). Titer antibodi terhadap EDS masih mengalami peningkatan sampai minggu ke-3 pascavaksinasi dengan rataan titer sebesar 6,4 HI unit log 2 (atau 26,4 HI unit).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian vaksin EDS inaktif polivalen pada ayam petelur umur 14 minggu mampu memicu peningkatan respon imun primer yang ditandai dengan peningkatan titer antibodi terhadap EDS yang terjadi setiap minggu. Titer antibodi pada periode minggu ke-1 pascavaksinasi adalah sebesar 22,6 HI unit, pada minggu ke-2 pascavaksinasi sebesar 25,04 HI unit, dan pada minggu ke-3 pascavaksinasi sebesar 26,4 HI unit.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan rentang waktu yang lebih lama pascavaksinasi EDS untuk mengetahui durasi dari daya proteksi vaksin EDS inaktif polivalen pada ayam petelur.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada PT Sanbio Laboratories Cabang Bali beserta mitranya atas kerjasama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

ACFAF (ASEAN Cooperation in Food, Agriculture and Foresty). 2012. ASEAN Standards fir Animal Vaccines,     Second     Edition.

Livestock Publication Series. http:/www.asean.org/communities/a sean-economic-community/category /publication-3. Diakses pada 09-072015.

Badan Pusat Statistk (BPS). 2014. Jumlah Rumah Tangga Usaha Peternakan Menurut Wilayah dan Jenis Ternak. Data sensus Pertanian 2013  .

http://bps.go.id diakses pada: 4 Maret 2015.

Bartha A, Mészáros J, and Tanyi J. 1982. Antibodies Against EDS76 Avian Adenovirus In Bird Species Before 1975. J Avian Pathol 11:511-513.

Baxendale W, Lutticken D, Hein R, Mc Pherson I. (1980). The Results Of Field Trials Conducted With An Inactivated Vaccine Against The Egg Drop Syndrome 76 (EDS 76). J.Avian Pathology 9:77-91.

Day MD, dan Schultz RD. Veterinary Immunology Pinciples and Practice. Second Edition. Taylor and Francis Group. USA: 18-26.

Dhinakar R, Sivakumar GS, Sudharsan S, Mohan AC, Nachimuthu K. 2001. Genomic Characterization Of Indian Isolates Of Egg Drop Syndrome 1976 Virus. J Avian Pathol 30: 2126.

Gutter B, Fingerut E, Gallili G, Eliahu D, Perelman B, Finger A, Pitcovski J. 2008. Recombinant Egg Drop Syndrome Subunit Vaccine Offers An Alternative To Virus Propagation In Duck Eggs. J Avian Pathol 37(1): 33-37.

Ivanics E, Vilmos P, Robert G, Adam D, Vilmos P, Tamas R, Maria B. 2001. The Role Of Egg Drop Syndrome Virus In Acute Respiratory Disease Of Goslings. J Avian Pathol 30: 201-208.

Jingliang S, Shuang L, Xudong H, Xiuling Y, Yongyue W, Peipei L, Xishan L, Guozhong Z, Xueying H, Di L,

Xiaoxia L, Wenliang S, Hao L, Ngai SM, Peiyi W, Ming W, Kegong T, George FG. 2011. Duck Egg-Drop Syndrome Caused by BYD Virus, a New Tembusu-Related Flavivirus. J Plos ONE 6(3): e18106.

Kencana GAY. 2012. Penyakit Virus Unggas. Udayana University Press. Denpasar. ISBN. 978-602-7776-012. Cetakan pertama Pp: 110-118.

Kencana GAY. 2017. The Characteristic of Egg Drop Syndrome Virus of Medan Isolate. J Vet Med Anim Sci 1(1): 15-19.

Mc Ferran JB, Smyth JA. 2000. Avian Adenovirus. Office International des Epizooties(OIE). Rev Sci Tech Int Epiz 19(2).

Meulemans G, Frqyman R dan Halen P. 1979. HaemagglutinationInhibition Antibodies Against EDS 76 Virus In Broilers. J Avian Pathol 8:483-485.

Murtidjo BA. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Kanisius. Yogyakarta: 31-34.

Office International des Epizooties(OIE).

2009.      Terrestrial      Manual:

Chapter2.3.4.Avian       Influenza.

http://www.oie.int/filedadmin/Home/

eng/Helth_standars/tahm/2.03.04_AI .pdf

Radji. 2010. Imunologi &  Virologi.

PT.ISFI Penerbitan. Jakarta. Pp: 120.

Rantam. 2005. Virologi. Airlangga University Press. Surabaya. pp: 229239.

Rasool, M. H., Rahman, S. U., and Mansoor, M. K. (2005). Isolation Of Egg Drop Syndrome Virus And Its Molecular   Characterization

Using Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide               Gel

Electrophoresis. Pakistan Vet J 25(4): 155-158.

Smyth JA, dan Adair BM. 1988. Lateral Transmission Of Egg Drop Syndrome76 Virus By The Egg. J Avian Pathol 17:193-200.

Suresh P, Shoba K and Rajeswar JJ. (2013). Incidence of egg drop syndrome –1976 in Namakkal district, Tamil Nadu, India. Vet World 6(6): 350-353.

Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya.Volume     1.

Kanisius. Yogyakarta. Ppl: 344-354.

170