Profil Hematologi Mencit Pasca Pemberian Jamu Temulawak Secara Oral (HEMATOLOGICAL PROFILE IN MICE WITH ORAL ADMINISTRATION OF JAMU TEMULAWAK)
on
Buletin Veteriner Udayana
p-ISSN: 2085-2495
Volume 7 No. 1: 34-40
Pebruari 2015
Profil Hematologi Mencit Pasca Pemberian Jamu Temulawak Secara Oral
(HEMATOLOGICAL PROFILE IN MICE WITH ORAL ADMINISTRATION OF JAMU TEMULAWAK)
Robby Deddy Septianto1, Ida Bagus Komang Ardana2, I Wayan Sudira3, Anak Agung Gde Oka Dharmayudha4 1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana 2Laboratorium Patologi Klinik Veteriner Universitas Udayana 3Laboratorium Farmakologi Veteriner Universitas Udayana 4Bagian Klinik Veteriner Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar-Bali
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil hematologi (diferensial leukosit, total leukosit dan trombosit) mencit dengan pemberian jamu temulawak secara oral. Sebanyak 25 ekor mencit jantan umur 12 minggu dengan berat masing-masing 30 g dibagi menjadi lima kelompok perlakuan dan lima ulangan. Dosis yang diberikan adalah P0 sebagai kontrol (0 mg/100 g), P1 (10 mg/100 g), P2 (20 mg/100 g), P3 (30 mg/100 g), dan P4 (40 mg/100 g). Diferensial leukosit, total leukosit dan trombosit dilakukan dengan pemeriksaan Sysmex Hematology Analyzer. Hasil penelitian menunjukkan pemberian jamu temulawak secara oral berpengaruh terhadap total leukosit dan limfosit mencit, sedangkan total trombosit, eosinofil, neutrofil, basofil dan monosit tidak menunjukkan perbedaan. Sehingga pemberian jamu temulawak dapat digunakan untuk menjaga kesehatan hewan yang berhubungan dengan profil hematologi.
Kata kunci: curcuma xanthorriza roxb, hematologi, diferensial leukosit, total leukosit, trombosit
ABSTRACT
The purpose of this study to assess changes in hematological profile (leucocyte differential, total leukocytes and platelets) mice with oral administration of jamu temulawak. 25 male mice aged 12 weeks, each weighing 30 g were divided into five groups and five replications. P0 such doses given as a control (0 mg/100 g), P1 (10 mg/100 g), P2 (20 mg/100 g), P3 (30 mg/100 g), and P4 (40 mg/100 g). Differential leukocytes, total leukocytes and platelets of mice, using the Sysmex Hematology analyzer showed oral administration of jamu temulawak was highly significant to total leukocytes and significantly on lymphocytes of mice, whereas the total platelets, eosinophils, neutrophils, basophils and monocytes showed no significant difference, but the effect is happening is within normal limits. Thus giving jamu temulawak can be used to maintain animal health associated with hematologic profiles.
Keywords: curcuma xanthorriza roxb, hematology, differential leukocyte, total leukocytes, platelets
PENDAHULUAN
Temulawak (Curcuma xanthoriza, Roxb) adalah tanaman yang tumbuh berumpun, yang telah lama dikenal dan dimanfaaatkan oleh sebagian masyarakat
Indonesia (Paryanto dan Srijanto, 2006). Salah satu manfaatnya dapat digunakan sebagai obat tradisional dalam bentuk simplisia obat ataupun bahan campuran dari suatu ramuan obat.
Hasil metabolisme sekunder dari
tanaman Zingiberaceae, khususnya kunyit dan temulawak adalah kurkuminoid dan minyak atsiri. Ada banyak data dan literatur yang menunjukkan bahwa kandungan kurkumin dalam kunyit (Curcuma domestica) berpotensi besar dalam aktivitas farmakologi yaitu anti inflamatori, anti imunodefisiensi, anti virus (virus flu burung), anti bakteri, anti jamur, anti oksidan, anti karsinogenik dan anti infeksi (Chattopadhyay et al., 2004; Joe et al., 2004; Anamika, 2012; Balasubramanian dan Muthu, 2014). Menurut Moelyono (2007) temulawak dapat digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit tertentu atau digunakan sebagai penguat daya tahan tubuh (Muhamed et al., 2014)
Sel darah putih atau leukosit merupakan salah satu sel darah yang bergerak paling aktif dari sistem pertahanan tubuh (Joe et al., 2004; Rocío et al., 2009). Sel darah putih ini mampu melawan agen infeksius maupun bahan yang bersifat toksik yang masuk ke dalam tubuh. Berkaitan dengan peningkatan daya tahan tubuh, secara teoritis pada temulawak terdapat suatu senyawa yang dapat merangsang sistem pertahanan tubuh non spesifik, sebagian besar senyawa tersebut akan bekerja sebagai mitogen yang dapat meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas, sel-sel seperti makrofag, Netrofil, granulosit, limfosit T maupun B. Dalam mekanisme sistem pertahanan tubuh ini akan berkaitan dengan fungsi sel darah putih. Menurut Nisahanta et al. (2002), sel darah putih berfungsi mengenali dan melawan mikroorganisme pada reaksi imun dan membantu proses peradangan dan penyembuhan. Selain itu, temulawak juga mampu mencegah pembekuan darah dalam sirkulasi dengan menjaga kestabilan trombosit. Namun kebenaran ini masih perlu dikaji untuk mendapat kejelasan tentang pemberian jamu temulawak terhadap total leukosit,
diferensial leukosit dan trombosit pada tubuh mencit.
METODE PENELITIAN
Materi penelitian
Temulawak ini diperoleh dari Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Temulawak tersebut dibersihkan, dikupas dan dipotong kecil-kecil. Kemudian potongan temulawak tadi dihaluskan dengan menggunakan blender. Sehingga diperoleh temulawak yang halus, untuk tahap akhir, temulawak dapat dianginkan tanpa menggunakan sinar matahari. Setelah kering, serbuk temulawak tersebut dapat digunakan pada hewan coba dengan dicampur air.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan lima kali ulangan. Kelompok P0 sebagai perlakuan kontrol yang hanya diberikan aquades; P1: Kelompok perlakuan yang diberikan jamu temulawak 10 mg/100 g bb; P2: Kelompok perlakuan yang diberikan jamu temulawak 20 mg/100 g bb; P3 :
Kelompok perlakuan yang diberikan jamu temulawak 30 mg/100 g bb; P4 :
Kelompok perlakuan yang diberikan jamu temulawak 40 mg/100 g bb.
Kandang dan Adaptasi Hewan Coba
Dibutuhkan lima kandang yang berukuran 30 cm x 40 cm untuk menampung mencit selama diberikan perlakuan. Setiap kandang diisi lima ekor mencit jantan dengan berat rata-rata 2530 gram. Kondisi dan kesehatan mencit dalam keadaan optimal.
Pemberian Jamu Temulawak
Sebanyak 25 ekor mencit yang telah dibagi menjadi lima kelompok perlakuan diberikan jamu temulawak sehari sekali selama 14 hari. Jamu diberikan secara oral yang takaran dosis pada masing-masing perlakuan sebagai berikut: (1) P1 dengan dosis 10, (2) P2 dengan dosis 20,
(3) P3 dengan dosis 30, (4) P4 dengan dosis 40 mg/100 g bb, dan (5) P0 yang merupakan kontrol diberikan aquades sebanyak 0,5 ml.
Pemeriksaan Diferensial Leukosit, total leukosit dan total trombosit
Pengambilan darah mencit dilakukan pada hari ke 15 melalui retro orbital dengan menggunakan micropipet, darah yang keluar ditampung pada tabung Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) 1 ml. Pemeriksaan diferensial leukosit, total leukosit dan trombosit dilakukan dengan menggunakan mesin sysmex hematology analizer di Unit Pelayanan Teknis Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Leukosit
Nilai rata-rata total Leukosit pada mencit diberikan jamu temulawak secara oral selama 14 hari, sebagai berikut:
Tabel 1. Nilai rata-rata total leukosit pada mencit
Perlakuan Rata-rata (x 1000
sel/mm3) ± SD
P0 (kontrol) 6,364 ± 0,917 a
P1(10 mg/100 g) 7,846 ± 1,468 b
P2 (20 mg/100g) 9,102 ± 1,362 bc
P3 (30 mg/100 g) 9,302 ± 0,587 bc
P4 (40 mg/100 g) 9,510 ± 0,833 c
Keterangan: Huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Pada Tabel 1 menjelaskan bahwa pemberian jamu temulawak selama 14 hari berpengaruh nyata terhadap nilai total leukosit (P<0,05). Pemberian dosis 10-30 mg/100 g bb tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (P>0,05), namun bila dosis ditingkatkan menjadi 40 mg/100 g bb nyata lebih tinggi bila
dibandingkan dengan dosis 10 mg/100 g bb.
Perbedaan peningkatan total leukosit mencit tersebut berkisar antara 6,364x103/mm3–9,51x103/mm3. Hasil tersebut ternyata masih dalam rentangan nilai normal total leukosit pada mencit. Fahrimal et al. (2014), jumlah total leukosit normal pada mencit berkisar antara 6x103–15x103 / mm3.
Pemberian temulawak dapat meningkatkan tanggap kebal non spesifik dengan meningkatnya total leukosit (Plummer et al., 2001; Basnet dan Skalko-Basnet, 2011; Ghosh et al., 2014). Peningkatan ini dikarenakan kandungan zat aktif kurkumin dan minyak atsiri pada temulawak yang berguna sebagai antiinflamasi, antimikroba, antibakteri, dan antioksidan (Ghasemzadeh et al., 2010; Raharjo, 2010; Prasetya dan Yuliani, 2014).
Diferensial eosinofil
Nilai rata-rata persentase eosinofil pada mencit yang diberikan jamu temulawak secara oral selama 14 hari, sebagai berikut:
Tabel 2. Nilai rata-rata persentase eosinofil pada mencit
Perlakuan |
Rata-rata (%) ± SD |
P0 (kontrol) |
3,580 ± 0,743 a |
P1(10 mg/100 g) |
3,080 ± 0,507 a |
P2 (20 mg/100 g) |
2,580 ± 0,814 a |
P3 (30 mg/100 g) |
2,480 ± 1,078 a |
P4 (40 mg/100 g) |
2,060 ± 0,658 a |
Keterangan: Huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian jamu temulawak selama 14 hari berpengaruh tidak nyata terhadap persentase eosinofil (P>0,05). Hal ini ditunjukkan tidak adanya perbedaan peningkatan persentase eosinofil dalam
beberapa dosis yang diberikan, namun perubahan yang terjadi masih dalam kisaran nilai normal persentase eosinofil. Menurut Marcelo et al. (2012) persentase eosinofil normal pada mencit berkisar antara 0% - 4%.
Eosinofil merupakan salah satu sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan dengan merespon infeksi maupun alergi, sehingga eosinofil akan meningkat jumlahnya dan langsung melakukan migrasi ketika terdapat ransangan atau kondisi tubuh yang terinfeksi. Hal ini mengindikasikan rentangan dosis jamu temulawak tidak menimbulkan respon alergi pada mencit (Nishanta et al., 2002; Iroaganachi et al., 2015)
Neutrofil
Nilai rata-rata persentase neutrofil pada mencit yang diberikan jamu temulawak secara oral selama 14 hari, sebagai berikut:
Tabel 3. Nilai rata-rata persentase neutrofil pada mencit
Perlakuan |
Rata-rata (%) ± SD |
P0 (kontrol) |
13,78 ± 3,978 a |
P1(10 mg/100 g) |
12,26 ± 2,227 a |
P2 (20 mg/100 g) |
11,34 ± 1,266 a |
P3 (30 mg/100 g) |
10,98 ± 1,725 a |
P4 (40 mg/100 g) |
11,16 ± 0,808 a |
Keterangan: Huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian jamu temulawak selama 14 hari berpengaruh tidak nyata terhadap persentase neutrofil (P>0,05). Meskipun terdapat perbedaan persentase neutrofil, namun nilai yang diperoleh pada semua kelompok perlakuan masih dalam batas nilai normal neutrofil. Menurut Fahrimal et al. (2014) persentase neutrofil normal pada mencit berkisar 10-40%. Sehingga
hal ini menunjukkan pemberian jamu temulawak menjaga kestabilan nilai neutrofil dalam kisaran normal.
Basofil
Nilai rata-rata persentase basofil pada mencit yang diberikan jamu temulawak secara oral selama 14 hari, sebagai berikut:
Tabel 4. Nilai rata-rata persentase basofil pada mencit
Perlakuan |
Rata-rata (%) ± SD |
P0 (kontrol) |
0,340 ± 0,195 a |
P1(10 mg/100 g) |
0,300 ± 0,173 a |
P2 (20 mg/100 g) |
0,240 ± 0,089 a |
P3 (30 mg/100 g) |
0,200 ± 0,100 a |
P4 (40 mg/100 g) |
0,220 ± 0,084 a |
Keterangan: Huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian jamu temulawak secara oral selama 14 hari berpengaruh tidak nyata terhadap persentase basofil (P>0,05). Perbedaan persentase basofil pada kelompok perlakuan tidak jauh berbeda dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian jamu temulawak secara oral pada mencit selama 14 hari tidak menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap basofil.
Limfosit
Nilai rata-rata persentase limfosit pada mencit yang diberikan jamu temulawak secara oral selama 14 hari tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian jamu temulawak secara oral selama 14 hari berpengaruh nyata terhadap persentase limfosit (P>0,05). Pemberian dosis 10 mg/100 g bb tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (P>0,05), namun bila dosis ditingkatkan
menjadi 20 mg/100 g bb nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan dosis 10 mg/100 g bb.
Tabel 5. Nilai rata-rata persentase limfosit pada mencit
Perlakuan |
Rata-rata (%) ± SD |
P0 (kontrol) |
80,10 ± 3,963 a |
P1(10 mg/100 g) |
82,40 ± 2,556ab |
P2 (20 mg/100 g) |
84,42 ± 1,645 b |
P3 (30 mg/100 g) |
84,68 ± 1,584 b |
P4 (40 mg/100 g |
84,54 ± 0.893 b |
Keterangan: Huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Perbedaan peningkatan yang terjadi berkisar antara 80,1%-84,54%. Hasil tersebut masih dalam rentang nilai kewajaran. Menurut Fahrimal et al. (2014), rata-rata persentase limfosit normal pada mencit berkisar antara 5595%. Hal ini membuktikan bahwa pemberian jamu temulawak secara oral selama 14 hari, meskipun dapat meningkatkan persentase limfosit namun peningkatan yang terjadi masih dalam batas nilai normal limfosit.
Monosit
Nilai rata-rata persentase monosit pada mencit yang diberikan jamu temulawak secara oral selama 14 hari tersaji dalam Tabel 6.
Tabel 6, menunjukkan rata-rata persentase monosit pada kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Meskipun dalam nilai persentasenya, nilai rata-rata yang diperoleh kelompok perlakuan masih dibawah nilai persentase dari kelompok kontrol. Rata-rata persentase monosit berkisar antara 1,6%-2,2%.
Hasil tersebut masih dalam rentangan nilai normal monosit. Menurut Marcus et al. (2012) dan Fahrimal et al. (2014),
batas normal nilai persentase monosit sekitar 0,1-3,5%.
Tabel 6. Nilai rata-rata persentase monosit pada mencit
Perlakuan |
Rata-rata (%) ± SD |
P0 (kontrol) |
2,20 ± 0,566 a |
P1(10 mg/100 g) |
1,96 ± 0,343 a |
P2 (20mg/100 g) |
1,40 ± 0,406 a |
P3 (30 mg/100 g) |
1,66 ± 0,513 a |
P4 (40 mg/100 g) |
2,02 ± 0.630 a |
Keterangan: Huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Total Trombosit
Nilai rata-rata total trombosit pada mencit yang diberikan jamu temulawak secara oral selama 14 hari, sebagai berikut:
Tabel 7. Nilai rata-rata total trombosit pada mencit
Perlakuan |
Rata-rata (ribu/mm3) ± SD |
P0 (kontrol) |
1017,20 ± 226,300 a |
P1(10 mg/100 g) |
1009,80 ± 208,092 a |
P2 (20 mg/100 g) |
994,200 ± 135,944 a |
P3 (30 mg/100 g) |
1044,80 ± 283,725 a |
P4 (40 mg/100 g |
1038,60 ± 404,712 a |
Keterangan: Huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel nilai rata-rata total trombosit pada kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan rata-rata total trombosit yang diperoleh kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan berdasarkan perhitungan statistik.
Pemberian jamu temulawak secara oral pada mencit tidak berpengaruh terhadap total trombosit, melainkan menjaga kestabilan trombosit dalam kadar normal.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Jamu temulawak yang diberikan secara oral dengan dosis 40 mg/100 g bb selama 21 hari pada mencit dapat meningkatkan nilai total leukosit, menjaga total trombosit dan diferesial leukosit pada nilai normal.
Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan dosis jamu temulawak yang lebih tinggi dan jangka waktu yang lebih lama.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada UPT. Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali yang telah ikut andil dalam menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anamika B. 2012. Extraction of curcumin. IOSR J of Environmental Science, Toxicology and Food Technol, 1(3): 01-16.
Astawan M, Wresdiyati T, Arief II, E. Suhesti E. 2011. Gambaran
hematologi tikus putih (Ratus
norvegicus) yang diinfeksi
Escherichia coli enteropatogenik dan diberikan probiotik. J Media
Peternakan, 31(1): 7-13.
Balasubramanian V, Muthu M. 2014. Synthesis and characterization of bioactive curcumin derived from selected turmeric plants in India. Int J of NatProdRes, 4(3): 82-87.
Basnet P, Skalko-Basnet N. 2011. Curcumin: an anti-inflammatory molecule from a curry spice on the path to cancer treatment. J Molecules, 16: 4567-4598
Chattopadhyay I, Biswas K,
Bandyopadhyay U, Banerjee RK. 2004. Tumeric and curcumin: biological actions ans medicinal applications. J Current Sci, 87(1): 4453.
Fahrimal Y, Eliawardani, Rafina A2, Azhar A, Asmilia N. 2014. Profil darah tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinfeksikan trypanosoma evansi dan diberikan ekstrak kulit batang jaloh (Salix tetrasperma roxb). J Kedokteran Hewan, 8(2): 164-168.
Ghasemzadeh A, Hawa Z. E. Jaafar, Asmah R. 2010. Antioxidant activities, total phenolics and flavonoids content in two varieties of malaysia young ginger (Zingiber officinale Roscoe). J Molecules, 15: 4324-4333.
Ghosh SS, Gehr TWB,Ghosh S. 2014. Curcumin and chronic kidney disease (CKD): major mode of action through stimulating endogenous intestinal alkaline phosphatase. J Molecules, 19: 20139-20156.
Guyton A, Hall JE. 2008. Text book of medical physiology. 11st Ed. Elsevier. New York.
Harini A, Bernadeta W, Dwiastuti R, Rini A, Wijayanti L, Wiwid A. 2012. Aplikasi metode spektrofotometri visibel untuk mengukur kadar curcuminoid pada rimpang kunyit (Curcuma domestica). Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi Periode III.
Iroaganachi C, Eleazu O, Okafor PN, Nwaohu N. 2015. Effect of unripe plantain (musa paradisiaca) and ginger (Zingiber officinale) on blood glucose, body weight and feed intake of streptozotocin-induced diabetic rats. J Biochem, 9: 1-6.
Joe B, Vijaykumar M, Lokesh BR. 2004. Biological properties of curcumin-
cellular and molecular mechanisms of action. Critical Rev Food Sci Nut, 44(2): 97-112.
Marcelo DP, Loreto ES, Santurio DF, Alves SH, Rossatto, Castagna A,Viegas J, Matiuzzi M. 2012. Antibacterial activity of essential oil of cinnamon and trans cinnamaldehyde against
staphylococcus spp. isolated from clinical mastitis of cattle and goats. Acta Sci Vet, 40(4): 1080.
Marcus C. 2012. Clinical technique: feeding hay to rabbits and rodents. J Exotic Pet Med, 21: 80-86.
Moelyono MW. 2007.Temulawak, ikon obat herbal indonesia, dalam. candra aa, aktivitas hepatoprotektor temulawak pada ayam yang diinduksi pemberian paracetamol. J Penelitian Pertanian Terapan, 13(12): 137-143.
Monika S, Glowacka A, Kowalczyk E, Wiktorowska A, Bφbenista MJ, Lysakowska M. 2014. The biological activities of cinnamon, geranium and lavender essential oils. J Molecules, 19: 20929-20940.
Muhamed H, Jayandran M, Anand B, Balasubramanian V, Muthu M. 2014. Synthesis and characterization of bioactive Curcumin derived from selected turmeric plants in India. Int J of Nat Prod Res, 4(3): 82-87.
Nishanta R, Cory S. Harris Towers GHN.
2002. Antimicrobial activity of plants collected from serpentine outcrops in Sri Lanka. Pharmaceutical Biology, 40(03): 235-244.
Paryanto I, Srijanto B. 2006. Ekstraksi kurkuminoid dari temulawak (Curcuma xanthorriza roxb.) secara perkolasi dengan pelarut etanol. J Ilmu Kefarmasian Indonesia, 4(2): 74-77.
Plummer SM, Hill KA, Festing MFW, Steward WP, Gescher AJ, Sharma RA. 2001. Clinical development of leukocyte cyclooxygenase 2 activity as a systemic biomarker for cancer chemopreventive agents. J Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention, 10: 1295-1299.
Prasetya DY, Yuliani S. 2014. Aktivitas ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb.) pada radial arm maze dan pasive avoidance test tikus model demensia. J Pharmaҫiana, 4(2): 157-164.
Raharjo M. 2010. Penerapan SOP budidaya untuk mendukung temulawak sebagai bahan baku obat potensial. Perspektif, 9(2): 78-93.
Rocío GL, Mitchell G, Gattuso M, Diarra M, Malouin F, Bouarab K. 2009. Plant antimicrobial agents and their effects on plant and human pathogens. Int J Mol Sci, 10: 34003419.
40
Discussion and feedback