Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Volume 9 No. 2: 156-163

Agustus 2017

DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.2.156

Nilai Gizi dan Kualitas Fisik Daging Sapi Bali berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur

(NUTRITION LEVEL AND PHYSICAL QUALITY OF BALI BEEF ACCORDING TO THE SEX AND AGE OF CATTLE)

Kadek Karang Agustina1*, I Made Ricky Dwi Cahya2, Gusti Made Widyantara2, Ida Bagus Ngurah Swacita1, Anak Agung Gde Oka Dharmayudha3,

Mas Djoko Rudyanto1

  • 1Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, 2Mahasiswa Program Profesi Dokter Hewan, 3Laboratorium Bedah dan Radiologi Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur nilai gizi dan kualitas fisik daging sapi bali berdasarkan jenis kelamin dan umurnya. Sebanyak 60 sampel daging sapi bali telah diperiksa, terdiri dari 30 jantan dan 30 betina serta dikelompokkan menjadi enam kelompok umur. Parameter nilai gizi dan kualitas fisik daging sapi bali yang diamati adalah warna daging, pH, daya ikat air, kadar air, protein kasar, lemak dan kadar abu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok jenis kelamin dan umur sapi bali, nilai gizi dan kualitas fisik daging sapi bali tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil ini mengindikasikan bahwa daging sapi bali memiliki kualitas baik gizi maupun fisik yang tidak berbeda pada perbedaan jenis kelamin dan umurnya.

Kata kunci: daging; sapi bali; kualitas; nutrisi; jenis kelamin; umur

ABSTRACT

This research aims were to measure nutrition level and the physical quality of bali beef according to the age and sex of cattle. A total of 60 bali beef samples have been examined, consisting of 30 male and 30 female, in which they were divided into six age groups. The parameters of quality and nutritions of bali beef included: meat color, pH, water holding capacity, water content, crude protein, fat and ash content. The result showed that according to the sex and age of cattle, the beef quality and nutrition were not significantly different. This indicates that the bali beef have the similar qualities based on the different of sex and age.

Keywords: bali beef; cattle; quality; nutrition; sex; age

PENDAHULUAN

Sapi bali merupakan plasma nutfah untuk menghasilkan bibit sapi yang bermutu karena keunggulannya, tidak dimiliki oleh bangsa sapi lainnya di dunia. Sapi bali dapat hidup pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan sehingga dikenal sebagai sapi perintis (Zulkharnaim et al., 2010), memiliki kualitas daging yang tinggi dengan persentase lemak yang rendah (Bugiwati, 2007). Karkas yang dihasilkan pada pemotongan sapi bali cukup tinggi yaitu 53-56% dari bobot badannya (Hafid dan Rugayah, 2009).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas karkas dan daging sapi yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik (Guerrero et al., 2013). Faktor intrinsik menentukan kualitas daging antara lain: spesies, ras, genetik, jenis kelamin, umur dan bobot badan saat dipotong (Altarriba et al., 2005; Alberti et al., 2008; Panea et al., 2011; Ripoll et al., 2011).

Jenis kelamin ruminansia (jantan, betina, dikebiri) akan memberikan pengaruh terutama terkait dengan jumlah lemak yang diendapkan, lokasi deposisi, tingkat pertumbuhan dan hasil karkas. Varietas karkas lebih dipengaruhi oleh jenis kelamin. Dalam hal ini varietas

karkas pada sapi betina lebih terpengaruh daripada jantan karena tingkat kesuburannya lebih tinggi, sementara sapi jantan lebih stabil. Perbedaan karkas, lemak dan konformasi juga mempengaruhi parameter kualitas daging lainnya. Pada karkas daging sapi Panea et al. (2011) mempelajari efek gender terhadap kualitas instrumental dan sensorik dan penilaian daging yang berasal dari breed daging sapi Spanyol (Avileña-Negra Ibérica). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam dua tes (sensorik dan konsumen), daging dari sapi betina paling diapresiasi dibandingkan dengan jantan karena dianggap lebih empuk dan juicy. Hasil ini menguatkan penelitian lain dan dapat dijelaskan oleh perbedaan gender menurut kematangan fisiologis hewan dengan usia kronologis yang sama. Apalagi, jenis kelamin mempengaruhi variabel lain yang diteliti, seperti pH dan warna. Studi tentang sapi jantan yang dikebiri oleh Prado et al. (2013) menunjukkan bahwa pengebirian sapi jantan pada 20 atau 150 hari tidak berpengaruh pada penerimaan konsumen.

Umur dan berat badan pada saat dilakukan pemotongan memiliki korelasi positif, dengan menggunakan basis genetik yang sama, bobot yang lebih besar menyiratkan usia yang lebih tinggi, kecuali saat pakan dimanipulasi atau hewan tersebut memiliki periode pembatasan yang kuat (Guerrero et al., 2013). Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa umur tidak berpengaruh terhadap karkas yang dihasilkan pada pemotongan sapi bali betina (Pradana et al., 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur nilai gizi dan kualitas fisik daging sapi bali berdasarkan jenis kelamin dan umurnya. Data tersebut penting untuk menentukan umur yang tepat dalam melakukan pemotongan sapi bali guna memperoleh kualitas daging yang paling baik secara fisik maupun nutrisi.

MATERI DAN METODE

Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi bali yang

dipotong di Rumah Pemotongan Hewan yang ada di Bali. Sampel daging sapi bali yang dipergunakan masing-masing adalah seberat ±300 gram setiap ekornya. Jumlah total sampel yang dipergunakan sebanyak 60 sampel daging sapi bali terbagi atas 30 sampel daging sapi jantan dan 30 daging sapi betina yang masing-masing di bagi kedalam enam kelompok umur (Torell et al., 2003). Parameter kualitas dan nutrisi daging sapi bali antara lain warna daging, pH, Daya Ikat Air, kadar air, kadar protein kasar, kadar lemak kasar dan kadar abu. Metode yang dipergunakan untuk mengukurnya merujuk pada metode Association of Official Analytical Chemist (AOAC) (Helrich, 1990).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Gambaran nutrisi daging sapi bali berdasarkan umur dan jenis kelaminnya

Data penelitian gambaran nutrisi daging sapi bali bedasarkan umur dan jenis kelamin ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Hasil sidik ragam gambaran

nutrisi daging sapi bali bedasarkan umur

Parameter

F Hitung

Sig.

Kadar Air (%)

0,667

0,651

Protein Kasar (%)

0,616

0,688

Lemak Kasar (%)

3,644

0,011*

Kadar Abu (%)

3,017

0,025*

Keterangan: * berbeda nyata (P<0,05)

Tabel 2. Hasil sidik ragam gambaran nutrisi daging sapi bali bedasarkan jenis kelamin

Parameter

F Hitung

Sig.

Kadar Air (%)

1,230

0,275

Protein Kasar (%)

4,943

0,033*

Lemak Kasar (%)

1,009

0,322

Kadar Abu (%)

28,230

0,00**

Keterangan:  ** berbeda sangat nyata

(P<0,01), * berbeda nyata (P<0,05),

Gambaran kualitas fisik daging sapi bali berdasarkan umur dan jenis kelaminnya

Hasil penelitian kualitas fisik daging sapi bali berdasarkan umur dan jenis kelamin tersaji pada Tabel 5 dan Tabel 6 berikut

Tabel 3. Hasil sidik ragam gambaran kualitas daging sapi bali berdasarkan umurnya

Parameter

F hitung

Sig.

Warna (%)

30,778

0,00*

pH (%)

1,283

0,304

Daya Ikat Air (%)

0,850

0,528

Keterangan:  *

(P<0,01)

berbeda sangat nyata

Tabel 4. Hasil sidik ragam gambaran kualitas daging sapi bali berdasarkan jenis kelaminnya

Parameter

F hitung

Sig.

Warna (%)

0,111

0,742

pH (%)

0,083

0,775

Daya Ikat Air (%)

1,756

0,198

Pembahasan

Hasil uji varian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar air daging sapi bali bedasarkan umur dan jenis kelaminnya (P>0,05) dengan nilai rata-rata 72,836±0,787% (Tabel 1 dan 2). Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dipublikasikan oleh Onyango et al. (1998) dimana dilaporkan bahwa nilai kadar air sapi secara umum adalah 77,5±0,4% untuk bangsa sapi Bos indicus. Sedangkan untuk sapi bangsa Bos taurus adalah berkisar antara 72,4% s/d 74,8% (Boles dan Shand, 2008). Pada penelitian lainnya dimana daging sapi bali disimpan pada suhu -190C dilaporkan kadar airnya sebesar 71,94±0,06 s/d 73,96±0,15 (Sarasati dan Agustina, 2015). Adapun penelitian yang dilakukan untuk mengukur kadar air daging sapi dengan marinasi jus buah pinang berkisar antara 66,05% s/d 63,80% (Purnamasari et al.,

  • 2013). Pada penelitian lainnya dimana daging sapi bali pada penyimpanan suhu dingin 4oC dinyatakan memiliki kadar air berkisar antara 71,87±0,34 s/d 75,14±0,33 (Andini dan Swacita, 2014).

Sebagai sistem biologis yang kompleks, daging dapat mengandung hingga 75% air, dengan keseimbangan terdiri dari 20% protein, sekitar 2% lemak, dan sekitar 3% komponen kecil (misalnya mineral, senyawa fosfat, dan vitamin) (Pedersen et al., 2003). Sebagian besar air disimpan di ruang antara filamen tebal dan tipis dari sel otot post-mortem, dan akumulasi antara bundel serat dan di antara serat, sementara sebagian kecil air di otot juga dipegang oleh daya tarik elektrostatik antara protein (Bond et al., 2004). Selama pengolahan daging, satu masalah umum adalah kehilangan air, yang sering dinyatakan sebagai kehilangan tetes, air jelas, kehilangan masak, dan kehilangan pendinginan tergantung pada tahap selama pemrosesan di mana ia diukur (Cheng dan Sun 2008).

Pada penelitian ini, diperoleh nilai Daya Ikat Air daging sapi bali pada beberapa kelompok umur dan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) (Tabel 3 dan 4). Kandungan air dari produk daging adalah salah satu parameter kualitas penting untuk pengolah daging karena berkaitan dengan produk olahan daging yang dihasilkan yang akan memberikan implikasi ekonomi terhadap produsen dan konsumen (Bertram et al., 2003; Rosenvold dan Andersen, 2003). Jelas, kehilangan air akan mengurangi bobot produk, yang menyiratkan kerugian finansial. Namun, hal itu juga memiliki pengaruh yang substansial terhadap kualitas produk, karena kehilangan air yang lebih tinggi memberikan harapan akan kualitas yang kurang optimal, karena penyusutan produk jika berlebihan dapat menimbulkan penurunan pada penampilan produk. Ini juga memiliki dampak yang besar pada parameter kualitas lainnya seperti juiciness dan kelembutan (Bertram et al., 2000), dan

jika berlebihan mengurangi persepsi sensorik terhadap produk. Akibatnya, kehilangan air yang parah akan mengurangi penerimaan konsumen terhadap produk dan menurunkan nilai penjualannya. Oleh karena itu, industri daging memiliki minat yang besar untuk memperbaiki daya ikat air suatu produk daging (Maribo et al., 1998).

Beberapa faktor intrinsik dan ekstrinsik diketahui mempengaruhi perkembangan daya ikat air daging dan kandungan air dari produk akhir. Di antara faktor intrinsik, genotipe dan pemberian pakan hewan adalah yang paling penting, yang mempengaruhi karakteristik otot secara langsung. Beberapa faktor ekstrinsik seperti penanganan sebelum pemotongan meliputi puasa, injeksi epinefrin juga dilaporkan dapat mempengaruhi Daya Ikat Air daging. Perlakuan semacam itu cenderung mempengaruhi Daya Ikat Air melalui stres, yang menurunkan cadangan glikogen otot, sebuah proses yang dapat menyebabkan pH tinggi dan kadar air daging rendah (Cheng dan Sun, 2008).

Pada hasil sidik ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa berdasarkan umur sapi bali tidak menunjukkan perbedaan kadar protein yang signfikan (P>0,05). Sedangkan pada hasil sidik ragam (Tabel 2) menunjukkan adanya perbedaan nilai protein kasar pada jenis kelaimn sapi bali yang nyata (P<0,5). Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar protein kasar sapi bali jantan dengan umur 7-10 tahun memiliki nilai yang paling tinggi yaitu 23,45%.

Gambar 1. Sebaran nilai protein kasar daging sapi bali berdasarkan jenis kelaminnya

Hasil penelitian nenunjukkan rata-rata kandungan protein kasar daging sapi bali adalah 21,635±1,085%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang diungkapkan oleh Buckle et al. (2007), yang menyatakan bahwa protein daging sapi berkisar antara 16-22%. Penurunan kadar protein daging sapi disebabkan terjadi peningkatan kapasitas buffer menyangga pH daging antara 5,0-7,0 dan terjadinya perubahan denaturasi protein, terutama dalam protein sarkoplasma secara konsisten dengan pembelahan rantai protein pada ikatan, –SH dan –OH; diikuti hydrogen-bonding antara grup-grup karboksil dan juga grup-grup amino (Lawrie, 2003). Pada penelitian lainnya daging sapi bali pada penyimpanan suhu dingin 4oC menyatakan bahwa protein daging sapi bali berkisar antara 17,75±0,26% s/d 18,38±0,20% (Andini dan Swacita, 2014). Sarasati dan Agustina (2015) menyatakan bahwa daging sapi bali yang disimpan pada suhu -19oC diketahui memiliki kadar protein sebesar 19,63±0,54% s/d 21,58±0,08 %.

Pada penelitian ini diketahui bahwa kadar lemak kasar daging sapi bali berdasarkan umurnya terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) (Tabel 1). Hasil uji Duncan (Tabel 5) menunjukkan bahwa pada umur sapi diatas 2 tahun tidak mengalami perperbedaan kadar lemak secara nyata dan hanya umur 2 tahun yang memiliki kadar lemak yang nyata lebih tinggi dari kelpmpok umur sapi bali lainnya yaitu 19,0483% (P<0,05).

Tabel 5. Hasil uji Duncan umur sapi bali terhadap kadar lemak daging sapi bali

Umur (tahun)

Subset

1

2

2,5

13,8183

3,5

14,2017

4,5

14,5433

14,5433

7-10

17,6583

17,6583

5-6

18,0750

18,0750

2

19,0483

Terdapat beberapa jenis lemak yang meliputi:   fosfolipid, serebrosid dan

kolesterol (Buckle et al., 2007). Tingginya kadar lemak daging ditentukan oleh marbling daging pada tiap lokasi otot serta umur ternak dan bangsa sapi, marbling daging meningkat seiring bertambah umur ternak dan pakan yang diberikan (Soeparno, 2005). Pada penelitian sebelumnya dimana daging sapi bali pada penyimpanan suhu dingin 4oC dilaporkan bahwa kadar lemak daging sapi bali berkisar antara 2,90±0,04% s/d 4,34±0,09% (Andini dan Swacita, 2014) sedangkan pada penyimpana suhu -19oC memiliki kadar lemak sebesar 2,69±0,02% s/d 2,90% (Sarasati dan Agustina, 2015).

Hasil uji varian pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa umur dan jenis kelamin sapi bali mempengaruhi nilai kadar abu daging sapi bali (P<0,05) yang berkisar antara 1,13-2,15%. Hasil uji Duncan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa sapi bali dengan umur tua (7-10 tahun) dan muda (2-2,5 Tahun) memiliki kadar abu yang nyata lebih rendah dari pada sapi bali dengan umur dewasa (3,5-6 Tahun) (P<0,05).

Tabel 6. Hasil uji Duncan umur sapi bali

terhadap kadar abu daging sapi bali

Umur

Subset

(tahun)

1

2

7-10

1,13883

2,5

1,29433

2

1,50550

1,50550

4,5

2,03883

3,5

2,09433

5-6

2,15000

Kadar abu daging sapi normal mempunyai nilai rata-rata otot BF 1,30% dan LD 1,44%. Kadar abu daging sapi ditentukan oleh bangsa sapi, bangsa sapi Bos Taurus mempunyai kadar abu lebih tinggi dari bangsa sapi Bos Indicus. Faktor lingkungan terutama kualitas asupan pakan dan kandungan nutrisi bahan pakan sangat menentukan kadar abu daging sapi

(Onyango et al., 1998). Wang et al. (2007) melaporkan bahwa untuk sapi bangsa Limosin umur 12 bulan mempunyai kadar abu berkisar antara 1,64% s/d 1,77%. Bangsa sapi Bos Indicus mempunyai nilai kadar abu 1,1±0,05% (Onyango et al., 1998). Standar Codex Alimentarius (2005) meyebutkan bahwa kadar abu daging sapi berada pada kisaran 1,2%, dimana hasil penelitian ini kadar abu daging sapi bali sudah sesuai. Pada Gambar 2 diketahui bahwa sapi bali betina dengan umur 3,5-6 tahun memiliki kadar abu tertinggi antara 29,78-31,55% yang secara sangat nyata (P<0,01) berbeda dengan kelompok lainnya.

Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan warna yang sangat nyata (P<0,01) diantara kelompok umur sapi bali yang diperiksa. Sementara hasil uji Duncan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa perbedaan warna yang signifikan terjadi antara umur 2-6 tahun dengan 7-10 tahun, dimana skor nilai warnanya semakin tinggi. Perbedaan yang nyata juga terjadi pada warna daging sapi di usia 2-4,5 tahun dengan 5-6 tahun, perbedaan yang sama juga ditemukan pada warna daging di usia 2-3,5 dengan 4,5 tahun. Sedangkan warna dging sapi usia 2-3,5 tahun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05).

Tabel 7. hasil uji Duncan pengaruh umur terhadap warna daging sapi bali

Umur             Subset

(tahun)        1     2     34

2 Tahun 5.17

2,5 Tahun5.17

3,5 Tahun5.67

4,5 Tahun5.83

5-6 Tahun7.00

7-10 Tahun8.00

Sig.        0,114 0,569 1.0001.000

Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai pH daging sapi bali pada bebrapa kelompok umur dan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan

(P>0,05) (Tabel 3 dan 4). Nilai pH yang dicapai setelah otot dalam kekakuan memiliki pengaruh pada daya ikat air daging. Daging yang memiliki pH akhir sangat tinggi (yaitu 6,3) cenderung berwarna gelap dan permukaan daging tampak relatif kering. Produk daging ini juga bertekstur sangat tegas dan bisa sulit untuk membedakan perpaduan antara kumpulan serat otot secara visual. Produk ini diproduksi saat hewan tersebut mengalami stres pra panen jangka panjang dan dipanen sebelum cukup waktu pemulihan. Stres jangka panjang ini menyebabkan penipisan glikogen otot. Karena glikogen adalah substrat untuk produksi laktat dalam otot, semakin sedikit glikogen yang ada saat panen, semakin sedikit laktat yang dihasilkan setelah panen, dan selanjutnya pH akan menurun pada proses postmortem (Lonergan, 2010). Stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan (kimiawi) tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi nilai pH daging (Mach et al., 2008).

Secara keseluruhan, hasil pnelitian ini mengindikasikan bahwa nilai nutrisi dan kualitas fisik daging sapi bali tidak berbeda pada beberapa kelompok umur dan jenis kelaminnya. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana kualitas daging lebih dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti pakan dan management peternakan (Guerrero et al., 2013; Prado et al., 2014).

SIMPULAN

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas daging sapi bali yang didasarkan pada umur dan jenis kelaminnya.

Saran

Mengingat penelitian ini dilakukan pada daging sapi bali segar segera setelah pemotongan, dan sebelum sampai ditangan konsumen masih melalui proses pemasaran

yang cukup panjang maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kualitas fisik maupun nutrisi daging sapi bali selama proses pemasaran.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada Rektor Universitas Udayana, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai dan memfasilitasi penelitian ini melalui Hibah Penelitian Unggulan Program Studi Universitas Udayana dengan kontrak No. 2025/UN14.9./LT/2016

DAFTAR PUSTAKA

Alberti P, Panea B, Sañudo B, Olleta JL, Ripoll G, Ertbjerg P, Christensen M, Gigli S, Failla S, Concetti S, Hocquette JF, Jailler R, Rudel S, Renand G, Nute GR, Richardson RI, Williams JL. 2008. Live weight,

body size and carcass characteristics of young bulls of fifteen European breeds. Livestock Sci 114(1): 19-30.

Altarriba J, Varona L, Moreno CB, Yagüe G, Sañudo C. 2005. Consequences of selection for growth on carcass and meat quality in pirenaica cattle. Livestock Prod Sci 95(1): 103-114.

Andini M, Swacita IBN. 2014. Kualitas daging sapi wagyu dan daging sapi bali yang disimpan pada suhu 4oC. Indonesia Medicus Veterinus 3(5): 430-435.

Bertram HC, Petersen JS, Andersen HJ.

2000.     Relationship    between

RN-genotype and drip loss in meat from Danish pigs. Meat Sci 56: 4955.

Bertram HC, Andersen HJ, Karlsson AH, Horn P, Hedegaard J, Nørgaard L, Engelsen SB. 2003. Prediction of

echnological quality (cooking loss and Napole Yield) of pork based on fresh meat characteristics. Meat Sci 65: 707-712.

Boles JA, Shand PJ. 2008. Effect of muscle location, fiber direction, and slice thickness on the processing characteristics and tenderness of beef stir-fry strips from the round and chuck. Beef Sci 78: 369-374.

Bond JJ, Can LA, Warner RD. 2004. The effect of exercise stress, adrenaline injection and electrical stimulation on changes in quality attributes and proteins in Semimembranosus muscle of lamb. Meat Sci 68: 469477.

Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton W. 2007. Ilmu pangan. Penerjemah:  Hari Purnomo dan

Adono. International Development Program of Australian Universities and Colleges, UI Press, Jakarta.

Bugiwati SRA. 2007. Body dimension growth of calf bull in Bone and Baru district, South Sulawesi. J Sains and Tekno 7: 103-108.

Cheng Q, Sun DW. 2008. Factors affecting the water holding capacity of red meat products: A review of recent research advances. Crit Rev in Food Sci and Nutrition 48:137–159.

Codex Alimentarius. 2005. Code of hygienic practice for meat. 2005: 152.

Guerrero A, Valero MA, Campo MM, Sañudo C. 2013. Some factors that affect ruminant meat quality: from the farm to the fork. Acta and Anim Sci 35(4): 335-347.

Hafid H, Rugayah H. 2009. Persentase karkas sapi bali pada berbagai berat badan dan lama pemuasaan sebelum pemotongan. In: Proiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009: 77-85.

Herich K. 1990. Official methods of analysis (15th Ed). Association of Official Analytical Chemists. Inc.

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. 5thEd.

Penerjemah Aminuddin Parakksin. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Lonergan EH. 2010. Water-Holding Capacity of fresh meat. Am Meat Sci Assoc 2010: 1-7.

Mach N, Bach A, Velarde A, Devant M. 2008. Association between animal, transportation,        slaughterhouse

practices, and meat pH in beef. Meat Sci 78: 232–238.

Maribo H, EV Olsen, P Barton-Gade, A Moller, A Karlsson. 1998. Effect of early post-mortem cooling on temperature, pH fall and meat quality in pigs. Meat Sci 59: 115129.

Onyango CA, Izumimoto M, Kutima PM. 1998. Comparison of some physical and chemical properties of selected game beefs. Beef Sci 49: 117-125.

Panea B, Ripoll G, Olleta JL, Sanudo C. 2011. Effect of sex and crossbreeding on the instrumental and sensorial quality and on the acceptance of the meat of young bulls of the Iberian black-Iberian breed. ITEA Informacion Tecnica Economica Agraria 107(3): 239-250.

Pedersen DK, Morel S, Andersen HJ, Engelsen SB. 2003. Early prediction of water-holding capacity in meat by multivariate              vibrational

spectroscopy. Meat Sci 65: 581-592.

Pradana W, Rudyanti MD, Suada IK. 2014. Hubungan umur, bobot dan karkas sapi bali betina yang dipotong di rumah potong hewan Temesi. Indonesia Medicus Veterinus 3(1): 37-42.

Prado IN, Campo MM, Muela E, Valero MV, Catalan O, Olleta JL, Sañudo C. 2014. Effect of castration age, protein level and lysine/methionine ratio in the feed on animal performance, carcass and meat

quality of Frisian steers intensively reared. Animal 8(9): 1561-1568.

Purnamasari E, Mardiana, Fazilah Y, Nurwidada WHZ, Febrina D. 2013. Sifat fisik dan kimia daging sapi yang dimarinasi jus buah pinang (Areca catechu L.). In: Prosding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Ripoll G, Albertí P, Casasús I, Blanco M. 2013. Instrumental meat quality of veal calves reared under three management systems and color evolution of meat stored in three packaging systems. Meat Sci 93: 336-343.

Rosenvold K, Andersen HJ. 2003. Factors of significance for pork quality: A review. Meat Sci 64: 219-237.

Sarasati T, Agustina KK. 2015. Kualitas daging sapi wagyu dan daging sapi bali yang disimpan pada Suhu -190C.

Indonesia Medicus Veterinus 4(3): 178-185.

Soeparno. 2005. Ilmu dan teknologi daging.  4thEd . Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Torell R, Bruce B, Kvasnicka B, Conley K. 2003. Methods of determining age of cattle. Cattle Producer's Library 712: 1-3.

Wang WJ, Wang SP, Gong YS, Wang JQ, Tan ZL. 2007. Effects of vitamin a supplementation     on     growth

performance, carcass characteristics and beef quality in limosin x luxi crossbreed steers fed a wheat straw based diet. Meet Sci 77(4): 450458.

Zulkharnaim, Jakaria, Noor RR. 2010. Identification of genetic diversity of growth hormone receptor (GHR|Alu I) gene in bali cattle.    Media

Peternakan 33: 81-8.

163