Buletin Veteriner Udayana

p-ISSN: 2085-2495

Volume 7 No. 1: 41-47

Pebruari 2015

Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Kamar Telur Itik Segar Dan Telur Yang Mengalami Pengasinan Ditinjau Dari Jumlah Eschericia coli

( EFFECT OF LONG STORAGE IN THE ROOM TEMPERATURE FRESH DUCK EGGS AND DUCK EGGS IN SALTING PROCESS VIEWED FROM TOTAL OF Eschericia coli )

Ratna Pandu Finata1, Mas Djoko Rudyanto2, I Gusti Ketut Suarjana3 1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Universitas Udayana 3Laboratorium Mikrobiologi Universitas Udayana

Jl. PB. Sudirman Denpasar-Bali

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah bakteri Escherichia coli (E. coli) pada telur segar dan telur dalam proses pengasinan yang berasal dari Usaha Kecil Menengah (UKM) Mulyo, Mojokerto. Sebanyak 24 telur itik usia sehari untuk perlakuan telur segar 12 telur dan proses pengasinan 12 telur. Pemeriksaan E. coli dilakukan pada hari pertama, ke delapan, ke 15, dan hari ke 22. Pemeriksaan dilakukan dengan menanam pada media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah E. coli pada telur segar dan telur pengasinan mengalami peningkatan pada hari pertama sampai hari ke delapan, sedangkan pada hari ke 15 sampai hari ke 22 mengalami penurunan. Kesimpulanya bahwa jumlah bakteri E. coli dalam telur segar dan telur dalam proses pengasian meningkat sampai hari ke delapan dan menurun pada hari ke 22.

Kata kunci: telur itik, Escherichia coli, media EMBA

ABSTRACT

This study aims to determine the number of bacteria Escherichia coli (E. coli) in fresh eggs and eggs in the salting process that is derived from UKM Mulyo, Mojokerto. A total of 24 day-old duck eggs for the treatment of 12 fresh eggs and 12 eggs salting process. Examination of E. coli on the first day, to eight, to 15, and day 22. Inspection is done by planting in the media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA). The results showed that the amount of E. coli on fresh eggs and egg salting increased on the first day until the eighth day, whereas on day 15 to day 22 decreased. Kesimpulanya that the amount of E. coli bacteria in fresh eggs and egg in the process pengasian increase until the eighth day and decreased on day 22.

Keywords: duck eggs, Escherichia coli, EMBA media

PENDAHULUAN

Telur merupakan salah satu bahan pangan asal hewan yang mempunyai banyak manfaat, salah satunya adalah sebagai sumber protein hewani bagi masyrakat. Dari sebutir telur didapatkan gizi yang cukup sempurna, karena mengandung zat-zat gizi yang lengkap

dan mudah dicerna (Raji et al., 2009). Selain dikonsumsi telur juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan campuran kue, bahan kosmetik dan juga sebagai bahan campuran jamu. Telur sebagai bahan konsumsi mempunyai banyak keuntungan misalnya kandungan gizi telur yang cukup tinggi dan juga harga yang relatif murah dibandingkan dengan

sumber protein hewani lainnya.

Sebagai bahan pangan telur merupakan salah satu bahan pangan yang mudah terkontaminasi mikroba baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontaminasi telur umumnya berasal dari jerami tempat bertelur, tanah, udara dan kotoran unggas. Raji et al. (2009) menyatakan bahwa, semakin cepat telur dikeluarkan dari kandang akan semakin baik pengaruhnya untuk mencegah pencemaran oleh bakteri. Telur merupakan salah satu komoditas dagang yang banyak dicari masyarakat, maka dari itu telur yang merupakan produk asal ternak juga dituntut keamanannya agar mempunyai daya saing yang tinggi dengan produk asal ternak lainnya sehingga dapat memberikan sumbangan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Keamanan pangan adalah suatu kondisi dan upaya yang dilakukan untuk mencegah bahan pangan dari kemungkinan cemaran fisik, kimia, biologi dan benda asing lainnya yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Schmidt et al., 2009).

Umumnya makanan-makanan yang menjadi sumber infeksi dan keracunan oleh bakteri adalah makanan yang mempunyai tingkat keasaman rendah seperti daging, telur, ikan dan produk olahannya. Salah satu bakteri yang sering menjadi sumber infeksi adalah Escherichia coli (E. coli), bakteri ini sangat mudah penyebarannya. E. coli biasanya mengkontaminasi alat-alat dan juga bahan-bahan dalam industri pengolahan. Adanya kontaminasi bakteri E. coli pada makanan atau alat-alat pengolahan bisa menjadi indikasi bahwa sanitasi dalam suatu industri kurang baik (Zuzana et al., 2014). E. coli adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang dan tidak mempunyai kapsul. Bakteri ini tumbuh pada suhu antara 10-45oC, pH optimum untuk pertumbuhan bakteri ini adalah 7-7,5 dan aW (kadar air) minimum

untuk pertumbuhan bakteri ini adalah 0,96. Pencemaran E. coli perlu diwaspadai karena jenis bakteri ini dapat menyebabkan gastroenteritis pada manusia (Mirriem et al., 2012).

Pengolahan suatu bahan pangan mempunyai tujuan untuk mempertahankan mutu suatu produk pangan dengan cara menghentikan penyebab dari menurunnya mutu produk tersebut. Proses pengolahan suatu produk makanan meliputi persiapan, pengolahan dan penyajian. Pada proses pengolahan inilah sangat mudah suatu produk pangan tercemar bakteri, oleh karena itu sanitasi pada pengolahan pangan harus diutamakan sejak dari penanganan bahan mentah sampai produk tersebut siap dikonsumsi. Kegiatan sanitasi ini meliputi kegiatan-kegiatan yang aseptik dalam persiapan bahan mentah, pengolahan dan penyajian makanan, kebersihan lingkungan kerja dan kesehatan pekerja (Pasquoal et al., 2012). Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budi daya hingga pangan tersebut siap disantap. Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap tahap produksi harus dilakukan dengan baik agar pangan yang dikonsumsi benar-benar aman.

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang muncul adalah berapa jumlah kontaminasi bakteri E. coli yang terdapat pada telur segar dan telur yang mengalami pengasinan yang berasal dari UKM Mulyo.

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 12 butir telur itik asin umur satu hari dan 12 butir telur itik tanpa diasinkan. Sampel diambil dari UKM “Mulyo”, Dusun Modopuro, Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur. Bahan–bahan lain yang digunakan adalah Eosin Methylene Blue Agar (EMBA),

alkohol 70%, spiritus, akuades steril, kapas, lap dan kertas label.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 4 x 3, dengan 2 faktor perlakuan yaitu pertama telur segar dan kedua adalah telur dalam proses pengasinan. Pengamatan dilakukan 4 kali yaitu dimulai dari hari ke-1, ke-8, ke-15, sampai hari 22. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali.

Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati adalah jumlah total E. coli yang diamati pada telur segar dan telur yang mengalami proses pengasinan. Koloni E. coli dicirikan oleh warna koloni warna hijau metalik. Jumlah bakteri yang dihitung dengan rumus:

1

jumlah koloni X —-------------------—— CFU/ml

faktor pengencer x volume inokukum

Metode penelitian

Telur itik yang digunakan sebanyak 24 butir, yaitu 12 telur itik untuk pemeriksaan telur segar dan 12 butir telur itik proses pengasinan disimpan pada suhu kamar selama 22 hari.

Proses pengasinan telur diawali dengan pengamplasan telur sampai bersih. Kemudian siapkan garam gandu dan tumbuk halus lalu campur dengan serbuk batu bata dengan perbandingan 1 : 1. Kemudian tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diaduk menjadi adonan yang kental agar dapat melekat pada kulit telur. Bungkus setiap telur dengan adonan secara merata dipermukaaan telur dengan tebal ± 2 mm.

Pengenceran Sampel

Setiap pemeriksaan sampel yang dipakai adalah tiga telur segar dan tiga telur yang diasinkan. Sebelum telur–telur tersebut dipecahkan, kulit telur

disucihamakan dengan alkohol 70%. Setelah itu putih dan kuning telur dihomogenkan di dalam gelas kimia steril. Kemudian sampel yang telah homogen tersebut diencerkan 10-1 dengan mencampurkan satu ml telur dilarutkan dalam 9 ml larutan akuades steril dalam tabung reaksi. Selanjutnya dengan cara yang sama dibuat pengenceran sampai 10-3.

Penanaman Sampel Pada Eosin Methylene Blue Agar (EMBA)

Metode yang digunakan untuk memupuk bakteri pada EMBA adalah metode sebar. Larutan pengenceran 10-3 diambil dengan pipet steril sebanyak 0,1 ml yang terlebih dahulu dihomogenkan dengan cara membolak–balikkan tabung reaksi sebanyak 3 kali selanjutnya ditanam di atas permukaan media EMBA dengan metode sebar. Perataan inokulum dilakukan dengan spatel (batang gelas bengkok) di atas api bunsen agar steril, kemudian diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 24 jam dengan posisi terbalik. Koloni yang berwarna hijau metalik dengan kilat logam dihitung sebagai kuman E. coli. Koloni pada EMBA dapat dihitung berkisar antara 30300 koloni (Solomon et al., 2014).

Analisis Data

Data hasil penelitian yang terkumpul sebelum dianalisis ditransformasikan log Y. Data dianalisis dengan sidik ragam dan apabila didapatkan hasil yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan kemudian regresi korelasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian

Hasil penelitan menunjukkan bahwa E. coli pada telur segar pada hari ke 15 dan hari ke 22 berbeda nyata, sedangkan pada koloni E. coli pada telur yang mengalami proses pengasinan pada hari

ke 8 dan hari ke 15 berbeda nyata. Sedangkan jumlah E. coli pada telur segar hari ke 1,8,15 dan 22 dan jumlah E. coli pada telur dalam proses pengasinan pada hari ke 1, 8, 15 dan 22 tidak berbeda nyata.

Tabel 1. Jumlah total E. coli pada telur segar dan telur dalam proses pegasinan dengan Lama Penyimpanan (Transformasi log Y).

Hari

Perlakuan

Telur Segar

Telur Asin

1

3,430 Aa

3,371 Aab

8

3,909 Ab

3,731 Ab

15

4,520 Bc

3,552 Aa

22

4.445 Bd

3,238 Aa

Keterangan : Huruf yang berbeda ke arah kolom (huruf kecil) dan ke arah baris (huruf besar) menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah E. coli pada telur itik segar dan telur yang mengalami proses pengasinan mengalami peningkatan pada hari pertama sampai hari ke-8 terjadi peningkatan sedangkan pada hai ke-15 sampai hari ke-22 jumlah E. coli mengalami penurunan. Peningkatan jumlah bakteri pada telur segar dikarenakan nutrisi yang ada dalam telur masih cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Telur segar adalah telur yang baru ditelurkan oleh induknya, mempunyai masa simpan pendek, dan semakin lama semakin turun kesegarannya (Schmidt et al., 2009). Kerusakan telur dapat terjadi secara fisik, kimia dan biologi. Kerusakan telur secara biologi biasanya disebabkan oleh bakteri. Adanya kandungan protein dan kadar air yang cukup banyak pada telur dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan suatu bakteri. Lama penyimpanan pada suhu kamar juga bisa menjadi salah satu faktor pendukung

tumbuhnya bakteri didalam telur Selain itu umumnya telur segar merupakan bahan pangan yang cukup sempurna karena mengandung zat–zat gizi yang cukup lengkap, dan hal ini dapat dimanfaatkan mikroba untuk pertumbuhan (Schmidt et al., 2009). Cemaran mikroba pada pangan asal ternak yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus aureus, Clostridium sp., Salmonella sp., Champhylobacter sp., dan Listeria sp. (Zuzana et al., 2014).

Pada telur yang mengalami proses pengasinan pada hari pertama sampai hari ke-8, terjadi peningkatan jumlah kontaminasi E. coli. Ini terjadi karena telur masih mempunyai sumber nutrisi yang baik untuk mendukung pertumbuhannya. Hal ini didukung oleh pendapat Sigrun et al. (2014), bahwa selama kondisi memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan akan terus berlangsung. Selain itu garam yang digunakan sebagai bahan pengawet belum masuk dalam jumlah yang maksimal untuk dapat menghambat pertumbuhan E. coli. Kosentrasi garam yang cukup mampu untuk menghambat pertumbuhan mikroba dalam telur adalah sekitar 1015% (Raji et al., 2009; Sigrun et al., 2015).

Sedangkan pada hari ke-15 sampai hari ke-22 jumlah E. coli mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh telur sudah mengalami penurunan mutu, zat-zat penting yang terdapat dalam telur sudah mulai menurun kualitasnya. Menurut Zuzana et al. (2014) mikroba bisa tumbuh dengan baik karena nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan masih tersedia, namum apabila keadaan lingkungan tersebut kekurangan sumber-sumber nutrisi maka dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. Ini terjadi dari hari ke 15 sampai hari ke 22 pada telur segar.

Penurunan jumlah E. coli pada telur dalam proses pengasinan ini dipengaruhi oleh adanya NaCl (garam dapur) yang digunakan dalam pembuatan telur asin yang mempunyai fungsi sebagai anti bakterial (Zuzana et al., 2014). Menurut Mekonnen et al. (2012) garam berfungsi sebagai pemberi rasa asin dan sekaligus sebagai pengawet, karena garam mampu mengurangi kelarutan oksigen yang diperlukan oleh mikroba, menghambat kerja enzim proteolitik dan menyerap air dari dalam telur. Fungsi lain dari garam dapur adalah menyerap air, kadar air kuning telur yang telah diasinkan lebih rendah dibandingkan dengan kadar air pada telur segar, yaitu 47,5% (Pasquoal et al., 2014).

Dengan berkurangnya kadar air dalam telur dapat menghambat pertumbuhan bakteri, karena air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, kapang dan khamir. Pada proses pengasinan telur terdapat garam dapur (NaCl) yang berfungsi sebagai pencipta rasa khas, sekaligus sebagai bahan pengawet (Raji et al., 2009; Pasquoal et al., 2012).

Proses kontaminasi bakteri baik pada telur segar dan telur dalam proses pengasinan dapat terjadi sebelum pengolahan (pencemaran primer) atau terjadi pada saat pengolahan (pencemaran sekunder). Selain itu kebiasaan para pekerja dan konsumen dalam mengelolah bahan pangan merupakan sumber yang penting dari pencemaran suatu bakteri (Zuzana et al., 2014).

Kontaminasi E. coli biasanya terjadi karena bakteri ini biasanya mengkontaminasi alat-alat yang digunakan oleh industri pengolahan pangan. Adanya kontaminasi bakteri ini pada makanan atau alat-alat pengolahan merupakan suatu indikasi bahwa praktek sanitasi dalam suatu industri kurang baik (Mekonnen et al., 2012). Memperbaiki sanitasi terutama lingkungan, merupakan

salah satu solusi terbaik dalam mengantisipasi cemaran mikroba. Sanitasi yang buruk yang menyebabkan air tercemar tinja yang mengandung kuman penyakit, menyebabkan terjadinya waterborne disease. Hal ini bisa menjadi faktor pendukung terjadinya foodborne disease pada manusia. Angka kejadian waterborne disease dan food borne disease di Indonesia tergolong tinggi, yaitu sekitar 300-1.000 penduduk menderita diare dan dua pertiga penduduk terinfeksi cacingan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2008). Gejala umum foodborne disease adalah perut mual diikuti muntah-muntah, diare, demam, kejang-kejang, dan gejala lainnya. Mikroba yang menimbulkan penyakit dapat berasal dari makanan produk ternak yang terinfeksi atau tanaman yang terkontaminasi (Diane, 2010).

Cemaran mikroba juga bisa terjadi pada bahan pangan lainnya, salah satunya adalah telur ayam yang juga bisa terjadi cemaran mikroba, rata-rata total mikroba telur ayam pada penyimpanan suhu lemari es tidak mengalami peningkatan, sedangkan pada suhu kamar terjadi peningkatan (Idayanti, 2009; Diane, 2010).

Pertumbuhan mikroba terjadi dalam waktu singkat dan pada kondisi yang sesuai, antara lain tersedianya nutrisi, pH, suhu, dan kadar air bahan pangan. Kelompok mikroba pembusuk akan mengubah makanan segar menjadi busuk bahkan dapat menghasilkan toksin (racun), yang kadang-kadang tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan atau kerusakan fisik (bau busuk kurang nyata) sehingga bahan pangan tetap dikonsumsi (Rotaru, 2005; Daoying et al., 2014).

Pengaruh lama penyimpanan telur juga bisa menjadi salah satu faktor pendukung menurunnya kualitas dari telur itu sendiri. Semakin lama telur disimpan pada suhu kamar maka akan mempercepat terjadinya kerusakan telur tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jumlah bakteri E. coli telur segar pada hari ke 15 lebih tinggi dibandingkan dengan telur yang diasinkan. Penyimpanan pada suhu kamar bisa mempengaruhi kualitas daya simpan telur. Proses pengasinan pada telur dapat menekan beban E. coli.

Saran

Perlu perlakuan yang baik selama penyimpanan telur agar telur tetap terjaga kualitasnya. Selain itu proses pengolahan telur juga harus diperhatikan sanitasinya, dengan cara pengolahan yang baik maka bisa meminimalkan cemaran bakteri dalam bahan pangan tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr.drh I Made Damriyasa MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Udayana sebagai tempat penelitian dan Labortorium Mikrobiologi Veteriner Udayana sebagai tempat pemeriksaan sampel.

DAFTAR PUSTAKA

Daoying W, Zhang M, Xu W, Bian H, Liu F, Geng Z, Zhu1 Y, Xu X. 2014. Changes in chemical-physical index and microstructure during dry-cured duck processing. J Poult Sci, 51: 220-226.

Diane GN, Koopmans M, Verhoef L, Duizer E, Aidara-Kane A, Sprong H, Opsteegh M, Langelaar M, Threfall J, Scheutz F, Giessen JVD, Kruse HF. 2010. The challenges of 20 years ago still persist while new ones continue to emerge. J Food-borne diseases, 139: S3–S15.

Idayanti, Sri D, Ulfa N. 2009. Perbedaan variasi lama simpan telur ayam pada penyimpanan suhu almari es dengan suhu kamar terhadap total mikroba. J Kesehatan Universitas Muham-mdiyah Semarang, 2(1).

Mekonnen H, Taddele H, Adhana K. 2012. Source (s) of contamination of ‘raw’ and ‘ready-to-eat’ foods and their public health risks in Mekelle City, Ethiopia. ISABB. J Food Agric Sci, 2(2): 20-29.

Mirriam EN, Odjadjare CE, Tanih NF, Green E, Ndip RN. 2012. Foodborne pathogens recovered from ready-to-eat foods from roadside cafeterias and retail outlets in alice, eastern cape province, South Africa: Public health implications. Int J Environ Res Pub Health, 9: 2608-2619.

Pasquoal CM, Evilda R, Juliana P, de Oliveira1 WNK, Neto JE. 2012. Egg quality of laying hens in different conditions of storage, ages and housing densities. J Res Bras Zootec, 41(9): 2064-2069.

Raji AO, Aliyu J, Igwebuike JU, Chiroma S. 2009. Effect of storage methods and time on egg quality traits of laying hens in a hot dry climate. ARPN J of Agric Biol Sci, 4(4): 123130.

Rotaru G, Sava N, Borda D, Stanciu S., 2005. Food quality and safety management systems:a brief analysis of the individual and integrated approaches, scientifical researches. Agroalimentary Processes Tech, 9(1): 229-236.

Schmidt GS, Figueiredo EAP, Saatkamp MG, Bomm ER. 2009. Effect of storage period and egg weight on embryo development and incubation results. Brazilian J Poult Sci,11(1): 01-05.

Sigrun J H, Nesbakkenb T, Moenc B,

Johan O, Rotteruda S, Dommersnesd, Nestenge, Ostensvikb, Alvseike O. 2014. The significance of clean and dirty animals for bacterial dynamics alongthe beef chain. J Microbiol, 214: 70-76.

Solomon, King UH, Benedicto A. 2014. Effects of egg content on the quality and shelf-life of boiled noodles (miki). DLSU Research Congress

2014. De La Salle University, Manila, Philippines, p. 6-8.

Zuzana H, Kejlova K, Sosnovcova J., Jírova D, Vavrous A, Janousek, S Sycová. M., Špelina V. 2014. Microbial contamination of paperbased food contact materials with different contents of recycled fiber. Czech J Food Sci, 33: 308-312.

47